Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Terhadap Masalah Kufur Dan Takfir
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Definisi Kufur
Kufur secara bahasa, berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’, kufur adalah, tidak beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya.[1] Orang yang melakukan kekufuran, tidak beriman kepada Allah dan Rasul- Nya disebut kafir.
Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah Dalam Masalah Kufur Dan Takfir
Masalah takfir (kafir-mengkafirkan) adalah masalah yang sangat berbahaya. Karena itu, para ulama sangat berhati-hati dalam masalah ini, sebagaimana penjelasan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Karena inilah, wajib berhati-hati dalam mengkafirkan kaum Muslimin dengan sebab dosa dan kesalahan (yang dilakukan). Karena hal ini adalah bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam, sehingga pelakunya mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah serta harta mereka”.[2]
Di bawah ini saya akan jelaskan kaidah-kaidah menurut para ulama Ahlus Sunnah tentang masalah kufur dan takfir.
1. Masalah pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Barangsiapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka keislaman itu tidak bisa lenyap darinya, kecuali dengan sebab yang meyakinkan pula.[3]
3. Tidak setiap ucapan dan perbuatan -yang disifatkan nash sebagai kekufuran- merupakan kekafiran yang besar (kufur akbar) yang mengeluarkan seseorang dari agama, karena sesungguhnya kekafiran itu ada dua macam, yaitu: kekafiran kecil (asghar) dan kekafiran besar (akbar). Maka, hukum atas ucapan-ucapan maupun perbuatan-perbuatan ini, sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlus Sunnah dan hukum-hukum yang mereka keluarkan.
4. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang muslim, kecuali telah ada petunjuk yang jelas, terang dan mantap dari al-Qur‘an dan as-Sunnah atas kekufurannya. Maka, dalam permasalahan ini, tidak cukup hanya dengan syubhat dan zhan (persangkaan) saja.
Ahlus Sunnah tidak menghukumi atas pelaku dosa besar tersebut dengan kekafiran. Namun menghukuminya sebagai bentuk kefasikan dan kurangnya iman, apabila bukan dosa syirik dan dia tidak menganggap halal perbuatan dosanya. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” [An-Nisa‘: 48]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam memperingatkan dengan keras tentang tidak bolehnya seseorang menuduh orang lain dengan “kafir” atau “musuh Allah”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
"Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya “wahai kafir”, maka dengan ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya, apabila seperti yang ia katakan; namun apabila tidak, maka akan kembali kepada yang menuduh” [4]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“ ... Dan barangsiapa yang menuduh kafir kepada seseorang atau mengatakan ia musuh Allah, sedangkan orang tersebut tidaklah demikian, maka tuduhan tersebut berbalik kepada dirinya sendiri”.[5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan ataupun kekufuran, karena tuduhannya akan kembali kepada dirinya, jika orang yang dituduh tidak seperti yang ia tuduhkan.[6]
5. Terkadang ada keterangan dalam al-Qur‘an dan as-Sunnah yang mendefinisikan bahwa suatu ucapan, perbuatan atau keyakinan merupakan kekufuran (bisa disebut kufur). Namun, tidak boleh seseorang dihukumi kafir, kecuali telah ditegakkan hujjah atasnya dengan kepastian syarat-syaratnya, yakni mengetahui, dilakukan dengan sengaja dan bebas dari paksaan, serta tidak ada penghalang-penghalang (yang berupa kebalikan dari syarat-syarat tersebut).[7]
Dan yang berhak menentukan seseorang telah kafir atau tidak adalah Ahlul ‘Ilmi yang dalam ilmunya, dan para ulama Rabbani[8] dengan ketentuan-ketentuan syari’at yang sudah disepakati.
6. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang dipaksa (dalam keadaan diancam), selama hatinya tetap dalam keadaan beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar” [An-Nahl:106]
7. Kufrun akbar (kekafiran besar) ada beberapa macam, sebagai berikut.
- Juhud (mengingkari)
- Takdzib (mendustakan)
- Iba‘ (sikap enggan)
- Syakk (keraguan)
- Nifaq (kemunafikan)
- I’radh (sikap berpaling)
- Istihza‘ (memperolok-olok)
- Istihlal (penghalalan)
8. Sebab-sebab yang dapat membawa kepada kekafiran besar ada tiga macam, yaitu: perkataan, perbuatan, dan i’tiqad (keyakinan). Di antara kufur ‘amali (perbuatan) dan qauli (ucapan), ada yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama dengan sendirinya dan tidak mensyaratkan penghalalan hati. Yaitu sesuatu perbuatan atau perkataan yang jelas bertentangan dengan iman dari segala seginya, misalnya menghujat Allah Ta’ala, mencaci-maki Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersujud kepada berhala, membuang mushaf al Qur`an di tempat sampah, dan perbuatan-perbuatan lain yang semakna dengan itu.
Dijatuhkannya hukum kufur ini kepada orang-orang tertentu tidak boleh, melainkan setelah memenuhi syarat-syarat (kufur) yang bisa diterima, sebagaimana perbuatan-perbuatan lain yang menyebabkan kafir pelakunya.
9. Sesungguhnya amalan kekafiran adalah kufur dan bisa menyebabkan pelakunya kafir, sebab keadaannya menunjukkan kepada batinnya yang juga kufur. Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti ucapannya para ahli bid’ah: “Amalan kekafiran tidak kufur, tapi dia menunjukkan kepada kekufuran!” Perbedaan keduanya jelas.
10. Sebagaimana ketaatan merupakan sebagian dari cabang-cabang iman, demikian juga maksiat merupakan sebagian dari cabang kekafiran. Masing-masing sesuai dengan kadarnya.
11. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat (kaum Muslimin), yang dikarenakan dosa-dosa besarnya. Mereka mengkhawatirkan terjadinya nash-nash ancaman kepada pelaku dosa-dosa besar, walaupun mereka tidak kekal di dalam neraka. Bahkan mereka akan bisa keluar dengan syafa’at para pemberi syafa’at, dan karena rahmat Allah Ta’ala disebabkan pada mereka masih ada tauhid. Pengkafiran karena dosa besar adalah madzhab Khawarij yang keji.[9]
Perbedaan Antara Kufur Besar dan Kufur Kecil
1. Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menghapuskan (pahala) amalnya, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, juga tidak menghapuskan (pahala) amalnya, tetapi bisa mengurangi (pahala)nya sesuai dengan kadar kekufurannya, dan pelakunya tetap dihadapkan dengan ancaman.
