Penulis Mughnil Muhtaj, salah satu kitab Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Seandainya seseorang berpuasa di bulan Syawal dengan niatan qodho’ puasa, puasa nadzar atau puasa lainnya, apakah ia pun akan mendapati pahala puasa sunnah atau tidak. Saya belum menemukan ada yang berpendapat seperti ini. Namun pendapat terkuat, ia akan mendapati pahala puasa sunnah tersebut.”[2]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Fatawa Ash Shiyam berkata,
“Barangsiapa yang melakukan puasa pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah), atau pada hari ‘Asyura (10 Muharram) sedangkan ia masih memiliki utang puasa Ramadhan, maka puasa sunnah yang ia lakukan tadi sah. Akan tetapi apabila ia berniat melakukan puasa pada hari ‘Arofah atau pada hari ‘Asyura dengan niatan puasa Ramadhan, maka ia akan mendapati dua ganjaran. Ganjaran tersebut adalah ganjaran puasa ‘Asyura disertai dengan ganjaran qodho’ puasa. Penjelasan tadi dimaksudkan untuk puasa muthlaq, yang tidak ada kaitan apa-apa dengan puasa Ramadhan. Adapun puasa enam hari di bulan Syawal, ia adalah puasa muqoyyad, artinya ada kaitannya dengan puasa di bulan Ramadhan. Puasa Syawal boleh dilakukan setelah qodho’ Ramadhan selesai ditunaikan. Seandainya seseorang melakukan puasa Syawal sebelum qodho’ puasa Ramadhan, maka ia tidak mendapati ganjaran puasa Syawal (yaitu pahala seperti puasa setahun penuh, pen). Karena Nabi shallalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه بست من شوال فكأنما صام الدهر
“Barangsiapa yang melaksankan puasa Ramadhan, lantas ia ikuti dengan puasa enam hari Syawal, maka seakan-akan ia melakukan puasa setahun penuh.”[3] Sudah maklum bahwa orang yang masih memiliki utang / qodho’ puasa, belum dianggap melakukan puasa Ramadhan sampai ia menyempurnakan qodho’ puasanya.”[4]Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah dalam Fatawanya menjelaskan, “Sudah sepatutnya seseorang mendahulukan qodho’ puasa. Ini lebih utama daripada melakukan puasa sunnah (tathowwu’). Namun jika waktu begitu sempit dan khawatir akan luput puasa pada hari yang mulia seperti pada hari ‘Asyura (10 Muharram) atau pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah), maka berpuasalah dengan niatan qodho’ puasa. Semoga dari situ ia pun bisa mendapatkan pahala puasa ‘Asyura atau puasa ‘Arofah sekaligus. Karunia Allah sungguh amat luas. Wallahu a’lam.”[5]
Jika kita perhatikan dengan seksama penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa yang dianjurkan adalah mengqodho’ puasanya dan nantinya pahala puasa sunnah moga-moga juga diperoleh. Dan bukan dimaksudkan di sini adalah menggabungkan niat qodho’ puasa dengan puasa sunnah sekaligus. Niatannya tetap qodho’ puasa yang hukumnya wajib dan berharap bisa pula mendapatkan pahala puasa sunnah. Jadi tidak tepat memahami perkataan ulama-ulama yang telah kami sebutkan dengan memaksudkan bolehnya menggabungkan dua niat puasa, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah sekaligus. Pemahaman semacam ini sungguh keliru dan benar-benar salah kaprah. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap dalam Riset Ilmiyyah dan Fatwa) di Saudi Arabia pernah mengatakan,
لا يجوز صيام التطوع بنيتين، نية القضاء ونية السنة
“Tidak boleh melakukan puasa sunnah dengan dua niat sekaligus yaitu dengan niat qodho’ puasa dan niat puasa sunnah.”[6] (Keterangan lebih lengkap silakan baca setelah artikel ini.)
