Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais
Muqaddimah
Segala puji bagi Allah. Kepada-Nya kita
memuji, meminta pertolongan, petunjuk, dan ampunan. Kita berlindung kepada-Nya
dari kejahatan jiwa kita dan keburukan perbuatan kita. Siapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang
disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk
kepadanya.
Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Allah, Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan
saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Allah
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah, dan jangan sekali-kali mati kecuali sebagai muslim.”
(Ali Imran : 102)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ
بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada
Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Dia
menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan keluarga. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu” (An-Nisa’: 1)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا
عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, maka Allah memperbaiki
bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa
menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan memperoleh keberuntungan yang
agung.” (Al-Ahzab: 70-71)
Saya telah melakukan penelitian yang cukup
luas untuk meraih gelar Doktor tentang aqidah Imam Abu Hanifah. Dalam bagian
pendahuluan dari penelitian itu tercakup ringkasan tentang aqidah tiga imam yang
lain, yaitu Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Sejumlah orang yang mulia telah meminta saya
untuk membuat bahasan tersendiri tentang aqidah imam tiga, sebagai pelengkap
dalam menyajikan bahasan aqidah empat imam.
Karenanya ringkasan tentang aqidah Imam Abu
Hanifah dalam masalah tauhid, qadar, iman, sahabat, dan sikap beliau tentang
ilmu kalam, saya gabungkan dalam pendahuluan penelitian saya tersebut.
Kepada Allah saya bermohon agar pekerjaan ini
benar-benar ikhlas untuk memperoleh ridha-Nya, dan semoga Allah menganugrahkan
taufiq kepada kita semua, sehingga kita dapat memperoleh bimbingan sesuai dengan
kitab-Nya, dan berjalan sesuai dengan sunnah Rasul-Nya. Karena Allah jualah yang
mengetahui niat seseorang. Dia jualah yang mencukupkan kita, dan Dia sebaik-baik
Dzat tempat kita berserah diri.
Dan akhir do’a kita adalah alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
Kesamaan Aqidah Imam Empat
Aqidah Imam Empat, Abu Hanifah, Malik,
Syafi’i, dan Ahmad. Adalah
yang dituturkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para
sahabat dan tabi’in. Tidak
ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat
untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk
dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.
Mereka juga mengingkari para ahli kalam,
seperti kelompok Jahmiyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani
dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah menuturkan, “… Namun
rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para imam yang menjadi panutan
umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka mengingkari para ahli
kalam seperti kelompok Jahmiyah dalam masalah al-Qur’an, dan tentang beriman kepada
sifat-sifat Allah.
Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama
salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di Akhirat,
al-Qur’an adalah kalam Allah
bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan
lisan.1
Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan, para imam
yang masyhur itu juga menetapkan tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka
mengatakan bahwa al-Qur’an
itu kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dapat dilihat di Akhirat.
Inilah madzhab para Sahabat dan Tabi’in, baik yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain. Dan ini juga
madzhab para imam yang banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam
ats-Tsauri, Imam al-Laits bin Sa’ad, Imam al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad.2
Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang
aqidah Imam Syafi’i. Jawab
beliau, “Aqidah Imam Syafi’i
dan aqidah para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam ats-Tsauri, Imam
al-Auza’i, Imam Ibnu
al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah seperti
aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam al-Fudhail bin
‘Iyadh, Imam Abu Sulaiman
ad-Darani, Sahl bin Abdullah at-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tidak berbeda
pendapat dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, Aqidah
tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar, dan sebagainya adalah sama dengan
aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan
aqidah para sahabat dan Tabi’in, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.3
Aqidah inilah yang dipilih oleh
al-‘Allamah Shidiq Hasan
Khan, di mana beliau berkata: “Madzhab kami adalah madzhab ulama salaf, yaitu
menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk
dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, tanpa ta’thil (meniadakannya makna dari ayat-ayat
yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah). Madzhab tersebut adalah madzhab
imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam ats-Tsauri, Imam Ibnu
al-Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat dalam
masalah ushuluddin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidahnya dengan
para imam di atas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang dituturkan oleh
al-Qur’an dan
as-Sunnah.” 4
1 Kitab al-Iman, hal. 350-351, Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyah, Ta’liq Muhammad al-Harras
2 Manhaj as-Sunnah, II/106
3 Majmu’
al-Fatawa, V/256
4 Qathf ats-Tsamar, hal.47-48
Aqidah Imam Abu Hanifah
Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Tauhid
Pertama :
Aqidah beliau tentang tauhid (pengesaan Allah)
dan tentang tawassul syar’i
serta kebatilan tawassul bid’i.
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Tidak pantas bagi seseorang untuk berdo’a kepada Allah kecuali dengan
asma’ Allah. Adapun
do’a yang diizinkan dan
diperintahkan adalah keterangan yang terambil dari firman Allah :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ
بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
“Bagi Allah ada nama-nama yang bagus
(al-asma’ul-husna), maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang yang ilhad (tidak percaya) kepada asma Allah. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (al-A’raf:180)1
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Makruh hukumnya seseorang berdo’a dengan mengatakan; saya mohon kepadamu
berdasarkan hak si fulan, atau berdasarkan hak para Nabi-Mu, atau berdasarkan
hak al-Bait al-Haram dan al-Masy’ar al-Haram.2
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Tidak pantas seseorang berdo’a kepada Allah kecuali dengan menyebut
asma’ Allah. Dan saya tidak
suka bila ada orang berdo’a
seraya menyebutkan ‘dengan
sifat-sifat kemuliaan pada ‘arsy-Mu’3 ,
atau dengan menyebutkan ‘dengan hak makhluq-Mu’.4
Kedua :
Pendapat Imam Abu Hanifah رحمه الله tantang penetapan sifat-sifat
Allah dan bantahan terhadap golongan Jahmiyah.
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Allah tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk. Murka
dan ridha Allah adalah dua dari sifat-sifat Allah yang tidak dapat diketahui
keadaannya. Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Allah murka dan ridha. Namun tidak
dapat dikatakan, bahwa murka Allah itu adalah siksa-Nya dan ridha-Nya itu
pahala-Nya.
Kita menyifati Allah sebagaimana Allah
menyifati diri-Nya sendiri. Allah adalah Esa, Dzat yang padanya-Nya para hamba
memohon, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tidak ada satu pun yang
menyamai-Nya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat, dan mengetahui.” Tangan Allah
di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul. Tangan
Allah tidak seperti tangan makhluk-Nya. Wajah Allah tidak seperti wajah-wajah
makhluknya.”5
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah, dan diri seperti
disebutkan sendiri oleh Allah dalam Al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah
tentang wajah, tangan, dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang
tidak boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan
Allah itu artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti
meniadakan sifat-sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar
dan golongan Mu’tazilah.”6
- Imam Abu Hanifah رحمه الله juga berkata: “Tidaklah pantas bagi seseorang untuk bebicara
tentang Dzat Allah. Tetapi, hendaknya ia menyifati Allah dengan sifat-sifat yang
disebutkan oleh Allah sendiri. Ia tidak boleh berbicara tentang Allah dengan
pendapatnya sendiri. Maha Suci Allah Rabbul ‘Alamin.7
- Ketika ditanya tentang turunnya Allah, Imam Abu Hanifah
رحمه الله menjawab,“Allah
itu turun tanpa cara-cara seperti halnya turunnya makhluk.”8
- Beliau juga berkata: “Dalam berdo’a kepada Allah, kita memanjatkan
do’a ke atas, bukan ke
bawah, karena bawah tidak mengandung sifat Rububiyyah dan Uluhiyah
sedikitpun.9
- Beliau juga berkata: “Allah itu murka dan ridha. Namun tidak dapat
disebutkan bahwa murka Allah itu siksa-Nya, dan ridha Allah itu
pahala-Nya.”10
- Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan
makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki
nama-nama dan sifat-sifat-Nya.11
- Beliau juga berkata: “Sifat-sifat Allah itu berbeda dengan
sifat-sifat makhluk. Allah itu, mengetahui tetapi tidak seperti mengetahuinya
makhluk. Allah itu mampu (berkuasa) tetapi tidak seperti mampunya (berkuasanya)
makhluk. Allah itu melihat, tetapi tidak seperti melihatnya makhluk. Allah itu
mendengar tetapi tidak seperti mendengarnya makhluk. Dan Allah itu berbicara
tetapi tidak seperti berbicaranya makhluk.”12
- Beliau juga berkata: “Allah memiliki sifat-sifat dzatiyah dan fi’liyah. Sifat-sifat dzatiyah Allah adalah hayah (hidup), qudrah (mampu), ‘ilm
(mengetahui) sama’ (mendengar), basher (melihat), dan iradah (kehendak). Sedangkan sifat-sifat
fi’liyah Allah adalah menciptakan, memberi
rizki, membuat, dan lain-lain yang berkaitan dengan sifat-sifat perbuatan. Allah
tetap dan selalu memiliki asma’-asma, dan sifat-sifat-Nya.”15
- Beliau juga berkata: “Allah tetap melakukan (berbuat) sesuatu. Dan
melakukan (berbuat) itu merupakan sifat azali. Yang melakukan (berbuat) adalah
Allah yang dilakukan (obyeknya) adalah makhluk dan perbuatan Allah bukanlah
makhluk.”16
- Beliau juga berkata: “Siapa yang berkata, ‘Saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di
langit atau di bumi’, maka
orang tersebut telah menjadi kafir. Demikian pula orang yang berkata: “Tuhanku
itu di atas ‘Arsy. Tetapi
saya tidak tahu ‘arsy itu di
langit atau di bumi.”17
- Ketika ada seorang wanita bertanya kepada beliau: “Di mana Tuhan
Anda yang Anda sembah itu?”. Beliau menjawab: “Allah سبحانه و تعالي ada di langit, tidak di
bumi.” Kemudian ada seseorang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman
وَهُوَ مَعَكُمْ (Allah itu
bersama kamu)?”18 Beliau menjawab: “Ungkapan
itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”,
padahal kamu jauh darinya.”19
- Beliau juga berkata: “Demikian pula tentang tangan Allah di atas
tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul, tangan Allah itu
tidak sama dengan tangan makhluk.”20
- Beliau juga berkata: “Allah سبحانه و
تعالي ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada
orang yang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman, “Allah itu
bersamamu.”21 Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada
seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.”22
- Beliau juga berkata: “Bahwa Allah itu mempunyai sifat kalam (berfirman) sebelum Allah berfirman
kepada Nabi Musa ‘alaihis
salam.”23
-Kata beliau: “Nabi Musa ‘alaihis salam mendengar kalam Allah, sebagaimana ditegaskan sendiri
oleh Allah26: “ وكلم الله موسى تكليما ” (Dan Allah telah berfirman langsung kepada Nabi Musa). Allah
telah berfirman dan tetap akan berfirman, Allah tidak hanya berfirman kepada
Nabi Musa saja.”27
- Beliau berkata: “al-Qur’an itu kalam Allah, tertulis dalam mushhaf dan tersimpan (terjaga)
di dalam hati, terbaca oleh lisan, dan diturunkan kepada Nabi
Muhammad.”28
1 ad-Durr al-Mukhtar ma’a Hasyiyat Radd al-Mukhtar, VI/ 396-397
2 Syarh al-Aqidah ath-Thawiyah, hal. 234, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin,
II/ 285, Syarah al-Fiqh al-Akbar, hal.108
3 Imam
Abu Hanifah رحمه الله dan
Imam Muhammad bin Hasan tidak suka apabila seseorang berdo’a dengan menyebutkan, “Wahai Allah, saya
mohon kepada-Mu dengan tempat kemuliaan dari ‘arsy-Mu.” Karena do’a seperti ini tidak ada petunjuk
tekstual (nash) yang membolehkan.
Sementara Imam Abu Yusuf membolehkan
do’a seperti itu, karena
menurut beliau ada nash dari hadits untuk hal itu, yaitu sebuah hadits di mana
Nabi berdo’a, “Wahai Allah,
saya mohon kepada-Mu dengan tempat-tempat kemuliaan di ‘arsy-Mu dan puncak rahmat dari
kitab-Mu.”
Hadits ini ditulis Imam al-Baihaqi dalam
kitabnya, ad-Da’-wat
al-Kabirah, ditulis dalam kitab al-Binayah, IX/ 382, dan kitab Nasb ar-Rayah,
IV/ 272. Di sanadnya terdapat 3 hal yang dapat menyacatkan hadits :
- Daud bin Abu ‘Ashim tidak pernah mendengar hadits dari Ibnu Mas’ud.
- Abdul Malik bin Juraij adalah seorang mudallis (menyembunyikan kecacatan hadits) dan mursil (menyebutkan hadits dengan sanad tidak bersambung).
- Umar bin Harun dituduh sebagai pendusta. Oleh karena itu, Ibnu al-Jauzi berkata sebagaimana terdapat dalam kitab, al-Binayah, IX/ 382, bahwa hadits ini adalah palsu tanpa diragukan lagi dan sanadnya sangat parah seperti anda lihat. Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, III/198, VI/405, VII/501 Tarqib at-Tadhzib, I/520
4 at-Tawassul wa al-Wasilah hal, 82. Lihat juga, Syarh al-Fiqh
al-Akbar, hal. 198
5 al-Fiqh al-Absath, hal. 56
6 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
7 Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, II/ 427, Editor Dr. At-Turki, Jala
‘al-‘Ainain, hal. 368
8 Aqidah as-Salaf Ashhab al-Hadits, hal. 42, Dar as-Salafiyah.
Al-Baihaqi, al-Asma’ wa
as-Sifat, hal. 456, Syarh al-Aqidah ath Thahawiyah,hal. 245. Takhrij al-Albani.
al-Qari, Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 60
9 al-Fiqh al-Absath, hal. 51
10 Ibid, hal. 56
11 al-Fiqh al-Akbar, hal. 301
12 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
13 al-Fiqh al- Absath, hal. 56
14 al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan komentar al-Albani, hal.
25
15 al-Fiqh al-Akbar, hal. 301
16 Ibid
17 al-Fiqh al-Absath, hal.46. Pernyataan seperti ini juga dinukil dari
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, V/ 48. Ibnu al-Qayyim dalam Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah, hal. 139.
