Menjual jimat, sebuah bisnis yang
akhir-akhir ini sangat menguntungkan, sehingga tidak jarang memunculkan
orang kaya-orang kaya baru dalam bisnis ini. Penjualnya pun beraneka
ragam, dari yang terang-terangan berlabel dukun sampai yang dipanggil
kiai atau ustadz, bahkan da’i kondang. Pelanggannya juga cukup banyak,
mulai dari orang-orang berpangkat, artis, konglomerat hingga rakyat
jelata. Berbagai macam iklan penjualan jimat muncul di berbagai media,
baik pada media umum maupun media khusus perdukunan, bahkan media
“islami” (baca: tasawuf, sihir).
Beberapa Macam Bentuk Jimat di Masyarakat
Beberapa Macam Bentuk Jimat di Masyarakat
- Batu Akik, Keris, Rajah, rantai babi, mustika, benda-benda bertuah, dll
- Jimat keberuntungan
- Jimat penghasilan
- Jimat penglaris dagangan
- Jimat kekuatan dan keberanian
- Jimat kebal senjata tajam
- Jimat perlindungan diri
- Jimat perlindungan kendaraan dan rumah
- Jimat kecintaan
- Jimat keselamatan, dll
Ketahuilah, mengenakan jimat dan mempercayainya dapat memberikan manfaat atau melindungi dari bahaya dan menolak bala’ adalah syirik besar yang menyebabkan pelakunya murtad, keluar dari Islam. Adapun mengenakan jimat dan meyakini Allah ta’ala yang memberikan manfaat atau melindungi dari bahaya dan menolak bala’, sedang jimat itu hanya sebagai sebab adalah syirik kecil, termasuk dosa besar yang membinasakan.
Mempercayai jimat termasuk syirik besar karena dalam keyakinan tersebut terkandung makna syirik, yaitu penyamaan antara Allah ta’ala dengan makhluk dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah ta’ala, dalam hal ini adalah memberikan manfaat, melindungi dari bahaya dan menolak bala’.
Dalil-dalil Umum Pengharaman Jimat
Allah ta’ala menegaskan,
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ
“Ibrahim berkata: “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudarat kepada kamu?” [Al-Anbiya’: 66]
Juga firman-Nya,
Juga firman-Nya,
قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً
“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap sesembahan selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya.” [Al-Isra’: 56]
Juga firman-Nya,
Juga firman-Nya,
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku
tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan
kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan
kemudaratan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah
mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”.
Kepada-Nya lah bertawakal orang-orang yang berserah diri.” [Az-Zumar: 38]
Ayat-ayat di atas semuanya menunjukan bahwa hanya Allah ta’ala yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan bahaya, maka hal itu merupakan sifat rububiyah Allah ta’ala yang harus diyakini oleh setiap hamba, sehingga apabila seseorang meyakini hal itu ada pada selain-Nya seperti pada malaikat, nabi, wali, jin dan jimat-jimat maka berarti dia telah menyekutukan Allah tabaraka wa ta’ala.
Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
Ayat-ayat di atas semuanya menunjukan bahwa hanya Allah ta’ala yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan bahaya, maka hal itu merupakan sifat rububiyah Allah ta’ala yang harus diyakini oleh setiap hamba, sehingga apabila seseorang meyakini hal itu ada pada selain-Nya seperti pada malaikat, nabi, wali, jin dan jimat-jimat maka berarti dia telah menyekutukan Allah tabaraka wa ta’ala.
Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لا تستطيع شيئا من الأمر وذكر ابن أبي حاتم هاهنا حديث قيس بن الحجاج عن حنش الصنعاني عن ابن عباس مرفوعا احفظ الله يحفظك احفظ الله تجده تجاهك تعرف إلى الله في الرخاء يعرفك في الشدة إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله، واعلم أن الأمة لو اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يكتبه الله عليك لم يضروك ولو اجتمعوا على أن ينفعوك بشيء لم يكتبه الله لك لم ينفعوك جفت الصحف ورفعت الأقلام واعمل لله بالشكر في اليقين واعلم أن الصبر على ما تكره خير كثير، وأن النصر مع الصبر، وأن الفرج مع الكرب وأن مع العسر يسرا
“Semua makhluk yang disembah tersebut
tidak sedikitpun memiliki kemampuan dalam menentukan perkara (manfaat
maupun mudarat). Dan di sini, Ibnu Abi Hatim menyebutkan hadits Qois bin Al-Hajjaj, dari Hanasy As-Shon’ani, dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Jagalah (ketentuan-ketentuan) Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya selalu berada di depanmu (menolongmu). Kenali Allah dalam kelapangan niscaya Dia akan mengenalmu (menolongmu) dalam kesusahan. Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah.