Terkhusus puasa Syawal, tetap lebih utama seseorang melaksanakan qodho’ puasa Ramadhan daripada puasa Syawal. Karena pahala puasa Syawal (pahalanya seperti berpuasa setahun penuh) bisa diraih jika seseorang melakukan puasa Ramadhan secara sempurna. Artinya, jika masih ada utang puasa, maka seharusnya itu lebih didahulukan daripada puasa Syawal. Namun seandainya ia tetap berpuasa Syawal, puasanya tetap sah. Pahala setahun penuh saja yang luput darinya. Menurut pendapat paling kuat -sebagaimana pernah kami jelaskan- boleh melakukan puasa sunnah sementara masih memiliki utang puasa. (Keterangannya, silakan baca setelah artikel ini.)
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Hanya Allah yang beri taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Panggang-Gunung Kidul, 11 Ramadhan 1431 H (19 September 2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Lihat Fatwa Al Islam wa Jawab no. 128256, pada linkhttp://islamqa.com/ar/ref/128256/.
[2] Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1/654.
[3] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori.
[4] Fatawa Ash Shiyam 438. Dinukil dari Fatwa Al Islam wa Jawab no. 128256.
[5] Fatwa Al Islam wa Jawab no. 128256, pada linkhttp://islamqa.com/ar/ref/128256/.
[6] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al 'Ilmiyyah wal Ifta', soal Ketiga dari Fatwa No. 6497
Hukum Menggabungkan Niat Puasa Syawal Dengan Qodho Puasa
Ada beberapa komentar yang berkaitan dengan puasa Syawwal sebagai berikut.
Irma waty Sep 25, 2009, 14:26
Bukankah puasa syawal dpt di kerjakan bersama-sama dgn qodho puasa ramadhan.. Hal it sy ketahui dr guru agama sy di kalimantan selatan ,tepatx di martapura
Shidiq Nur Widayan Sep 25, 2009, 23:18
Assalamu’alaikum wr. wb.
Maaf sebelumnya saya ingin menanyakan tentang penggabungan niat antara membayar hutang puasa ramadan dengan niat puasa syawal. Apakah boleh dan mohon dalilnya. Sukron
Wassalamu’alaikum wr. wb.
****
Untuk menjawab komentar di atas, kami nukilkan fatwa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) mengenai bolehkah menggabungkan niat puasa wajib dengan puasa sunnah.
Soal Ketiga dari Fatwa No. 6497
هل يجوز صيام التطوع بنيتين: نية قضاء، ونية سنة
Bolehkah melakukan puasa sunnah dengan dua niat sekaligus yaitu niat mengqodho’ puasa dan niat puasa sunnah? … Jawab:
لا يجوز صيام التطوع بنيتين، نية القضاء ونية السنة،
Tidak boleh melakukan puasa sunnah dengan dua niat sekaligus yaitu dengan niat qodho’ puasa dan niat puasa sunnah. ….Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts wal Ifta’
Anggota: Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan
Wakil Ketua: Syaikh ‘Abdur Rozaq Afifi
Ketua: Syaikh ‘Abdullah bin Baz
***
Karena memang dalam penggabungan niat tidak bisa antara wajib dan sunnah. Qodho' puasa Ramadhan itu wajib dan puasa Syawwal itu sunnah. Sebagaimana shalat qobliyah shubuh dua raka'at tidak mungkin digabungkan niatnya dengan shalat Shubuh dua raka'at. Ini contoh dan kaedah yang mesti dipahami. Meski dipahami pula bahwa puasa wajib lebih harus dilakukan dari yang sunnah. Ingat pula bahwa amalan wajib tentu memiliki pahala lebih besar dari amalan sunnah.
Hanya Allah yang beri taufik.
***
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
Bolehkah Mendahulukan Puasa Sunnah dari Qodho' Puasa ?
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Permasalahan ini selalu menjadi dilema selepas Ramadhan. Apalagi untuk para wanita yang mengalami haidh saat Ramadhan sehingga mesti mengqodho’ puasa. Di bulan Syawal pun kemungkinan ia bisa mendapati haidh kembali. Manakah yang mesti didahulukan dalam hal ini, puasa sunnah ataukah qodho’ (utang) puasa? Lantas bagaimana jika hanya sempat menjalankan puasa Syawal selama empat hari dan tidak sempurna karena mesti mengqodho’ puasa lebih dulu? Simak pembahasan menarik berikut.