2. Kufur besar menjadikan pelakunya kekal di dalam neraka, sedangkan kufur kecil, jika pelakunya masuk neraka, maka ia tidak kekal di dalamnya, dan bisa saja Allah Ta’ala memberi ampunan kepada pelakunya sehingga ia tidak masuk neraka sama sekali.
3. Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak demikian.
4. Kufur besar mengharuskan adanya permusuhan yang sesungguhnya, antara pelakunya dengan orang-orang mukmin. Dan orang-orang mukmin tidak boleh mencintai dan setia kepadanya, betapa pun ia adalah keluarga terdekat. Adapun kufur kecil, maka ia tidak melarang secara mutlak adanya kesetiaan, tetapi pelakunya dicintai dan diberi kesetiaan sesuai dengan kadar keimanannya, dan dibenci serta dimusuhi sesuai dengan kadar kemaksiatannya.[10] Wallaahu a’lam.
[Dinukil dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M. Judul Lengkapnya Hakikat Iman, Kufur, Dan Takfir Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah & Menurut Firqah-Firqah Yang Sesat. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[1]. Majmu’ Fatawa’ ‘ (XII/335), dan lihat ‘Aqidatut-Tauhid, Syaikh Shalih al-Fauzan, halaman 81.
[2]. Majmu’ Fatawa’ (XIII/31)
[3]. Majmu’ Fatawa’ (XII/466).
[4]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 60), Abu ‘Awanah (I/23), Ibnu Hibban (no. 250-at-Ta’liqatul-Hisan ‘ala Shahih Ibni Hibban), dan Ahmad (II/44) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma .
[5]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 61), dari Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu
[6]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6045) dan Ahmad (V/181), dari Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu
[7]. Syarat-syarat seseorang bisa dihukumi kafir: (1). mengetahui (dengan jelas), (2). dilakukan dengan sengaja, dan, (3). tidak ada paksaan.
Sedangkan intifa’ul mawani’ (tidak ada penghalang yang menjadikan seseorang dihukumi kafir), yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas. (1). Tidak mengetahui, (2). Tidak disengaja, dan (3). Karena dipaksa. Lihat Mujmal Masa-ilil Iman wal Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushulil-‘Aqidah as-Salafiyyah, Cetakan II Tahun 1424 H, halaman 28-35, dan Majmu’ Fatawa’ (XII/498).
[8]. Rabbani, adalah orang yang bijaksana, ‘alim, dan penyantun, serta banyak ibadah dan ketakwaannya. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/405).
[9]. Lihat bahasan kufur dan takfir dalam Majmu’ al-Fatawa (XII/498) dan Mujmal Masa-ilil-Iman wal-Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushulil-‘Aqidah as-Salafiyyah, oleh Musa Alu Nashr, ‘Ali Hasan al-Halabi al-Atsari, Salim bin ‘Id al-Hilali, Masyhur Hasan Alu Salman, Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah, Basim bin Faishal al-Jawabirah - -, Cetakan II Tahun 1424 H, halaman 28-35. Lihat pula Al-Wajiz fi ‘Aqidatis-Salafish-Shalih, ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsari, dimuraja’ah dan ditaqdim oleh beberapa ulama, Darur-Rayah, Cetakan II Tahun 1422 H, halaman 121-126, dan Fitnatut-Takfiir, oleh Muhadditsul-‘Ashr Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Taqdim : Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dan Ta’liq : Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin , dikumpulkan oleh ‘Ali bin Husain Abu Lauz, Dar Ibnu Khuzaimah, Cetakan II Tahun 1418 H, dan Tabshir bi Qawa’idit-Takfiir, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, Cetakan I Tahun 1423 H.
[10]. ‘Aqidatut Tauhid, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan, halaman 84. Pembahasan tentang pembatal-pembatal Islam dapat dilihat pada buku saya, Prinsip Dasar Islam, Pustaka at-Taqwa, Bogor, Cetakan II.
Memahami Kaidah-Kaidah Pengkafiran
Pada tanggal 23-26 Syawal 1425H bertepatan 6-9 Desember 2004, dilangsungkan kegiatan daurah syar’iyyah para da’i yang diadakan oleh Ma’had ‘Ali Al Irsyad Surabaya bekerja sama dengan Markaz Imam Al Albani Yordania. Kegiatan yang dilaksanakan di Lawang, Malang, Jawa Timur tersebut, mendatangkan para masyayikh (ulama) Yordania, murid-murid terbaik Muhaddits jaman ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Mereka adalah Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali, Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr, Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, dan Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabi -hafizhahumullah.
Alhamdulillah, beberapa penulis dari Majalah As Sunnah dapat mengikuti daurah syar’iyyah tersebut. Diantaranya, yaitu Ustadz Muslim Al Atsari. Dan berikut ini ringkasan materi daurah yang disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi –hafizhahullah- berkaitan dengan masalah kaidah-kaidah pengkafiran. Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi menjelaskannya dengan menyandarkan kepada kitab beliau, berjudul At Tabshir bi Qawa’id At Takfir. Ustadz Muslim Al Atsari meringkasnya untuk pembaca. Semoga bermanfaat dan menambah faidah bagi kita.
_______________________________________________________________________
Pada muqadimah kitab, Syaikh Ali menjelaskan kewajiban para ulama untuk mentahdzir (memperingatkan) dari fitnah takfir (pemikiran menyimpang dalam mengkafirkan umat Islam dengan tanpa haq). Beliau menyatakan: “Sesungguhnya tahdzir (peringatan) yang keras terhadap fitnah takfir yang berlebihan sudah menjadi konsekwensi dan menjadi keharusan yang pasti, tatkala orang yang tidak berkompeten berbicara tentangnya, dan orang yang bukan ahlinya telah memasukinya.” (At Tabshir, hlm. 6). Hal itu, karena dampak takfir tanpa alasan yang benar sangat berbahaya. Syaikh menjelaskan: “Dan tidaklah suatu perkara sedemikian besar –bahaya dan fitnahnya-, kecuali lantaran dampaknya yang nyata dan terlihat begitu dahsyat terhadap individu dan masyarakat, (juga) sangat buruk terhadap umat manusia dan bangsa-bangsa”. [At Tabshir, hlm. 7].
Anehnya, sebagian umat Islam saling berdebat dan sikap antipati, karena berpegang pada kalimat-kalimat yang dijadikan dasar wala’ (kecintaan dan pembelaan) dan bara’ (kebencian dan permusuhan). Tanpa pengkajian intensif dan pemahaman terhadap kandungannya. Sungguh, ini merupakan salah satu penyebab perselisihan.
Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi rahimahullah berkata: “Demikian juga masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para imam dalam perkara ushul (pokok-pokok agama) ataupun furu’ (cabang-cabang agama), jika tidak dikembalikan kepada Allah dan kepada Rasul, niscaya al haq akan menjadi kabur. Bahkan orang-orang yang berselisih berada di dalam ketidakjelasan dalam urusan mereka”. Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah (2/777) dari At Tabshir, hlm. 9-10.
Oleh karena itu, dalam masalah takfir ini, terdapat beberapa kaidah yang harus diperhatikan, agar seseorang selamat dari penyimpangan. Syaikh Ali menjelaskan masalah tersebut dengan point-point sebagai berikut:
1. Kewajiban Menetapkan Istilah-Istilah Secara Akurat Dan Membuat Ungkapan-Ungkapan Dengan Cermat.
Sebagai dasar dari pernyataan ini, Syaikh Ali mengutip penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Ar Risalah At Tadmuriyyah, hlm. 28, yang menyatakan: “Apa yang diperdebatkan oleh orang-orang mutaakhirin –belakangan-, baik dengan penolakan maupun penetapan, seorang pun tidak wajib –bahkan tidak boleh baginya- menyetujui orang lain dalam menetapkan lafazhnya atau menolaknya, sampai dia mengetahui maksudnya:
- Jika orang itu menghendaki kebenaran: maka diterima.
- Jika orang itu menghendaki kebatilan: maka ditolak.
- Jika perkataannya mengandung kebenaran dan kebatilan: tidak diterima secara mutlak, dan (juga) tidak ditolak keseluruhannya. Tetapi lafazh tersebut ditawaqqufkan* dan diperjelas maknanya”. [At-Tabshir, hlm: 12-13] [1]
2. Batasan Iman Menurut Ahli Sunnah.
Berkaitan dengan masalah takfir (mengkafirkan orang tertentu), yang maknanya menghukumi seseorang itu telah keluar dari iman, maka Syaikh Ali Al Halabi menjelaskan batasan iman yang sesuai dengan tinjauan syari’at, sebagai pengantar untuk memahami persoalan takfir. Sehingga pembahasan point ini dengan sebelumnya saling berkaitan. Lihat At Tabshir, hlm. 11.
Dalam menyampaikan batasan iman, Syaikh Ali Al Halabi menukil penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat th. 728 H) dan keterangan dari Syaikh Shalih Al Fauzan, ulama besar Saudi Arabia. Hal ini untuk menunjukan bahwa aqidah Ahli Sunnah dari dahulu sampai sekarang tetap sama. Demikian juga aqidah para ulama Ahli Sunnah di kerajaan Saudi, sama dengan aqidah para ulama Ahli Sunnah di Yordania dan negara-negara lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dengan ringkas aqidah As Salafush Shalih tentang iman, dalam kitab Al Aqidah Al Wasithiyah (hlm. 81-83), dengan pernyataannya: “Di antara prinsip Ahli Sunnah Wal Jama’ah, din (agama) dan iman terdiri dari perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, serta perbuatan hati dan anggota badan. Dan sesungguhnya iman itu bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan. Bersamaan dengan itu, mereka tidak mengkafirkan ahli kiblat (orang Islam yang melakukan shalat, Pen) dengan semata-mata kemaksiatan dan dosa-dosa besar, sebagaimana yang dilakukan oleh Khawarij. Bahkan persaudaraan keimanan tetap utuh meskipun terdapat kemaksiatan-kemaksiatan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءُُ فَاتِّبَاعُ بِالْمَعْرُوفِ
Maka barangsiapa (membunuh orang mukmin) yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya (yakni keluarga korban), hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik (di dalam menuntut diyat). [Al
Baqarah:178].
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا
الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإن فَآءَتْ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ {9} إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ
أَخَوَيْكُمْ
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah;
jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya
orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu. [Al Hujurat : 9-10]Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sama sekali tidak mencabut sebutan iman atas diri orang fasik yang beragama (Islam). Ahlu Sunnah Wal Jama’ah juga tidak menyatakan orang fasik itu kekal di dalam neraka, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Bahkan orang fasik tetap disebut sebagai orang beriman seperti dicontohkan oleh firman Allah Ta’ala:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. [An Nisaa :92]Padahal mugkin ia tidak termasuk sebagai yang imannya sempurna, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ
قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu (yakni dengan iman yang
sempurna) adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati
mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah
iman mereka. [Al Anfal:2]Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ
السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ
يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً –ذَاتَ شَرَفٍ-
يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا
وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Tidaklah seorang pezina berzina, ketika dia sedang berzina, sedangkan dia seorang mukmin (yakni dengan iman yang sempurna). Tidaklah seorang pencuri mencuri, ketika dia sedang mencuri, sedangkan dia seorang mukmin. Tidaklah seseorang minum khomr, ketika dia sedang minum, sedangkan dia seorang mukmin Tidaklah seorang merampas barang rampasan –yang bernilai- sedangkan orang-orang melihat dengan pandangan mereka padanya, ketika dia sedang merampas itu, sedangkan dia seorang mukmin. [2]
Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyatakan, dia (pelaku dosa besar itu) orang beriman yang imannya kurang, atau dia seorang mukmin dengan sebab imannya, (juga) seorang yang fasik disebabkan oleh dosa besarnya. Sehingga dia tidak diberi ismul mutlaq (yakni sebagai orang yang sempurna imannya, Pen), juga tidak dicabut/dihilangkan muthlaqul ismi (yakni bahwa dia seorang mukmin, Pen) dari dirinya. [Dinukil dari At Tabshir, hlm. 15-17].
Syaikh Shalih Al Fauzan -hafizhahullah- berkata dalam Ta’liqat Al Mukhtasharat ‘Ala Matni Al Aqidah Ath Thahawiyah, hlm. 145-147: “Pendapat yang benar, sesungguhnya iman terdiri dari perkataan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Jadi, amal (perbuatan) masuk ke dalam hakikat iman, bukan sekedar bersifat tambahan. Barangsiapa membatasi (iman) hanya pada perkataan dengan lisan dan pembenaran dengan hati, tanpa amal (perbuatan), dia bukanlah termasuk orang yang memiliki iman yang benar… Jadi iman adalah perkataan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Inilah ta’rif (definisi) iman yang benar, yang sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi.
-Tidak seperti pernyataan Al Hanafiyah (orang-orang yang menyatakan sebagai pengikut imam Abu Hanifah): (bahwa iman) hanyalah perkataan dengan lisan dan keyakinan dengan hati saja!
