Salah satu mata acara saat Sahur, di Metro TV, Jakarta,
disajikan tanya jawab keagamaan (Islam) antara sejumlah audiens dengan
narasumber kesohor yaitu Quraish Shihab. Dia ini pria kelahiran Rappang
(Sulawesi Selatan) pada 16 Februari 1944, pernah menjabat sebagai rector
IAIN Jakarta, kemudian menjadi Menteri Agama RI selama 70 hari di akhir
masa pemerintahan Soeharto yang lengser Mei 1998.
Di
acara Metro TV, salah seorang peserta ketika mengajukan pertanyaan
berkenaan dengan latar belakang adanya kebiasaan memperingati atau
merayakan hari anak yatim (10 Muharram), Quraish Shihab menjawabnya
dengan memasukan doktrin Syi’ah tentang perang Karbala yang menewaskan cucu Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam yakni Husein radhiyallahu ‘anhu. (Metro TV edisi Selasa 02 Ramadhan 1429 H bertepatan dengan 02 September 2008)
Menurut
Quraish Shihab, perayaan anak yatim yang bertepatan dengan tanggal 10
Muharram itu adalah untuk mengenang kematian Husein radhiyallahu ‘anhu dan keluarganya yang tewas pada perang Karbala. Dari peperangan itu menghasilkan banyak anak yatim. Peristiwa Karbala yang menewaskan Husein radhiyallahu ‘anhu terjadi pada 10 Muharram tahun 61 Hijriyah.
Jawaban khas Syi’ah ala Quraish Shihab itu, menunjukkan bahwa ia memang penganjur Syi’ah yang konsisten dan gigih.
Di berbagai kesempatan, bila ada peluang memasukkan doktrin dan ajaran
Syi’ah, langsung dimanfaatkannya, apalagi di hadapan audiens yang awam
(tidak mengerti apa itu Syi’ah, dan bagaimana ajarannya yang sesat dan
menyesatkan).
Pada dasarnya, Islam sangat memuliakan anak yatim. Semasa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam
masih hidup, anjuran untuk menyantuni anak yatim sudah
disosialisasikan bahkan dipraktekkan sendiri. Artinya, anjuran dan
praktek itu sudah ada jauh sebelum Husein radhiyallahu ‘anhu wafat. Sehingga pernyataan Quraish Shihab tersebut terkesan ahistoris, bila menyantuni anak yatim dikaitkan dengan kematian Husein radhiyallahu ‘anhu di Karbala.
Dalam salah satu hadits riwayat An-Nasa’i, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
9150 - عن أبي شريح الخزاعي قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : { اللَّهُمَّ إنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ : حَقَّ الْيَتِيمِ وَ حَقَّ الْمَرْأَةِ } (سنن النسائي الكبرى – (ج 5 / ص 363)
Ya Allah sungguh saya mengharamkan (penyia-nyiaan) hak dua macam manusia yang lemah yaitu: hak anak yatim dan hak wanita. (HR An-Nasaai nomor 9150).
Namun
demikian, dalam ajaran Islam tidak ada waktu-waktu khusus yang
ditetapkan untuk memperingati atau merayakan anak yatim. Tanggal 10
Muharram yang oleh sebagian kalangan dijadikan momentum merayakan atau
memperingati atau menyantuni anak yatim –sebagaimana dilakukan oleh
sejumlah masjid yang secara madzhab dan kultural dekat dengan NU– pada
dasarnya tidak ada contohnya. Pada tangal 9 dan 10 Muharram ummat Islam
disunahkan berpuasa.
Dalam Hadits Shahih Riwayat Muslim,
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ : يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ .( رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Rasulullah
shallallohu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari ‘Asyura’,
maka beliau menjawab, “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil)
pada tahun kemarin.” (HR Muslim).
Benarkah Quraish Shihab penganut paham Syi’ah?
LPPI pernah mendapatkan surat pernyataan dari Osman Ali Babseil (PO Box 3458 Jedah, Saudi Arabia, dengan nomor telepon 00966-2-651 7456). Usianya kini sekitar 74 tahun, lulusan Cairo University tahun 1963.
Dengan sungguh-sungguh seraya berlepas diri dari segala dendam, iri hati, ia menyatakan:
- Sebagai teman dekat sewaktu mahasiswa di Mesir pada tahun 1958-1963, saya mengenal benar siapa saudara Dr. Quraish Shihab itu dan bagaimana perilakunya dalam membela aqidah Syi’ah.
- Dalam beberapa kali dialog dengan jelas dia menunjukkan sikap dan ucapan yang sangat membela Syi’ah dan merupakan prinsip baginya.