Perselisihan Ulama[1]
Para fuqoha berselisih pendapat dalam hukum melakukan puasa sunnah sebelum melunasi qodho’ puasa Ramadhan.
Para ulama Hanafiyah membolehkan melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa Ramadhan. Mereka sama sekali tidak mengatakannya makruh. Alasan mereka, qodho’ puasa tidak mesti dilakukan sesegera mungkin.
Ibnu ‘Abdin mengatakan, “Seandainya wajib qodho’ puasa dilakukan sesegera mungkin (tanpa boleh menunda-nunda), tentu akan makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa Ramadhan. Qodho’ puasa bisa saja diakhirkan selama masih lapang waktunya.”
Para ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat tentang bolehnya namun disertai makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa. Karena jika melakukan seperti ini berarti seseorang mengakhirkan yang wajib (demi mengerjakan yang sunnah).
Ad Dasuqi berkata, “Dimakruhkan jika seseorang mendahulukan puasa sunnah padahal masih memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa nadzar, qodho’ puasa, dan puasa kafaroh. Dikatakan makruh baik puasa sunnah yang dilakukan dari puasa wajib adalah puasa yang tidak begitu dianjurkan atau puasa sunnah tersebut adalah puasa yang amat ditekankan seperti puasa ‘Asyura’, puasa pada 9 Dzulhijjah. Demikian pendapat yang lebih kuat.”
Para ulama Hanabilah menyatakan diharamkan mendahulukan puasa sunnah sebelum mengqodho’ puasa Ramadhan. Mereka katakan bahwa tidak sah jika seseorang melakukan puasa sunnah padahal masih memiliki utang puasa Ramadhan meskipun waktu untuk mengqodho’ puasa tadi masih lapang. Sudah sepatutnya seseorang mendahulukan yang wajib, yaitu dengan mendahulukan qodho’ puasa. Jika seseorang memiliki kewajiban puasa nadzar, ia tetap melakukannya setelah menunaikan kewajiban puasa Ramadhan (qodho’ puasa Ramadhan). Dalil dari mereka adalah hadits Abu Hurairah,
من صام تطوّعاً وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنّه لا يتقبّل منه حتّى يصومه
“Barangsiapa yang melakukan puasa sunnah namun masih memiliki utang puasa Ramadhan, maka puasa sunnah tersebut tidak akan diterima sampai ia menunaikan yang wajib.” Catatan penting, hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).[2] Para ulama Hanabilah juga mengqiyaskan (menganalogikan) dengan haji. Jika seseorang menghajikan orang lain (padahal ia sendiri belum berhaji) atau ia melakukan haji yang sunnah sebelum haji yang wajib, maka seperti ini tidak dibolehkan.
Merujuk pada Dalil
Dalil yang menunjukkan bahwa terlarang mendahulukan puasa sunnah dari puasa wajib adalah hadits yang dho’if sebagaimana diterangkan di atas.