-Dan tidak (juga) seperti pendapat Al Karramiyah (orang-orang yang menyatakan sebagai pengikut Muhammad bin Karram As Sijistani): (bahwa iman) hanyalah perkataan dengan lisan saja!
-Bukan (pula) sebagaimana dikatakan oleh Al Asya’irah (orang-orang yang menyatakan sebagai pengikut Abul Hasan Al Asy’ari): (bahwa iman) hanyalah keyakinan dengan hati saja!
-Dan bukan (pula) pernyataan Al Jahmiyah (orang-orang yang menyatakan sebagai pengikut Jahm bin Shafwan): (bahwa iman) hanyalah ma’rifah (pengetahuan) dengan hati saja!
Dengan penjelasan ini, (firqah) Murjiah (orang-orang yang mengeluarkan amal dari hakikat iman) terbagi empat golongan. Kelompok yang paling jauh (kesesatannya) adalah Jahmiyah. Menurut pendapat mereka, Fir’aun adalah seorang mukmin, karena dia ‘arif (mengenal Allah). Demikian pula iblis beriman, karena dia mengenal (Allah) dengan hatinya.
Bila mengacu kepada pendapat Al Asya’irah, yang menyatakan iman adalah keyakinan dengan hati saja, maka Abu Lahab, Abu Thalib, Abu Jahal, dan seluruh orang-orang musyrik termasuk orang-orang beriman. Karena mereka ini meyakini dan membenarkan dengan hati mereka. Mereka membenarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan hati mereka, akan tetapi kesombongan dan hasad (iri) telah menghalangi mereka untuk mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. [Lihat At Tabshir, hlm. 18-21].
3. Landasan Manhaj Ahlu Sunnah.
Pertama kali beliau menegaskan, bahwa manhaj (jalan yang ditempuh) para ulama Ahli Sunnah tegak di atas ilmu terhadap al haq dan rahmat (kasih-sayang) terhadap makhluk (manusia). Keduanya tidak dapat dipisahkan. Kemudian Syaikh menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam kitab Ar Radd ‘Ala Al Bakri (2/490): “Dan imam-imam Sunnah dan Al Jama’ah, dan para ahli ilmu; mereka itu mempunyai ilmu, keadilan, dan rahmat (kasih-sayang). Mereka mengetahui al haq, yang menjadikan mereka selaras dengan Sunnah dan selamat dari bid’ah. Mereka bersikap adil terhadap orang yang keluar dari Sunnah, walaupun dia menzhalimi mereka. Allah Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ للهِ شُهَدَآءَ
بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ
تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada taqwa. [Al Maidah: 8]Para ulama Ahlu Sunnah menyayangi manusia. Menawarkan kepada mereka kebaikan, petunjuk dan ilmu. Tidak pernah berniat buruk terhadap orang semenjak awal. Jika mereka menghukumi orang, menjelaskan kesalahan, kebodohan dan kezhaliman manusia, (sungguh) niat mereka adalah menjelaskan al haq dan cerminan kasih-sayang kepada makhluk (manusia), ‘amar (memerintah) kepada ma’ruf dan melarang dari kemungkaran. Dan agar agama itu semuanya untuk Allah, dan supaya kalimat Allah menjadi yang paling tinggi. [Lihat At Tabshir, hlm. 25-26].
4. Takfir Adalah Hak Allah dan RasulNya.
Dalam bab ini, Syaikh Ali Al Halabi membawakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam Majmu’ Fatawa (5/545): “(Hak) mewajibkan, mengharamkan, (penuntuan) pahala dan siksa, takfir (pengkafiran), tafsiq (vonis fasik terhadap seseorang) milik Allah dan RasulNya. Tidak ada seorang pun yang berhak dalam masalah ini.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Mukhtashar Ash Shawa’iq Al Mursalah, hlm. 421: “Takfir adalah hukum agama. Orang kafir adalah orang yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya.”
Syaikh Shalih Al Fauzan juga mejelaskan (Majalah Ad Da’wah, 4 Rabiul Akhir 1421H): “Takfir terhadap orang-orang yang murtad bukanlah ketetapan yang dibuat oleh Khawarij ataupun selain mereka. Dan itu bukan bentuk pemikiran, tetapi merupakan hukum agama yang dipakai Allah dan RasulNya untuk menghukumi orang yang berhak menerimanya; yang disebabkan karena melakukan salah satu perkara yang membatalkan Islam, baik berupa perkataan, keyakinan atau perbuatan, sesuai dengan penjelasan para ulama dalam bab: Hukum-Hukum Orang-Orang Murtad. Hukum-hukum di atas berasal dari Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [At Tabshir, hlm. 27-29]
5. Sikap Adil Ahlu Sunnah Dalam Menghadapi Orang-Orang Yang Mengkafirkan Dirinya.
Dalam Ar Radd ‘Ala Al Bakri (2/493), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan keadilan ahlu sunnah terhadap golongan lainnya dengan pernyataan: “…Oleh karena itu, ahli ilmu wa sunnah tidak mengkafirkan orang yang menyelisihinya, walaupun orang yang memusuhi ahli sunnah sudah mengkafirkan mereka. Karena kekafiran merupakan hukum agama. Tidak ada orang yang berhak menghukumi dengan perbuatan yang sejenis. Seperti, misalnya orang yang berdusta kepadamu, berzina dengan keluargamu, engkau tidak boleh berdusta kepadanya dan berzina dengan keluarganya. Karena dusta dan zina (hukumnya) haram, dan (menghukumi hal) itu merupakan kewenangan Allah Ta’ala. Demikian juga takfir, merupakan hak Allah. Sehingga tidak boleh dikafirkan, kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya.” [At Tabshir, hlm. 30].
6. Kaidah Takfir Terhadap Orang Tertentu.
Ini termasuk kaidah terpenting dalam memahami masalah takfir. Bahwa kekafiran pada orang tertentu terjadi dengan terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran dan hilangnya penghalang-penghalang kekafiran pada diri orang tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memaparkan dengan pernyataannya: “Sesungguhnya takfir (pengkafiran) yang umum –seperti halnya ancaman yang umum- wajib dinyatakan dengan kemutlakan dan keumumannya. Adapun hukum terhadap orang tertentu, bahwa dia adalah orang kafir, atau dia pasti masuk neraka, maka ini tergantung pada dalil khusus. Karena suatu hukum (keputusan) itu tergantung pada terpenuhinya syarat-syaratnya dan hilangnya penghalang-penghalangnya. Maka takfir (pengkafiran) terhadap orang tertentu yang berasal dari orang-orang yang tidak berilmu dan orang-orang yang serupa dengan mereka, -yaitu dia dihukumi termasuk orang kafir- tidak boleh diputuskan kecuali setelah hujjah risaliyah (argumen dari rasul) telah tegak padanya, sehingga menjadi jelas bahwa mereka menyelisihi para rasul.