- Dilihat dari dimensi waktu memang sudah cukup lama, namun prinsip aqidah terutama bagi seorang intelektual, tidak akan mudah hilang/dihilangkan atau berubah, terutama karena keyakinannya diperoleh berdasarkan ilmu dan pengetahuan, bukan ikut-ikutan.
- Saya bersedia mengangkat sumpah dalam kaitan ini dan pernyataan ini saya buat secara sadar bebas dari tekanan oleh siapapun.
Pernyataan
itu dibuat Osman Ali Babseil sepuluh tahun lalu (Maret 1998), namun
hingga kini masih relevan, karena Quraish Shihab pun hingga kini
terbukti masih menyebarluaskan doktrin Syi’ah.
Ke-Syi’ah-an Quraish Shihab juga terlihat ketika ia meluncurkan Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya,
yang diterbitkan oleh Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal bekerjasama
dengan Yayasan Bimantara (2007). Salah satu indikasinya, dalam Ensiklopedi itu terlalu gandrung menggunakan tafsir Syi’ah Al Mizan karangan Tabataba’i
sebagai referensi dalam penulisan entri. Bahkan dapat dikatakan,
rujukan utama Ensiklopedi ini adalah tafsir Syi’ah yang memberikan
penafsiran terhadap Al-Qur’an sesuai dengan pemahaman aliran Syi’ah yang
memusuhi sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallohu ‘alaihi wa sallam.
Contoh lain ketika ia menerbitkan buku berjudul Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?
Pada buku itu antara lain dikatakan, bahwa di antara Sunnah-Syi’ah
terdapat kesamaan dalam prinsip-prinsip ajaran, sedang dalam rinciannya
terdapat perbedaan. Namun persamaannya jauh lebih banyak. Ini bisa
dilihat dari masalah keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dan hari kemudian, ketaatan kepada Rasul dan mengikuti apa yang dinilai
sah bersumber dari beliau, serta melaksanakan Rukun Islam yang lima.
Benarkah demikian?
Dalam
buku Syi’ah sendiri dinyatakan: Abi Abdullah berpesan; sesungguhnya
dunia dan akhirat adalah kepunyaan Imam, diberikannya kepada yang
dikehendakinya dan ditolaknya bagi yang tak diingininya. Ini kekuasaan
yang diberikan oleh Allah kepada Imam. Sebagaimana ditulis oleh Muhammad
bin Ya’kub al-Kulaini dalam kitab Ushul Kafi, khususnya pada bab yang berjudul Bumi Seluruhnya Adalah Milik Imam.
Salah satu ulama Syi’ah lainnya, Jakfar as-Shadiq diklaim mengatakan:
“Yang
punya bumi adalah Imam, maka apabila Imam keluar kepadamu cukuplah akan
menjadi cahaya (nur). Manusia tidak akan memerlukan matahari dan
bulan.” (lihat Tarjumah Maqbul Ahmad, hal. 339). Tarjumah Maqbul Ahmad. (bahasa Urdu) hal. 339. Diterjemahkan secara harfiyah
Padahal, Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan dalam Al-Qur’an, surat al-Araf:
إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya bumi adalah kepunyaan Allah, diwariskan kepada orang yang dikehendaki-Nya”. (QS Al-A’raf: 128)
Menurut Quraish pula, secara bahasa Suni atau Sunah berarti perilaku atau tindakan Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Syi’ah berarti mengikuti, maksudnya adalah menjadi pengikut Nabi Muhammad shallallohu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, semua Sunah adalah Syi’ah, dan semua Syi’ah adalah Sunah. Karena mereka yang mengikuti perilaku Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam adalah pengikutnya Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam dan begitu juga sebaliknya.
Padahal, makna Syi’ah adalah pengikut (‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu). Quraish
jelas telah memanipulasi makna Syi’ah. Kalau Sunnah dan Syi’ah tidak
ada perbedaan, tentu tak perlu repot-repot mengidentifikasikan dirinya
dengan nama yang berbeda. (lihat tulisan berjudul Ahmadiyah, Syi’ah dan Liberal, April 7, 2008 2:30 am).
Masalah Jilbab
Selain
berpaham Syi’ah militan, Quraish Shihab juga berbanjar bersama-sama
dengan sejumlah orang yang menempatkan berjilbab (menutup aurat) pada
posisi khilafiah, sebagaimana ditulisnya dalam sebuah buku berjudul Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer di tahun 2006.
Menurut
Quraish, ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pakaian wanita
mengandung aneka interpretasi. Selain itu, ketetapan hukum tentang batas
yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni
dugaan semata. Quraish juga bersikap, bahwa adanya perbedaan pendapat
para pakar hukum tentang batasan aurat adalah perbedaan antara
pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi
zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta
pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang
jelas, pasti dan tegas.