Dalam mengqodho’ puasa Ramadhan, waktunya amat longgar, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Allah Ta’ala sendiri memutlakkan qodho’ puasa dan tidak memerintahkan sesegera mungkin sebagaimana dalam firman-Nya,
Begitu pula dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
Sebagaimana pelajaran dari hadits ‘Aisyah yang di mana beliau baru mengqodho’ puasanya saat di bulan Sya’ban, dari hadits tersebut Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh mengakhirkan qodho’ puasa lewat dari Ramadhan berikutnya.”[4]
Pendapat Terkuat
Pendapat terkuat dalam masalah ini adalah bolehnya melakukan puasa sunnah sebelum menunaikan qodho’ puasa selama waktu mengqodho’ puasa masih longgar. Jika waktunya begitu longgar untuk mengqodho’ puasa, maka sah-sah saja melakukan puasa sunnah kala itu. Waktu qodho’ puasa amatlah lapang, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Sebagaimana seseorang boleh saja melakukan shalat sunnah di saat shalat Zhuhur waktunya masih lapang. Dari sini sah saja, jika seseorang masih utang puasa, lantas ia lakukan puasa Senin Kamis.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Inilah pendapat terkuat dan lebih tepat (yaitu boleh melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa selama waktunya masih lapang, pen). Jika seseorang melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa, puasanya sah dan ia pun tidak berdosa. Karena analogi (qiyas) dalam hal ini benar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang sakit atau dalam keadaan bersafar (lantas ia tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Dalam ayat ini dikatakan untuk mengqodho’ puasanya di hari lainnya dan tidak disyaratkan oleh Allah Ta’ala untuk berturut-turut. Seandainya disyaratkan berturut-turut, maka tentu qodho’ tersebut harus dilakukan sesegera mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masalah mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa ada kelapangan.”[5]
Masalah Puasa Syawal
Ada yang sedikit berbeda dengan puasa Syawal. Untuk meraih pahala puasa setahun penuh disyaratkan untuk menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa mempunyai qodho’ puasa di bulan Ramadhan, lalu ia malah mendahulukan menunaikan puasa sunnah enam hari Syawal, maka ia tidak memperoleh pahala puasa setahun penuh. Karena keutamaan puasa Syawal (mendapat pahala puasa setahun penuh) diperoleh jika seseorang mengerjakan puasa Ramadhan diikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Dalam kondisi tadi, ia tidak memperoleh pahala tersebut karena puasa Ramadhannya belum sempurna.”[7]
Ibnu Rajab rahimahullah kembali menjelaskan, “Barangsiapa mendahulukan qodho’ puasa, setelah itu ia melakukan puasa enam hari Syawal setelah ia menunaikan qodho’, maka itu lebih baik. Dalam kondisi seperti ini berarti ia telah melakukan puasa Ramadhan dengan sempurna, lalu ia lakukan puasa enam hari Syawal. Jika ia malah mendahulukan puasa Syawal dari qodho’ puasa, ia tidak memperoleh keutamaan puasa Syawal. Karena keutamaan puasa enam hari Syawal diperoleh jika puasa Ramadhannya dilakukan sempurna.”[8]
Sebelumnya Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan, “Bagi ulama yang menyatakan bolehnya mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa, maka jika ia mendahulukan puasa sunnah Syawal, ia tidak memperoleh keutamaannya (pahala puasa setahun penuh). Yang bisa mendapatkannya adalah orang yang lebih dulu menyempurnakan puasa Ramadhan lalu melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.”[9]
Kesimpulan, menurut pendapat yang lebih kuat –sebagaimana dijelaskan di atas-, jika ia mendahulukan puasa enam hari di bulan Syawal dari qodho’ puasa, maka puasanya tetap sah. Hanya saja pahala puasa setahun penuh yang tidak ia peroleh karena puasa Ramadhannya belum sempurna. Jadi lebih baik dahulukan qodho’ puasa daripada puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Kasus Wanita Haidh
Bagaimana kasus pada wanita muslimah yang sudah barang tentu mengalami haidh setiap bulannya padahal masih punya utang puasa? Bisa jadi mereka hanya sempat melakukan puasa Syawal tiga atau empat hari karena sebelumnya harus menjalankan qodho’ puasa.