Ketetapan ini berlaku pada takfir terhadap seluruh orang-orang tertentu. Meskipun sebagian bid’ah lebih berat (kesesatannya) dari bid’ah lainnya, dan kadar keimanan sebagian ahli bid’ah tidak sama dengan ahli bid’ah lainnya. Maka, siapapun tetap tidak boleh mengkafirkan orang lain dari kalangan umat Islam -walaupun orang itu keliru dan berbuat salah- sampai ditegakkan hujjah (argumen) dan dijelaskan jalan yang lurus kepadanya.
Barangsiapa imannya nampak dengan keyakinan, tidak akan lenyap darinya dengan sebab keraguan. Bahkan tidak akan hilang, kecuali setelah penegakan hujjah dan penghilangan syubhat (kesamaran).” Lihat Majmu’ Fatawa (12/498).
Karena memang, takfir harus dengan sesuatu yang pasti, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam: “Takfir itu tidak terjadi dengan perkara yang mengandung kemungkinan.” [Lihat Ash Sharimul Maslul (3/963)].
Syaikhul Islam rahimahullah telah menjelaskan syarat-syarat takfir dalam Majmu’ Fatawa (14/118), dan kebalikan syarat-syarat tersebut merupakan penghalang-penghalang kekafiran. Beliau berkata tentang hukum orang yang mengucapkan kekafiran: “Adapun jika dia mengetahui apa yang dia ucapkan: jika dia sukarela, berniat (sengaja) dengan apa yang dia katakan, maka inilah yang perkataannya dianggap…” yakni dianggap sebagai takfir. [Lihat At Tabshir, hlm. 35-37].
Dengan ini menjadi jelas, bahwa syarat-syarat pengkafiran meliputi:
- Ilmu (yaitu bila seseorang mengetahui, bahwa apa yang dilakukannya dapat mengeluarkannya dari Islam).
- Sukarela, (yaitu apa yang dilakukannya tanpa paksaan).
- Sengaja.
- Kebodohan (yaitu seseorang tidak mengetahui, bahwa apa yang dilakukannya dapat megeluarkannya dari Islam).
- Dipaksa.
- Keliru atau tidak sengaja.
7. Masalah “Memberi Toleransi Terhadap Ketidaktahuan”.
Dalam masalah ini, Syaikh Ali Al Halabi menukil perkataan Syaikhul Islam dalam kitab Minhajus Sunnah (5/130): “Tidak ada keraguan bahwa orang yang tidak meyakini kewajiban berhukum dengan syari’at Allah yang diturunkan kepada RasulNya, maka dia kafir. Barangsiapa berpendapat boleh menghukumi manusia dengan keputusan yang dia anggap adil -tanpa mengikuti hukum Allah- maka dia kafir. Karena sesungguhnya, tidak ada satu bangsa pun kecuali mereka memerintahkan berhukum dengan keadilan. Dan terkadang, keadilan dalam agama mereka mengikuti tokoh-tokoh mereka.
Banyak orang yang menisbatkan kepada Islam berhukum dengan adat-istiadat mereka yang tidak berdasarkan hukum Allah Subhanahu wa ta'ala. Misalnya, seperti merujuk tradisi orang-orang Badui (sebagai hukum) dan aturan-aturan pembesar mereka yang ditaati. Mereka memandang, inilah yang mesti dijadikan dasar hukum, bukan Al Kitab dan As Sunnah! Ini merupakan kekafiran. Sesungguhnya orang-orang telah masuk Islam, meskipun demikian mereka tidak menghukumi kecuali dengan adat-adat kebiasaan yang berlaku pada mereka, yang diperintahkan oleh sesepuh mereka.
Jika orang-orang ini telah mengetahui tidak boleh berhukum kecuali dengan aturan yang Allah turunkan, lalu mereka tidak iltizam (berpegang teguh) dengannya, bahkan mereka membolehkan berhukum dengan aturan yang berbeda dengan petunjuk Allah; maka mereka itu menjadi kafir. Jika tidak (paham), mereka berarti orang-orang yang bodoh, -sebagaimana telah dikemukakan di depan.
Dalam Ar Radd ‘Ala Al Bakri (2/492), Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan: “Sesungguhnya takfir terhadap orang tertentu, dan dibolehkan untuk membunuhnya, tergantung pada telah tersampaikan hujjah dari Nabi kepadanya, yang menyebabkan orang menjadi kafir bila menyelisihinya. Jika tidak demikian, maka tidak setiap orang yang tidak memahami sesuatu dari agama menjadi kafir”. [Lihat At Tabshir, hlm. 38-40].
8. Bahaya Takfir Yang Berasal Dari Orang Yang Tidak Berkompeten.
Dalam bab ini, Syaikh Ali Al Halabi membawakan beberapa perkataan ulama. Diantaranya Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata dalam Al Mufhim Fi Syarh Shahih Muslim (3/111): “Masalah takfir (pengkafiran) adalah masalah yaang sangat berbahaya. Banyak orang yang melibatkan dirinya dalam masalah ini, dan (akhirnya) mereka terjatuh. Sementara tokoh-tokoh besar saling menahan diri, sehingga selamat… Kita tidak menyamakan (nilai) keselamatan dengan sesuatupun.”
Syaikh Abdul Aziz bin ‘Abdillah Alu Syaikh (Mufti Kerajaan Saudi sekarang) dalam wawancara dengan koran Asy Syarqul Ausath, 21 April 2001M berkata: “Takfir merupakan perkara yang berbahaya. Semestinya umat Islam tidak memperbincangkannya secara mendalam, dan menyerahkannya kepada ulama yang berilmu tinggi.”
Syaikh Shalih Al Fauzan menyatakan dalam buku Zhahirah At Tabdi’ Wat Tafsiq Wat Takfir Wa Dhawabithuha (hlm. 28) : “Sesungguhnya yang melontarkan (vonis) takfir secara sembarangan hanyalah orang-orang yang bodoh. Mereka mengklaim diri sebagai ulama! Padahal mereka belum pernah mendalami agama Allah Azza wa jalla . Mereka hanyalah membaca buku-buku, mencari-cari kesalahan-kesalahan, memunguti istilah-istilah tafsiq (menyatakan kefasikan seseorang) dan membidikkannya tanpa ilmu kepada orang-orang yang tidak tepat, atau kepada orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Mereka tidak mengetahui cara meletakkan perkara-perkara ini pada tempatnya, lantaran ketidakpahaman terhadap agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Perumpamaan mereka dalam perkara itu bagaikan orang jahil (tidak mengerti) yang mengambil sebuah senjata, tetapi tidak mengetahui cara menggunakannya. Orang seperti ini hampir membunuh dirinya, keluarga dan kerabat-kerabatnya, karena tidak cakap menggunakan alat ini.” [Lihat At Tabshiir, hlm. 42-45].
