Salah satu aktivitas yang khas di bulan Syawal (khususnya di moment Idul
Fithri) adalah saling bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Moment
tersebut memang moment terbaik untuk saling mengunjungi, apalagi
mengunjungi orang tua dan kerabat karena waktu senggang dan seluruh
keluarga dekat bisa mudah ditemui adalah pada waktu tersebut. Dan
sungguh saling mengunjungi silaturahmi ini memiliki keutamaan yang besar
dari sisi pahala dan umur yang berkah, di samping dapat memupuk dan
melagengkan kasih sayang.
Keutamaan Saling Mengunjungi
Beberapa hadits telah menerangkan tentang keutamaan saling
mengunjungi sesama muslim. Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan,
“Sesungguhnya seseorang ada yang ingin mengunjungi saudaranya di kota
lain. Allah lalu mengutus malaikat untuknya di jalan yang akan ia lalui.
Malaikat itu pun berjumpa dengannya seraya bertanya, ‘Ke mana engkau
akan pergi? Ia menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di kota ini?’
Malaikat itu bertanya kembali, ‘Apakah ada suatu nikmat yang terkumpul
untukmu karena sebab dia?’ Ia menjawab, ‘Tidak. Aku hanya mencintai dia
karena Allah ‘azza wa jalla.’ Malaikat itu berkata, ‘Sesungguhnya aku
adalah utusan Allah untukmu. Allah sungguh mencintaimu karena kecintaan
engkau padanya’.” (HR. Muslim no. 2567).
Hadits ini disebutkan oleh Imam
Nawawi dalam Shahih Muslim dengan judul bab “Keutamaan saling cinta
karena Allah”. Dan dalil ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil
keutamaan saling mengunjungi sesama muslim dan mengunjungi orang sholeh
yang dilandasi ikhlas dan saling mencintai karena Allah. Jadi dasarnya
adalah karena Allah yaitu karena iman yang dimiliki saudaranya.
Dalam hadits ‘Ubadah bin Ash Shamit, disebutkan, “Sungguh Aku
mencintai orang yang saling mencintai karena-Ku. Sungguh Aku pun
mencintai orang yang saling berkunjung karena-Ku. Sunguh Aku mencintai
orang yang saling berderma karena-Ku. Sungguh aku mencintai orang yang
saling bersedekah karena-Ku. Begitu pula dengan orang yang saling
menyambung (hubungan kekerabatan) karena-Ku.” (HR. Ahmad 5/229, shahih).
Mengunjungi Kerabat
Lebih utama lagi jika seorang muslim mengunjungi orang tua, saudara
dan kerabatnya. Ini akan membuahkan pahala yang lebih besar. Inilah yang
dimaksudkan silaturahmi.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga, lantas
Rasul menjawab,
تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
"Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang
tua dan kerabat)." (HR. Bukhari no. 5983)
Dari Abu Bakroh, Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ
ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ
الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا - مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ -
مِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
"Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya
bagi para pelakunya [di dunia ini] -berikut dosa yang disimpan untuknya
[di akhirat]- daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan
memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)" (HR. Abu Daud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah n0. 4211, shahih)
Abdullah bin ’Amr berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِى إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
”Seorang yang menyambung silahturahmi bukanlah seorang yang
membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang
yang menyambung silahturahmi adalah orang yang berusaha kembali
menyambung silaturahmi setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain.” (HR. Bukhari no. 5991)
Abu Hurairah berkata, "Seorang pria mendatangi Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya punya keluarga
yang jika saya berusaha menyambung silaturrahmi dengan mereka, mereka
berusaha memutuskannya, dan jika saya berbuat baik pada mereka, mereka
balik berbuat jelek kepadaku, dan mereka bersikap acuh tak acuh padahal
saya bermurah hati pada mereka". Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam menjawab, "Kalau memang halnya seperti yang engkau katakan,
(maka) seolah-olah engkau memberi mereka makan dengan bara api dan
pertolongan Allah akan senantiasa mengiringimu selama keadaanmu seperti
itu.” (HR. Muslim no. 2558)
Abdurrahman ibnu 'Auf berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنا الرَّحْمنُ، وَأَنا خَلَقْتُ الرَّحِمَ،
وَاشْتَقَقْتُ لَهَا مِنِ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ
قَطَعَهَا بتَتُّهُ
"Allah ’azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar Rahman. Aku
menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang
menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang
memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya." (HR. Ahmad 1/194, shahih
lighoirihi).
