Oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Jalan-jalan kesesatan jumlahnya sangat banyak dan bentuknya
pun bermacam-macam. Demikian banyaknya sampai masyarakat sulit
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Salah satunya adalah
ilmu filsafat.
Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan beberapa point yang
menunjukkan keharusan berhati hati dalam mengambil ilmu sebagaimana
tersebut dalam ayat:
“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka
mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka)
inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada
yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Ali ‘Imran: 7)
‘Aisyah radhiyallahu'anha mengatakan: Ketika Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam membaca ayat ini, beliau bersabda:
“Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat
(yang tidak jelas maksudnya) maka merekalah yang disebut oleh Allah Subhanahu wa ta'ala,
maka hati-hatilah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Jelaslah, bahwa akan ada dari umat ini orang-orang mengikuti ayat-ayat
yang mutasyabihat saja dengan tujuan agar mereka bisa menyelewengkan
semau mereka, dan mereka sebarkan di kalangan umat untuk menyesatkan
mereka dari jalan yang lurus, baik mereka sadari ataupun tidak. Padahal
semestinya ayat-ayat yang semacam itu kita fahami maknanya sesuai dengan
ayat yang muhkamat (yang sudah jelas maknanya) sehingga tidak terkesan
ada pertentangan antara ayat Al Qur`an.
Inilah cara yang benar dalam memahami ayat. Dalam hadits, ketika Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam
menyebutkan adanya kebaikan lalu adanya kaum yang menjalani selain
Sunnah Nabi dan mengambil selain petunjuknya, ditanya oleh Hudzaifah radhiyallahu'anhu
katanya:
“Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan lagi?”
Beliau
menjawab: “Ya, para da’i yang berada di pintu-pintu jahannam. Barangsiapa menyambut mereka, akan dilemparkan ke dalamnya.”
Hudzaifah berkata: “Wahai Rasulullah, berikan sifatnya kepada kami.”
Jawabnya: “Ya, sebuah kaum dari kulit kita dan berbicara dengan bahasa
kita…” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Demikian Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam memberitakan akan adanya para da’i yang mengajak ke
neraka jahannam, sehingga dalam hadits lainpun beliau mengatakan:
“Sesunggguhnya yang aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin
yang menyesatkan.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dan yang lain dari Tsauban z
dishahihkan As-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1582)
Hadits-hadits tersebut menunjukkan perhatian Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam kepada kita di mana
beliau sangat mengkhawatirkan kesesatan umatnya dengan sebab mengikuti
para da’i yang membawa pemikiran atau ajaran yang tidak sesuai dengan
ajaran Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam. Karena inilah penyebab hancurnya agama.
Abdullah bin Al-Mubarak mengatakan: “Tidak merusak agama ini kecuali
raja-raja, ulama yang jelek dan ahli ibadah yang jelek.” (Syarh
Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 204)
Oleh karenanya, perlu dijelaskan jenis-jenis manusia yang harus
diwaspadai ketika kita mengambil ilmu sebagaimana disebutkan para ulama.
Di antara mereka adalah:
1. Ashabur Ra`yi, yaitu orang-orang yang memahami agama dengan rasio
mereka. Termasuk di sini adalah orang-orang yang menafsirkan ayat atau
hadits dari akal mereka sendiri tanpa merujuk kepada tafsir para ulama.
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu'anhu mengatakan: “Jauhi oleh kalian Ashabur Ra‘yi,
mereka adalah para musuh As-Sunnah. Hadits-hadits Nabi tidak mampu
mereka hafalkan, akhirnya mereka mengatakan dengan akal sehingga sesat
dan menyesatkan.” (Al-Intishar Li Ahlil Hadits no. 21)
2. Al-Ashaghir, yaitu orang-orang kecil. Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
“Di antara tanda hari kiamat ada tiga, salah satuya adalah
dituntutnya ilmu dari Al-Ashaghir.” (Shahih atau hasan, HR. Ibnu Abdil
Bar dalam Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 612 tahqiq Abul Asybal dan
dihasankannya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bashair
Dzawisy Syaraf hal. 41)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu'anhu mengatakan, jika ilmu datang dari Al-Ashaghir maka
mereka akan binasa (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 616).
Abdullah bin
Al-Mubarak ditanya tentang makna Al-Ashaghir, katanya, yaitu orang yang
berpendapat (dalam masalah agama) dengan pendapat mereka sendiri… yakni
ahlul bid’ah (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 612). Karena memang ahlul bid’ah
kecil dalam hal ilmu.