9. Pelaksanaan Keputusan Takfir Diserahkan Kepada Para Ulama Khusus.
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata dalam Al Muntaqa (1/112): “Takfir adalah perkara yang berbahaya. Setiap orang tidak boleh menyematkannya pada diri orang lain. Ini termasuk wewenang mahkamah-mahkamah syar’iyah dan ulama yang berilmu dalam masalah agama. Yaitu merekalah yang memahami Islam, mengetahui pembatal-pembatalnya, mengetahui situasi dan kondisi, mengkaji realita manusia dan masyarakat. Merekalah orang yang berhak mengeluarkan vonis takfir dan keputusan lainnya. Adapun orang-orang juhhal (tidak paham), orang-orang umum, para pelajar yang tidak sepenuh hati, mereka tidak berhak melontarkan takfir terhadap orang-orang tertentu, atau kelompok-kelompok, atau negara. Karena mereka bukan ahli dalam hukum ini.” [Lihat At Tabshir, hlm. 47-48].
Selain ini, pada point yang ke 8 di atas, nampak jelas pernyataan para ulama tentang masalah takfir ini.
Inilah inti terpenting dari ceramah Syaikh Ali Al Halabi –hafizhahullah- tentang masalah takfir ini. Adapun pembahasan selanjutnya yang terdapat di kitab beliau At Tabshir, sebagai pelengkap dari kaidah-kaidah yang telah disebutkan secara ringkas di atas. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Kemudian kebenarannya diterima, dan kebatilannya di tolak, Pen.
[2]. HR Bukhari, no. 6772; Muslim, no. 100, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
Kaidah Mengkafirkan Orang Tertentu [1]
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “… Padahal aku senantiasa -dan orang yang selalu mendampingiku selalu mengetahuinya- termasuk orang yang sangat melarang untuk menisbatkan orang tertentu dengan kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Kecuali jika orang itu telah nyata baginya kebenaran ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang barangsiapa menyalahinya, kadangkala bisa menjadi kafir, fasik, atau pelaku maksiat. Dan aku menjelaskan bahwa Allah Ta’ala mengampuni kesalahan (yang tidak disengaja) bagi umat ini. Pengampunan tersebut meliputi kesalahan dalam masalah khabariyyah qauliyyah (keyakinan) dan masalah-masalah ‘amaliyyah. Para ulama Salaf masih banyak berbeda dalam masalah ini, tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan kafir, fasik, atau pelaku maksiat terhadap seseorang.”[2]
Beliau rahimahullah berkata, adapun mengkafirkan orang tertentu yang telah diketahui keimanannya -dengan adanya kerancuan dalam imannya itu-, maka ini adalah perkara yang besar. Telah tetap di dalam ash-Shahih (Shahih al-Bukhari), dari Tsabit bin adh-Dhahhak, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
“… Dan melaknat seorang Mukmin seperti membunuhnya. Siapa saja yang menuduh seorang Mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya”.[3]
Dan telah tetap di dalam kitab ash-Shahih, bahwa barangsiapa yang berkata kepada saudaranya “hai kafir”, maka ucapan itu akan mengenai salah seorang dari keduanya.[4]
Apabila mengkafirkan orang tertentu –dengan maksud mencelanya saja- seperti membunuhnya, lantas bagaimana keadaanya, apabila pengkafirannya itu didasari dari keyakinannya? Tentunya itu lebih dahsyat daripada membunuhnya. Karena, setiap orang yang kafir boleh untuk dibunuh, namun tidak semua orang yang boleh dibunuh berarti dia orang kafir. Terkadang orang yang mengajak kepada bid’ah (ahlul bid’ah) dibunuh dengan sebab usahanya dalam menyesatkan dan merusak manusia, padahal mungkin saja Allah Ta’ala akan mengampuninya di akhirat karena keimanan yang ada padanya.
Karena, terdapat nash-nash yang mutawatir yang menjelaskan bahwa, akan keluar dari neraka orang yang terdapat keimanan seberat biji dzarrah di dalam hatinya.[5]
Sesungguhnya syari’at Islam dibangun di atas pokok yang agung, yang tegak dengan pokoknya sendiri, yaitu apa yang dijelaskan oleh Syaikhul- Islam Ibnu Taimiyyah, beliau berkata: “Sesungguhnya pengkafiran yang umum –seperti ancaman yang umum- wajib mengatakan dengan kemutlakan dan keumumannya. Adapun hukum terhadap orang tertentu bahwa ia kafir, atau dipersaksikan dengan masuk neraka, maka ia harus didasari pada dalil orang tertentu, karena hukum ini tegak dengan adanya syarat-syarat dan tidak adanya penghalang”.[6] (Selesai dari kitab at-Tabshir, hlm. 35).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata tentang hukum mengkafirkan dan memfasikkan, “Hukum kafir dan fasik bukanlah hak kita. Itu kita kembalikan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Hukum ini termasuk hukum-hukum syari’ah yang dasar rujukannya al Qur`an dan as-Sunnah. Untuk itu dalam masalah ini wajib bersikap sangat hati-hati. Tidak boleh dihukumi kafir atau fasik, kecuali orang yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunnah atas kekafiran atau kefasikannya.
Pada prinsipnya, seorang Muslim yang menunjukkan kelakuan baiknya adalah tetap Muslim dan dapat diterima kesaksiaannya, hingga hal tersebut benar-benar tidak ada lagi berdasarkan dalil syar’i. Kita tidak boleh gegabah dalam menghukumi kafir atau fasik, karena tindakan ini dapat mengakibatkan dua resiko berat yang wajib dihindari. Pertama. Melakukan pendustaan terhadap Allah Ta’ala dalam hukum dan terhadap orang yang dihukumi dalam tuduhan yang dilontarkan kepadanya. Kedua. Terjerumus sendiri dalam tuduhan yang dilontarkan kepada saudaranya yang muslim tersebut, bilamana diri orang yang dituduh itu bersih (dari tuduhan).