Adz-Dzahabi dalam al-‘Uluw,
hal. 101-102. Ibnu Qadamah dalam al-‘Uluw, hal, 116. Dan Ibnu Abi al-‘Izz dalam Syarh al-Aqidah
ath-Thahawiyah. Hal. 301
18 Surah al-Hadid, ayat 4
19 al-Asma wa ash Shifat, hal. 429
20 al-Fiqh al-Absath, hal. 56
21 Surah al-Hadid, ayat 4
22 al-Asma’ ash
shifat, II/ 170
23 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
24 Ibid, hal. 301
25 Ibid, hal. 302
26 Surah an-Nisa’
, ayat 164
27 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
28 Ibid, hal. 301
29 Ibid
Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang
Qadar
- Seorang datang kepada Imam Abu Hanifah رحمه الله dan mendebat beliau tentang
masalah qadar. Kata beliau: “Tahukan Anda, bahwa orang yang melihat masalah
matahari dengan matanya, semakin lama ia melihat, ia makin bingung.”1
- Beliau berkata: “Allah telah mengetahui segala sesuatu sejak masa
azali, sebelum segala sesuatu itu terwujud.”2
- Beliau juga berkata: “Allah juga mengetahui sesuatu yang tidak ada
ketika hal itu tidak ada, dan juga Allah mengetahui bagaimana hal itu akan ada
apabila Allah mewujudkannya. Allah juga mengetahui sesuatu yang ada ketika hal
itu ada, dan Allah juga mengetahui bagaimana kehancuran sesuatu
itu.”3
- Beliau juga berkata: “Kita menetapkan, bahwa Allah telah
memerintahkan kepada al-Qalam dan ia berkata, “Apa yang akan saya tulis wahai
Tuhanku?” Allah menjawab: “Tulislah apa yang ada dan terjadi sampai Hari
Kiamat.” Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ .
وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ
“Segala sesuatu yang mereka lakukan tertulis
di dalam al-Kitab. Dan segala yang kecil dan besar tertulis.” (al-Qamar: 52-53)5
- Beliau juga berkata: “Di dunia ini dan akhirat tidaklah ada dan
terjadi sesuatu kecuali berdasarkan kehendak Allah.”6
- Kata beliau lagi: “Allah menciptakan segala sesuatu tanpa bahan
apa-apa.”
- Beliau juga berkata: “Allah adalah Maha Pencipta sebelum Dia
menciptakan.”
- Beliau juga berkata: “Kita menetapkan, bahwa hamba bersama
amal-amalnya. Penetapannya dan pengetahuannya adalah makhluk. Apabila yang
berbuat saja makhluk, maka perbuatan-perbuatannya lebih tepat untuk disebut
makhluk.”
- Beliau berkata lagi: “Semua perbuatan hamba, baik yang bergerak
ataupun diam, merupakan usahanya, dan Allah yang menciptakannya. Semua perbuatan
itu berdasarkan kehendak, pengetahuan, penetapan dan qadar Allah.”
- Beliau berkata: “Semua perbuatan hamba, baik yang bergerak maupun
diam, adalah betul-betul upaya mereka, dan Allah menciptakannya. Semua perbuatan
itu berdasarkan kehendak, ilmu, penetapan, dan qadar Allah. Semua ketaatan
adalah wajib berdasarkan perintah Allah, dan hal itu disukai, diridhai,
diketahui, dikehendaki, ditetapkan, dan ditaqdirkan Allah. Sedangkan maksiat
semuanya diketahui, ditetapkan, ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah, tetapi
Allah tidak menyukai dan tidak meridhai hal itu, bahkan Allah juga tidak
memerintahkannya.”7
- Beliau juga berkata: “Allah menciptakan makhluk berdasarkan
fithrahnya, suci dari perbuatan yang terlarang. Kemudian Allah menyuruh mereka
untuk berbuat kebajikan dan melarang untuk berbuat yang tercela. Maka, di antara
mereka kemudian ada yang kafir dengan melakukan perbuatan-perbuatan kekafiran
dan mengingkari kebenaran (hak). Ada juga di antara mereka yang beriman, baik
melalui perbuatannya, iqrar
lisannya, dan pembenaran hatinya. Dan hal itu merupakan taufiq dan pertolongan
Allah kepadanya.”8
- Beliau juga berkata: “Allah telah mengeluarkan anak cucu Adam dari
tulang punggungnya dalam bentuk sel-sel, kemudian mereka diberi akal, lalu Allah
menyuruh mereka untuk beriman dan melarang mereka melakukan kekafiran. Kemudian
mereka mengakui ketuhanan (rububiyyah) Allah. Maka hal itu merupakan iman mereka. Kemudian mereka
dilahirkan berdasarkan fithrah tersebut. Karenanya, sebenarnya ia telah mengubah
dan mengganti fithrah itu. Sedangkan orang yang beriman dengan penuh keyakinan
hatinya, maka ia tetap berada dalam fithrah tersebut.”9
- Beliau juga berkata: “Allah-lah yang menetapkan segala sesuatu.
Tidak ada sesuatu pun dunia dan akhirat kucuali atas kehendak, pengetahuan, dan
qadha serta qadar Allah. Dan hal itu telah ditulis di lauh Mahfuzh.”10
- Beliau juga berkata: “Allah tidak memaksa seorang pun dari
makhluk-Nya untuk menjadi kafir atau mukmin. Tetapi Allah menciptakan mereka
menjadi orang-orang. Sementara beriman atau menjadi kafir itu adalah perbuatan
hamba. Allah mengetahui orang yang kafir pada saat ia kafir. Manakala setelah
itu ia beriman, Allah juga mengetahuinya dan dia akan dicintai Allah. Dan ilmu
Allah tidak berubah.”11
1 Qalaid ‘Uqud
al-Aqyan, lembar 77-A
2 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302-303
3 Ibid
4 Ibid, hal, 302
5 al-Washiyah bersama Syarhnya, hal.21
6 al-Fiqh al-Akbar, hal. 303
7 Ibid
8 Ibid, hal. 302-303
9 Ibid, hal. 302
10 Ibid
11 Ibid, hal. 303
Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang
Iman
- Kata beliau lagi: “Iman itu adalah iqrar dengan lisan dan tashdiq
dengan hati. Iqrar saja belum disebut iman.”2
-Beliau juga berkata: “Iman itu tidak bertambah dan tidak
berkurang”.4
Menurut saya pendapat Imam Abu Hanifah
رحمه الله bahwa “Iman itu
tidak bertambah dan tidak berkurang” dan bahwa yang disebut iman itu adalah
“tashdiq dalam hati dan iqrar dalam lisan, sementara perbuatan (amal) tidak
termasuk dalam pengertian iman”, adalah masalah yang membedakan antara beliau
dengan imam-imam Islam yang lain, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq, Imam Bukhari,
dan lain-lain. Yang benar adalah pendapat para imam itu. Sementara pendapat Abu
Hanifah رحمه الله adalah
tidak benar. Namun demikian beliau tetap mendapat pahala, baik hasil ijtihad
beliau itu benar atau pun salah. Kemudian ada keterangan dari Imam Ibn
‘Abdul Bar dan Ibn Abi
‘Izz, bahwa Imam Abu Hanifah
رحمه الله mencabut
pendapatnya itu. Wallahu a’lam.5
1 al-Fiqh al-Akbar, hal. 304
2 Kitab al-Washiyyah bersama Syarhnya, hal. 2
3 ath-Thahawiyyah berikut Syarhnya, hal. 360
4 Kitab al-Washiyah berikut Syarhnya, hal. 3
5 Ibn
‘Abd al-Bar, at-Tamhid, IX/
247. Syarh al-‘Aqidah
ath-Thahawiyah, hal. 395
Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang
Sahabat
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Kita tidak boleh menyebutkan seorang pun dari sahabat
Nabi صلي الله عليه وسلم
kecuali dengan sebutan yang baik.”1
- Kata beliau juga : “Kita juga tidak boleh berlepas diri dari salah
satu sahabat Nabi صلي الله عليه وسلم, dan tidak boleh pula mencintai yang satu dan mengesampingkan yang
lain.”2
- Beliau juga berkata: “Keberadaan salah seorang sahabat bersama Nabi
صلي الله عليه وسلم sesaat
saja, hal itu lebih bagus dari pada amal kita sepanjang umur, meskipun umur itu
panjang.”3
- Kata beliau lagi: “Kita menetapkan, bahwa di antara umat Islam ini,
orang yang paling mulia sesudah Nabi صلي الله عليه
وسلم adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian Umar,
kemudian Utsman dan kemudian Ali رضي الله
عنهم.4
- Beliau juga berkata: “Manusia paling mulia setelah Nabi
صلي الله عليه وسلم adalah
adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali. Selanjutnya
kita tidak boleh membicarakan tentang para sahabat kecuali dalam hal-hal yang
baik-baik saja.”5
1 al-Fiqh al-Akbar, hal. 304
2 al-Fiqh al-Absath, hal. 40
3 al-Makki Manaqib Abi Hanifah رحمه
الله, hal.76
4 Kitab al-Washiyah beserta Syarhnya, hal.14
5 an-Nur al-Lami’, lembar 119-A
Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Ilmu Kalam
dan Berdebat Dalam Agama
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Di kota bashrah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu
(selera) sangat banyak. Saya datang di bashrah lebih dari dua puluh kali.
Terkadang saya tinggal di bashrah lebih dari satu tahun, terkadang satu tahun,
dan terkadang kurang dari satu tahun. Hal itu karena saya mengira bahwa Ilmu
Kalam itu adalah ilmu yang paling mulia.”1
- Beliau menuturkan: “Saya pernah mendalami Ilmu Kalam, sampai saya
tergolong manusia langka dalam Ilmu Kalam. Suatu saat saya tinggal dekat
pengajian Hammad bin Abu Sulaiman. Lalu ada seorang wanita datang kepadaku, ia
berkata: “Ada seorang lelaki mempunyai seorang istri wanita sahaya. Lelaki itu
ingin menalaknya dengan talak yang sesuai sunnah. Berapakah dia harus
menalaknya?” Pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya jawab. Saya hanya
menyarankan agar ia datang ke Hammad untuk menanyakan hal itu, kemudian kembali
lagi ke saya, dan apa jawaban Hammad. Ternyata Hammad menjawab: “Lelaki itu
dapat menalaqnya ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan juga tidak
dilakukan hubungan jima’,
dengan satu kali talak saja. Kemudian istrinya dibiarkan sampai haid dua kali.
Apabila istri itu sudah suci lagi, maka ia halal untuk dinikahi. Begitulah,
wanita itu kemudian datang lagi kepada saya dan memberitahukan jawaban Hammad
tadi. Akhirnya saya berkesimpulan, “Saya tidak perlu lagi mempelajari Ilmu
Kalam. Saya ambil sandalku dan pergi untuk berguru kepada Hammad.”2
- Beliau berkata lagi: “Semoga Allah melaknati Amr bin Ubaid, karena
telah merintis jalan untuk orang-orang yang mempelajari Ilmu Kalam, padahal ilmu
ini tidak ada gunanya bagi mereka.”3
- Beliau juga pernah ditanya seseorang, “Apakah pendapat Anda tentang
masalah baru yang dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah
sifat-sifat dan Jism?”
Beliau menjawab, “Itu adalah ucapan-ucapan para ahli filsafat. Kamu harus
mengikuti hadits Nabi صلي الله عليه وسلم dan metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yang baru, kerena
hal itu adalah bid’ah.”4
- Putra Imam Abu Hanifah رحمه
الله, yang namanya Hammad, menuturkan, “Pada suatu
hari ayah datang ke rumahku. Waktu itu di rumah ada orang-orang yang sedang
menekuni Ilmu Kalam, dan kita sedang berdiskusi tentang suatu masalah. Tentu
saja suara kami keras, sehingga tampaknya ayah terganggu. Kemudian saya menemui
beliau, “Hai Hammad, siapa saja orang-orang itu?”, tanya beliau. Saya menjawab
dengan menyebutkan nama mereka satu persatu. “Apa yang sedang kalian
bicarakan?”, tanya beliau lagi. Saya menjawab, “Ada suatu masalah ini dan itu”.
Kemudian beliau berkata: “Hai Hammad, tinggalkanlah Ilmu Kalam.” Kata Hammad
selanjutnya: “Padahal setahu saya, ayah tidak pernah berubah pendapat, tidak
pernah pula menyuruh sesuatu kemudian melarangnya.” Hammad kemudian berkata
kepada beliau, “Wahai Ayahanda, bukankah ayahanda pernah menyuruhku untuk
mempelajari Ilmu Kalam?” “Ya, memang pernah”. Jawab beliau, “Tetapi itu dahulu.
Sekarang saya melarangmu, jangan mempelajari Ilmu Kalam”, tambah beliau. Kenapa,
wahai ayahanda?”, tanya Hammad lagi. Beliau menjawab, “Wahai anakku, mereka yang
berdebat dalam Ilmu Kalam, pada mulanya adalah bersatu pendapat dan agama mereka
satu. Namun syetan mengganggu mereka sehingga mereka bermusuhan dan berbeda
pendapat.”5
- Kepada Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah رحمه
الله berkata: “Jangan sekali-kali kamu berbicara
kepada orang-orang awam dalam masalah ushuluddin dengan mengambil pendapat Ilmu
Kalam, karena mereka akan mengikuti kamu dan akan merepotkan kamu.”6
Inilah rangkuman dari pendapat-pendapat Imam
Abu Hanifah رحمه الله,
tentang aqidah beliau dalam masalah Ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu
Kalam dan ahli-ahli Ilmu Kalam.
