Oleh: Ustadz Aris Munandar hafidzahullah
I. OBAT ROHANI
Ibnu at-Tin mengatakan, “Ruqyah dengan mu’awidzat (Surat al-Ikhlâsh, al-Falâq, dan an-Nâs) dan nama-nama Allah Subhaanahu wa Ta’ala adalah obat rohani. Jika obat ini dibaca oleh lisan orang yang bertakwa, maka dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla kesembuhan akan terwujud. Tatkala manusia semacam itu sulit ditemukan, maka banyak orang lantas menggunakan obat jasmani.”[1]
II. SEMBUH KARENA SUGESTI
Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Obat adalah sebab datangnya kesembuhan dan sebab itu ada dua macam. Pertama, sebab kesembuhan yang berdasarkan syari’at semisal dengan membaca al-Qur’an dan do’a. Kedua, sebab kesembuhan berdasarkan realita semisal obat-obatan berupa materi-materi tertentu yang boleh jadi diketahui melalui jalan syari’at –semisal madu- atau diketahui kegunaannya berdasarkan pengalaman empirik –semisal umumnya obat-obatan-. Untuk obat yang diketahui dari percobaan empirik, pengaruh obat tersebut harus berupa pengaruh langsung, bukan pengaruh karena imajinasi dan anggapan semata (baca: sugesti). Jika suatu materi itu diketahui memiliki pengaruh langsung yang empirik pada penyakit, maka materi tersebut bisa dijadikan sebagai obat yang akan mendatangkan kesembuhan dengan izin Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Jika pengaruh materi obat tersebut hanya semata anggapan dan imajinasi pasien, sehingga setelah mendapatkan pengobatan tersebut pasien merasa lega dikarenakan anggapan yang sudah ada sebelumnya, lalu rasa sakit berkurang atau bahkan obat tersebut menyebabkan kenyamanan jiwa, sehingga menyebabkan penyakit hilang secara total, maka hal ini tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur. Kondisi tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk meyakini bahwa materi tersebut memang benar-benar obat. Manusia tidak boleh larut dalam anggapan dan imajinasi semata.”[2]
III. BOLEHKAH KALIMAT, ‘DOKTER ITU MENYEMBUHKAN’?
Ath-Thibi mengatakan, “Jika Anda bertanya bagaimana cara mengkompromikan hadits ini (yaitu hadits yang menunjukkan bahwa anggota badan manusia itu mengikuti lisan, Pent.) dengan hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ‘Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada sekerat daging. Jika ia baik, maka seluruh badan akan baik. Jika ia rusak, maka maka seluruh badan akan rusak. Itulah hati.’ (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599 dari an-Nu’man bin Basyir)? Jawabanku adalah bahwa lisan merupakan penerjemah hati dan wakil hati untuk anggota badan yang lahiriyah. Maka jika dikatakan bahwa kondisi lisan itu menentukan kondisi anggota badan yang lain, maka itu adalah sekedar ungkapan majaz (kata kiasan) sebagaimana kaliamat, ‘Dokter itu menyembuhkan pasien.’”[3]
IV. KHUSUS KURMA AJWAH?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Jika seorang yang akan berangkat shalat Idul Fitri itu memakan tujuh butir kurma maka itu adalah suatu hal yang baik mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa pagi-pagi memakan tujuh butir kurma dari daerah Aliyah –dalam redaksi yang lain:’tujuh butir kurma ajwah’- maka pada hari itu dia tidak akan terkena racun dan sihir.’ (HR. Bukhari no. 5445 dan Muslim no. 155 dari Sa’ad bin Abi Waqqash)
Subhanallah, perlindungan dan penjagaan dengan sebab tujuh kurma dari daerah Aliyah –nama suatu tempat di kota Madinah- atau tujuh butir kurma ajwah. Bahkan guru kami Ibnu Sa’di berpandangan bahwa kurma daerah Aliyah atau kurma ajwah adalah sekedar contoh, karena yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan adalah semua jenis kurma. Berdasarkan pendapat ini, seorang itu bisa berpagi-pagi pada setiap harinya memakan tujuh butir kurma dari jenis apapun.”[4]
Øدثنا علي Øدثنا مروان أخبرنا هاشم أخبرنا عامربن سعد عن أبيه رضي الله عنه قال قال النبي صلي الله عليه Ùˆ سلم < من Ø§ØµØ·Ø¨Ø ÙƒÙ„ يوم تمرات عجوة، لم يضره سم ولا سØر ذلك اليوم إلى الليل> وقال غيره < سبع تمرات>
Menceritakan kepada kami Ali: Menceritakan kepada kami Marwan: Mengabarkan kepada kami Hasyim: Mengabarkan kepada kami Amir bin Sa’ad dari bapaknya (Sa’ad bin Abi Waqqash) radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa saja yang setiap hari berpagi-pagi memakan tujuh butir kurma ajwah, maka sihir dan racun tidak akan membahayakannya sejak pagi itu hingga malam tiba.’” Menurut versi perawi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Tujuh butir kurma.” (HR. Bukhari no. 5435)Boleh jadi ungkapan “tujuh butir kurma” yang tidak mensyaratkan harus ajwah adalah dasar pijakan Ibnu Sa’di rahimahullah yang juga disetujui oleh Ibnu Utaimin rahimahullah untuk mengatakan bahwa keutamaan di atas berlaku untuk semua jenis kurma.