Ada penjelasan yang amat bagus dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, beliau menjelaskan, “Tidak disyari’atkan mengqodho’ puasa Syawal setelah Syawal[10]baik meninggalkannya karena udzur maupun tidak. Karena puasa Syawal hanyalah puasa sunnah yang sudah terluput. Kami katakan bagi yang sudah melakukan puasa Syawal selama empat hari dan belum sempurna enam hari karena ada alasan syar’i, ‘Ketahuilah bahwa puasa Syawal adalah ibadah yang sunnah, tidak wajib. Engkau akan mendapati pahala puasa syawal empat hari yang telah engkau kerjakan. Dan diharapkan engkau akan memperoleh pahala yang sempurna jika engkau meninggalkan puasa Syawal tadi karena ada alasan yang dibenarkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْماً صَحِيْحاً
“Jika seseorang sakit atau bersafar, maka akan dicatat baginya pahala seperti saat ia mukim (tidak bepergian) dan sehat.” (HR. Bukhari dalam kitab shahihnya). Jadi, engkau tidak memiliki kewajiban qodho’ sama sekali (setelah Syawal)’.”[11]
Dari penjelasan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berarti seorang wanita yang masih punya utang puasa tidak perlu khawatir jika ia luput dari puasa Syawal. Jika memang ia luput karena ada udzur, maka lakukanlah semampunya walaupun sehari atau dua hari. Jika kondisinya memang karena ada udzur untuk menunaikan qodho’ puasa, moga-moga ia dicatat pahala yang sempurna karena puasa Syawal yang luput dari dirinya.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Diselesaikan di saat kumandang adzan ‘Ashar, 3 Syawal 1431 H (12/09/2010) di Panggang, Gunung Kidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Lihat pembahasan ini di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/9997-9998, index “Shoum At Tathowwu’”, point 23.
[2] HR. Ahmad 3/352. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dan dinilai dho’if, dan di dalamnya ada perowi yang matruk (Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikr, 3/86). Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah wal Mawdhu’ah (2/235) mengatakan bahwa hadits ini dho’if. Begitu pula hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrij Musnad Imam Ahmad (3/352).
[3] HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146.
[4] Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 4/191.
[5] Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 6/448. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 23429 pada linkhttp://islamqa.com/ar/ref/23429.
[6] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori.
[7] Lathoif Al Ma’arif, Ahmad bin Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 392.
[8] Idem.
[9] Idem.
[10] Sebagian ulama (seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaiminrahimahullah) menganjurkan mengqodho’ puasa Syawal di bulan Dzulqo’dah. Al Bahuti, penulis Kasyaful Qona’ (kitab fiqh Hambali) berkata, “Keutamaan puasa enam hari Syawal tidaklah diperoleh jika puasa tersebut dilakukan selain di bulan Syawal. Demikianlah yang dipahami dari tekstual hadits.” (Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’, Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, Mawqi’ Al Islam, 6/132)
[11] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/389,395. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 23429 pada link http://islamqa.com/ar/ref/23429.
Para ulama Hanafiyah membolehkan melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa Ramadhan. Mereka sama sekali tidak mengatakannya makruh. Alasan mereka, qodho’ puasa tidak mesti dilakukan sesegera mungkin.
Ibnu ‘Abdin mengatakan, “Seandainya wajib qodho’ puasa dilakukan sesegera mungkin (tanpa boleh menunda-nunda), tentu akan makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa Ramadhan. Qodho’ puasa bisa saja diakhirkan selama masih lapang waktunya.”
Para ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat tentang bolehnya namun disertai makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa. Karena jika melakukan seperti ini berarti seseorang mengakhirkan yang wajib (demi mengerjakan yang sunnah).
Ad Dasuqi berkata, “Dimakruhkan jika seseorang mendahulukan puasa sunnah padahal masih memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa nadzar, qodho’ puasa, dan puasa kafaroh. Dikatakan makruh baik puasa sunnah yang dilakukan dari puasa wajib adalah puasa yang tidak begitu dianjurkan atau puasa sunnah tersebut adalah puasa yang amat ditekankan seperti puasa ‘Asyura’, puasa pada 9 Dzulhijjah. Demikian pendapat yang lebih kuat.”
Para ulama Hanabilah menyatakan diharamkan mendahulukan puasa sunnah sebelum mengqodho’ puasa Ramadhan. Mereka katakan bahwa tidak sah jika seseorang melakukan puasa sunnah padahal masih memiliki utang puasa Ramadhan meskipun waktu untuk mengqodho’ puasa tadi masih lapang. Sudah sepatutnya seseorang mendahulukan yang wajib, yaitu dengan mendahulukan qodho’ puasa. Jika seseorang memiliki kewajiban puasa nadzar, ia tetap melakukannya setelah menunaikan kewajiban puasa Ramadhan (qodho’ puasa Ramadhan). Dalil dari mereka adalah hadits Abu Hurairah,
من صام تطوّعاً وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنّه لا يتقبّل منه حتّى يصومه
“Barangsiapa yang melakukan puasa sunnah namun masih memiliki utang puasa Ramadhan, maka puasa sunnah tersebut tidak akan diterima sampai ia menunaikan yang wajib.” Catatan penting, hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).[2] Para ulama Hanabilah juga mengqiyaskan (menganalogikan) dengan haji. Jika seseorang menghajikan orang lain (padahal ia sendiri belum berhaji) atau ia melakukan haji yang sunnah sebelum haji yang wajib, maka seperti ini tidak dibolehkan.