1 al-Kurdi, Manaqib Abi Hanifah رحمه
الله, hal. 137
2 Tarikh Baghdad. XIII/ 333
3 al-Harawi, Dzamm ‘Ilm al-Kalam, hal. 28-31
4 al-Harawi, Dzamm al-Kalam, lembar 194-B
5 al-Makki, Manaqib Abu Hanifah رحمه
الله, hal. 183-184
6 Ibid, hal.373
Aqidah Imam Malik
Pendapat Imam Malik Tentang Tauhid
- Al-Harawi meriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa Imam Malik رحمه الله pernah ditanya tentang Ilmu
Tauhid. Jawab beliau: “Sangat tidak mungkin bila ada orang menduga bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasalam mengajari umatnya tentang cara-cara bersuci tetapi tidak mengajari
masalah tauhid. Tauhid adalah apa yang disabdakan Nabi صلي الله عليه وسلم, “Saya diperintahkan
untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La ilaha illallah (tidak ada
Tuhan selain Allah).”1
Maka sesuatu yang dapat menyelamatkan harta
dan nyawa (darah) maka hal itu adalah tauhid yang sebenarnya.2
- Imam ad-Daruquthni meriwayatkan dari al-Wahid bin Muslim, katanya:
“Saya bertanya kepada Malik رحمه الله, ats-Tsauri, al-Auza’i, dan al-Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits mengenai sifat-sifat Allah. Mereka
menjawab: “Jalankanlah (baca dan pahami) seperti apa adanya.”3
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar juga menuturkan, bahwa Imam Malik رحمه
الله pernah ditanya: “Apakah Allah dapat dilihat pada
hari kiamat?” Beliau menjawab: “Ya, dapat dilihat. Karena Allah berfirman
:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ . إِلَى رَبِّهَا
نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah orang mukmin itu pada hari kiamat
berseri-seri, kepada Tuhannya wajah-wajah itu melihat.” (Al-Qiamah, 22-23)
Dan Allah telah berfirman tentang golongan
lain:
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
لَمَحْجُوبُونَ
“Tidak demikian. Mereka (orang-orang kafir)
itu pada hari kiamat benar-benar terhalang hijab (tabir), tak dapat melihat
Tuhan mereka.” (al-Muthaffifin, 15)
Qadhi ‘Iyadh juga menuturkan dalam kitab Tartib al-Madarik, II/42, dari
Ibn Nafi’4 dan Asyhab5, keduanya
berkata, “Wahai Abu Abdillah -panggilan akrab Imam Malik رحمه الله-, apakah benar orang-orang yang
mukmin dapat melihat Allah ?”. “Ya, dengan kedua mata ini”, jawab Imam Malik.
Kemudian salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Ada sementara orang yang
berkata bahwa Allah itu tidak dapat dilihat. Kata ناظرة dalam ayat itu yang secara
kebahasaan berarti “melihat” maksudnya adalah “menunggu pahala”. Imam Malik
رحمه الله menjawab: “Tidak
benar mereka”. Yang benar adalah Allah dapat dilihat. Apakah kamu tidak membaca
firman Allah tentang Nabi Musa :
رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ
“Wahai Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku, agar
dapat melihat-Mu.” (Al-A’raf : 143)
Apakah kamu kira Nabi Musa itu memohon sesuatu
yang mustahil dari Tuhannya? Allah kemudian menjawab:
قَالَ لَنْ تَرَانِي
“Kamu tidak akan dapat melihat Aku.”
(Al-A’raf : 143)
Maksudnya, Nabi Musa tidak dapat melihat Allah
di dunia, karena dunia itu tempat kehancuran, dan tidak mungkin sesuatu yang
kekal dapat dilihat dengan sesuatu yang dapat hancur. Apabila manusia sudah
sampai ke Akhirat (tempat yang kekal), maka mereka dapat melihat sesuatu yang
kekal (Allah) dengan sesuatu yang dikekal-kan (tubuh manusia di
Akhirat).
- Abu Nu’aim juga
menuturkan dari Ja’far bin
Abdillah, katanya: “Kami berada di rumah Malik رحمه
الله bin Anas. Kemudian ada orang yang datang dan
bertanya: “Wahai Abu Abdillah -panggilan akrab Imam Malik رحمه الله- Allah ar-Rahman bersemayam
(istawa) di atas ‘Arsy.
Bagaimana Allah bersemayam?”
Mendengar pertanyaan itu, Imam Malik رحمه الله marah. Beliau tidak pernah marah seperti itu. Kemudian beliau melihat ke tanah sambil memegang-megang kayu di tangannya, lalu beliau mengangkat kepala beliau dan melempar kayu tersebut, lalu berkata, “Cara Allah beristiwa’ tidaklah dapat dicerna dengan akal, sedangkan istiwa’ (bersemayam) itu sendiri dapat dimaklumi maknanya. Sedangkan kita wajib mengimaninya, dan menanyakan hal itu adalah bid’ah. Dan saya kira kamulah pelaku bid’ah itu. Kemudian Imam Malik رحمه الله menyuruh orang itu agar dikeluarkan dari rumah beliau.”6
- Iman Abu Nu’aim
meriwayatkan dari Yahya bin ar-Rabi, katanya: “Saya berada di rumah Malik
رحمه الله, kemudian ada
seorang datang dan bertanya, “Wahai Abdillah -panggilan akrab Imam Malik
رحمه الله- apa pendapat Anda
tentang orang yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk?”
Imam Malik رحمه
الله menjawab: “Dia itu kafir zindiq, bunuhlah dia.”
Orang tadi bertanya lagi, “Wahai Abdillah, saya hanya sekedar menceritakan
pendapat yang pernah saya dengar.” Imam Malik رحمه
الله menjawab: “Saya tidak pernah mendengar pendapat
itu dari siapa pun. Saya hanya mendengar itu dari kamu.”7
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik رحمه
الله bin Anas mengatakan, siapa yang berpendapat bahwa
Al-Qur’an itu makhluk dia
harus dihukum cambuk dan dipenjara sampai dia bertaubat.”8
- Imam Abu Daud juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik رحمه الله berkata, ‘Allah di langit, dan ilmu (pengetahuan)
Allah meliputi setiap tempat.”9
1 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, III/262. Imam Muslim,
I/51. Imam an-Nasa’i, V/14,
dan Imam Abu Daud, III/101
2 Dzam
al-Kalam, lembar 210
3 Ad-Daruquthni. Ash-Shifat, hal. 75. al-Ajiri, asy-Syari’ah, hal. 314. al-Baihaqi,
al-I’tiqad, hal.
118
4 Ada
dua orang yang bernama Ibn Nafi’, dua-duanya meriwayatkan dari Imam Malik. Yang pertama bernama
Abdullah bin Nafi’ bin
Tsabit az-Zubairi (wafat 216 H). Yang kedua adalah Abdullah bin Nafi’ bin Abu Nafi’ al-Makhzumi (wafat 206 H), Tahdzib
at-Tahdzib, VI/50-51
5 Asyhab bin ‘Abd
al-‘Aziz bin Daud al-Qaisi
(wafat 204 H), Ibid, I/359
6 Al-Hilyah, VI/325-326. Ash-Shabuni, ‘Aqidah as-Salaf Ash-hab al-Hadits, hal.
17-18. Ibn ‘Abd al-Bar,
at-Tam-hid, VII/151, al-Baihaqi, al-‘Asma’ wa
ash-Shifat, hal. 408. Ibn Hajar, Fath al-Bari, xiii/ 406-407
7 Al-Hilyah, VI/325. Al-Lalukai, Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wal Jama’ah, I/249. Al-Qadhi ‘Iyadh, Tartib al-Madarik,
II/44
8 al-Intiqa’,
hal.35
9 Abu
Daud, Masail al-Imam Ahmad, hal.263. Abdullah bin Ahmad, as Sunnah, hal.11 Ibn.
Abd al-Bar, at-Tamhid, VII/138
Pendapat Imam Malik Tentang Qadar
- Imam Abu Nu’aim
meriwayatkan dari Ibn Wahb, katanya: “Saya mendengar Imam Malik رحمه الله berkata kepada seseorang,
“Kemarin kamu bertanya kepada saya tentang qadar, bukankah begitu?”. “Ya”, jawab
orang itu. Imam Malik رحمه الله berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman:
وَلَوْ شِئْنَا لَآَتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ
هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Sekiranya kamu menghendaki, kami akan
memberikan petunjuk kepada semua orang. Tetapi telah tetaplah keputusan-Ku,
bahwa Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia
semuanya.” (as-Sajdah: 13)
- Qadhi ‘Iyadh
berkata: “Imam Malik رحمه الله pernah ditanya tentang kelompok Qadariyah, siapakah mereka itu?
Beliau menjawab: “Mereka itu adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah itu
tidak menciptakan maksiat.” Beliau ditanya pula tentang Qadariyah. Jawab beliau:
“Mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa manusia itu mempunyai
kemampuan. Apabila mereka mau, mereka dapat menjadi orang-orang taat atau
menjadi orang-orang yang durhaka.”2
- Ibn Abi ‘Ashim
meriwayatkan dari Sa’ad bin
‘Abd al-Jabbar, katanya:
“Saya mendengar Imam Malik bin Anas رحمه
الله berkata: “Pendapat saya tentang kelompok
Qadariyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus
dihukum mati.”3
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar berkata: “Imam Malik رحمه الله pernah berkata: “Saya tidak pernah melihat seorang pun dari
orang-orang yang berbicara masalah qadar dan ia tidak bertaubat.”4
- Imam Ibn Abi ‘Ashim meriwayatkan dari Marwan bin Muhammad at-Tatari, katanya:
“Saya mendengar Imam Malik bin Anas ditanya tentang hal menikah dengan seseorang
penganut paham Qadariyah. Kata beliau seraya membaca ayat al-Qur’an:
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكٍ
- Qadhi ‘Iyadh
menuturkan bahwa Imam Malik رحمه الله menyatakan: “Kesaksian penganut paham Qadariyah yang menyebarkan
pahamnya yang bid’ah itu
tidak dapat dibenarkan. Begitu pula penganut golongan Khawarij dan penganut
paham Rafidhah (Syi’ah).”6
- Qadhi ‘Iyadh
juga menuturkan, bahwa Imam Malik رحمه
الله pernah ditanya tentang penganut Qadariyah, apakah
kita tolak pendapat-pendapatnya? Jawab beliau: “Ya, bila ia mengetahui hal itu.”
Dalam suatu riwayat Malik رحمه الله berkata: “Tidak boleh shalat menjadi makmum di belakang penganut
paham Qadariyah, dan hadits yang ia riwayatkan harus ditolak. Apabila kamu
menemukan mereka di suatu tempat persembunyiannya, keluarkanlah
mereka.”7
1 al-Hilyah, VI/396
2 Tartib al-Madarik, II/48. Syarh Ushul I’tiqad Ahl as Sun-nah wa
al-Jama’ah,
II/701
3 Ibn
‘Abi ‘Ashim, as-Sunnah, I/87-88, al-Hilyah,
VI/326
4 al-Intiqa’,
hal. 34
5 Ibn
‘Abi ‘Ashim, as-Sunnah, I/88. al-Hilyah,
VI/326
6 Tartib al-Madarik, II/47
7 Tartib al-Madarik, II/47
Pendapat Imam Malik Tentang Iman
- Iman Ibn ‘Abdil
Bar meriwayatkan dari ‘Abd
ar-Razzaq bin Hammad, katanya: “Saya mendengar Ibn Juraij, Sufyan bin
‘Uyainah dan Anas bin Malik
رحمه الله, mengatakan: “Iman
itu adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.”1
- Imam Abu Nu’aim
meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik bin Anas pernah berkata: “Iman itu adalah
ucapan dan perbuatan.”2
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar meriwayatkan dari Asyhab bin Abdul Aziz, katanya, Imam Malik رحمه الله berkata: “Ketika umat Islam
shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan, mereka
kemudian diperintahkan untuk menghadap ke Masjidil Haram pada waktu shalat.
Kemudian turun ayat:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ
إِيمَانَكُمْ
“Allah tidak akan menyia-nyiakan iman
kamu.” (Al-Baqarah : 143)
Maksud “iman” dalam ayat itu adalah “shalat
dengan menghadap ke Baitul Maqdis.” Kata Imam Malik رحمه الله lagi, “Menurut paham golongan
Murji’ah shalat itu tidak
termasuk iman.”3
1 al-Intiqa’,
hal. 34
2 al-Hilyah, VI/327
3 al-Intiqa’,
hal. 34
Pendapat Imam Malik Tentang Sahabat
- Imam Abu Nu’aim
meriwayatkan dari Abdullah al-Anbari, katanya: “Imam Malik bin Anas menyatakan:
“Siapa yang merendahkan derajat seorang sahabat Nabi صلي الله عليه وسلم atau ia merasa tidak
senang, maka ia tidak punya hak untuk dilindungi oleh umat Islam.” Kemudian
beliau membaca ayat:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا
تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ
رَحِيمٌ
“Orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau menjadikan kebencian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (al-Hasyr : 10)1
Imam Malik رحمه
الله kemudian berkata: “Barang siapa marah kepada
salah seorang sahabat Nabi صلي الله عليه
وسلم maka ia telah terkena ayat ini.”
- Imam Abu Nu’aim
meriwayatkan dari salah seorang putra az-Zubair, katanya: “Kami berada di tempat
Malik رحمه الله. Kemudian
orang-orang menyebut-nyebut seorang yang merendahkan martabat sahabat Nabi
صلي الله عليه وسلم, lalu
Imam Malik رحمه الله membaca
ayat:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ
أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا
يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ
أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي
الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى
عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam
Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan
tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya;
tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mu'min). (Al-Fath: 29)
Imam Malik رحمه
الله kemudian berkata: “Barang siapa marah kepada
salah seorang sahabat Nabi صلي الله عليه
وسلم, maka ia telah terkena ayat ini.”2
- Qadhi ‘Iyadh
meriwayatkan dari Asyhab bin Abdul ‘Aziz, katanya: “Kami berada di tempat Imam Malik رحمه الله, tiba-tiba ada seorang dari
golongan Alawiyin datang kepada beliau, sementara orang-orang yang ada di situ
sedang mengikuti majlis pengajian Imam Malik رحمه
الله. Orang tadi, sambil berdiri, bertanya kepada
beliau, “Wahai Abu Abdillah”, panggilan akrab untuk beliau. Imam Malik
رحمه الله kemudian
mendekati, padahal beliau itu tidak pernah menyambut lebih dari menganggukkan
kepala, apabila dipanggil orang. Kemudian orang tadi berkata: “Saya ingin
membuat anda menjadi hujjah
(bukti kebenaran) antara saya dengan Allah, sebab apabila saya akan menghadap
Allah nanti, saya akan ditanya Allah, dan saya akan menjawab: “Malik
رحمه الله telah mengatakan
hal itu.”