Dan ketahuilah, andaikata seluruh umat bersatu untuk menimpakan suatu bahaya kepadamu yang tidak Allah tentukan menimpamu maka mereka tidak akan mampu melakukannya. Dan andaikan mereka bersatu untuk memberikan suatu manfaat kepadamu yang tidak Allah ta’ala tentukan untukmu maka mereka tidak akan mampu melakukannya.
Telah kering catatan-catatan (takdir) dan pena-pena telah diangkat. Dan lakukanlah amalan hanya bagi Allah dengan kesyukuran dalam keyakinan. Dan ketahuilah, kesabaran atas sesuatu yang engkau benci adalah kebaikan yang banyak, dan pertolongan itu selalu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesusahan, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan”[1].”
[Tafsir Ibnu Katsir, 7/100]
“Jagalah (ketentuan-ketentuan) Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya selalu berada di depanmu (menolongmu). Kenali Allah dalam kelapangan niscaya Dia akan mengenalmu (menolongmu) dalam kesusahan. Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah.
Dan ketahuilah, andaikata seluruh umat bersatu untuk menimpakan suatu bahaya kepadamu yang tidak Allah tentukan menimpamu maka mereka tidak akan mampu melakukannya. Dan andaikan mereka bersatu untuk memberikan suatu manfaat kepadamu yang tidak Allah ta’ala tentukan untukmu maka mereka tidak akan mampu melakukannya.
Telah kering catatan-catatan (takdir) dan pena-pena telah diangkat. Dan lakukanlah amalan hanya bagi Allah dengan kesyukuran dalam keyakinan. Dan ketahuilah, kesabaran atas sesuatu yang engkau benci adalah kebaikan yang banyak, dan pertolongan itu selalu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesusahan, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan”[1].”
[Tafsir Ibnu Katsir, 7/100]
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
فهذه الآية وأمثالها تبطل تعلق القلب بغير الله فى جلب أو دفع ضر وأن ذلك شرك بالله
“Ayat ini dan ayat-ayat yang semisalnya
membatilkan ketergantungan hati kepada selain Allah ta’ala dalam meraih
kemanfaatan atau menolak kemudaratan, dan bahwasannya hal itu termasuk
syirik kepada Allah ta’ala.” [Fathul Majid, hal. 111]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والشاهد من هذه الآية أن هذه الأصنام لا تنفع أصحابها لا بجلب نفع ولا بدفع ضر فليست أسبابا لذلك فيقاس عليها كل ما ليس بسبب شرعي أو قدري فيعتبر اتخاذه سببا إشراكا بالله
“Dan syahid dari ayat ini adalah
bahwa patung-patung yang mereka sembah itu tidak sedikitpun bisa
memberi manfaat kepada para penyembahnya; tidak bisa mendatangkan
manfaat dan tidak pula bisa menolak mudarat. Jadi, patung-patung itu
bukanlah sebab-sebab untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudarat,
maka dikiaskan di atasnya semua yang bukan sebab syar’i dan qodari, menjadikannya sebagai sebab adalah perbuatan menyekutukan Allah ta’ala.” [Al-Qoulul Mufid, 1/168]
Penjelasan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah di atas merupakan kaidah penting dalam memahami tauhid dan syirik. Bahwa tauhid adalah bergantung sepenuhnya kepada Allah ta’ala, sedangkan mengambil sebab untuk meraih suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan tidak dilarang dalam Islam, bahkan dianjurkan. Tetapi dengan syarat, sebab tersebut adalah sebab syar’i atau sebab qodari.
Sebab syar’i maksudnya adalah sebab yang dijelaskan oleh dalil syar’i. Contohnya, membaca surat Al-Fatihah untuk orang sakit adalah sebab kesembuhannya.
Adapun yang dimaksud dengan sebab qodari adalah sebab yang Allah ta’ala ciptakan sebagai sebab di alam ini dan dapat diketahui dengan dua cara:
Contoh yang dapat diketahui dengan penelitian ilmiah dan percobaan, seperti umumnya obat-obat antibiotik kedokteran modern yang merupakan sebab untuk menekan atau menghentikan perkembangan bakteri atau mikro organisme berbahaya yang berada di dalam tubuh.
