Zakat secara bahasa berarti an namaa’ (tumbuh), az ziyadah (bertambah), ash sholah (perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.
Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka
(tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri
(tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[1] Ada pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah/ naluri. An Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”[2]. Istilah ini digunakan oleh para pakar fikih.
Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[3]
Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri
Hikmah disyari’atkannya zakat fithri adalah:
- untuk berkasih sayang dengan orang miskin, yaitu mencukupi mereka agar jangan sampai meminta-minta di hari ‘ied,
- memberikan rasa suka cita kepada orang miskin supaya mereka pun dapat merasakan gembira di hari ‘ied, dan
- membersihkan kesalahan orang yang menjalankan puasa akibat kata yang sia-sia dan kata-kata yang kotor yang dilakukan selama berpuasa sebulan.[4]
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri
untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata
keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang
menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang
menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di
antara berbagai sedekah.”[5]
Hukum Zakat Fithri
Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Bahkan Ishaq bin Rohuyah menyatakan bahwa wajibnya zakat fithri seperti ada ijma’ (kesepakatan ulama) di dalamnya[6]. Bukti dalil dari wajibnya zakat fithri adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri
dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang
merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun
dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang
keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.”[7]
Perlu dipehatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini
tidak termasuk di dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti
Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya.
Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‘urf (kebiasaan yangg ada). [8]
Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri
Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: (1) setiap muslim karena untuk menutupi kekurangan puasa yang diisi dengan perkara sia-sia dan kata-kata kotor, (2) yang mampu mengeluarkan zakat fithri.
Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai
kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan
siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini berarti dia
dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Orang seperti ini
yang disebut ghoni (berkecukupan) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ
“Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki sesuatu yang
mencukupinya, maka sesungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka
berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi tersebut?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Seukuran makanan
yang mengenyangkan untuk sehari-semalam." [9]”[10]
Dari syarat di atas menunjukkan bahwa kepala keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya.[11] Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami bertanggung jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi tanggungan nafkah suami.[12]
Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri?
Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri jika ia
bertemu terbenamnya matahari di malam hari raya Idul Fithri. Jika dia
mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri.
Inilah yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i.[13]
Alasannya, karena zakat fithri berkaitan dengan hari fithri, hari tidak
lagi berpuasa. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian
(disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada
waktu fithri tersebut.[14]
Misalnya, apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya
matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya kewajiban
dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah
terbenamnya matahari maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakat fithri.
Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari
maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi dianjurkan
sebagaimana terdapat perbuatan dari Utsman bin ‘Affan yang mengeluarkan
zakat fithri untuk janin. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari
terbenam, maka zakat fithri wajib untuk dikeluarkan darinya.
Bentuk Zakat Fithri
Bentuk zakat fithri adalah berupa makanan pokok seperti kurma,
gandum, beras, kismis, keju dan semacamnya. Inilah pendapat yang benar
sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa. Namun hal ini diselisihi oleh ulama
Hanabilah yang membatasi macam zakat fithri hanya pada dalil (yaitu
kurma dan gandum). Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama,
tidak dibatasi hanya pada dalil.[15]
Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau gandum karena ini
adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu bukan makanan
pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, tentu
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan membebani
mereka mengeluarkan zakat fithri yang bukan makanan yang biasa mereka
makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh diperintahkan seperti
ini. Allah Ta’ala berfirman,
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ
“Maka kafaroh (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu.” (QS. Al Maidah: 89). Zakat fithri pun merupakan bagian
dari kafaroh karena di antara tujuan zakat ini adalah untuk menutup
kesalahan karena berkata kotor dan sia-sia.[16]
Ukuran Zakat Fithri
Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fithri adalah satu sho’ dari semua bentuk zakat fithri kecuali untuk qomh (gandum) dan zabib (kismis) sebagian ulama membolehkan dengan setengah sho’.[17]
Dalil dari hal ini adalah hadits Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan bahwa
zakat fithri itu seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Dalil lainnya
adalah dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Dahulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami
menunaikan zakat fithri berupa 1 sho’ bahan makanan, 1 sho’ kurma, 1
sho’ gandum atau 1 sho’ kismis.”[18] Dalam riwayat lain disebutkan,
أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ
Satu sho’ adalah ukuran takaran yang ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para ulama berselisih pendapat bagaimanakah ukuran takaran ini. Lalu
mereka berselisih pendapat lagi bagaimanakah ukuran timbangannya.[20] Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang[21]. Ukuran satu sho’ jika diperkirakan dengan ukuran timbangan adalah sekitar 3 kg.[22] Ulama lainnya mengatakan bahwa satu sho’ kira-kira 2,157 kg.[23] Artinya jika zakat fithri dikeluarkan 2,5 kg, sudah dianggap sah. Wallahu a’lam.
Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang?
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak
boleh menyalurkan zakat fithri dengan uang yang senilai dengan zakat.
Karena tidak ada satu pun dalil yang menyatakan dibolehkannya hal ini.
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya zakat fithri diganti
dengan uang.
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah tidak bolehnya zakat fithri dengan uang sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Abu Daud mengatakan,
قِيلَ لِأَحْمَدَ وَأَنَا أَسْمَعُ : أُعْطِي دَرَاهِمَ – يَعْنِي فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ – قَالَ : أَخَافُ أَنْ لَا يُجْزِئَهُ خِلَافُ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
“Imam Ahmad ditanya dan aku pun menyimaknya. Beliau ditanya oleh
seseorang, “Bolehkah aku menyerahkan beberapa uang dirham untuk zakat
fithri?” Jawaban Imam Ahmad, “Aku khawatir seperti itu tidak sah.
Mengeluarkan zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi perintah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Abu Tholib berkata berkata bahwa Imam Ahmad berkata padanya,
لَا يُعْطِي قِيمَتَهُ
Dalam kisah lainnya masih dari Imam Ahmad,
قِيلَ لَهُ : قَوْمٌ يَقُولُونَ ، عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَ يَأْخُذُ بِالْقِيمَةِ ، قَالَ يَدَعُونَ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَقُولُونَ قَالَ فُلَانٌ ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ada yang berkata pada Imam Ahmad, “Suatu kaum mengatakan bahwa ‘Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz membolehkan menunaikan zakat fithri dengan uang
seharga zakat.” Jawaban Imam Ahmad, “Mereka meninggalkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka mengatakan bahwa si fulan telah mengatakan demikian?! Padahal Ibnu ‘Umar sendiri telah menyatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri (dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum …).[24]” Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”[25] Sungguh aneh, segolongan orang yang menolak ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mengatakan, “Si fulan berkata demikian dan demikian”.”[26]
Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (pernah menjabat sebagai
Ketua Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Komisi
Fatwa Saudi Arabia), memberikan penjelasan:
“Telah kita ketahui bahwa ketika pensyari’atan dan dikeluarkannya
zakat fithri ini sudah ada mata uang dinar dan dirham di tengah kaum
muslimin –khususnya penduduk Madinah (tempat domisili Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, pen)-. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fithri. Seandainya
mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya.
Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang,
tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka
yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita.”[27]
Penerima Zakat Fithri
Para ulama berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak
diberikan zakat fithri. Mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat fithri
disalurkan pada 8 golongan sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah
ayat 60[28].
Sedangkan ulama Malikiyah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya dan
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat fithri hanyalah khusus untuk fakir
miskin saja.[29] Karena dalam hadits disebutkan,
وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Alasan lainnya dikemukan oleh murid Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Beliau rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
petunjuk bahwa zakat fithri hanya khusus diserahkan pada orang-orang
miskin dan beliau sama sekali tidak membagikannya pada 8 golongan
penerima zakat satu per satu. Beliau pun tidak memerintahkan untuk
menyerahkannya pada 8 golongan tersebut. Juga tidak ada satu orang
sahabat pun yang melakukan seperti ini, begitu pula orang-orang
setelahnya.”[30]
Waktu Pengeluaran Zakat Fithri
Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam:
(1) waktu afdhol yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri
hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied; (2) waktu yang dibolehkan
yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan
oleh Ibnu Umar.[31]
Yang menunjukkan waktu afdhol adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka
zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka
itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[32]
Sedangkan dalil yang menunjukkan waktu dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum adalah disebutkan dalam shahih Al Bukhari,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ – رضى الله عنهما – يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fithri
kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya
itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Idul Fithri.”[33]
Ada juga sebagian ulama yang membolehkan zakat fithri ditunaikan tiga
hari sebelum ‘Idul Fithri. Riwayat yang menunjukkan dibolehkan hal ini
adalah dari Nafi’, ia berkata,
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
“’Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri.”[34]
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fithri boleh ditunaikan sejak awal Ramadhan. Ada pula yang berpendapat boleh ditunaikan satu atau dua tahun sebelumnya.[35]
Namun pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini, dikarenakan zakat
fithri berkaitan dengan waktu fithri (Idul Fithri), maka tidak
semestinya diserahkan jauh hari sebelum hari fithri. Sebagaimana pula
telah dijelaskan bahwa zakat fithri ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan
orang miskin agar mereka bisa bersuka ria di hari fithri. Jika ingin
ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari
sebelum hari ‘ied.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Seandainya zakat fithri
jauh-jauh hari sebelum ‘Idul Fithri telah diserahkan, maka tentu saja
hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk
memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘ied. Ingatlah bahwa sebab
diwajibkannya zakat fithri adalah hari fithri, hari tidak lagi berpuasa.