Imam Malik رحمه
الله lalu berkata: “Baik, silakan apa yang hendak anda
tanyakan!” Orang tadi berkata: “Siapakah yang paling mulia sesudah Nabi Muhammad
صلي الله عليه وسلم?” Beliau
menjawab: “Abu Bakar.” Orang Alawiyin tadi bertanya lagi: “Lalu siapa?” Dijawab,
“Umar”. “Kemudian siapa lagi?”, tanya orang tadi. Imam Malik رحمه الله menjawab: “Kemudian Khalifah
yang terbunuh secara dizhalimi, yaitu Ustman.” Orang tadi lalu berkata: “Demi
Allah, saya tidak akan duduk di sampingmu selamanya”. “Ya silakan, Anda bebas”,
jawab Imam Malik رحمه الله.3
1 al-Hilyah, VI/327
2 al-Hilyah, VI/327
3 Tartib Al-Madarik, II/44-45
Pendapat Imam Malik Terhadap Ilmu Kalam dan
Berdebat dalam Agama
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar meriwayatkan dari Mush’ab bin Abdullah bin az-Zubairi, katanya, Imam Malik رحمه الله pernah berkata: “Saya tidak
menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tidak
menyukainya, dan melarangnya, seperti membicarakan pendapat Jahm bin Shafwan,
masalah qadar dan sebagainya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam
terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik diam saja,
karena hal-hal di atas.”1
- Imam Abu Nu’aim
juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi’, katanya, saya mendengar Imam Malik رحمه
الله berkata: “Seandainya ada orang melakukan dosa
besar seluruhnya kecuali menjadi musyrik, kemudian dia melepaskan diri dari
bid’ah-bid’ah Ilmu Kalam ini, dia akan masuk
surga.”2
- Imam al-Harawi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, Imam Malik
رحمه الله berkata,
“Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi kafir zindiq,
siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa yang mencari
bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib
al-Hadits) ia akan bohong.”3
- Imam al-Katib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya,
saya mendengar Imam Malik رحمه الله berkata: “Berdebat dalam agama itu aib (cacat).” Beliau juga
berkata: “Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat. Apakah ia
bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat Jibril
kepada Nabi صلي الله عليه وسلم?”4
- Imam al-Harawi meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Mahdi, katanya,
saya masuk ke rumah Imam Malik رحمه الله, dan di situ ada seorang yang sedang ditanya oleh Imam Malik
رحمه الله: “Barangkali kamu
murid dari ‘Amr bin
‘Ubaid. Mudah-mudahan Allah
melaknat ‘Amr bin
‘Ubaid kerena dialah yang
membuat bid’’ah Ilmu Kalam.
Seandainya Kalam itu merupakan Ilmu, tentulah para Sahabat dan Tabi’in sudah membicarakannya, sebagaimana
mereka juga berbicara masalah hukum (fiqih) dan syari’ah.”5
- Imam al-Harawi meriwayatkan dari ‘Aisyah bin Abdul Aziz, katanya, saya
mendengar Imam Malik رحمه الله berkata: “Hindarilah bid’ah”. Kemudian ada orang yang bertanya, “Apakah bid’ah itu, wahai Abu Abdillah?”. Imam Malik
رحمه الله menjawab:
“Penganut bid’ah itu adalah
orang-orang yang membicarakan masalah nama-nama Allah, sifat-sifat Allah, kalam
Allah, ilmu Allah, dan qudrah Allah. Mereka tidak mau bersikap diam (tidak
memperdebatkan) hal-hal yang justru para Sahabat dan Tabi’in tidak membicarakannya.”6
- Imam Abu Nu’aim
meriwayatkan dari Imam Syafi’i, katanya, Imam Malik bin Anas, apabila kedatangan orang yang
dalam agama mengikuti seleranya saja, beliau berkata: “Tentang diri saya
sendiri, saya sudah mendapatkan kejelasan tentang agama dari Tuhanku. Sementara
Anda masih ragu-ragu. Pergilah saja pada orang lain yang juga masih ragu-ragu,
dan debatlah dia.”7
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar meriwayatkan dari Muhammad bin Ahmad al-Mishri al-Maliki, di mana ia berkata
dalam bab al-Ijarat da-lam
kitab al-Khilaf, Imam Malik
رحمه الله berkata: “Tidak
boleh menyebarkan kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang dalam beragama
hanya mengikuti selera, bid’ah dan klenik; dan kitab-kitab itu adalah kitab-kitab penganut
kalam, seperti kelompok Mu’tazilah dan sebagainya.”8
Dan itulah sekilas tentang sikap Imam Malik
bin Anas رحمه الله dan
pendapat-pandapat beliau tentang masalah Tauhid, Sahabat, Imam, Ilmu Kalam, dan
lain-lain.
1 Jami’ Bayan
al-‘Ilm wa al-Fadhilah, hal.
415
2 Al-Hilyah, VI/325
3 Dzamm al-Kalam, lembar 173-B
4 Syaraf Ash-hab al-Hadits, hal. 5
5 Dzam
al-Kalam, lembar 173-B
6 Ibid, lembar 173
7 al-Hilyah, VI/324
8 Jami’ Bayan
al-’Ilm wa al-Fadhlihi,
hal.416-417
Aqidah Imam Syafi'i
Pendapat Imam Syafi’i Tentang
Tauhid
- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam
Syafi’i رحمه الله mengatakan: “Barangsiapa yang
bersumpah dengan menyebut salah satu asma’ Allah عزّوجلّ,
kemudian melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat. Dan barangsiapa yang bersumpah
dengan menyebutkan selain Allah عزّوجلّ, misalnya, “Demi Ka’bah”, “Demi ayahku” dan sebagainya, kemudian melanggar sumpah itu,
maka ia tidak wajib membayar kaffarat.”
Begitu pula apabila ia bersumpah dengan
mengatakan “Demi umurku”, ia tidak wajib membayar kaffarag. Namun, bersumpah dengan menyebut
selain Allah عزّوجلّ adalah
haram, dan dilarang berdasarkan Hadits Nabi صلي الله
عليه وسلم, “Sesungguhnya Allah عزّوجلّ melarang kami untuk bersumpah
dengan menyebut nenek moyang kamu. Siapa yang hendak bersumpah, maka
bersumpahlah dengan menyebut asma Allah عزّوجلّ, atau lebih baik diam saja.”
1
Imam Syafi’i رحمه
الله beralasan bahwa asma’-asma’ Allah عزّوجلّ itu bukan makhluk, karenanya
siapa yang bersumpah dengan menyebut asma’ Allah عزّوجلّ,
kemudian ia melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat.2
- Imam Ibn al-Qayyim رحمه الله menuturkan dalam kitabnya Ijtima’
al-Juyusy, sebuah riwayat dari Imam Syafi’i رحمه
الله, bahwa beliau berkata: “Berbicara tentang Sunnah
yang menjadi pegangan saya, shahib-shahib (murid-murid) saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat
dan saya ambil ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik, dan lain-lain, adalah
iqrar seraya bersaksi bahwa
tidak ada tuhan selain Allah عزّوجلّ, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah عزّوجلّ, serta bersaksi bahwa Allah
عزّوجلّ di atas 'Arsy di
langit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah عزّوجلّ, dan Allah عزّوجلّ itu turun ke langit terdekat
kapan saja Allah عزّوجلّ
berkehendak.” 3
- Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dari al-Muzani رحمه الله, katanya: “Apabila ada orang
yang mengeluarkan unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid yang ada dalam
hati saya, maka itu adalah Imam Syafi’i رحمه الله.”
Saya pernah dengar di Masjid Cairo dengan
beliau, ketika saya mendebat di depan beliau, dalam hati saya terdapat unek-unek
yang berkaitan dengan masalah tauhid. Kata hatiku, saya tahu bahwa seseorang
tidak akan mengetahui ilmu yang ada pada diri Anda, maka apa yang sebenarnya
yang ada pada diri Anda?
Tiba-tiba beliau marah, lalu bertanya:
“Tahukah kamu, di mana kamu sekarang?” Saya menjawab, “Ya”. Beliau berkata, “Ini
adalah tempat di mana Allah عزّوجلّ menenggelamkan Fir’aun. Apakah kamu tahu bahwa Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم pernah menyuruh
bertanya masalah yang ada dalam hatimu itu?”. “Tidak”, jawab saya. “Apakah para
sahabat pernah membicarakan masalah itu?”, tanya beliau lagi. “Tidak pernah”,
jawab saya. “Berapakah jumlah bintang di langit?”, tanya beliau lagi. “Tidak
tahu”, jawab saya. “Apakah kamu tahu jenis bintang-bintang itu, kapan terbitnya,
kapan terbenamnya, dari bahan apa bintang itu diciptakan?”, tanya beliau. “Tidak
tahu” jawab saya. “Itu masalah makhluk yang kamu lihat dengan mata kepalamu,
ternyata kamu tidak tahu. Mana mungkin kamu mau membicarakan tentang ilmu
Pencipta makhluk itu”, kata beliau mengakhiri.
Kemudian beliau menanyakan kepada saya tentang
masalah wudhu’, ternyata
jawaban saya salah. Beliau lalu mengembangkan masalah itu menjadi empat masalah,
ternyata jawaban saya juga tidak ada yang benar. Akhirnya beliau berkata:
“Masalah yang kamu perlukan tiap hari lima kali saja tidak kamu pelajari. Tetapi
kamu justru berupaya untuk mengetahui ilmu Allah عزّوجلّ ketika hal itu berbisik dalam
hatimu. Kembali saja kepada firman Allah عزّوجلّ :
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا
هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ . إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ
بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ
فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ
وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Satu.
Tidak ada Tuhan (yang Haq) selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan
bumi sesudah mati (gersang) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
berakal.” (Al-Baqarah : 163-164)
“Karenanya”, lanjut Imam Syafi’i رحمه
الله, “Jadikanlah makhluk itu sebagai bukti atas
kekuasaan Allah عزّوجلّ, dan
janganlah kamu memaksa-maksa diri untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat
dicapai oleh akalmu.” 4
- Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Yunus bin Abdul A’la, katanya: “Apabila kamu mendengar ada
orang berkata bahwa nama itu berlainan dengan apa yang diberi nama, atau sesuatu
itu berbeda dengan sesuatu itu, maka saksikanlah bahwa orang itu adalah kafir
zindiq”
- Dalam kitabnya ar-Risalah, Imam Syafi’i
رحمه الله berkata: “Segala
puji bagi Allah عزّوجلّ yang
memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan di atas yang
disifati oleh makhluk-Nya.”
- Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar
A’lam an Nubala’ menuturkan dari Imam Syafi’i رحمه
الله, kata beliau: “Kita menerapkan sifat-sifat Allah
عزّوجلّ ini sebagaimana
disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi صلي الله عليه
وسلم, dan kita meniadakan tasybih (menyamakan Allah عزّوجلّ dengan makhluk-Nya), sebagaimana
Allah عزّوجلّ juga
meniadakan tasybih itu dalam
firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i رحمه
الله berkata tentang firman Allah عزّوجلّ :
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
لَمَحْجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada
hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan
mereka.” (al-Muthaffifin : 15)
“Ayat ini memberitahu kita bahwa pada Hari
Kiamat nanti ada orang-orang yang tidak terhalang, mereka dapat melihat Allah
عزّوجلّ dengan jelas.”
6
- Imam al-Lalaka’i menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya: “Saya datang ke rumah Imam
Syafi’i رحمه الله, ketika itu ada sebuah
pertanyaan kepada beliau: “Apakah pendapat Anda tentang firman Allah
عزّوجلّ dalam surat
al-Muthaffifin ayat 15, yang artinya, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka
pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya?.”
Imam Syafi’i رحمه
الله menjawab, “Apabila orang- orang itu tidak dapat
melihat Allah عزّوجلّ karena
dimurkai Allah عزّوجلّ, maka
ini merupakan dalil bahwa orang-orang yang diridhai Allah عزّوجلّ akan dapat melihat-Nya.”
Ar-Rabi’ lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, apakah Anda berpendapat
seperti itu?. “Ya, saya berpendapat seperti itu, dan itu saya yakini kepada
Allah عزّوجلّ”, begitu jawab
Imam Syafi’i رحمه الله.7
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar meriwayatkan, katanya, di hadapan Imam Syafi’i رحمه
الله ada orang yang menyebut-nyebut nama Ibrahim bin
Isma’il bin Ulayah. Kemudian
Imam Syafi’i رحمه الله berkata: “Saya berbeda pendapat
dengan dia dalam segala hal. Begitu pula dalam kalimat “La ilaha illAllah
عزّوجلّ”. Saya tidak
berpendapat seperti pendapatnya. Saya mengatakan, bahwa Allah عزّوجلّ berfirman kepada Nabi Musa secara
langsung tanpa penghalang. Sedangkan dia mengatakan, ketika Allah عزّوجلّ berfirman kepada Nabi Musa, Allah
عزّوجلّ menciptakan
ucapan-ucapan yang kemudian dapat didengar oleh Nabi Musa secara tidak langsung
(ada penghalang).” 8
- Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari ar Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i رحمه
الله mengatakan: “Barangsiapa mengatakan bahwa
al-Qur’an itu makhluk, maka
dia telah menjadi kafir.”9
- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya,
ada seorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i رحمه
الله, “Benarkah al-Qur’an itu itu Khaliq (pencipta)?”, Jawab
beliau, “Tidak benar”. “Apakah al-Qur’an itu makhluk?”, tanyanya lagi. “Tidak”, jawab Imam
Syafi’i رحمه الله. “Apakah al-Qur’an itu bukan makhluk?”, tanyanya lagi
“Ya, begitu”, jawab Imam Syafi’i رحمه الله.
- Orang tadi bertanya lagi: “Mana buktinya bahwa
al-Qur’an itu bukan
makhluk?”. Imam Syafi’i
رحمه الله kemudian
mengangkat kepala, dan ia berkata: “Maukah kamu mengakui bahwa
al-Qur’an itu Kalam Allah
عزّوجلّ?”. “Ya, mau”, kata
orang tadi. Kemudian Imam Syafi’i رحمه الله
berkata, “Kamu telah didahului oleh ayat:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ
فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
“Dan jika di antara orang-orang musyrik itu
meminta perlindungan kepada kamu, maka lindungilah ia, supaya ia sempat
mendengar Kalam Allah عزّوجلّ.” (At-Taubah : 6)
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah عزّوجلّ telah berbicara dengan Musa
secara langsung.” (An-Nisa’ : 164)
Imam Syafi’i رحمه
الله kemudian berkata lagi kepada orang tersebut:
“Maukah kamu mengakui bahwa Allah عزّوجلّ itu ada dan demikian pula Kalam-Nya? Atau Allah عزّوجلّ itu ada, sedangkan Kalam-Nya
belum ada ?”. Orang tadi menjawab, ”Allah عزّوجلّ ada, begitu pula Kalam-Nya.”