Maka menjadikan sesuatu sebagai sebab, padahal ia bukanlah sebab syar’i dan bukan pula sebab qodari adalah perbuatan syirik. Contohnya sangat banyak sekali, seperti perbuatan sebagian orang yang mengambil batu-batuan di kuburan orang shalih, potongan kiswah penutup ka’bah dan benda-benda lainnya untuk dijadikan jimat adalah termasuk perbuatan menyekutukan Allah ta’ala. Karena benda-benda tersebut bukanlah sebab syari’i maupun qodari.
Kesyirikan di sini pun bertingkat, bisa jadi syirik besar dan bisa jadi syirik kecil. Syirik besar jika seseorang meyakini bahwa jimat dapat melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tersebut. Dan syirik kecil jika dia meyakini jimat itu hanyalah sebab, sedang Allah ta’ala Dialah yang melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tersebut, karena apabila seseorang meyakini sesuatu sebagai sebab padahal Allah ta’ala tidak menetapkannya sebagai sebab, baik syar’i maupun qodari, maka seakan-akan dia telah menyamakannya dengan Allah ta’ala dalam menentukan sesuatu sebagai sebab.
Dan manusia dalam masalah sebab terbagi menjadi tiga golongan:
FAIDAH PENTING DALAM MASALAH “SEBAB”
Penjelasan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah di atas merupakan kaidah penting dalam memahami tauhid dan syirik. Bahwa tauhid adalah bergantung sepenuhnya kepada Allah ta’ala, sedangkan mengambil sebab untuk meraih suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan tidak dilarang dalam Islam, bahkan dianjurkan. Tetapi dengan syarat, sebab tersebut adalah sebab syar’i atau sebab qodari.
Sebab syar’i maksudnya adalah sebab yang dijelaskan oleh dalil syar’i. Contohnya, membaca surat Al-Fatihah untuk orang sakit adalah sebab kesembuhannya.
Adapun yang dimaksud dengan sebab qodari adalah sebab yang Allah ta’ala ciptakan sebagai sebab di alam ini dan dapat diketahui dengan dua cara:
- Pertama, dengan dalil syar’i dan
- Kedua, dengan penelitian ilmiah dan percobaan.
Contoh yang dapat diketahui dengan penelitian ilmiah dan percobaan, seperti umumnya obat-obat antibiotik kedokteran modern yang merupakan sebab untuk menekan atau menghentikan perkembangan bakteri atau mikro organisme berbahaya yang berada di dalam tubuh.
Maka menjadikan sesuatu sebagai sebab, padahal ia bukanlah sebab syar’i dan bukan pula sebab qodari adalah perbuatan syirik. Contohnya sangat banyak sekali, seperti perbuatan sebagian orang yang mengambil batu-batuan di kuburan orang shalih, potongan kiswah penutup ka’bah dan benda-benda lainnya untuk dijadikan jimat adalah termasuk perbuatan menyekutukan Allah ta’ala. Karena benda-benda tersebut bukanlah sebab syari’i maupun qodari.
Kesyirikan di sini pun bertingkat, bisa jadi syirik besar dan bisa jadi syirik kecil. Syirik besar jika seseorang meyakini bahwa jimat dapat melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tersebut. Dan syirik kecil jika dia meyakini jimat itu hanyalah sebab, sedang Allah ta’ala Dialah yang melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tersebut, karena apabila seseorang meyakini sesuatu sebagai sebab padahal Allah ta’ala tidak menetapkannya sebagai sebab, baik syar’i maupun qodari, maka seakan-akan dia telah menyamakannya dengan Allah ta’ala dalam menentukan sesuatu sebagai sebab.
Dan manusia dalam masalah sebab terbagi menjadi tiga golongan:
- Pertama: Mereka yang menafikan sebab, mereka adalah orang-orang yang menafikan sifat hikmah Allah ta’ala, seperti kelompok Al-Jabriyah dan Al-Asy’ariyah.
- Kedua: Mereka yang berlebih-lebihan dalam menetapkan sebab sampai mereka jadikan yang bukan sebab sebagai sebab, mereka adalah kebanyakan penganut khurafat dari kalangan Shufiyah dan yang semisalnya.