Merujuk pada Dalil
Dalil yang menunjukkan bahwa terlarang mendahulukan puasa sunnah dari puasa wajib adalah hadits yang dho’if sebagaimana diterangkan di atas.
Dalam mengqodho’ puasa Ramadhan, waktunya amat longgar, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Allah Ta’ala sendiri memutlakkan qodho’ puasa dan tidak memerintahkan sesegera mungkin sebagaimana dalam firman-Nya,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).Begitu pula dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3] Sebagaimana pelajaran dari hadits ‘Aisyah yang di mana beliau baru mengqodho’ puasanya saat di bulan Sya’ban, dari hadits tersebut Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh mengakhirkan qodho’ puasa lewat dari Ramadhan berikutnya.”[4]
Pendapat Terkuat
Pendapat terkuat dalam masalah ini adalah bolehnya melakukan puasa sunnah sebelum menunaikan qodho’ puasa selama waktu mengqodho’ puasa masih longgar. Jika waktunya begitu longgar untuk mengqodho’ puasa, maka sah-sah saja melakukan puasa sunnah kala itu. Waktu qodho’ puasa amatlah lapang, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Sebagaimana seseorang boleh saja melakukan shalat sunnah di saat shalat Zhuhur waktunya masih lapang. Dari sini sah saja, jika seseorang masih utang puasa, lantas ia lakukan puasa Senin Kamis.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Inilah pendapat terkuat dan lebih tepat (yaitu boleh melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa selama waktunya masih lapang, pen). Jika seseorang melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa, puasanya sah dan ia pun tidak berdosa. Karena analogi (qiyas) dalam hal ini benar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang sakit atau dalam keadaan bersafar (lantas ia tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Dalam ayat ini dikatakan untuk mengqodho’ puasanya di hari lainnya dan tidak disyaratkan oleh Allah Ta’ala untuk berturut-turut. Seandainya disyaratkan berturut-turut, maka tentu qodho’ tersebut harus dilakukan sesegera mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masalah mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa ada kelapangan.”[5]
Masalah Puasa Syawal
Ada yang sedikit berbeda dengan puasa Syawal. Untuk meraih pahala puasa setahun penuh disyaratkan untuk menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”[6] Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa mempunyai qodho’ puasa di bulan Ramadhan, lalu ia malah mendahulukan menunaikan puasa sunnah enam hari Syawal, maka ia tidak memperoleh pahala puasa setahun penuh. Karena keutamaan puasa Syawal (mendapat pahala puasa setahun penuh) diperoleh jika seseorang mengerjakan puasa Ramadhan diikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Dalam kondisi tadi, ia tidak memperoleh pahala tersebut karena puasa Ramadhannya belum sempurna.”[7]
Ibnu Rajab rahimahullah kembali menjelaskan, “Barangsiapa mendahulukan qodho’ puasa, setelah itu ia melakukan puasa enam hari Syawal setelah ia menunaikan qodho’, maka itu lebih baik. Dalam kondisi seperti ini berarti ia telah melakukan puasa Ramadhan dengan sempurna, lalu ia lakukan puasa enam hari Syawal. Jika ia malah mendahulukan puasa Syawal dari qodho’ puasa, ia tidak memperoleh keutamaan puasa Syawal. Karena keutamaan puasa enam hari Syawal diperoleh jika puasa Ramadhannya dilakukan sempurna.”[8]
Sebelumnya Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan, “Bagi ulama yang menyatakan bolehnya mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa, maka jika ia mendahulukan puasa sunnah Syawal, ia tidak memperoleh keutamaannya (pahala puasa setahun penuh). Yang bisa mendapatkannya adalah orang yang lebih dulu menyempurnakan puasa Ramadhan lalu melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.”[9]
Kesimpulan, menurut pendapat yang lebih kuat –sebagaimana dijelaskan di atas-, jika ia mendahulukan puasa enam hari di bulan Syawal dari qodho’ puasa, maka puasanya tetap sah. Hanya saja pahala puasa setahun penuh yang tidak ia peroleh karena puasa Ramadhannya belum sempurna. Jadi lebih baik dahulukan qodho’ puasa daripada puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Kasus Wanita Haidh
Bagaimana kasus pada wanita muslimah yang sudah barang tentu mengalami haidh setiap bulannya padahal masih punya utang puasa? Bisa jadi mereka hanya sempat melakukan puasa Syawal tiga atau empat hari karena sebelumnya harus menjalankan qodho’ puasa.