Mendengar jawaban itu Imam Syafi’i رحمه الله tersenyum, lalu berkata: “Wahai orang-orang Kufah, kamu akan membawakan sesuatu yang agung kepadaku, apabila kamu mengakui bahwa Allah عزّوجلّ itu ada sejak masa azali, begitu pula Kalam-Nya. Lalu dari mana kamu pernah punya pendapat bahwa Kalam itu Allah عزّوجلّ atau bukan Allah عزّوجلّ?”. Mendengar penegasan Imam Syafi’i رحمه الله itu, orang tadi terdiam, kemudian keluar.10
- Dalam kitab Juz al-I’tiqad yang
disebut-sebut sebagai karya Imam Syafi’i رحمه الله
dari riwayat Abu Thalib al-‘Isyari, ada sebuah keterangan sebagai berikut:
“Imam Syafi’i رحمه
الله pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah
عزّوجلّ, dan hal-hal yang
perlu diimani, jawab beliau, “Allah عزّوجلّ Tabaraka wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat
yang disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad صلي الله عليه
وسلم, yang siapa pun dari umatnya tidak boleh
menyimpang dari ketentuan seperti itu setelah memperoleh keterangan (hujjah).
Apabila ia menyimpang dari ketentuan setelah ia memperoleh hujjah tersebut, maka
kafirlah dia. Namun apabila ia menyimpang dari ketentuan sebelum ia memperoleh
hujjah, maka hal itu tidak apa-apa baginya. Ia dimaafkan karena ketidaktahuannya
itu. Sebab untuk mengetahui sifat-sifat Allah عزّوجلّ itu tidak mungkin dilakukan oleh
akal dan fikiran, tetapi hanya berdasarkan keterangan-keterangan dari Allah
عزّوجلّ. Bahwa Allah
عزّوجلّ itu mendengar, Allah
عزّوجلّ mempunyai dua
tangan:
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ
“Tetapi kedua tangan Allah عزّوجلّ itu terbuka.” (Al-Maidah : 64)
Dan Allah عزّوجلّ itu mempunyai tangan kanan:
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ
بِيَمِينِهِ
“Dan langit itu dilipat tangan kanan Allah
عزّوجلّ”. (az-Zumar: 67)
Dan Allah عزّوجلّ juga punya wajah:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا
وَجْهَهُ
“Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah
Allah عزّوجلّ.” (al-Qashash : 88)
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ
وَالْإِكْرَامِ
“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman : 27)
Allah عزّوجلّ juga mempunyai telapak kaki, ini
berdasarkan sabda Nabi صلي الله عليه وسلم :
حَتَّى يَضَعَ الرَّبُّ عَزَّوَجَلَّ فِيْهَا
قَدْمَهُ
Allah عزّوجلّ tertawa terhadap hamba-hamba-Nya
yang mukmin, sesuai dengan sabda Rasulullah صلي الله
عليه وسلم kepada orang yang terbunuh dalam Jihad fi
sabilillah, bahwa “kelak akan bertemu dengan Allah
عزّوجلّ, dan Allah
عزّوجلّ tertawa kepadanya.”
12
Allah عزّوجلّ turun setiap malam ke langit yang
terdekat dengan bumi, berdasarkan hadits Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم tentang hal itu. Mata
Allah عزّوجلّ tidak pecak
sebelah, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad صلي الله
عليه وسلم yang menyebutkan, bahwa “Dajjal itu pecak sebelah matanya, sedangkan Allah tidak pecak
mata-Nya.” 13
Orang-orang mukmin kelak akan melihat Allah
عزّوجلّ pada hari kiamat
dengan mata kepala mereka, seperti halnya mereka melihat bulan purnama. Allah
عزّوجلّ juga punya
jari-jemari, berdasarkan hadits Nabi صلي الله عليه
وسلم :
مَا مِنْ قَلْبٍ إِلاَّ هُوَ بَيْنَ أَصَابِعِ
الرَّحْمَنِ
“Tidak ada satu buah hati kecuali ia berada di
antara jari-jari Allah ar-Rahman.” 14
Pengertian sifat seperti ini, di mana Allah
عزّوجلّ telah mensifati
diri-Nya sendiri dan Nabi Muhammad صلي الله عليه
وسلم juga mensifati-Nya, tidak dapat diketahui
hakikatnya oleh akal dan fikiran.
Orang yang tidak mendengar keterangan tentang
hal itu tidak dapat disebut kafir. Apabila ia telah mendengar sendiri secara
langsung, maka ia wajib meyakininya seperti halnya kita harus menetapkan
sifat-sifat itu tanpa mentasybihkan (menyerupakan) Allah عزّوجلّ dengan makhluk-Nya, sebagaimana
juga Allah عزّوجلّ tidak
menyerupakan makhluk apa pun dengan diri-Nya. Allah سبحانه و تعالي berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)15
1 Shahih al-Bukhari, Kitab al-Aiman wa an-Nadzair, II/530 Shahih
Muslim, III/266. Manaqib asy-Syafi’i, I/405
2 Ibn
Abi Hatim, Adab asy-Syafi’i,
hal.193, al-Hilyah, IX/112-113 al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, X/28
3 kk
4 Siyar A’lam
an-Nubala’,
X/31
5 Siyar A’lam an
Nubula’, XX/341
6 al-Intiqa’,
hal.79
7 Syarh Ushul I’tiqad Ahl as Sunnah, II/506
8 al-Intiqa’,
hal. 79. Al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i, I/35
9 Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, I/252
10 Manaqib asy-Syafi’i, I/407-408
11 Shahih Bukhari, Kitab at-Tafsir, VII/594, Shahih Muslim, Kitab
Al-Jannah, IV/2187
12 Shahih Bukhari, Kitab al-Jihad, VI/39, Shahih Muslim, Kitab
al-Imarat, III/1504
13 Shahih Bukhari, Kitab al-Fitan, XIII/91. Shahih Muslim, Kitab
al-Fitan, IV/2248
14 Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, IV/ 182. Sunan Ibn Majah,
I/72.Mustadrak al-Hakim, I/525. Al-Ajiri, asy-Syari’ah hal. 317. Ibn Mandah,
ar-Radd.
15 Aqidah Imam Syafi’i رحمه الله ini
dinukil dari sebuah manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Pusat Universitas
Leiden, Belanda.
Pendapat Imam Syafi’i Tentang
Taqdir
- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam
Syafi’i رحمه الله pernah ditanya tentang taqdir,
jawaban beliau :
Apa yang Engkau kehendaki terjadi
Meskipun aku tidak menghendaki
Apa yang aku kehendaki tidak terjadi
Apabila Engkau tidak menghendaki
Meskipun aku tidak menghendaki
Apa yang aku kehendaki tidak terjadi
Apabila Engkau tidak menghendaki
Engkau ciptakan hamba-hamba
Sesuai apa yang Engkau ketahui
Maka dalam ilmu-Mu
Pemuda dan kakek berjalan
Sesuai apa yang Engkau ketahui
Maka dalam ilmu-Mu
Pemuda dan kakek berjalan
Yang ini Engkau karuniai
Sementara yang itu Engkau rendahkan
Yang ini Engkau beri pertolongan
Yang itu tidak Engkau tolong
Sementara yang itu Engkau rendahkan
Yang ini Engkau beri pertolongan
Yang itu tidak Engkau tolong
Manusia ada yang celaka
Manusia juga ada yang beruntung
Manusia ada yang buruk rupa
dan ada juga yang bagus rupawan1
Manusia juga ada yang beruntung
Manusia ada yang buruk rupa
dan ada juga yang bagus rupawan1
- Imam al-Baihaqi menuturkan dalam kitab Manaqib asy
Sayfi’i, bahwa
Syafi’i رحمه الله mengatakan: “Kehendak manusia
itu terserah kepada Allah عزّوجلّ. Manusia tidak berkehendak apa-apa kecuali dikehendaki oleh Allah
عزّوجلّ Rabbul ‘alamin. Manusia itu dapat mewujudkan
perbuatan-perbuatan mereka. Perbuatan-perbuatan itu adalah salah satu makhluk
Allah عزّوجلّ. Taqdir baik
maupun buruk, semuanya dari Allah عزّوجلّ. Adzab kubur itu hak (benar), pertanyaan kubur juga hak, bangkit
dari kubur juga hak, hisab (perhitungan amal) itu juga hak, surga dan neraka
juga hak, begitu dalam sunnah Nabi صلي الله عليه
وسلم.” 2
- Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari al-Muzani رحمه
الله, katanya, Imam Syafi’i رحمه
الله berkata: “Tahukah kamu siapa penganut paham
Qadariyah itu? Yaitu orang yang mengatakan bahwa Allah عزّوجلّ tidak pernah menciptakan sesuatu
sampai hal itu dikerjakan orang.”3
- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari asy Syafi’i رحمه
الله, beliau berkata: “Kelompok Qadariyah yang oleh
Rasulullahصلي الله عليه وسلم disebut sebagai kelompok Majusi dari Umat Islam4 adalah orang-orang yang
berpendapat bahwa Allah عزّوجلّ itu tidak mengetahui maksiat sampai ada orang yang
mengerjakannya.”5
- Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman dari Imam
Syafi’i رحمه الله, bahwa beliau tidak mau shalat
menjadi makmum di belakang penganut paham Qadariyah.6
1 Manaqib asy-Syafi’i, 1/412-413. Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, II/702.
2 Manaqib asy- Syafi’i, I/415
3 Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah,II/701
4 Sunan Abi Daud, Kitab as-Sunnah, V/66. Mustadrak al-Hakim.
U/85
5 Manaqib asy Syafi’i, I/413
6 Ibid
Pendapat Imam Syafi’i Tentang Iman
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar meriwayatkan dari Imam ar-Rabi’, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i رحمه
الله berkata: “Iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan
keyakinan (i’tiqad) di dalam
hati. Tahukah kamu firman Allah عزّوجلّ:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ
إِيمَانَكُمْ
“Allah tidak menyia-nyiakan iman
kamu.” (Al-Baqarah: 143)
Maksud kata “Imanakum” (iman kamu) adalah
shalatmu ketika menghadap ke Baitul Maqdis. Allah عزّوجلّ menamakan shalat itu iman, dan
shalat adalah ucapan, perbuatan dan i’tiqad.” 1
- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya,
ada seorang bertanya kepada Imam Syafi’i رحمه الله,
“Apakah amal yang paling utama?” Imam Syafi’i رحمه
الله menjawab: “Yaitu sesuatu yang apabila hal itu
tiak ada, maka semua amal tidak akan diterima.” “Apakah itu?”, tanya orang itu
lagi. Dijawab oleh Imam Syafi’i رحمه الله,
“Yaitu iman kepada Allah عزّوجلّ di mana tidak ada Tuhan (yang hak disembah) selain Dia. Iman
adalah amal yang paling tinggi derajatnya; paling mulia kedudukannya, dan paling
bagus buah yang dipetik darinya.”
Orang tadi bertanya lagi: “Bukankah iman itu
ucapan dan perbuatan, atau ucapan tanpa perbuatan?” Imam Syafi’i رحمه
الله menjawab: “Iman itu adalah perbuatan untuk Allah
عزّوجلّ, dan ucapan itu
merupakan sebagian dari amal tersebut.” Ia bertanya lagi, “Saya belum paham
bagaimana itu, coba jelaskan lagi.”
Imam Syafi’i رحمه
الله menjelaskan, “Iman itu memiliki
tingkatan-tingkatan, ada iman yang sangat sempurna, ada iman yang berkurang yang
jelas kekurangannya dan ada pula iman yang bertambah.” “Apakah iman itu ada yang
tidak sempurna, berkurang dan bertambah?”, tanya orang itu. “Ya”, jawab Imam
Syafi’i رحمه الله. “Apakah buktinya?”, tanyanya
lagi. Imam Syafi’i
رحمه الله menjawab, “Allah
عزّوجلّ telah mewajibkan
iman atas anggota-anggota badan manusia. Allah عزّوجلّ membagi iman itu untuk semua
anggota badan. Tidak ada satupun anggota badan manusia kecuali telah diserahi
iman secara berbeda-beda. Semua itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan Allah
عزّوجلّ.
Hati misalnya, di mana manusia dapat berfikir
dan memahami sesuatu, merupakan “pemimpin” badan manusia. Tidak ada gerak
anggota badan kecuali berdasarkan pendapat dan perintah hati. Begitu pula dua
biji mata, di mana manusia melihat, dua daun telinga di mana manusia mendengar,
kedua tangan yang dipakai untuk memukul, kedua kaki yang dipakai untuk memenuhi
keinginan hatinya, lisan yang dipakai untuk berbicara, dan kepala di mana
terdapat wajahnya.
Allah عزّوجلّ mewajibkan kepada hati akan
hal-hal yang tidak diwajibkan kepada lisan. Pendengaran (telinga) diwajibkan
untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada mata. Kedua tangan juga
mendapat kewajiban yang tidak sama dengan kaki. Begitu pula farji mendapat kewajiban yang tidak sama
dengan wajah.
Adapun kewajiban yang dibebankan oleh Allah
عزّوجلّ kepada hati adalah
iman, maka berikrar (mengakui), mengetahui, meyakini, ridha, menyerahkan diri,
bahwa tidak ada Tuhan (Yang Hak) selain Allah عزّوجلّ, Maha Esa Allah عزّوجلّ tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak
memiliki isteri dan anak. Dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah
عزّوجلّ, serta mengaku semua
yang datang dari Allah عزّوجلّ, baik Nabi maupun Kitab. Semua itu merupakan hal-hal yang
diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada hati, dan hal itu adalah amal (pekerjaan) hati.
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ
إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ
بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ
عَظِيمٌ
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
adzab yang besar.” (An-Nahl: 106)
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ
الْقُلُوبُ
“Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d :28)
مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آَمَنَّا
بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ
“Di antara orang-orang yang mengatakan dengan
mulut mereka, “Kami telah beriman”, padahal hati mereka tidak beriman.”
(Al-Maidah: 41)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ
تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ
“Dan jika Allah menampakkan apa yang ada dalam
hati kamu, atau menyembunyikannya, niscaya Allah akan melakukan hisab
(perhitungan) dengan kamu tentang perbuatan itu.”