- Ketiga: Mereka yang mempercayai adanya sebab-sebab yang memiliki pengaruh dengan izin Allah ta’ala, akan tetapi mereka tidak menetapkan sesuatu sebagai sebab kecuali ditetapkan oleh Allah ta’ala, apakah sebab syar’i atau qodari. Inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[Lihat Al-Qoulul Mufid, 1/164-165]
Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu’anhu menuturkan,
Dalil-dalil Khusus Pengharaman Jimat
Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu’anhu menuturkan,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ إِلَيْهِ رَهْطٌ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ وَاحِدٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ بَايَعْتَ تِسْعَةً وَتَرَكْتَ هَذَا قَالَ إِنَّ عَلَيْهِ تَمِيمَةً فَأَدْخَلَ يَدَهُ فَقَطَعَهَافَبَايَعَهُ وَقَالَ مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Bahwasannya telah datang kepada
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sepuluh orang (untuk melakukan
bai’at), maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membai’at sembilan orang
dan tidak membai’at satu orang. Maka mereka berkata, “Wahai Rasulullah,
mengapa engkau membai’at sembilan dan meninggalkan satu orang ini?”
Beliau bersabda, “Sesungguhnya dia mengenakan jimat.” Maka orang itu
memasukkan tangannya dan memotong jimat tersebut, barulah Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam membai’atnya dan beliau bersabda,
“Barangsiapa yang mengenakan jimat maka dia telah menyekutukan Allah”.” [HR. Ahmad, no. 17422. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Isnadnya kuat,” dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 492]
Dalam riwayat lain, Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu berkata, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
Dalam riwayat lain, Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu berkata, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa yang mengenakan jimat maka Allah ta’ala tidak akan menyempurnakan hajatnya, dan barangsiapa yang mengenakan wada’ah (jimat batu pantai) maka Allah ta’ala tidak akan memberikan ketenangan kepadanya.” [HR. Ahmad, no. 17404. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Hadits hasan.”]
Sahabat yang mulia Imron bin Al-Hushain radhiyallahu’anhu menuturkan,
Sahabat yang mulia Imron bin Al-Hushain radhiyallahu’anhu menuturkan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ وَيْحَكَ مَا هَذِهِ قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْنًا انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا
“Bahwasannya Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam melihat di tangan seorang laki-laki terdapat gelang dari tembaga,
maka beliau berkata, “Celaka engkau, apa ini?” Orang itu berkata,
“Untuk menangkal penyakit yang dapat menimpa tangan.” Beliau bersabda,
“Ketahuilah, benda itu tidak menambah apapun kepadamu kecuali kelemahan,
keluarkanlah benda itu darimu, karena sesungguhnya jika engkau mati dan
benda itu masih bersamamu maka kamu tidak akan beruntung
selama-lamanya”[2].” [HR. Ahmad, no. 20000]
Sahabat yang mulia Abu Basyir Al-Anshori radhiyallahu’anhu berkata,
Sahabat yang mulia Abu Basyir Al-Anshori radhiyallahu’anhu berkata,
أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ قَالَ عَبْدُ اللهِ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ وَالنَّاسُ فِي مَبِيتِهِمْ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَسُولاً أَنْ لاَ يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلاَدَةٌ إِلاَّ قُطِعَتْ
“Bahwasannya beliau pernah bersama
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pada salah satu perjalanan
beliau –berkata Abdullah (rawi): Aku mengira beliau mengatakan-, ketika
itu manusia berada pada tempat bermalam mereka, maka Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk menyampaikan,
“Janganlah tertinggal di leher hewan tunggangan sebuah kalung dari busur
panah atau kalung apa saja kecuali diputuskan”.” [HR. Al-Bukhari no. 3005 dan Muslim no. 5671]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqoloni Asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan diantara penjelasan ulama terhadap hadits di atas,
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqoloni Asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan diantara penjelasan ulama terhadap hadits di atas,
أنهم كانوا يقلدون الإبل أوتار القسي لئلا تصيبها العين بزعمهم فأمروا بقطعها اعلاما بأن الأوتار لا ترد من أمر الله شيئا وهذا قول مالك قلت وقع ذلك متصلا بالحديث من كلامه في الموطأ وعند مسلم وأبي داود وغيرهما قال مالك أرى أن ذلك من أجل العين ويؤيده حديث عقبة بن عامر رفعه من علق تميمة فلا أتم الله له أخرجه أبو داود أيضا
“Bahwasannya di zaman Jahiliyah dahulu
mereka memakaikan kalung-kalung bususr panah keras terhadap onta mereka
agar tidak terkena penyakit ‘ain menurut sangkaan mereka. Maka Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk memutuskan
kalung-kalung tersebut sebagai pengajaran kepada mereka bahwa
jimat-jimat itu tidak sedikitpun dapat menolak ketentuan Allah ta’ala.