Ada penjelasan yang amat bagus dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, beliau menjelaskan, “Tidak disyari’atkan mengqodho’ puasa Syawal setelah Syawal[10]baik meninggalkannya karena udzur maupun tidak. Karena puasa Syawal hanyalah puasa sunnah yang sudah terluput. Kami katakan bagi yang sudah melakukan puasa Syawal selama empat hari dan belum sempurna enam hari karena ada alasan syar’i, ‘Ketahuilah bahwa puasa Syawal adalah ibadah yang sunnah, tidak wajib. Engkau akan mendapati pahala puasa syawal empat hari yang telah engkau kerjakan. Dan diharapkan engkau akan memperoleh pahala yang sempurna jika engkau meninggalkan puasa Syawal tadi karena ada alasan yang dibenarkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْماً صَحِيْحاً
“Jika seseorang sakit atau bersafar, maka akan dicatat baginya pahala seperti saat ia mukim (tidak bepergian) dan sehat.” (HR. Bukhari dalam kitab shahihnya). Jadi, engkau tidak memiliki kewajiban qodho’ sama sekali (setelah Syawal)’.”[11]
Dari penjelasan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berarti seorang wanita yang masih punya utang puasa tidak perlu khawatir jika ia luput dari puasa Syawal. Jika memang ia luput karena ada udzur, maka lakukanlah semampunya walaupun sehari atau dua hari. Jika kondisinya memang karena ada udzur untuk menunaikan qodho’ puasa, moga-moga ia dicatat pahala yang sempurna karena puasa Syawal yang luput dari dirinya.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Diselesaikan di saat kumandang adzan ‘Ashar, 3 Syawal 1431 H (12/09/2010) di Panggang, Gunung Kidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Lihat pembahasan ini di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/9997-9998, index “Shoum At Tathowwu’”, point 23.
[2] HR. Ahmad 3/352. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dan dinilai dho’if, dan di dalamnya ada perowi yang matruk (Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikr, 3/86). Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah wal Mawdhu’ah (2/235) mengatakan bahwa hadits ini dho’if. Begitu pula hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrij Musnad Imam Ahmad (3/352).
[3] HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146.
[4] Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 4/191.
[5] Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 6/448. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 23429 pada linkhttp://islamqa.com/ar/ref/23429.
[6] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori.
[7] Lathoif Al Ma’arif, Ahmad bin Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 392.
[8] Idem.
[9] Idem.
[10] Sebagian ulama (seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaiminrahimahullah) menganjurkan mengqodho’ puasa Syawal di bulan Dzulqo’dah. Al Bahuti, penulis Kasyaful Qona’ (kitab fiqh Hambali) berkata, “Keutamaan puasa enam hari Syawal tidaklah diperoleh jika puasa tersebut dilakukan selain di bulan Syawal. Demikianlah yang dipahami dari tekstual hadits.” (Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’, Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, Mawqi’ Al Islam, 6/132)
[11] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/389,395. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 23429 pada link http://islamqa.com/ar/ref/23429.
terima kasih banyak atas infonya dari saudaraku ini..
BalasHapussemoga semuanya dibalas setimpal oleh Allah SWT.
Amiin..
#Salam Saudara :D