Hal ini berdasarkan Hadits,
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«مَنْ صَلَّى الغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ،
ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ» ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ»
Dari Anas radhiallahu ‘anhu, dia bercerita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah lalu duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit dan kemudian mengerjakan shalat dua raka’at, maka baginya seperti pahala haji dan umrah”.Anas berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “ sempurna, sempurna, sempurna” [HR. Tirmidzi II/481 no. 584, beliau berkata hasan gharib, dihasankan oleh syaikh Al-Albani, tahqiq Syaikh Akhmad Syakir]
maksud pengulangan “sempurna” sampai tiga kali, kemudian Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengulangi lagi menukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dijelaskan oleh syaikh Al-Mubarakfuri,
كَرَّرَهَا
ثَلَاثًا لِلتَّأْكِيدِ وَقِيلَ أَعَادَ الْقَوْلَ لِئَلَّا يُتَوَهَّمَ
أَنَّ التَّأْكِيدَ بِالتَّمَامِ وَتَكْرَارَهُ مِنْ قَوْلِ أَنَسٍ
“Diulangi tiga kali karena untuk ta’kid/penekanan, pendapat lain adalah agar tidak disalahpahami bahwa penekanan dengan “sempurna” merupakan perkataan Anas.” [Tuhfatul Ahwadzi 3/158, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, Asy-Syamilah]
Jika sudah jelas seperti ini, mengapa kita jarang mempraktekannya? Atau tidak pernah sama sekali? Atau kita baru tahu sekarang? Padahal hanya sekitar kira-kira 30-45 menit kita berdiam diri, kita mendapatkan pahala naik haji.
Mungkin ada beberapa hal yang membuat kita susah mengamalkannya yaitu:
- Susah bangun shalat subuh
- Tidur lagi setelah shalat subuh
- Tidak ada kegiatan setelah shalat subuh
Susah bangun sholat subuh
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ
فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
“Seorang buta pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah, maka beliaupun memberikan keringanan kepadanya. Ketika orang itu beranjak pulang, beliau kembali bertanya, “Apakah engkau mendengar panggilan shalat (azan)?” laki-laki itu menjawab, “Ia.” Beliau bersabda, “Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat).” (HR. Muslim no. 653)
Jika orang buta saja tidak dapat udzur, maka bagaimana dengan kita yang normal?
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ الْمُؤَذِّنَ فَيُقِيمَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا يَؤُمُّ النَّاسَ
ثُمَّ آخُذَ شُعَلًا مِنْ نَارٍ فَأُحَرِّقَ عَلَى مَنْ لَا يَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ بَعْدُ
“Sungguh aku sangat ingin memerintahkan sholat untuk didirikan, lalu aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang. Kemudian, aku berangkat bersama beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada orang-orang yang tidak ikut sholat, lalu aku bakar rumah mereka dengan api tersebut. [HR. Al-Bukhori no.2420, Muslim no.651]
Sesuai dengan kaidah, jika ada ancamannya maka termasuk dosa besar.
Yang sudah tahu wajibpun terkadang susah juga bangun subuh
Mungkin sering begadang Atau mungkin karena ada kemaksiatan yang baru-baru dilakukan terus-menerus tanpa istigfar sehingga badan susah melakukan ketaatan, dan hati berat untuk dibawa beribadah. Sehingga yang sebelumnya kita bangun ketika adzan berkumandang, sekarang hati mulai keras dan telinga sudah tidak peka lagi dengan suara adzan, badanpun berat dibawa untuk menjawab panggilan masjid.
dari Abu Shalih dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ
فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ زَادَ زَادَتْ
حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي الْقُرْآنِ:
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
”Sesungguhnya seorang mukmin, jika melakukan satu perbuatan dosa, maka ditorehkan di hatinya satu titik hitam. Jika ia bertaubat, berhenti dan minta ampun, maka hatinya akan dibuat mengkilat (lagi). Jika semakin sering berbuat dosa, maka titik-titik itu akan bertambah sampai menutupi hatinya. Itulah” raan” yang disebutkan Allah ta’ala,
“Sekali-kali tidak akan tetapi itulah” raan” yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an”. [HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dihasankan Al Albani]
Ada yang manjadikan salah satu indikator hatinya mulai mengeras adalah susah bangun shalat subuh. Untuk selevel ulama salah mereka menjadikan susahnya shalat malam sebagai salah satu indikator hati mereka mulai mengeras.