(Al-Baqarah: 284)
Maka keimanan seperti itulah yang diwajibkan
oleh Allah عزّوجلّ kepada
hati, dan itu adalah pekerjaan hati; dan juga merupakan pangkal iman.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kepada lisan,
yaitu mengucapkan dan menyebutkan apa yang telah diikrarkan dan diyakini di
dalam hati. Allah عزّوجلّ
berfirman:
قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ
“Ucapkanlah, “Kami beriman kepada Allah,”
(Al-Baqarah: 136)
Allah عزّوجلّ juga berfirman:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan katakanlah yang baik kepada manusia.”
(Al-Baqarah: 83)
Itulah ucapan-ucapan yang diwajibkan oleh
Allah عزّوجلّ kepada lisan,
yaitu mengatakan yang ada dalam hati. Dan hal itu merupakan pekerjaan lisan, dan
keimanan yang diwajibkan kepadanya.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kepada telinga
(pendengaran) untuk tidak mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah
عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ
إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا
تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا
مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada
kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari
dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta
mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya
(kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” (An-Nisa’:
140)
Namun ada pengecualian, bila seseorang itu
lupa sehingga duduk bersama orang-orang kafir itu. Allah عزّوجلّ berfirman :
وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا
تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan
larangan itu), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu
sesudah ingat (akan larangan itu). (Al-An’am: 68)
Dan Allah عزّوجلّ juga berfiman :
فَبَشِّرْ عِبَادِ . الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ
فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ
أُولُو الْأَلْبَابِ
“Maka sampaikanlah kabar gembira itu kepada
hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
(Az-Zumar :17-18)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ
فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ . وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ .
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ di dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang selalu
membersihkan dirinya.” (Al-Mu’minun: 1-4)
Allah عزّوجلّ berfirman pula :
وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ
“Apabila mereka mendengar (perkataan) yang
tidak berguna, mereka berpaling meninggalkannya.” (Al-Qashash: 55)
Begitu pula firman Allah عزّوجلّ:
وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan apabila mereka bertemu dengan
(orang-orang) yang melakukan perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Al-Furqan: 72)
Ayat-ayat itu semua menunjukkan adanya
kewajiban yang ditetapkan Allah عزّوجلّ kepada telinga agar ia membersihkan diri dari hal-hal yang haram
didengar.
Dan hal itu, merupakan telinga, dan itu
termasuk iman.
Allah عزّوجلّ juga meriwayatkan dua mata
manusia untuk tidak melihat hal-hal yang diharamkan. Dalam hal ini Allah
عزّوجلّ berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ
أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin, agar
mereka menahan pandangan matanya dan menjaga kemaluannya.” (An-Nur: 30)
Dalam ayat ini Allah عزّوجلّ melarang orang mukmin untuk
melihat kemaluan orang lain, dan menyuruh agar menjaga kemaluannya agar tidak
dilihat orang lain. Setiap ungkapan “menjaga kemaluan” di dalam
al-Qur’an, maksudnya adalah
berkaitan dengan zina, kecuali dalam ayat-ayat an-Nur ini, maksudnya adalah
melihat.
Dan itulah kewajiban yang ditetapkan oleh
Allah عزّوجلّ kepada kedua
mata manusia, dan itu merupkan pekerjaan mata termasuk dalam iman.
Allah عزّوجلّ kemudian memberitahukan apa yang
wajib dikerjakan oleh hati, telinga dan mata, dalam sebuah ayat berikut
ini:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ
مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti hal-hal yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu,
semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’ : 36)
Maksud ayat ini adalah bahwa Allah
عزّوجلّ mewajibkan kepada
farj (kemaluan) agar tidak
digunakan untuk hal-hal yang haram. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ
عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ
“Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari
kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu.” (Fushshilat: 22)
Yang dimaksud dengan “kulitmu” dalam ayat ini
adalah “kemaluan dan paha”. Dan itulah yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada kemaluan agar menjaga
dirinya dari hal-hal yang tidak halal. Dan itu merupakan pekerjaan kemaluan.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kedua tangan agar
tidak digunakan untuk hal-hal yang diharamkan, tetapi justeru digunakan dalam
hal-hal yang diperintahkan Allah عزّوجلّ, seperti sadaqah, silaturahmi, jihad fi sabilillah, bersuci untuk
shalat dan lain-lain. Allah عزّوجلّ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ
إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
...
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu, tanganmu sampai siku-siku
…dst.” (Al-Maidah : 6)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ
الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا
بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir
(di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga jika kamu telah
mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka, dan sesudah itu kamu boleh membebaskan
mereka atau menerima tebusan.” (Muhammad : 4)
Memerangi orang-orang kafir, silaturrahmi,
sadaqah, dan lain-lain adalah perbuatan tangan.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kedua kaki
manusia untuk tidak berjalan kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah
عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ
لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini
dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi
dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Al-Isra’: 37)
Allah عزّوجلّ mewajibkan wajah untuk sujud
kepada Allah عزّوجلّ siang
dan malam, dan pada waktu-waktu shalat. Allah عزّوجلّ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ارْكَعُوا
وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
ruku’lah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapatkan
kemenangan.” (Al-Hajj: 77)
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا
مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah
kepunyaan Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorang di samping Allah.”
(Al-Jin: 18)
Maksudnya menyembah di masjid, di mana manusia
melakukan shalat dengan sujud. Dan itulah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan
Allah عزّوجلّ kepada anggota
badan.
Allah عزّوجلّ juga menyebutkan bersuci dan
shalat (sembahyang) sebagai iman, yaitu ketika Allah عزّوجلّ memerintahkan kepada Nabi
صلي الله عليه وسلم untuk
memalingkan wajahnya dari menghadap ke Baitul Maqdis dalam shalat beralih
menghadap ke Ka’bah di
Makkah. Sementara kaum muslimin telah melakukan shalat dengan menghadap ke
Baitul Maqdis selama enam belas bulan. Mereka kemudian mengadu kepada Nabi
صلي الله عليه وسلم, “Ya
Rasulullah, bagaimana dengan shalat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis, apakah
diterima oleh Allah عزّوجلّ?”. Allah عزّوجلّ kemudian menurunkan ayat:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan
menyia-nyiakan iman kamu. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.” (Al-Baqarah: 143)
Dalam ayat ini Allah عزّوجلّ telah menamakan shalat dengan
iman. Maka siapa kelak bertemu dengan Allah عزّوجلّ dengan menjaga shalat-shalatnya,
menjaga anggota badannya, mengerjakan dengan seluruh anggota badannya apa yang
diperintahkan dan diwajibkan Allah عزّوجلّ, maka ia bertemu dengan Allah عزّوجلّ dengan iman yang sempurna dan ia
termasuk penghuni surga. Sebaliknya, siapa yang anggota badannya dengan sengaja
meninggalkan perintah-perintah Allah عزّوجلّ, maka ia akan bertemu dengan
Allah عزّوجلّ dalam keadaan
imannya berkurang.”
Begitulah penjelasan Imam Syafi’i رحمه
الله tentang iman. Kemudian orang yang bertanya kepada
Imam Syafi’i رحمه الله tadi bertanya lagi, “Saya sudah
paham tentang berkurang dan sempurnanya iman. Dari mana datang tambahnya iman
itu?” Imam Syafi’i
رحمه الله menjawab dengan
menyebutkan firman Allah عزّوجلّ:
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ
يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا
فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ . وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ
مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ
كَافِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di
antara mereka (orang-orang munafiq) ada yang berkata, “Siapa di antara kamu yang
bertambah imannya dengan turunnya (surat) ini? Adapun orang yang beriman, maka
surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang
hatinya ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka di
samping kekafirannya (yang telah ada), dan mereka mati dalam
kekafiran.” (At-Taubah : 124-125)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ
وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman
kepada Tuhan mereka, dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Al-Kahfi : 13)
Imam Syafi’i رحمه
الله kemudian mengatakan, “Sekiranya iman itu satu,
tidak ada yang tambah dan kurang, maka tidak ada kelebihan apa-apa bagi
seseorang, dan semua manusia sama. Tetapi, dengan sempurnanya iman, orang mukmin
akan masuk ke surga, dan dengan tambahnya iman pula orang mukmin akan memperoleh
keunggulan tingkatan di dalam surga. Sebaliknya bagi orang-orang yang imannya
kurang, mereka akan masuk ke neraka.
Kemudian Allah عزّوجلّ akan mendahulukan orang beriman
lebih dahulu. Manusia akan memperoleh haknya berdasarkan kedahuluannya dalam
beriman. Setiap orang akan memperoleh haknya, tidak dikurangi sedikitpun. Yang
datang belakang tidak akan didahulukan; yang tidak mulia (karena rendahnya iman)
tidak akan didahulukan daripada yang mulia (karena ketinggian iman). Itulah
kelebihan orang-orang terdahulu dari ummat ini. Seandainya orang-orang yang
beriman lebih dahulu itu tidak mempunyai kelebihan, niscaya akan sama nilainya
orang yang beriman belakangan dengan orang-orang yang beriman lebih
dulu.”2
1 al-Intiqa’ hal.
81
2 Manaqib asy-Syafi’i, I/387-393
Pendapat Imam Syafi’i Tentang
Sahabat
- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i رحمه
الله, “Allah عزّوجلّ telah memuji para Sahabat Nabi
صلي الله عليه وسلم di dalam
al-Qur’an, Taurat dan Injil.
Dan Nabi صلي الله عليه وسلم
sendiri telah memuji keluhuran mereka, sementara untuk yang lain tidak
disebutkan. Maka semoga Allah عزّوجلّ merahmati mereka, dan menyambut mereka dengan memberikan kedudukan
yang paling tinggi sebagai shiddiqin,
syuhada’ dan shalihin.
Mereka telah menyampaikan sunnah-sunnah Nabi
صلي الله عليه وسلم kepada
kita. Mereka juga telah menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi صلي الله عليه وسلم. Karenanya, mereka
mengetahui apa yang dimaksud oleh Rasulullah, baik yang bersifat umum maupun
khusus, kewajiban maupun anjuran. Mereka mengetahui apa yang kita ketahui dan
apa yang tidak kita ketahui tentang sunnah Nabi صلي
الله عليه وسلم. Mereka di atas kita di dalam segala
hal, ilmu dan ijtihad, kehati-hatian dan pemikiran, dan hal-hal yang diambil
hukumnya. Pendapat-pendapat mereka, menurut kita, juga lebih unggul daripada
pendapat-pendapat kita sendiri.”1
- Imam al-Baihaqi menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman bahwa ia mendengar Imam
Syafi’i رحمه الله memandang Abu Bakar adalah yang
paling utama di antara semua sahabat, kemudian Umar, Ustman dan kemudian Ali
رضي الله عنهم.2
- Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Abdullah bin Abd al-Hakam, katanya, ia
mendengar Imam Syafi’i
رحمه الله berkata: “Manusia
yang paling mulia sesudah Nabi صلي الله عليه
وسلم adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman
dan kemudian Ali رضي
الله عنهم.” 3
- Imam al-Harawi meriwayatkan dari Yusuf bin Yahya al-Buwaiti,
katanya, saya bertanya kepada Imam Syafi’i رحمه الله:
“Apakah saya boleh shalat bermakmum di belakang orang Rafidhi (Syi’ah) ?” Beliau menjawab: “Jangan kamu
shalat menjadi makmum orang Rafidhi, Qadari (penganut paham Qadariyah), dan
penganut paham Murji’ah.”
Saya bertanya lagi: “Apakah tanda-tanda mereka itu?” Beliau menjawab: “Orang
yang berpendapat bahwa iman itu hanyalah ucapan saja, maka ia penganut paham
Murji’ah. Orang yang
berpendapat bahwa Abu Bakar dan Umar itu bukan imam umat Islam adalah penganut
paham Rafidhah. Dan orang yang berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kehendak
mutlak dan dapat menentukan nasibnya sendiri, ia adalah penganut paham
Qadariyah.” 4
1 Manaqib Imam asy-Syafi’i, I/442
2 Ibid
3 Ibid, I/433
4 Dzamm al-Kalam, lembar 215. adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, X/31
Larangan Imam Syafi’i Terhadap Ilmu Kalam dan
Berdebat dalam Agama
- Imam al-Harawi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, saya mendengar
Imam Syafi’i رحمه الله berkata: “Seandainya ada orang
berwasiat kepada orang lain untuk mengambil kitab-kitabnya yang berisi ilmu-ilmu
keislaman, sementara di antara kitab-kitab itu ada kitab-kitab Kalam, maka
kitab-kitab Kalam ini tidak masuk di dalam wasiat, karena Kalam itu tidak
termasuk ilmu-ilmu keislaman.” 1
- Imam al-Harawi meriwayatkan dari al-Hasan az-Za’farani, katanya, saya mendengar Imam
Syafi’i رحمه الله berkata: “Saya tidak pernah
berdiskusi dengan seorangpun dalam masalah Kalam kecuali hanya satu kali saja.
Dan itu kemudian saya membaca istighfar, minta ampun kepada Allah عزّوجلّ.” 2
- Imam al-Harawi meriwayatkan dari Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam
Syafi’i رحمه الله pernah berkata: “Seandainya
saya mau, saya akan membawa kitab yang besar untuk berdiskusi dengan lawan
pendapatku. Tetapi untuk berdiskusi tentang masalah Kalam, saya tidak suka
dikait-kaitkan dengan Kalam.” 3
- Imam Ibn Battah meriwayatkan dari Abu Tsaur katanya, Imam
Syafi’i رحمه الله pernah berkata kepadaku: “Saya
tidak pernah melihat orang menyandang sedikitpun tentang Kalam kemudian ia
menjadi orang yang beruntung.” 4
- Imam Harawi meriwayatkan dari Yunus al-Mishri, katanya, Imam
Syafi’i رحمه الله pernah berkata: “Seandainya
Allah عزّوجلّ memberikan
cobaan (ujian) kepada seseorang, sehingga ia melakukan larangan-larangan Allah
عزّوجلّ selain syirik, hal
itu masih lebih bagus dari pada ia mendapati cobaan (ujian) dengan terperosok
pada Ilmu Kalam.” 5
Itulah rangkuman pendapat-pendapat Imam
Syafi’i رحمه الله tentang masalah Ushuluddin, dan
sikap beliau tentang Ilmu Kalam.