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bila seseorang mengkafirkan saudaranya (yang Muslim), maka pasti seseorang dari keduanya mendapatkan kekafiran itu.[7] Dalam riwayat lain: Jika seperti apa yang dikatakan. Namun jika tidak, kekafiran itu kembali kepada dirinya sendiri”.[8]
Diriwayatkan pula dalam Shahih Muslim dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa memanggil seseorang dengan kafir atau mengatakan kepadanya “hai musuh Allah”, padahal tidak demikian halnya, melainkan panggilan atau perkataannya itu akan kembali kepada dirinya”.[9]
Berdasarkan ini, sebelum menghukumi seorang Muslim dengan kafir atau fasik harus diperhatikan dua perkara.
- Dilalah (penunjuk) Kitab dan Sunnah, bahwa perkataan atau perbuatan itu mengakibatkan menjadi kufur atau fasik.
- Inthibaq (ketepatan/kesesuaian) hukum yang diberikan ini terhadap si pelaku. Yaitu, apabila telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak adanya suatu halangan apa pun.
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa‘:115]
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [At-Taubah :115]
Oleh karena itu, para ulama mengatakan, tidak dihukumi kafir orang yang mengingkari faraidh (kewajiban-kewajiban) manakala ia baru masuk Islam, sebelum diberikan penjelasan kepadanya. Dan termasuk penghalangnya ialah, bahwa apa yang mengakibatkannya kafir atau fasik terjadi tanpa keinginannya atau di luar kesadarannya. Di antaranya:
a). Adanya unsur paksaan. Si pelaku melakukannya karena dipaksa, bukan karena suka untuk berbuat itu. Maka ketika itu dia tidak kafir, berdasarkan firman Allah Ta’ala.
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang dilapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar” [An-Nahl : 106]
b). Tertutup pikirannya sehingga tidak lagi menyadari apa yang dikatakan, disebabkan terlalu senang, sangat sedih, panik, takut dan lainnya. Dasarnya hadits yang diriwayatkan dalam shahih Muslim, dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala lebih senang terhadap taubat hamba-Nya daripada senangnya seseorang karena menemukan kembali binatang tunggangannya. Orang itu bepergian dengan menaiki binatang tunggangannya, tetapi kemudian hilang terlepas di tengah padang pasir, padahal makanan dan minumannya ada pada binatang tunggangannya. Karena merasa putus asa, ia berteduh dan beristirahat di bawah sebuah pohon. Dia telah putus asa untuk mendapatkan binatang tunggangannya. Tatkala dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba binatangnya berdiri di hadapannya, maka ia segera memegang tali pelananya, kemudian karena amat senanganya ia mengatakan, ‘Ya Allah, Engkau hambaku dan aku adalah Rabb-Mu’, dia salah berkata karena sangat senang” [10]
Syaikhul Islam Ibnu Tanimiyah rahimahullah menjelaskan, “Adapun takfir (pengkafiran), maka yang benar ialah, bahwa barangsiapa dari ummat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berijtihad dan bertujuan mencari al-haq kemudian salah, maka tidak dikafirkan. Sedangkan siapa yang mengetahui secara jelas apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menentangnya setelah nyata kebenaran baginya dan mengikuti selain jalan kaum mukminin, maka ia adalah kafir. Dan barangsiapa mengikuti hawa nafsunya, tidak bersungguh-sungguh mencari al-haq, dan berbicara tanpa dasar ilmu, maka ia telah berbuat maksiat dan dosa. Selanjutnya ia bisa menjadi fasik, dan bisa juga ia mempunyai kebaikan-kebaikan yang dapat mengalahkan keburukannya” [11]
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Padahal aku senantiasa –dan orang yang selalu mengdapingiku selalu mengetahuinya- termasuk orang yang sangat melarang untuk menisbatkan orang tertentu dengan kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan ; kecuali jika orang itu bahwa telah nyata baginya kebenara ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang barangsiapa yang menyalahinya kadangkala bisa menjadi kafir, fasik, atau pelaku maksiat. Dan aku menjelaskan bahwa Allah Ta’ala mengampuni kesalahan (yang tidak disengaja) bagi ummat ini. Pengampunan tersebut meliputi kesalahan dalam masalah khabariyyah qauliyyah dan masalah-masalah amaliyyah. Para salaf masih banyak berbeda dalam masalah ini, tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang menyatakan kafir, fasik, atau pelaku maksiat terhadap seseorang” [12]
Setelah menunjuk beberapa contoh, selanjutnya beliau rahimahullah mengatakan : “Dan pernah aku terangkan bahwa, apa yang diberitakan dari para salaf dan imam-imam, yaitu pernyataan secara umum bahwa kafirlah orang yang mengatakan ini atau… ; itu benar.
Namun harus dibedakan antara pernyataan yang bersifat umum dan pernyataan yang sifatnya tertentu”.
Beliau menjelaskan lebih lanjut, “Dan takfir termasuk al-wa’id (ancaman). Karena, meskipun ucapan tersebut pendustaan terhadap apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi orang itu mungkin saja baru masuk Islam atau dibesarkan di perkampung terpencil. Seperti ini tidak kafir hanya disebabkan mengingkari sesuatu yang diingkarinya sebelum jelas baginya hujjah. Dan mungkin pula, orang ini belum mendengar nash-nash itu, atau ia telah mendengarnya namun menurut dia belum kuat, atau menurut dia ada suatu penghalang yang menghalanginya, kemudian mesti ditakwil, sekalipun sebenarnya ia salah
Aku pun selalu menyebutkan hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim tentang orang yang berkata.
“Apabila aku mati, maka bakarlah aku dan perabukan, kemudian kuburkan aku di lautan. Demi Allah, jika Allah berkuasa membangkitkan diriku, niscaya Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak Dia kenakan kepada seorangpun dari makhluk-Nya”, maka mereka pun melakukan pesannya itu. (Pada hari Kiamat) Allah Ta’ala berfirman kepadanya : “Apa yang mendorongmu berbuat demikian?” Dia menjawab, “Yakni rasa takutku kepada-Mu”, akhirnya Allah mengampuninya”. [13]
Dia ini adalah orang yang masih ragu terhadap kekuasaan Allah Ta’ala dan kemampuan-Nya untuk mengembalikan dirinya (yang sudah menjadi abu) bila telah ditaburkan. Dia mempunyai suatu keyakinan bahwa ia tidak akan dikembalikan. Ini adalah kufur menurut kesepakatan kaum Muslimin. Akan tetapi, orang tersebut bodoh, tidak tahu hal itu, padahal ia seorang mukmin yang takut akan siksaan Allah. Disebabkan iman dan rasa takutnya itu, Allah Ta’ala pun mengampuninya.