V. UPAH BEKAM
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan upah tukang bekam adalah upah yang diambil oleh tukang bekam karena membekam. Sedangkan pemberian yang diberikan kepada tukang bekam tanpa ada kesepakatan di depan maka hukumnya diperbolehkan oleh sebagian ulama karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi sesuatu kepada orang yang membekam beliau. Mereka, sebagian ulama itu, mengatakan bahwa seandainya upah tukang bekam itu haram, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberikan sesuatu kepadanya. Menurut mereka, hadits yang melarang upah bekam itu hanya berlaku jika besaran upah ditentukan di muka.”[5]
VI. RUQYAH SYAR’IYYAH CENTER
Pertanyaan: “Apa pendapat Anda mengenai membuka ‘Ruqyah Syar’iyyah Center’?”
Jawaban Syaikh Shalih al-Fauzan –hafidzahullah-: “Hal itu tidak boleh dilakukan karena tindakan tersebut akan membuka pintu fitnah (penyimpangan) dan membuka pintu bagi orang-orang yang cuma akal-akalan untuk mendapatkan keuntungan. Di samping itu, hal semacam ini tidak pernah dilakukan oleh salaf. Mereka tidak pernah membuka ‘griya ruqyah’ atau ‘ruqyah center’. Berlonggar-longgar dalam masalah ini hanya akan menimbulkan dan akan menyebabkan timbulnya kerusakan.”
Syaikh Shafwat Nuruddin dalam artikel yang beliau tulis lalu diterbitkan dalam majalah at-Tauhid, Mesir, edisi 8 hlm. 19 berhati-hati dalam menggunakan istilah ini. Beliau mengatakan, “Terapi atau pengobatan itu identik dengan obat-obatan medis, karenanya aku tidak setuju dengan istilah terapi atau pengobatan dengan al-Qur’an namun sebutlah dengan istilah ruqyah atau nusyrah.”[6]
[Sumber: majalah Al-Furqan Edisi 6 Tahun kesebelas Muharram 1433 H, hal. 30-31]
Artikel: http://maktabahabiyahya.wordpress.com/
[1] Al-Itqân fi ‘Ulûmil Qur’ân karya as-Suyuthi juz 2 hlm. 165-166 dalam bahasan “an-Nau’ al-Khâmis was-Sab’ûn fî Khawâshil Qur’ân”, terbitan Darul Fikr, Beirut.
[2] Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil Ibn ‘Utsaimîn jilid I hlm. 110 no. Fatwa 49, terbitan Dar Tsuraya, Riyadh, cet.kedua, 1426 H.
[3] Tuhfah al-Ahwadzî
karya Abul Ali Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahman al-Mubarakfuri
tahqiq Abdurrahman Muhammad Utsman juz 7 hlm. 88-89, terbitan Darul
Fikr, Beirut.
[4] Asy-Syarh al-Mumti’ jilid 5 hlm. 123 bab “Shalat Idain”, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cet.pertama, Sya’ban 1423 H
[5] Ad-Durar as-Saniyah juz 6 hlm. 8, cet.kelima, 1414 H
[6] Burhân asy-Syara’ fi Itsbât al-Mass wa ash-Shar’ karya Syaikh Ali al-halabi hlm. 47 pada bagian catatan kaki, Maktabah Makkiyyah, Makkah, dan Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. 1417 H
0 komentar:
Posting Komentar