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah beliau berkata,
“Selama lima bulan aku terhalang untuk melakukan shalat malam karena dosa yang aku lakukan.” [Qiyaamul Lail, Fadhluhu wa Aadaabuhu hal. 50-58, dinukil dari tulisan Ust. Yazid Jawwas]
Jika ada yang berkata, “saya bermaksiat setiap hari, tapi nanti malam saya bisa bangun malam jika saya mau”. Maka kita katakan bahwa, hatinya sudah tidak peka lagi mendeteksi maksiat. Hati para ulama cukup bersih sehingga sangat peka terhadap maksiat. Ibarat tubuh yang sehat akan terasa jika ada sakit sedikit.
Tidur lagi setelah shalat subuh
Kebiasaan ini tidak baik, karena menimbulkan kemalasan dan merusak kesehatan.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,
وَنَوْمُ الصُّبْحَةِ يَمْنَعُ الرِّزْقَ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ وَقْتٌ تَطْلُبُ فِيهِ الْخَلِيقَةُ أَرْزَاقَهَا،
وَهُوَ وَقْتُ قِسْمَةِ الْأَرْزَاقِ، فَنَوْمُهُ حِرْمَانٌ إِلَّا لِعَارِضٍ أَوْ ضَرُورَةٍ،
وَهُوَ
مُضِرٌّ جِدًّا بِالْبَدَنِ لِإِرْخَائِهِ الْبَدَنَ وَإِفْسَادِهِ
لِلْفَضَلَاتِ الَّتِي يَنْبَغِي تَحْلِيلُهَا بِالرِّيَاضَةِ
“Tidur setelah subuh mencegah rezeki, karena waktu subuh adalah waktu mahluk mencari rezeki mereka dan waktu dibagikannya rezeki. Tidur setelah subuh suatu hal yang dilarang [makruh] keculai ada penyebab atau keperluan. Sangat berbahaya bagi badan karena melemahkan dan merusak badan karena sisa-sisa [metabolisme] yang seharusnya diurai dengan berolahraga/beraktifitas. [ Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad 4/222, Muassah Risalah, Beirut, cet. Ke-27, 1415 H]
Dan waktu ini penuh berkah sehingga memudahkan kita menjalani hari-hari setelahnya.
Dari sahabat Shokhr Al Ghomidiy, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” [HR. Abu Daud no. 2606. Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud]
Tidak ada kegiatan setelah shalat subuh
Inilah mungkin penyebab utama tidur lagi setelah subuh, hendaknya kita punya kegiatan, seperti membaca atau menghapal Al-Quran dengan suara yang agak dibesarkan, menghapal Hadits, berdzikir pagi-petang, menghapal doa-doa keseharian, setoran hapalan.
Namun ada juga yang mengaji atau berdzikir lama-kelamaan ketiduran, maka handaklah kita mencari kegiatan yang melibatkan orang banyak. Misalnya saling setoran hapalan dengan beberapa orang dimasjid, mengikuti majelis ilmu ba’da subuh dimasjid, belajar membaca dan memperbaiki Al-Quran.
Sangat tepat apa yang diucapkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,
وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” [Al Jawabul Kaafi hal 156, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, Asy-Syamilah].
Termasuk berdzikir setelah subuh adalah majelis ilmu
Majelis ilmu, halaqah setoran hapalan, menghapal Al-Quran dan Hadits juga termasuk dalam berdzikir kepada Allah yang dimaksud oleh Hadits berikut,
لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah sekelompok orang duduk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat (Allah) meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut-menyebut mereka di hadapan (para malaikat) yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2700).
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata berkata menjelaskan Hadits ini,
وَنَحْوُهُمْ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ
يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ تَعَالَى وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ
السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ
“Sejenis dengan Hadits ini sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “”Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah; mereka membaca Kitab Allah dan saling belajar diantara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka.” [Minhaj Syarh Shahih Muslim lin Nawawi 17/21, Dar Ihya’ut Turots, cet. Ke-2, Asy-Syamilah]
Jadi tidak mesti berdzikir saja, bisa juga majelis, muraja’ah ilmu dan lain-lain, kemudian kita shalat dua rakaat, maka tercapailah pahala haji Insya Allah.