1 Ibid, X/30. Dzamm al-Kalam, lembar 213
2 Ibid
3 Ibid. lembar 215
4 al-Ibanah al-Kubra, hal. 535-536
5 Ibn
Abi Hatim, Manaqib asy-Syafi’i, hal. 182
Aqidah Imam Ahmad
Pendapat ImamAhmad Tentang Tauhid
- Di
dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah, terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله pernah ditanya tentang
tawakkal. Jawab beliau: “Tawakkal itu adalah mengandalkan sepenuhnya kepada
Allah dan tidak mengharapkan dari manusia.”1
- Di
dalam kitab al-Mihnah
terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه
الله berkata: “Allah itu sejak azali terus berfirman.
Al-Qur’an adalah
firman-firman Allah dan bukan makhluk, dan Allah tidak boleh disifati dengan
sifat-sifat selain yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah.”2
- Imam Abu Ya’la
meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, katanya, saya bertanya kepada Ahmad bin
Hanbal tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, melihat
Allah, Isra’, dan kisah
‘Arsy, yang ditolak oleh
kelompok Jahmiyah. Ternyata menurut beliau, hadits-hadits tersebut shahih, dan
beliau berkata: “Hadits-hadits itu telah diterima oleh umat Islam, dan
jalankanlah (pahamilah) hadits-hadits itu seperti apa adanya.”3
- Abdullah bin Ahmad berkata di dalam kitab as-Sunnah, bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Barangsiapa yang
berpendapat bahwa Allah itu tidak berfirman, maka telah kafirlah dia. Kita
meriwayatkan hadits-hadits itu seperti apa adanya.”4
- Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari Hanbal bahwa ia bertanya kepada Imam Ahmad
رحمه الله tentang
ru’yah (melihat Allah di Akhirat). Jawaban
beliau: “Hadits-Hadits mengenai ru’yah itu shahih. Kita mengimani dan menetapkannya. Dan semua hadits
yang diriwayatkan dari Nabiصلي الله عليه
وسلم dengan sanad-sanad yang bagus, kita mengimaninya
dan menetapkan keshahihannya.”5
- Imam Ibn al-Jauzi menuturkan dalam kitab al-Manaqib tentang kitab Imam Ahmad bin
Hanbal karya Musaddad. Di dalam kitab tersebut ada keterangan di mana Imam Ahmad
رحمه الله berkata:
“Sifatilah Allah dengan sifat-sifat yang dipakai oleh Allah untuk mensifati
diri-Nya sendiri, dan tinggalkanlah hal-hal yang ditinggalkan oleh Allah untuk
mensifati diri-Nya sendiri.”6
- Di
dalam kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah karya Imam Ahmad رحمه الله, beliau mengatakan: “Jahm bin Shafwan berpendapat, bahwa orang
yang mensifati Allah dengan sifat-sifat yang dipakai Allah untuk mensifati
diri-Nya sendiri seperti yang terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi
صلي الله عليه وسلم, maka
orang itu telah menjadi kafir dan termasuk kelompok musyabbihah (menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya).”7
- Imam Ibn Taimiyah menuturkan dalam kitab Dar’u
Ta’arud al-‘Aql wa an-Naql, ucapan Imam Ahmad رحمه الله: “Kami mengimani bahwa Allah ada di atas ‘Arsy, bagaimana Dia berkehendak dan
seperti apa yang Allah kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang dipakai oleh
seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu. Sifat-sifat Allah adalah
sifat-sifat yang digunakan untuk Allah, yaitu seperti Allah mensifati diri-Nya
sendiri, bahwa Dia tidak dapat dilihat oleh mata.”8
- Imam Abi Ya’la
juga meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه
الله, bahwa beliau berkata: “Orang yang berpendapat
bahwa Allah itu tidak dapat dilihat di Akhirat, maka dia telah kafir dan
mendustakan Al-Qur’an.”9
- Imam Ibnu Abi Ya’la juga meriwayatkan dari Abdullah putera Imam Ahmad رحمه الله, katanya, saya pernah bertanya
kepada ayah saya tentang orang-orang yang berpendapat bahwa ketika Allah
berfirman kepada Nabi Musa, Allah berfirman tanpa suara. Kemudian ayah saya
berkata: “Allah berfirman dengan suara. Hadits-hadits ini kita riwayatkan sesuai
apa adanya.”10
- Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari Abdus bin Malik al-Attar, katanya, saya
mendengar bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Dan
janganlah kamu lemah untuk berkata bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk, karena Kalamullah
itu dari Allah, dan tidak ada sesuatu yang keluar dari Allah itu disebut
makhluk.”11
1 Thabaqat al-Hanabilah, I/416
2 as-Sunnah, hal. 68
3 Thabaqat al-Hanabilah, I/56
4 as-Sunnah, hal. 71
5 Syarah I’tiqad
Ahl as-Sunnah, II/507
6 Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 221
7 ar-Radd ‘ala
al-Jahmiyyah, hal. 104
8 Dar’u
Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, II/30
9 Thabaqat al-Hanabilah, I/58, 145
10 Ibid, I/185
11 Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, I/157
Pendapat ImamAhmad Tentang Qadar
- Imam Ibn al-Jauzi menuturkan dalam kitab al-Manaqib tentang kitab Imam Ahmad bin
Hanbal رحمه الله karya
Musaddad. Dalam kitab itu terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Kita mengimani
taqdir, yang baik, yang buruk, yang manis, yang pahit, semuanya dari
Allah.”1
- Imam al-Khallal meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, katanya,
Imam Ahmad رحمه الله pernah
ditanya: “Apakah kebaikan dan keburukan itu ditaqdirkan kepada hamba Allah, dan
apakah Allah menciptakan kebaikan dan keburukan?” Beliau menjawab: “Ya, Allah
telah mentetapkannya.”2
- Dalam kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad رحمه الله beliau mengatakan: “Taqdir itu, yang baik dan yang buruk, yang
sedikit dan yang banyak, yang lahir dan yang batin, yang manis dan yang pahit,
yang disuka dan yang dibenci, yang elok dan yang jelek, yang awal dan yang
akhir, semuanya sudah ditetapkan oleh Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Dan tidak
ada seorang pun dari hamba Allah yang dapat keluar dari kehendak dan ketetapan
Allah. ”3
- Imam al-Khallal juga meriwayatkan dari Muhammad bin Abu Harun, dari
al-Harits, katanya, saya mendengar Imam Ahmad رحمه
الله berkata: “Allah سبحانه
و تعالي telah mentaqdirkan ketaatan dan maksiat,
kebaikan dan keburukan. Orang yang telah ditetapkan sebagai orang yang
berbahagia, maka ia berbahagia, dan orang yang telah ditetapkan sebagai orang
yang celaka, ia akan celaka.”4
- Abdullah putera Imam Ahmad رحمه
الله berkata, “Saya mendengar ayah saya, ketika beliau
ditanya Ali bin Jahm tentang “Orang yang berbicara tentang qadar, apakah ia
menjadi kafir?” Beliau menjawab: “Ya apabila ia mengingkari ilmu Allah. Apabila
ia berpendapat bahwa Allah itu tidak mengetahui, sampai Allah menciptakan ilmu,
dan barulah Allah mengetahui, maka ia mengingkari ilmu Allah, dan dengan
demikian ia menjadi kafir.”5
- Abdullah, putera Imam Ahmad رحمه
الله juga menuturkan, saya pernah bertanya ayah saya
sekali lagi tentang shalat menjadi makmum di belakang paham Qadariyah. Beliau
menjawab: “Apabila penganut Qadariyah itu selalu berdebat dan menyebarkan paham
tersebut, maka kamu jangan shalat di belakangnya.”6
1 Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 169, 172
2 al-Khallal, as-Sunnah, lembar 85
3 as-Sunnah, hal. 68
4 al-Khallal, as-Sunnah, lembar 85
5 Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, hal. 119
6 as-Sunnah, I/384
Pendapat ImamAhmad Tentang Iman
- Imam Abu Ya’la
meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Di antara yang paling mulia dari
masalah-masalah iman adalah cinta karena Allah dan marah karena
Allah.”1
- Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Iman
itu bertambah dan berkurang, seperti diterangkan dalam hadits :
أَكْمَلُ الْمُؤْ مِنِيْنَ إِيْمَانًا
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
- Imam al-Khallal meriwayatkan dari Sulaiman bin Asy’ats, katanya, bahwa Imam Ahmad
رحمه الله mengatakan:
“Shalat, zakat, haji dan berbuat kebajikan adalalah sebagian dari iman.
Sedangkan menjalankan maksiat dapat mengurangi iman.”3
- Abdullah, putera Imam Ahmad رحمه
الله, mengatakan, saya pernah bertanya ayah saya
tentang “Seseorang yang berpendapat bahwa iman itu adalah ucapan dan pengamalan,
bertambah dan berkurang tanpa menyebut insya
Allah, apakah ia seorang Murji’ah?” Beliau menjawab: “Saya berharap
mudah-mudahan orang tersebut bukan penganut paham Murji’ah.” Abdullah berkata lagi, saya
mendengar ayah berkata: “Dalil yang melawan pendapat orang yang tidak
menyebutkan insya Allah
dalam menyatakan iman adalah sabda Nabiصلي الله عليه
وسلم kepada penghuni kubur:
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَ
حِقُوْنَ
- Abdullah juga menuturkan, saya mendengar ayah saya, ketika ditanya
tentang paham Murji’ah,
beliau menjawab: “Kami mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang. Apabila seseorang melakukan zina atau minum khamar,
maka imannya berkurang.”5
1 Thabaqat al-Hanabilah, II/275
2 Musnad al-Imam Ahmad, II/250. Sunan Abi Daud, V/60 Sunan
at-Tirmidzi, III/457. Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 153, 168,173
3 al-Khallal, as-Sunnah, lembar 96
4 Hadits riwayat Muslim, Shahih Muslim, II/669. Abdullah bin Ahmad,
as-Sunnah, I/307-308
5 Ibid
Pendapat ImamAhmad Tentang Sahabat
- Dalam kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad رحمه الله ada keterangan sebagai berikut:
“Di antara ajaran as-Sunnah adalah
menyebut-nyebut kebaikan semua sahabat Nabi صلي الله
عليه وسلم dan menahan diri tidak menyebutkan
ketidakbaikan dan pertentangan yang terjadi antara mereka. Orang yang mencaci
para sahabat, atau salah seorang saja di antara mereka, maka ia telah berbuat
bid’ah, berpaham Rafidhi
(Syi’ah), dan berlaku buruk.
Allah tidak akan menerima amal kebajikannya.
Mencintai Sabahat adalah ajaran as-Sunnah, mendo’akan mereka adalah termasuk ibadah, mengikuti mereka adalah cara yang benar, dan memakai pendapat-pendapat mereka adalah suatu kemuliaan. Kemudian, para sahabat itu, sesudah al-Khulafa’ ar-Rasyidin, adalah manusia-manusia terbaik. Tidak boleh ada orang yang menjelek-jelekan mereka dan sebagainya. Apabila ada yang melakukan hal itu, maka Sultan (Pemerintah) wajib memberinya “pelajaran” dan sanksi, dan tidak boleh membebaskannya.”1
- Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan sepucuk surat dari Imam Ahmad
رحمه الله yang beliau
kirimkan kepada Musaddad. Di dalam surat itu terdapat keterangan sebagai
berikut, “Hendaknya Anda menjadi saksi bahwa sepuluh orang sahabat itu telah
diberi tahu akan masuk surga. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
Thalhah, az-Zubair, Sa’ad,
Sa’id, Abdurrahman bin Auf
dan Ubaidah bin al-Jarrah. Orang yang telah disaksikan oleh Nabi صلي الله عليه وسلم akan masuk surga, kita
juga menjadi saksi.”2
- Abdullah putera Imam Ahmad رحمه
الله, menuturkan, saya pernah bertanya ayah saya
tentang siapa imam-imam ummat ini. Beliau menjawab: “Mereka adalah Abu Bakar,
Umar, Utsman dan Ali.”3
- Abdullah juga mengatakan, bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya
tentang “Orang-orang yang berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib itu bukan seorang
Khalifah”. Beliau menjawab: “Itu pendapat yang buruk dan jelek.”4
- Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata, “Orang
yang tidak mengakui, bahwa Ali bin Abi Thalib itu khalifah, maka ia lebih sesat
daripada keledai piaraan yang hilang.”5
- Imam Ibn Abi Laila juga meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Orang
yang tidak mau mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, jangan kamu ajak
bicara dan jangan kamu menikahi keluarganya.”6
1 as-Sunnah, karya Imam Ahmad, hal. 77-78
2 Ibn
al-Jauzi, Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 170
3 as-Sunnah, hal. 235
4 Ibid
5 Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 163
6 Thabaqat al-Hanabillah, I/45
Pendapat Imam Ahmad Tentang Ilmu Kalam dan
Berdebat dalam Agama
- Imam Ibnu Baththah meriwayatkan dari Abu Bakar al-Marwazi, katanya,
saya mendengar Imam Ahmad رحمه الله menyatakan: “Siapa yang mengkaji Ilmu Kalam, ia tidak akan
beruntung, dan ia tidak akan terlepas dari mengikuti kelompok
Jahmiyah.”1
- Dalam kitab Jami’ Bayan al-‘Ilm wa al-Fadhlih, Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata, “Tidak
akan beruntung selamanya, orang yang mengkaji Ilmu Kalam, dan Anda hampir tidak
akan melihat orang yang mempelajari Ilmu Kalam itu kecuali di dalam hatinya ada
ketidakberesan.”2
- Imam al-Harawi meriwayatkan dari Abdullah, putera Imam Ahmad
رحمه الله, katanya, Ayah
saya pernah menulis surat kepada Ubaidillah bin Yahya bin Khaqan. Dalam surat
itu ayah saya berkata: “Kamu itu bukan termasuk ahli Kalam. Kalam yang benar
adalah Kitabullah atau Hadits Rasulullah صلي الله عليه
وسلم. Berbicara di luar itu tidak
terpuji.”3
- Imam Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dari Musa bin Abdillah al-Turtusi,
katanya, saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal رحمه
الله berkata: “Jangan kamu duduk bersama ahli Kalam,
meskipun dia itu kelihatannya membela sunnah Nabi صلي
الله عليه وسلم.”4
- Imam Ibnu Baththah meriwayatkan dari Abu al-Harits ash-Shayigh,
katanya, “Orang yang mencintai Ilmu Kalam, maka sebenarnya hal itu tidak keluar
dari hatinya. Dan anda tidak akan melihat orang yang mempelajari Ilmu Kalam itu
beruntung.”5
- Imam Ibnu Baththah menuturkan dari Ubaidillah bin Hanbal, katanya,
saya mendengar Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Berpeganglah kamu dengan sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم, Allah akan memberikan
manfaat kepadamu. Dan hindarilah perdebatan dalam masalah agama, karena orang
yang menyukai Ilmu Kalam tidak akan beruntung. Orang yang membuat perdebatan
dalam Kalam, ujung-ujungnya adalah membuat bid’ah, karena Ilmu Kalam tidak membawa
kepada kebaikan. Saya tidak menyukai Ilmu Kalam, apalagi ikut perdebatan.