Sikap seperti itu jelas menepis Al-Qur’an. Sebab, Allah sudah secara tegas berfirman melalui surat Al-Ahzaab ayat 59:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(59)
Hai
Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
pengampun lagi Maha penyayang." (QS Al-Ahzab/ 33: 59).
Sedangkan berkenaan dengan batasan aurat, sudah secara tegas difirmankan melalui surat QS An Nuur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(31)
Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau
putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.” (QS An-Nur/ 24: 31).
Sebab
turunnya ayat ini, dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Asma’ binti
Murtsid pemilik kebun kurma, sering dikunjungi wanita-wanita yang
bermain-main di kebunnya tanpa berkain panjang sehingga kelihatan
gelang-gelang kakinya, demikian juga dada dan sanggul-sanggul mereka.
Berkatalah Asma’: langkah buruknya (pemandangan) ini. Turunlah ayat ini (S.24:31) sampai عَوْرَاتِ النِّسَاءِ auratinnisa (aurat wanita) berkenaan dengan peristiwa tersebut yang memerintahkan kepada Kaum Mu’minat untuk menutup aurat mereka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muqatil yang bersumber dari Jabir bin Abdillah.)
Sebab
turunnya ayat (penggalan selanjutnya QS 24: 31) ini, dalam suatu
riwayat dikemukakan bahwa seorang wanita membuat dua kantong perak yang
diisi untaian batu-batu mutu manikam sebagai perhiasan kakinya. Apabila
ia lewat di hadapan sekelompok orang-orang, ia memukul-mukulkan kakinya
ke tanah sehingga dua gelang kakinya bersuara beradu. Maka turunlah
kelanjutan ayat ini (S. 24 : 31, dari وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ “wala yadlribna bi arjulihinna” sampai akhir ayat) yang melarang wanita menggerak-gerakan anggota tubuhnya untuk mendapatkan perhatian laki-laki. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Hadhrami). (KHQ Shaleh dkk, Asbabun Nuzul, CV Diponegoro, Bandung, cetakan 7, tt, hlm 356).
Fatwa-fatwa tentang jilbab
Mari kita bandingkan pendapat Quraish Shihab tersebut di atas dengan fatwa-fatwa berikut ini.
1. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh
berfatwa: Bahwa wanita itu adalah aurat, diperintahkan untuk berhijab
dan menutup. Dan dilarang tabarruj (membuka aurat yang diperintahkan
untuk ditutupi, atau berhias dan bertingkah laku untuk dilihat lelaki)
dan dilarang memperlihatkan perhiasannya, kecantikannya, dan
bagian-bagian tubuh yang menimbulkan fitnah. Allah Ta’ala berfirman
dalam Surat Al-Ahzab ayat 59, QS An-Nur: 31, dan QS Al-Ahzab: 33.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS Al-Ahzab/
33: 33). (Fatawa dan surat-surat Muhammad bin Ibrahim Alu Al-Syaikh juz
2/ halaman 124).
2. Fatwa dari Qitho’il Ifta’ di Kuwait:
Wajib atas perempuan muslimah sejak umur baligh untuk menutup seluruh
badannya selain wajah dan dua tapak tangannya. Hal itu apabila ia keluar
dari rumahnya atau adanya laki-laki bukan mahramnya, maka tidak boleh
bagi perempuan muslimah menampakkan kepada lelaki ajnabi (bukan
mahramnya) sebagian tubuhnya seperti: rambutnya, atau lehernya, atau
hastanya (lengan/ dzira’) atau betisnya yang oleh sebagian wanita
muslimah biasa terbuka pada masa kini menirukan orang bukan Islam. Apabila wanita muslimah menampakkan sebagian dari tubuhnya itu maka sungguh dia telah berbuat haram yang telah pasti haramnya.
Dalil
atas wajibnya wanita menutup seluruh badannya selain wajah dan dua
tapak tangan adalah nash-nash yang banyak dari Al-Qur’anul karim dan
sunnah Nabi yang shahih. Di antaranya firman Allah Ta’ala dalam QS
An-Nur: 31. Maksud dari firman-Nya إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا (kecuali
yang (biasa) nampak daripadanya) adalah wajah dan dua tapak tangan.
Sebagaimana hal itu telah ditunjukkan oleh As-Sunnah dan atsar dari
sahabat. Maksud dari firman-Nya { وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ } (Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya), adalah hendaknya
wanita melabuhkan kerudung yakni tutup kepalanya dimana agar menutup
jaibuts tsaub yaitu bukaan leher. Oleh karena itu Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(59)
Hai
Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
pengampun lagi Maha penyayang. (QS Al-Ahzab/ 33: 59).