Wanita bagaimana?
Jika belum bersuami, maka ia bisa melakukannya, akan tetapi yang sudah bersuami apalagi memiliki anak maka agak susah melaksanakannya. Apalagi wanita lebih dianjurkan shalat di rumah. Maka jawabannya Hadits ini tentang Asma’ binti Yazid Al-Anshariyah radhiallahu ‘anha,
أنها أتت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهو بين أصحابه،
فقالت: بأبي وأمي أنت يا رسول الله، أنا وافدة النساء إليك،
إن الله عَزَّ وَجَلَّ بعثك إلى الرجال والنساء كافة،
فآمنا بك وبإلاهك، وإنا معشر النساء محصورات مقصورات،
قواعد بيوتكم، ومقضى شهواتكم، وحاملات أولادكم.
وإنكم معشر الرجال فضلتم علينا بالجمع والجماعات،
وعيادة المرضى، وشهود الجنائز، والحج بعد الحج، وأفضل من ذلك الجهاد في سبيل الله عَزَّ وَجَلَّ
وإن الرجل إذا خرج حاجا أو معتمرا أو مجاهدا، حفظنا لكم أموالكم،
وغزلنا أثوابكم، وربينا لكم أولادكم، أفما نشارككم في هذا الأجر والخير؟
“bahwa dia mendatangi Rasulullah, sementara beliau sedang duduk di antara para sahabatnya. Asma’ berkata, “Aku korbankan bapak dan ibuku demi dirimu ya Rasulullah. Saya adalah utusan para wanita di belakangku kepadamu. Sesungguhnya Allah mengutusmu kepada seluruh laki-laki dan wanita, maka mereka beriman kepadamu dan kepada Tuhanmu. Kami para wanita selalu dalam keterbatasan, sebagai penjaga rumah, tempat menyalurkan hasrat dan mengandung anak-anak kalian, sementara kalian – kaum laki-laki – mengungguli kami dengan shalat Jum’at, shalat berjamaah, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, berhaji setelah sebelumnya sudah berhaji dan yang lebih utama dari itu adalah jihad fi sabilillah. Jika salah seorang dari kalian pergi haji atau umrah atau jihad maka kamilah yang menjaga harta kalian, yang menenun pakaian kalian, yang mendidik anak-anak kalian. Bisakah kami menikmati pahala dan kebaikan ini sama seperti kalian?”
فالتفت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلى أصحابه بوجهه كله، ثم
قال: ” هل سمعتم مقالة امرأة قط أحسن من مساءلتها في أمر دينها من هذه؟ “
فقالوا: يا رسول الله، ما ظننا أن امرأة تهتدي إلى مثل هذا.
Nabi memandang para sahabat dengan seluruh wajahnya. Kemudian beliau bersabda, “Apakah kalian pernah mendengar ucapan seorang wanita yang lebih baik pertanyaannya tentang urusan agamanya daripada wanita ini?” mereka menjawab, “Ya Rasulullah, kami tidak pernah menyangka ada wanita yang bisa bertanya seperti dia.”
فالتفت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إليها فقال: ” افهمي أيتها المرأة،
وأعلمي من خلفك من النساء، أن حسن تبعل المرأة لزوجها وطلبها مرضاته،
واتباعها موافقته، يعدل ذلك كله “.فانصرفت المرأة وهي تهلل
Nabi menengok kepadanya dan bersabda, “Pahamilah wahai ibu. Dan beritahu para wanita di belakangmu bahwa ketaatan istri kepada suaminya, usahanya untuk memperoleh ridhanya dan kepatuhannya terhadap keinginannya menyamai semua itu.” Wanita itu berlalu dengan wajah berseri-seri. [Usudul Ghaayah fi ma’rifatis shahabah 7/17, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Cet. Ke1, 1415 H. Asy-Syamilah]
Maka hendaknya wanita mendukung para suaminya untuk menuntut ilmu, beribadah dan berdakwah, bersabar jika sering ditinggal. Maka pahalanya sama dengan pahala yang didapatkan oleh suaminya jika ia benar-benar berbakti yang membuat ridha suaminya.
Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
28 Syawwal 1432 H, Bertepatan 27 September 2011
Penyusun: Raehanul Bahraen
Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis.
artikel http://muslimafiyah.com
0 komentar:
Posting Komentar