Ini adalah pendapat Al-Imam Malik rahimahullah tentang makna hadits ini.
Aku (Al-Hafizh Ibnu Hajar) berkata, pendapat tersebut beliau sebutkan setelah meriwayatkan hadits ini dalam kitab Al-Muwathho’, juga disebutkan oleh Muslim, Abu Daud dan selainnya. Malik berkata, “Menurutku mereka menggunakan jimat itu untuk menangkal penyakit ‘ain.” Dan yang mendukung makna tersebut adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu secara marfu’, “Barangsiapa yang bergantung kepada jimat maka Allah ta’ala tidak akan menyempurnakan urusannya.”Juga diriwayatkan oleh Abu Daud.” [Fathul Bari, 6/142]
Sahabat yang mulia Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadaku,
Aku (Al-Hafizh Ibnu Hajar) berkata, pendapat tersebut beliau sebutkan setelah meriwayatkan hadits ini dalam kitab Al-Muwathho’, juga disebutkan oleh Muslim, Abu Daud dan selainnya. Malik berkata, “Menurutku mereka menggunakan jimat itu untuk menangkal penyakit ‘ain.” Dan yang mendukung makna tersebut adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu secara marfu’, “Barangsiapa yang bergantung kepada jimat maka Allah ta’ala tidak akan menyempurnakan urusannya.”Juga diriwayatkan oleh Abu Daud.” [Fathul Bari, 6/142]
Sahabat yang mulia Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadaku,
يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِى فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوِ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- مِنْهُ بَرِىءٌ
“Wahai Ruwaifi’, bisa
jadi engkau akan hidup lama sepeninggalku, maka kabarkanlah kepada
manusia, bahwasannya siapa yang mengikat jenggotnya, atau menggunakan
kalung (jimat) dari busur panah, atau beristinja dengan kotoran hewan
atau tulang, maka Muhammad –shallallahu’alaihi wa sallam- berlepas diri
darinya.” [HR. Abu Daud, no. 36, Shahih Abi Daud, no. 27]
Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya mantra-mantra, jimat-jimat dan pelet itu syirik.”
[HR. Ahmad, no. 3615, Abu Daud no. 1776, 3883 dan Ibnu Majah, no. 3530. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Shahih lighairihi,” dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no. 2854]
Sahabat yang mulia Abu Ma’bad Abdullah bin ‘Ukaim Al-Juhani radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
[HR. Ahmad, no. 3615, Abu Daud no. 1776, 3883 dan Ibnu Majah, no. 3530. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Shahih lighairihi,” dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no. 2854]
Sahabat yang mulia Abu Ma’bad Abdullah bin ‘Ukaim Al-Juhani radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang bergantung kepada
sesuatu (makhluk seperti jimat dan yang lainnya) maka dia akan dibiarkan
bersandar kepada makhluk tersebut (tidak ditolong oleh Allah ta’ala).” [HR.
Ahmad, no. 18781, 18786 dan At-Tirmidzi, no. 2072. Asy-Syaikh Syu’aib
Al-Arnauth berkata, “Hasan ligairihi,” dan dihasankan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Ghayatul Marom, no. 297]
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
التعلق يكون بالقلب ويكون بالفعل ويكون بهما وكل إليه أي وكله الله إلى ذلك الشئ الذي تعلقه فمن تعلق بالله وأنزل حوائجه إليه والتجأ إليه وفوض أمره إليه وكفاه وقرب إليه كل بعيد ويسر له كل عسير ومن تعلق بغيره أو سكن إلى رأيه وعقله ودوائه وتمائمه ونحو ذلك وكله الله إلى ذلك وخذله وهذا معروف بالنصوص والتجارب قال تعالى ومن يتوكل على الله فهو حسبه
“Bergantung kepada sesuatu itu bisa jadi
dengan hati, bisa pula dengan perbuatan dan bisa pula dengan hati dan
perbuatan sekaligus. Allah ta’ala menjadikan pelakunya bergantung kepada
sesuatu tersebut, maksudnya adalah Allah ta’ala jadikan dia bergantung
kepada sesuatu yang dia jadikan sebagai tempat bergantung.
