Inilah tanda mereka, maka barangsiapa menyerupai suatu kaum ia termasuk didalamnya. Ahlussunnah berdalil akan haramnya mencaci dan melaknat ulil amri ini dengan beberapa hadits, antara lain:
Redaksi Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashfahan 774:
“…Janganlah kalian mencaci umara’ kalian dan jangan mencela mereka. Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah karena sesungguhnya perkatanya dekat.”
Ini adalah kesepakatan atau bisa disebut ijma’ para pembesar sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas larangan mencaci dan mencela umara’, karena akan berakibat buruk dan memperburuk keadaan, termasuk menambah motivasi untuk melawan sulthan.
Perhatikan sejarah berikut ini:
Abdullah ibn ‘Ukaim berkata: “Saya tidak akan membantu atas pembunuhan Khalifah selamanya setelah Utsman.” Maka dikatakan: “Wahai Abu Ma’bad apakah engkau membantu atas darahnya?” Dia berkata: “Aku menilai, menyebut keburukan-keburukannya adalah bantuan atas darahnya.” [8]
Oleh karena itu para salaf shalih memberikan peringatan keras atas perbuatan mencaci maki sulthan. Abu Ishaq al-Subai’i berkata: “Tidaklah satu kaum mencaci amir mereka melainkan mereka dihalangi dari kebaikannya.”
Abu Mijlaz berkata: “Mencaci maki imam adalah pencukur, aku tidak akan mengatakan pencukur rambut, akan tetapi pencukur agama.”
Abu Idris al-Khaulani berkata: “Janganlah kalian mencela para imam karena mencela mereka adalah pencukur; yaitu pencukur agama, bukan pencukur rambut. Ingatlah para pencela itu adalah orang-orang yang merugi dan seburuk-buruk orang buruk.”
Di samping itu menjelek-jelekkan ulil amri (ulama dan umara’, begitu pula menjelek-jelekkan yang lain) dengan menyebar luaskan dosa-dosa pribadinya di tengah-tengah masyarakat adalah termasuk ghibah yang haram, bukan termasuk nasehat dan ishlah. Rasulllah shallallahu ‘alaihin wa sallam bersabda: “Barangsiapa memberi saudaranya mau’izhah di hadapan khalayak ramai maka sesungguhnya ia telah membuka aibnya (mengolok-ngoloknya).”
Sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu telah mengingkari seseorang yang menjelek-jelekkan Abdullah ibn Amir Gubernur Bashrah dari pihak Utsman, pada saat dia berkata dalam khutbahnya:
Maka sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Diamlah. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menghina sulthan Allah di bumi, maka Allah menghinakannya.”
Foot Note:
[1] Baca Kitabal-Amr Biluzum Jama’ah al-Muslimin wa Imamihim wat-Tahdzir min Mufaraqatihim, karangan Dr. Abdussalam Barjas Abdil Karim. 121-128; Kitab Kasyf al-Syubuhat al-’Ashriyyah ‘an al-Da’wah al-Ishlahiyyah as-Salafiyyah, Abdul Aziz Rais Alu Rais, 39.
BERDOALAH UNTUK KEBAIKAN MEREKA
Ketika menyebutkan biografi Khalifah Bani Abbas, al Mustanjid Billah, Imam adz Dzahaby memberikan komentarnya dengan berkata :
“Seorang penguasa, jika memiliki akal yang baik dan agama yang kuat, niscaya akan baiklah urusan pemerintahan.
Jika akalnya lemah sementara agamanya baik, maka agamanya akan membawanya untuk selalu bermusyawarah dengan para cendekiawan hingga akan baiklah seluruh urusannya dan keadaan akan berjalan sebagaimana mestinya.
Jika agamanya kurang, sementara pemikirannya cemerlang, niscaya akan susahlah negara dan rakyat. Sebab kejeniusannya itu akan membawanya untuk selalu memperbaiki keadaan rakyat dan negara, semata-mata karena pertimbangan duniawi bukan pertimbangan ketakwaan.
Jika agama dan akalnya kurang, niscaya akan banyak kerusakan, rakyat akan terabaikan dan kelelahan. Kecuali jika dalam pribadinya terdapat kekuatan jiwa dan kewibawaan, maka hal tersebut akan menutupinya.
Bila penguasa itu seorang yang pengecut, kurang agamanya, tidak memiliki kejeniusan, banyak penyimpangannya, maka sungguh dia telah membawa dirinya kepada bencana. Mungkin saja dia akan dijatuhkan dan dipenjara jika tidak dibunuh. Dunianya lenyap, kesalahan akan meliputinya dan dia akan menyesal dengan penyesalan –yang Demi Allah- tidak akan bermanfaat bagi dirinya.
Dan kita pada hari ini berputus asa akan adanya seorang penguasa yang baik dari segala sisinya. Jika saja Allah memudahkan untuk umat ini seorang penguasa yang memiliki banyak kebaikan dan sedikit keburukan, maka siapakah orangnya??
Ya Allah, perbaikilah keadaan pemimpin dan rakyat. Sayangilah hamba-hamba-Mu dan berikanlah mereka petunjuk. Dukunglah penguasa mereka, dan tolonglah dia dengan taufiq-Mu...”.
[Imam adz Dzahaby dalam bukunya Siyar A’laam an Nubalaa’, XX/ 418]
Imam al-Barbahari rahimahullah (wafat tahun 329 H) dalam kitabnya, Syarhus Sunnah berkata: “Jika engkau melihat seseorang mendo’akan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk salah satu pengikut hawa nafsu, namun jika engkau melihat seseorang mendo’akan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk Ahlus Sunnah, insya Allah.”
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
“Jikalau aku mempunyai do’a yang baik yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan bagi para pemimpin.” Ia ditanya: “Wahai Abu ‘Ali jelaskan maksud ucapan tersebut?” Beliau berkata: “Apabila do’a itu hanya aku tujukan bagi diriku, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin dan ternyata para pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat dan kebaikannya.”
Kita diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kebaikan bukan keburukan meskipun ia seorang pemimpin yang zhalim lagi jahat karena kezhaliman dan kejahatan akan kembali kepada diri mereka sendiri sementara apabila mereka baik, maka mereka dan seluruh kaum Muslimin akan merasakan manfaat dari do’anya.”
(Syarhus Sunnah (no. 136), oleh Imam al-Barbahary)
Saudara-saudaraku,, Jangan lupakan para pemimpin kaum muslimin dalam doa-doa Anda...
Kebaikan mereka adalah kebaikan untuk seluruh rakyat dan negara...
0 komentar:
Posting Komentar