Sebagian ulama yang lain mengatakan yang dimaksud adalah yang tidak
punya ilmu (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 617).
Yang lain lagi mengatakan:
“Bisa jadi yang dimaksud adalah orang yang tidak terhormat, dan hal itu
tidak terjadi kecuali karena ia membuang agama dan kehormatannya. Adapun
yang selalu menjaga keduanya pasti dia akan terhormat.” (Al-I’tisham,
2/682)
3. Ahlul Bid’ah, seseorang bisa dikatakan sebagai ahlul bid’ah jika ia
menyelisihi hal-hal yang telah disepakati oleh Ahlussunah wal Jamaah
(Al-Farqu Bainal Firaq hal. 14-15).
Ibnu Taimiyyah menjelaskan, bid’ah
yang dengannya seseorang bisa dianggap sebagai ahlul ahwa` (ahlul
bid’ah) adalah sebuah bid’ah yang telah masyhur di kalangan ahlul ilmi
dan Ahlussunnah bahwa hal itu menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah seperti
bid’ah Khawarij, Syi’ah, Qadariyyah dan Murji‘ah (Majmu’ Fatawa, 35/414
dari Mauqif Ahlissunnah, 1/119).
Maka jika kita ketahui bahwa seseorang
memiliki sebuah paham atau keyakinan yang masyhur dan jelas menyelisihi
Al-Kitab dan As-Sunnah menurut pandangan ulama Ahlussunnah atau
menyelisihi sesuatu yang telah disepakati oleh Ahlussunnah, maka ia
tergolong ahlul bid’ah.
Contoh yang paling jelas dalam hal ini seperti pribadi/ kelompok yang
memiliki pemahaman mengkafirkan mayoritas kaum muslimin, menolak
hadits-hadits ahad (bukan mutawatir) dalam hal akidah, mencela sebagian
shahabat Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam, meremehkan masalah tauhid, menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta'ala, mengatakan Al Qur‘an bukan Kalamullah, dan menafikan takdir.
Seseorang yang mencari ilmu agama harus hati-hati dari orang yang semacam ini. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: “Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.” (Al-An’am: 153)
Seorang tabi’in bernama Mujahid menafsirkan ayat ini, katanya: “(Yang
dimaksud adalah) bid’ah dan syubhat-syubhat.” (Al-Bid’ah, Dhowabituha …
hal. 12)
Al-Imam Malik mengatakan: “Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang –di
antaranya– : seorang ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ahnya” (Jami’
Bayanil ‘Ilm hal. 821).
Dan banyak lagi dalil atau ucapan salaf di
dalam hal ini.
4. Ahli filsafat. Yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang berusaha
memahami perkara-perkara agama melalui teori-teori filsafat yang berasal
dari Yunani yang mereka namakan dengan ‘Ushuluddin’.
Masalah penimbangan amal di akhirat kelak, misalnya. Menurut mereka
–dengan teori filsafat–, amal bukanlah dzat yang berujud sehingga tidak
bisa ditimbang. Walhasil dengan pemahaman ini, mereka mengingkari
nash-nash tentang timbangan amal. Padahal menurut pemahaman yang benar,
kita wajib meyakininya karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Memahami agama melalui teori atau kaidah filsafat jika kebetulan sesuai
dengan kebenaran maka tidak akan menyampaikan kepada kemantapan dalam
berakidah, karena akan selalu tergoyahkan dengan teori lainnya yang
menurut orang lain atau menurut dia sendiri di waktu lain lebih kuat.
Sampai-sampai salah seorang dari mereka mengatakan: “Aku berbaring di
atas tempat tidurku dan aku tutupkan selimut di atas wajahku lalu aku
adu antara dalil-dalil mereka (ahli filsafat), sampai terbit fajar dan
aku tidak mendapatkan mana yang lebih kuat.” (Syarah Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyah hal. 209)
Oleh karenanya para ulama Ahlussunnah dari dulu sampai sekarang sangat
keras melarang ‘ilmu’ ini dan mewaspadai orang-orangnya. Sampai-sampai,
hampir tidak satu kitab pun dari kitab-kitab Ahlussunnah yang membahas
akidah kecuali mencela filsafat. Bahkan tidak sedikit mereka yang
menulis buku secara khusus mengingatkan umat tentang bahayanya filsafat.