Sedangkan pentakwil dari kalangan ahli ijtihad yang bersungguh-sungguh mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih patut mendapat ampunan daripada orang seperti ini.
Dengan penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini, jelaslah adanya perbedaan antara perkataan dan orang yang mengatakannya, antara pebuatan dan sipelakunya. Maka tidak semua perkataan atau perbuatan yang menjadikan kafir atau fasik, orang yang mengatakannya atau si pelakunya dihukumi demikian pula.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dasar masalah ini ialah bahwa perkataan yang merupakan kufur kepada Kitab, Sunnah, dan ijma’ disebut sebagai kufur dari segi perkataannya, dikatakan sebagaimana yang ditunjuk oleh dalil-dalil syari’at. Karena, iman termasuk hukum-hukum yang diambil dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, bukan termasuk hukum manusia atas dasar dugaan dan hawa nafsu mereka. Setiap orang yang mengatakan perkataan kufur tidak mesti dikatakan kafir hingga terpenuhi pada dirinya syarat-syarat takfir dan tidak ada halangan-halangannya.
Contoh.
Orang yang berkata bahwa khamr atau riba adalah halal, disebabkan baru masuk Islam atau dibesarkan di perkampungan terpencil atau mendengar perkataan tersebut berasal dari Al-Qur’an atau dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti halnya ada di antara para Salaf yang mengingkari suatu perkara sampai nyata benar bagi dirinya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensabdakannya… Mereka itu tidak dihukumi kafir hingga jelas bagi mereka hujjah yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah Ta’ala.
“Agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu” [An-Nisa : 165]
Dan Allah telah mengampuni untuk ummat ini kesalahan dan kehilafan (lupa)” [14]
Dengan demikian jelaslah bahwa, suatu perkataan fasik atau kafir tidak mesti pelakunya menjadi fasik atau kafir karenanya. Sebab tidak terpenuhi syarat-syarat takfir atau tafsik, atau ada suatu penghalang syar’i yang menghalanginya. Adapun orang yang telah jelas al-haq baginya, tetapi masih saja menentangnya karena mengikuti keyakinan yang dianutnya atau panutan yang diagungkannya, atau karena kepentingan duniawi yang lebih diutamakannya, maka ia berhak mendapatkan akibat penentangannya itu, yaitu kekafiran atu kefasikan.
Oleh karena itu, seorang mukmin wajib menjadikan aqidah dan amal perbuatannya tegak di atas Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, menjadikan keduanya sebagai panutannya, berpelita dengan cahaya kebenarannya, dan berjalan di atas manhaj keduanya. Inilah jalan yang lurus yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya.
“Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia ; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kami bertakwa” [Al-An’am : 153]
Hendakalah ia menjauhi apa yang dilakukan sebagian orang, yakni mendasarkan aqidah dan amalnya atas suatu madzhab tertentu. Maka bila medapati nash-nash Kitab dan Sunnah tidak sesuai dengan madzhabnya, dia berusaha memalingkan nash-nash ini agar sesuai dengan madzhabnya itu dengan memberikan pentakwilan yang dibuat-buat. Akibatnya, Kitab dan Sunnah dibuat menjadi penganutnya, bukan menjadi panutannya. Sedangkan selain Kitab dan Sunnah dijadikan panutan, bukan yang menganut. Ini adalah salah satu cara orang-orang yang mendahulukan hawa nafsu, bukan orang-orang yang mengikuti tuntuntan kebenaran. Allah Ta’ala mencela cara seperti ini dalam firman-Nya.
“Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti hancurlah langit dan bumi ini serta semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan peringatan (Al-Qur’an) kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu” [Al-Mu’minun : 71]
Orang yang mengadakan studi tentang madzhab-madzhab dalam masalah ini, akan mendapati sesuatu yang sangat menakjubkan dan akan tahu, betapa perlunya ia mendekatkan diri kepada Rabb untuk memohon hidayah dan ketetapan hati, tegak di atas kebenaran, dan berlindung kepada-Nya dari penyimpangan dan kesesatan.
Barangsiapa yang memohon kepada Allah dengan tulus dan meminta kepada-Nya dengan meyakini kemahacukupan Rabb-nya dan kebutuhan ia kepada Rabb-nya, maka ia patut untuk dikabulkan oleh Allah Ta’ala permintaannya. Allah Ta’ala berfirman.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran” [Al-Baqarah : 186]
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk orang yang melihat kebenaran sebagai suatu kebenaran dan mengikutinya, serta melihat kebathilan sebagai suatu kebathilan dan menjauhinya, orang baik-baik yang melakukan perbaikan, dan tidak menyesatkan hati kita setelah ditunjuki-Nya dan memberi kita rahmat. Sesunggunya Dia Maha pemberi.
Segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam, dengan nikmat-Nyalah setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi pembawa rahmat, penunjuk ummat ke jalan Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Terpuji, dengan izin Rabb-nya, dan semoga tercurah pula kepada keluarga beliau, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan sampai hari pembalasan. [15]
[Dinukil dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M. Judul Lengkapnya Hakikat Iman, Kufur, Dan Takfir Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah & Menurut Firqah-Firqah Yang Sesat. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[1]. Dinukil dengan ringkas dari at-Tabsghir bi Qawa’idit-Tafsir, Syaikh Ali Hasan Ali ‘Abdul Hamid, halaman 31-35.
[2]. Majmu Fatawa’ (III/229).
[3]. HR al-Bukhari (no. 6105) dan Muslim (no. 110 (146).
[4]. Lihat Shahih al-Bukhari (no. 6104) dan Shahih Muslim (no. 60), dari Sahabat Ibnu ‘Umar.
[5]. Al-Istiqamah (I/165-166).
[6]. Majmu Fatawa’ (XII/498).
[7]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6104), Muslim (no. 60 (110)), dan at-Tirmidzi (no. 2637).
[8]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim no. 60.
[9]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3508) dan Muslim (no. 61(112)).
[10]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 2747 (7))
[11]. Majmu Fatawa’ (XII/180)
[12]. Majmu Fatawa’ (III/229)
[13]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 7506) dan Muslim (no 2756 (24)), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[14]. Majmu Fatawa’ (XXXV/165)
[15]. Al-Qawa-idul-Mutsla fi Shifatillahi wa Asma-ihil-Husna, Ta’liq : Abu Muhammad Asyraf bin ‘Abdil Maqshud, Maktabah Adhwa-us-dalaf, Cetakan Tahun 1416H, halaman 148-154
Sumber: http://almanhaj.or.id/
0 komentar:
Posting Komentar