Sehingga zakat ini pun disebut zakat fithri. … Karena maksud zakat
fithri adalah untuk mencukupi si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari
fithri), maka tidak boleh didahulukan jauh hari sebelum waktunya.”[36]
Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri Setelah Shalat ‘Ied?
Barangsiapa menunaikan zakat fithri setelah shalat ‘ied tanpa ada
udzur, maka ia berdosa. Inilah yang menjadi pendapat ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah. Namun seluruh ulama pakar fikih sepakat bahwa
zakat fithri tidaklah gugur setelah selesai waktunya, karena zakat ini
masih harus dikeluarkan. Zakat tersebut masih menjadi utangan dan
tidaklah gugur kecuali dengan menunaikannya. Zakat ini adalah hak sesama
hamba yang mesti ditunaikan.[37]
Oleh karena itu, bagi siapa saja yang menyerahkan zakat fithri kepada
suatu lembaga zakat, maka sudah seharusnya memperhatikan hal ini. Sudah
seharusnya lembaga zakat tersebut diberi pemahaman bahwa zakat fithri
harus dikeluarkan sebelum shalat
‘ied, bukan sesudahnya. Bahkan jika zakat fithri diserahkan langsung
pada si miskin yang berhak menerimanya, maka itu pun dibolehkan. Hanya Allah yang memberi taufik.
Di Manakah Zakat Fithri Disalurkan?
Zakat fithri disalurkan di negeri tempat seseorang mendapatkan
kewajiban zakat fithri yaitu di saat ia mendapati waktu fithri (tidak
berpuasa lagi). Karena wajibnya zakat fithri ini berkaitan dengan sebab
wajibnya yaitu bertemu dengan waktu fithri.[38]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278.
[2] Al Majmu’, 6/103.
[3] Mughnil Muhtaj, 1/592.
[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278 dan Minhajul Muslim, 230.
[5] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.
[7] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[8] Lihat Shifat Shaum Nabi, 102.
[9] HR. Abu Daud no. 1435 dan Ahmad 4/180. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/80-81.
[11] Mughnil Muhtaj, 1/595.
[12] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/59.
[13] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.
[14] Mughnil Muhtaj, 1/592.
[15] Shahih Fiqh Sunnah, 2/82.
[16] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/69.
[17] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.
[18] HR. Bukhari no. 1508 dan Muslim no. 985.
[19] HR. Bukhari no. 1506 dan Muslim no. 985.
[20] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8286.
[21] Lihat Al Qomush Al Muhith, 2/298.
[22] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/202.
[23] Lihat pendapat Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/83.
[24] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[25] QS. An Nisa’ ayat 59.
[26] Lihat Al Mughni, 4/295.
[27] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211
[28] Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60).
[29] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.
[30] Zaadul Ma’ad, 2/17.
[31] Lihat Minhajul Muslim, 231.
[32] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[33] HR. Bukhari no. 1511.
[34] HR. Malik dalam Muwatho’nya no. 629 (1/285).
[35] Lihat pendapat berbagai ulama dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284 dan Al Mughni, 5/494.
[36] Al Mughni, 4/301.
[37] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.
[38] Misalnya, seseorang yang kesehariannya biasa di Jakarta, sedangkan ketika malam Idul Fithri ia berada di Yogyakarta, maka zakat fithri tersebut ia keluarkan di Yogyakarta karena di situlah tempat ia mendapati hari fithri. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.
0 komentar:
Posting Komentar