Abu Yusuf, murid Abu Hanifah mengatakan: “Barangsiapa yang mencari ilmu
agama dengan ‘ilmu’ kalam (filsafat), ia akan menjadi zindiq (orang yang
menyembunyikan kekafiran).” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 209).
Adz-Dzahabi mengatakan: “Barangsiapa ingin menggabungkan antara ilmu
para Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam dan ‘ilmu’ para filosof dengan kepandaiannya, maka ia pasti
menyelisihi mereka semua.” (Mizanul I’tidal, 3/144 dari Al-Intishar,
hal. 97)
Oleh karenanya para tokoh filsafat dari muslimin menyesali tenggelamnya
mereka ke dalam ‘ilmu’ filsafat seperti Al-Ghazali, Ar-Razi,
Asy-Syihristani, Al-Juwaini dan yang lain. Sebetulnya penyesalan mereka
itu cukup sebagai pelajaran bagi yang menginginkan keselamatan
akidahnya, dan –demi Allah Subhanahu wa ta'ala– cukup baginya merenungi dan mentadabburi
firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
“Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya kami telah menurunkan
kepadamu Al-Qur`an yang dibacakan kepada mereka, sesungguhnya di
dalamnya terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang
beriman.” (Al-’Ankabut: 51)
“Katakanlah wahai Nabi: ‘Sesungguhnya aku hanya memperingatkan kalian dengan wahyu’.” (Al-Anbiya: 45)
Jalan para rasul adalah wahyu, bukan filsafat.
5. Orang-orang yang memiliki sifat-sifat berikut: tidak ikhlas
dalam berilmu tapi mengharapkan harta duniawi, kedudukan atau jabatan
dengan ilmunya, yang mencampur antara kebenaran dan kebatilan, dan yang
tidak mengamalkan ilmunya. Karena ini adalah sifat-sifat ulama Yahudi
sehingga jika ada ulama muslim yang semacam itu berarti ia menyerupai
Yahudi dan termasuk ulama yang jelek (Syarh Ushulus Sittah, Al-Ubailan
hal. 16).
Ibnu Qudamah berkata: “Ulama yang jelek adalah yang punya
maksud dengan ilmunya untuk bernikmat-nikmat dengan dunia dan mencapai
kedudukan di sisi ahli dunia.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 35)
6. Para pengikut aliran tarekat sufi yang meyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta'ala tidak
di atas langit tapi di mana-mana, atau bersatu dengan para wali. Mereka
memiliki amalan-amalan dzikir yang tata caranya mereka buat sendiri dan
bukan berasal dari ajaran Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam. Ini sesungguhnya termasuk ahlul
bid’ah.
7. Orang-orang yang mengaku muslim tapi terpengaruh paham-paham
sosialis, sekularis, materialis atau sejenisnya. Atau orang-orang kafir
orientalis misalnya.
Semua itu mesti kita hindari, dan hal ini sebetulnya jelas. Namun kita
sebutkan karena adanya sebagian muslimin yang lengah dalam masalah ini
atau menyepelekannya sehingga belajar ilmu agama Islam dari mereka.
Bahkan yang sangat disayangkan ada pula yang berbangga dengan guru-guru
yang semacam itu. Padahal dalam pepatah Arab disebutkan “orang yang
tidak punya tidak bisa memberi.”
Akibat buruk yang nyata dari perbuatan ini adalah munculnya orang-orang
yang phobi terhadap Islam seperti gerakan JIL (Jaringan Islam Liberal)
misalnya. Mereka sesungguhnya tidak menyebarkan Islam tapi justru
meruntuhkan Islam dan membikin keraguan terhadap agama Islam dan
ajaran-ajarannya.
Semoga Allah Subhanahu wa ta'ala memusnahkan atau mempersedikit orang-orang semacam ini,
dan sebaliknya memperbanyak ahlul haq dan melindungi kaum muslimin dari
fitnah-fitnah yang menyesatkan.
Wallahu a’lam.
Majalah "Syariah" Edisi 3
Sumber: http://asysyariah.com/mewaspadai-penyeru-kebinasaan.html
Mewaspadai Penyeru Kebinasaan
Faisal Choir Blog :
Blog ini merupakan kumpulan Artikel dan Ebook Islami dari berbagai sumber. Silahkan jika ingin menyalin atau menyebarkan isi dari Blog ini dengan mencantumkan sumbernya, semoga bermanfaat. “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR. Muslim). Twitter | Facebook | Google Plus
0 komentar:
Posting Komentar