Kamu harus berpegang teguh kepada sunnah Nabi
صلي الله عليه وسلم,
pendapat-pendapat para sahabat, Fiqih yang dapat kamu manfaatkan. Tinggalkanlah
perdebatan dan pendapat orang-orang yang hatinya bengkok. Orang-orang yang saya
temui, ternyata mereka tidak pernah mengenali para ahli Kalam, mereka juga
menjauhi para ahli Kalam. Kalam itu pada akhirnya tidak baik. Semoga Allah
menjaga kita semuanya dari fitnah (ujian hati), dan menyelamatkan kita dari
kehancuran.”6
- Dalam kitab al-Ibanah, Ibnu Baththah meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata:
“Waspadalah terhadap orang yang menyukai Ilmu Kalam.”7
Inilah rangkuman pendapat Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله tentang masalah-masalah Ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam.
1 al-Ibanah, II/538
2 Jami’ Bayan
al-‘Ilm wa al-Fadhlih,
II/95
3 Dzamm al-Kalam, lembar 216-B
4 Manaqib al-Imam Ahmad, hal.205
5 Ibn
Baththah, al-Ibanah, II/539
6 Ibid
7 Ibid, II/540
Khatimah
Dari keterangan-keterangan yang lalu, jelaslah
sudah bahwa pendapat Imam Empat itu tidak berbeda, karena aqidah mereka sama,
kecuali dalam masalah pengertian iman di mana Imam Abu Hanifah punya pendapat
tersendiri. Namun demikian, diberitakan beliau mencabut pendapatnya itu.
Aqidah ini adalah sangat layak untuk
menyatukan ummat Islam di bawah satu kalimat, dan menjaga mereka dari perpecahan
dalam masalah agama. Karena aqidah ini bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Nabi
صلي الله عليه وسلم.
Tampaknya sedikit sekali orang yang mengetahui dan memahami aqidah Imam-imam
Empat itu dengan sebenarnya. Yang masyhur adalah bahwa Imam Empat itu dinilai
sebagai orang-orang yang mufawwidhin, yang menyerahkan arti ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat
Allah dan sebagainya kepada Allah. Mereka dinilai hanya dapat membaca saja,
tidak lebih dari itu. Seolah-olah Allah bermain-main kata yang tak bermakna
dalam menurunkan wahyu.
Allah berfirman :
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ
لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan
kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan
supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran.” (Shad: 29)
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
. نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ
الْأَمِينُ . عَلَى قَلْبِكَ
لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ . بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (asy-Syu’ara’:
192-195)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا
لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa
al-Qur’an dengan bahasa
Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf : 2)
Karenanya, Allah menurunkan Al-Qur’an untuk direnungkan dan dipahami
ayatnya, serta dijadikan sebagai pelajaran. Allah juga menerangkan, bahwa
al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa Arab yang jelas, agar difikirkan dan dipahami maknanya oleh umat manusia.
Jika Allah menurunkan al-Qur’an tersebut untuk dipahami ayat-ayatnya
dengan bahasa Arab yang jelas, maka pengertian ayat-ayat itu tentu akan mudah
dipahami oleh manusia yang menjadi target diturunkannya al-Qur’an tersebut. Bila tidak demikian, dan
pengertian ayat-ayat tersebut tidak bisa dipahami oleh manusia, maka
diturunkannya al-Qur’an itu
akan sia-sia dan tidak ada gunanya bagi mereka, kerena tak ubahnya seperti
huruf-huruf yang tak bermakna.
Tentu pendapat seperti ini merupakan kejahatan
terhadap aqidah para Sahabat, Tabi’in dan para Imam sesudah mereka, serta merupakan tuduhan terhadap
mereka, yang sebenarnya mereka terbebas dari tuduhan tersebut. Karena mereka
adalah orang-orang yang mengerti dan memahami arti ayat-ayat al-Qur’an, karena kedekatan mereka dengan Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam. Bahkan sebenarnya merekalah yang lebih tahu tentang maksud-maksud tersebut.
Mereka melakukan ibadah kepada Allah dengan
ungkapan-ungkapan yang mereka pahami dari al-Qur’an dan Sunnah Nabiصلي الله عليه وسلم serta mereka meyakininya sebagai suatu kebenaran dan
syari’at dari Allah. Apabila
mereka dapat memahami cara-cara beribadah kepada sesembahan mereka, yaitu Allah,
maka bagaimana mungkin mereka tidak mengetahui sesembahan mereka dengan
sifat-sifat kesempurnaan-Nya? Bagaimana mungkin mereka tidak dapat memikirkan
makna ayat-ayat al-Qur’an
yang telah dijelaskan oleh Allah sendiri kepada para hamba-Nya?
Walhasil, aqidah para Imam Empat itu adalah
aqidah yang benar sesuai dengan apa yang disebutkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم, bersumber dari sumber
yang jernih, tidak bercampur dengan ta’wil, ta’thil, tasybih,
dan tamtsil.
Para pelaku ta’thil (yang meniadakan sifat-sifat Allah)
dan pelaku tasybih (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), tidak memahami
sifat-sifat Allah kecuali yang layak dengan para makhluk. Pemahaman seperti ini
bertentangan dengan fithrah manusia, di mana tidak ada sesuatu pun yang
menyerupai Allah, baik Dzat, Sifat, maupun Perbuatan-Nya.
Akhirnya, kepada Allah kami panjatkan
do’a, semoga buku kecil ini
bermanfaat bagi kaum Muslimin, semoga mereka disatukan dalam suatu aqidah dan satu thariqah yang bersumber
dari al-Qur’an dan
as-Sunnah, serta petunjuk Nabi صلي الله عليه
وسلم. Allah Maha Tahu tentang maksud seseorang. Dia
mencukupi kita dan sebaik-baik Dzat yang kepada-Nya kita titipkan diri.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
Daftar Pustaka
- Ibn Abi Hatim, Adab asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, Editor Abd al-Ghani ‘Abd al-Khaliq, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut.
- Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘An Ushul ad-Diyanah, editor Dr. Fauqiyah Husain, Dar al-Anshar, Kairo, 1397 H.
- Abu Muhammad Mahmud al-‘Aini, al-Binayah fi Syarh al-Hidayah, Dar al-Fikr al-‘Adabi, Beirut, 1401 H.
- Ibn al-Qayyim, Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah/al-Farazdaq, Riyadh.
- Al-Baihaqi, al-Asma’ wa ash-Shifat, Dar Ihya’ at-Taurats al-‘Arabi.
- Al-Baihaqi, al-‘Itiqad wa al-Hidayah ila Sabil al-Rasyad, editor Ahmad ‘Ashim al-Katib, Dar al-Afaq al-Jadidah, Bairut 1401 H.
- Az-Zabidi, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, Dar al-Fikr, Beirut.
- Ibn ‘Abd al-Bar, al-Intiqa’ fi Fadhail ats-Tsalatsa al-Fuqaha’, Dar al-Qutub al-Ilmiyah, Beirut.
- Ibn Taimiyah, al-Iman, editor Muhammad al-Harras, Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyah.
- Ibn ‘Abd al-Bar, at-Tamhid fima fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid, editor Musthafa Alawi dkk, wa Zarah al-Auqaf al-Islamiyah, Maroko.
- Ibn Taimiyah, at Tawassul wa al-Wasilah, editor Rabi’ bin Hadi, Maktabah Linah, Kairo.
- Abdullah bin Mahmud, as-Sunnah, editor Dr. Muhammad Sa’id al-Qahthani, Dar Ibn al-Qayyim, Dammam, 1406 H.
- Ibn Abi ‘Ashim, as-Sunnah, al-Maktab al-Islami, Bairut.
- Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, Dar al-Fikr, Beirut.
- Al-Mausu’ah al-‘Arabiyyah al-Muyassarah, Dar Nahdhah, Lebanon, Beirut
- Imam asy-Syafi’i, ar-Risalah, editor Ahmad Muhammad Syakir, al-Halabi.
- Ibn ‘Abidin, ad-Durr al-Mukhtar ma’a Hasyiyah Radd al-Mukhtar, al-Babi al-Halabi.
- Imam Ahmad bin Hanbal, ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah wa al-Zanadiqah, editor Dr.‘Abd ar-Rahman Umairah, cet. II, 1402 H.
- Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut.
- Ibn Hajar al-‘Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1395 H.
- An-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut.
- Abd ar-Rahman Badawi, Tarikh al-Ilhad fi al-Islam, Maktabah an-Nahdhah, Kairo.
- Al-Qadhi ‘Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, Wazarah al-Auqaf, Maroko.
- Adz-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffazh, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut.
- Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Dairah al-Ma’arif an-Nizhamiyah, Hyderabat India.
- Ibn ‘Abdil Bar, Jami Bayan al-‘Ilm wa al-Fadhilah, Dar al-Kutub al-Islamiyah, al-Maktabah al-‘Ilmiyah, Madinah.
- Abu Nu’aim al-Isfahani, Hilyah al-‘Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, Dar al-Kutub al-‘Arabi, Beirut, 1387 H.
- Ibn Taimiyah, Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, editor Muhammad Rasyad Salim, Universitas Islam Muhammad bin Sa’ud, Riyadh, 1402 H.
- Al-Harawi, Dzamm al-‘Ilaj (manuskrip).
- Abu Daud, as-Sunan, Dar al-Hadits, Syria.
- An-Nasa’i, as-Sunan, Dar al-Basyair, Beirut, 1406 H.
- At-Tirmidzi, as-Sunan, Musthafa al-Babi al-Halabi, Kairo, 1398 H.
- Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, editor Syu’aib al-Arnauth dkk, Muassasah ar-Risalah, 1402 H.
- Ibn ‘Imad al-Hanbali, Syadzarat adz-Dzahab fi Akhbar man Dzahab, Dar as-Sirah, Beirut.
- Al-Qari, Syarh al-Fiqh al-Akbar, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
- Al-Mala Hasan Banna al-Iskandari, Syarh al-Washiyah, Dar al-Ma’arif al-Utsmaniyah, Hyderabad, India.
- Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, editor Syu’aib al-Arnauth, al-Maktab al-Islami, Bairut, 1390 H.
- Al-Lalaka’i, Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, editor Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan, Dar Thayibah, Riyadh.
- Al-Khatib al-Baghdadi, Syaraf Ash-hab al-Hadits, editor Muhammad Sa’id al-Khatib Oghli, Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyah.
- Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi’, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, Dar al-Bayan, Beirut.
- Al-Ajuri, Asy Syari’ah, editor Hamd Hamid al-Faqi, Dar Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1403 H.
- Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bersama Fath al-Bari, al-Maktabah as-Salafiyah.
- Muslim bin Hijjaj, Shahih Muslim, Ri’asah Idarah al-Bukhuts al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’, Riyadh, 1400 H.
- Ibnu Qadamah, Shifat al-‘Uluw, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, Madinah.
- Al-Qadhi Abu Ya’la, Thabaqat al-Hanabilah, Dar al-Ma’rifah, Bairut.
- Abu Ishaq as Syirazi, Thabaqat al-Fuqaha’, Dar Raid al-’Arabi, Beirut, 1401 H.
- Ismail as-Shabuni, ‘Aqidah as-Salaf Ash-hab al-Hadits, editor al-Badr, al-Dar as-Salafiyah, Kuwait.
- Adz-Dzahabi, al-’Uluw, al-Maktabah as-Salafiyah, Madinah 1388 H.
- Al-Qari, al-Fiqh al-Akbar Ma’a Syarhihi, Dairah al-Kutub al-‘Ilmiyah.
- Al-Fiqh al-Absath, editor Muhammad Zahid al-Kautsar, al-Anwar, Kairo.
- Muhammad Shadiq Khan, Qathf ats-Tsamar fi Bayan ‘Aqidah Ahl al-Atsar, editor Dr. ‘Ashim bin Muhammad al-Qaryuti, Syirkah as-Syarq al-Awsath, Amman.
- Abd al-‘Alim bin Utsman al-Yamani, Qalaid ‘Uqud al-Adyan, Manuskrip di Perpustakaan Pusat Universitas Islam Muhammad bin Sa’ud, Riyadh.
- Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, Dar Shadir, Beirut.
- Ibn Hajar al-‘Asqalani, Lisan al-Mizan, Muassasah al-A’lami, Beirut, 1390 H.
- Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, susunan ‘Abd al-Rahman bin Qasim, Muassasah ar-Risalah.
- Abu Daud as-Sijistani, Masail al-Imam Ahmad, Dar al-Ma’rifah, Beirut.
- Al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Maktabah Ibn al-‘Arabi, Libanon.
- Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, al-Maktab al-Islami.
- Ahmad al-Makki, Manaqib Abi Hanifah, Dar al-Kitab al-‘Arabi.
- Al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i, editor as-Sayid Ahmad Shaqr, Dar at-Turats, Kairo, 1391 H.
- Ibn Taimiyah, Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, editor Dr.Muhammad Rasyad Salim, Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud, Riyadh, 1406 H.
- An-Nashiri, an-Nur al-Lami’ wa al-Burhan asy-Syathi’, Manuskrip di Perpustakaan as Sulaimaniyah,Turki, No. 2973.
Sumber Ebook : http://ibnumajjah.wordpress.com/ Diarsipkan : http://faisalchoir.blogspot.com/
Download Ebooknya disini: Aqidah Imam Empat
Download Ebooknya disini: Aqidah Imam Empat
assalamualaikum,,ijin share ustad jazakalahukhairan
BalasHapus