Dari Abu Hurairah, Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
"Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi." (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma berkata,
مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ
"Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturrahmi
niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak serta
keluarganya akan mencintainya." (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 58, hasan)
Memang terjadi salah kaprah mengenai istilah silaturahmi
(silaturahim) di tengah-tengah kita sebagaimana yang dimaksudkan dalam
hadits-hadits di atas. Yang tepat, menjalin tali silaturahmi adalah
istilah khusus untuk berkunjung kepada orang tua, saudara atau kerabat.
Jadi bukanlah istilah umum untuk mengunjungi orang sholeh, teman atau
tetangga. Sehingga yang dimaksud silaturahmi akan memperpanjang umur
adalah untuk maksud berkunjung kepada orang tua dan kerabat. Ibnu Hajar
dalam Al Fath menjelaskan, "Silaturahmi dimaksudkan untuk kerabat, yaitu
yang punya hubungan nasab, baik saling mewarisi ataukah tidak, begitu
pula masih ada hubungan mahrom ataukah tidak." Itulah makna yang tepat.
Menebus Kesalahan
Setiap hamba tidak akan lepas dari dosa, baik dosa antara dirinya
dengan Sang Kholiq dan dosa terhadap sesama begitu pula terhadap
orang-orang terdekat. Dosa kepada Allah bisa ditebus dengan taubat.
Taubat di sini mengharuskan untuk menyesali dosa yang telah lalu,
kembali taat untuk saat ini dan bertekad tidak mengulangi dosa tersebut
di masa mendatang. Sedangkan kesalahan terhadap sesama di samping
memenuhi syarat tadi, juga mengharuskan untuk meminta maaf kepada
saudara tempat kita berbuat khilaf. Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ
كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ
فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ
وَلاَ دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ
مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ
صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barang siapa melakukan tindak kelaliman kepada seseorang, baik
pada harga diri atau harta bendanya, hendaknya ia segera
menyelesaikannya sekarang juga, sebelum datang hari kiamat, suatu hari
yang tidak berlaku lagi uang dinar atau dirham. Akibatnya, bila ia
memiliki amal shaleh, maka akan dipungut sebanyak tindak kelalimannya.
Bila ia tidak memiliki amal kebajikan, maka akan dipungutkan dari dosa
orang tersebut, lalu dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2449).
Kondisi semacam ini tentu sangat memilukan hati kita. Di saat kita
sangat butuh pada pahala amal ibadah kita, ternyata semuanya sirna
karena digunakan menebus khilaf. Penyesalan yang tiada terobati pasti
menyelimuti diri kita kala itu dan perasaan merugi pasti menggerogoti
batin ini. Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ
وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ
مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ
أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ
“Orang yang benar-benar pailit dari umatku ialah orang yang di
hari kiamat dibangkitkan dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat.
Di saat yang sama ini juga memikul dosa mencaci, menuduh, memakan
harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Sebagai tebusannya,
orang ini diberi tebusan dari pahala amal kebajikannya, ini juga diberi
tebusan dari pahala amal kebajikannya, dan ini juga diberi tebusan dari
pahala amal kebajikannya. Bila pahala amal kebajikannya telah habis,
padahal dosanya belum terbayar semua, maka dipungutkan dari dosa-dosa
mereka dan dibebankan kepadanya. Akibatnya ia dicampakkan ke dalam api
neraka." (HR. Muslim no. 2581).
Kebutuhan kita untuk terus saling
memaafkan dan meminta maaf ini tentu tiada pernah putus selama masih
hidup bermasyarakat termasuk dalam hidup rumah tangga dan hubungan
dengan kerabat.
Namun sekali lagi, saling
memaafkan di sini sebenarnya bukan jadi moment khusus yang diajarkan
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di hari raya. Ketika ada
salah dan yakin pernah berbuat khilaf pada orang tua, kerabat dan
lainnya, hendaklah kita minta diputihkan atau dimaafkan. Akan tetapi,
hal ini tidak menjadi suatu hal yang Islam wajibkan di hari raya nan
fitri. Saling mengunjungi dan saling memberi ucapan selamat akan
kesuksesan di bulan Ramadhan serta saling mendoakan akan diterimanya
amal-amal kita saat berpuasa, itu mesti lebih kita pupuk di hari raya.
Panggang-Gunung Kidul, 9 Ramadhan 1432 H
www.rumaysho.com
0 komentar:
Posting Komentar