Maka barangsiapa yang bergantung kepada Allah ta’ala, memohon hajat-hajatnya kepada-Nya, bersandar kepada-Nya, memasrahkan urusannya kepada-Nya niscaya Allah ta’ala akan mencukupinya, mendekatkan baginya setiap yang jauh, memudahkan baginya semua yang sulit.
Dan barangsiapa yang bergantung kepada selain-Nya atau lebih tenang (ketika bersandar) kepada pendapatnya, akalnya, obatnya, jimat-jimatnya dan yang semisalnya maka Allah ta’ala jadikan dia bergantung kepada makhluk-makhluk tersebut dan Allah ta’ala menghinakannya. Dan ini sudah dimaklumi berdasarkan dalil-dalil dan kenyataan. Allah ta’ala berfirman,
Maka barangsiapa yang bergantung kepada Allah ta’ala, memohon hajat-hajatnya kepada-Nya, bersandar kepada-Nya, memasrahkan urusannya kepada-Nya niscaya Allah ta’ala akan mencukupinya, mendekatkan baginya setiap yang jauh, memudahkan baginya semua yang sulit.
Dan barangsiapa yang bergantung kepada selain-Nya atau lebih tenang (ketika bersandar) kepada pendapatnya, akalnya, obatnya, jimat-jimatnya dan yang semisalnya maka Allah ta’ala jadikan dia bergantung kepada makhluk-makhluk tersebut dan Allah ta’ala menghinakannya. Dan ini sudah dimaklumi berdasarkan dalil-dalil dan kenyataan. Allah ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka cukuplah Allah sebagai penolongnya.” [Ath-Tholaq: 3].” [Fathul Majid, hal. 124]
Wallahu A’lam.
[1] HR. Ahmad (1/293) dan At-Tirmidzi (2516) dari jalan Al-Laits bin Sa’ad, dari Qois bin Al-Hajjaj. Dan At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”
Wallahu A’lam.
[1] HR. Ahmad (1/293) dan At-Tirmidzi (2516) dari jalan Al-Laits bin Sa’ad, dari Qois bin Al-Hajjaj. Dan At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”
[2] Sanad hadits ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah (no. 1029). Akan tetapi terdapat riwayat lain sebagai penguat yang dkeluarkan oleh Al-Khallal dal As-Sunnah (5/64 no. 1623) dan penguat lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Batthah dalam Al-Ibanah Al-Kubro (2/860 no. 1172), Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (2/99 no. 1439 dan 8/167 no. 7700), sebagaimana dalam Tanbihat ‘ala Kutubi Takhrij Kitabit Tauhid (hal. 3-6).
Sumber: http://nasihatonline.wordpress.com/2012/08/25/hukum-jimat-dalam-islam/
Artikel Lain Seputar Dukun, Jimat dan Tathayyur:
- BULAN SURO, Bulan Penuh Musibah dan Kesialan?
- Muharram (Suro) Bulan Keramat ?
- Kesyirikan di Bulan Suro
- Dukun, Tukang Ramal, dan Zodiak
- Dukun, Paranormal atau Sejenisnya, Mereka Adalah Penjahat !!
- Beberapa Tanda-tanda Tukang Sihir dan Dukun
- Bolehkah Percaya kepada Tradisi?
- Ini Bukan Sekedar Ritual !
- J I M A T
- Ada Apa Antara Rezeki dan Jimat?
- Kesyirikan pada Jimat dan Rajah
- Berkah Bukan Dari Jimat Penglaris
- Kesyirikan pada Rajah (Azimat) dengan Tulisan Arab
- Kunci-Kunci Ilmu Gaib, Hanya Allah Yang Mengetahuinya
- Mengaku Mengetahui Ilmu Ghaib Dengan Membaca Telapak Tangan, Cangkir atau Lainnya
- Hukum Membaca Ramalan Bintang, Zodiak dan Shio
- Adakah "Kualat," "Pamali," atau Pesimis Karena Sesuatu Dalam Islam?
- Hadits Tentang “Kesialan”
- Beranggapan Sial dengan Angka 13
- Pandangan Islam Tentang Ilmu Tenaga Dalam
- Membongkar Kedok Dukun Berlabel Ustadz atau Kyiai
Artikel lain seputar Akidah, silahkan lihat di Daftar Isi.
0 komentar:
Posting Komentar