Dan dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لا يَصْلُحُ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى كَفِّهِ وَوَجْهِهِ (أخرجه أبو داود (4/62 ، رقم 4104) ، والبيهقى فى السنن الكبرى (7/86 ، رقم 13274) . وأخرجه أيضًا : فى شعب الإيمان (6/165 ، رقم 7796) ). – ( ضعيف ) وصححه الشيخ الألباني في صحيح سنن أبي داود وقال في الترغيب والترهيب : ( حسن لغيره برقم 2045)
Wahai
Asma’: Sesungguhnya wanita apabila telah sampai haidh maka tidak pantas
untuk dilihat daripadanya kecuali ini dan ini, dan beliau menunjuk ke
telapak tangan beliau dan wajah beliau. (HR
Abu Dawud, dan Al-Baihaqi, dhaif, tetapi dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, dan dihasankan lighoirihi dalam
At-Targhib wat Tarhib).
Atas dasar yang demikian itulah maka telah terjadi ijma’ ulama ummat sejak zaman Nabi, maka siapa yang menganggap bolehnya wanita muslimah di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) membuka rambutnya atau lehernya atau semacamnya dari apa-apa yang diperintahkan untuk ditutupnya, maka sungguh telah menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’, dan telah menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Fatawa Qitha’il Ifta’ bil-Kuwait juz 6 halaman 223-224).
Atas dasar yang demikian itulah maka telah terjadi ijma’ ulama ummat sejak zaman Nabi, maka siapa yang menganggap bolehnya wanita muslimah di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) membuka rambutnya atau lehernya atau semacamnya dari apa-apa yang diperintahkan untuk ditutupnya, maka sungguh telah menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’, dan telah menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Fatawa Qitha’il Ifta’ bil-Kuwait juz 6 halaman 223-224).
Kembali ke sikap dan pemahaman yang dihembuskan Quraish Shihab:
Anak
perempuan Quraish Shihab, Najwa Syihab (penyiar televisi swasta?),
dalam salah satu edisi majalah buatan kelompok yang dekat dengan
liberal, menjadi gambar sampul, dengan tulisan mencolok, terhormat tanpa memakai jilbab. Dia menganggap, jilbab tidak wajib, dan dia mengaku bahwa itu mengikuti fatwa bapaknya.
Begitulah watak Quraish Shihab, terhadap urusan yang sudah jelas landasannya saja ia masih berani membantah. (haji/tede).
Begitulah watak Quraish Shihab, terhadap urusan yang sudah jelas landasannya saja ia masih berani membantah. (haji/tede).
الفتاوى:
1- أَن المرأَة عورة، ومأْمورة بالاحتجاب والستر. ومنهية عن التبرج وإِظهار زينتها ومحاسنها ومفاتنها، قال الله تعالى: (*) الآية(1). وقال تعالى: (*)(2). وقال تعالى: (*)(3).
(1) سورة الأحزاب آية 59 .
(2) سورة النور آية 31 .
(3) سورة الأحزاب آية 33 .
)فتاوى ورسائل محمد بن إبراهيم آل الشيخ – (ج 2 / ص 124)(
2- يجب على المرأة المسلمة منذ سنّ البلوغ أن تستر جميع بدنها ما عدا الوجه والكفين ، وذلك إذا خرجت من بيتها أو كانت بمحضر رجال من غير محارمها ، فلا يجوز لها أن يظهر منها للرجال الأجانب عنها شئ من شعرها أو رقبتها أو ذراعيها أو ساقيها ممّا اعتادت بعض النساء المسلمات كشفه في هذا العصر تقليداً لغير المسلمات ، فإن ظهرت المرأة المسلمة شيئاً من ذلك فقد فعلت محرما مقطوعاً بتحريمه.
والدليل على وجود ستر المرأة جميع بدنها ما عدا الوجه والكفين نصوص كثيرة من القرآن الكريم ، والسنة النبوية الصحيحة منها قول الله تعالى :{ وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولا يبدين زينتهن إلاّ ما …ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن ولا يبدين زينتهن إلاّ لبعولتهن أو آبائهن أو آباء بعولتهن أو أبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بني إخوانهن …أو نسائهن أو ما ملكت أيمانهن أو التابعين غير أولى الإربة من الرجال أو الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون لعلكم تفلحون } (سورة النور الآية رقم 31)، والمراد بقوله تعالى في هذه الآية {إلاّ ما ظهر منها} هو الوجه والكفان. كما دلتّ على ذلك السنة والآثار عن الصحابة والمراد بقوله تعالى: { ولْيضربْن بخُمُرهن على جيوبهن} أن تلوي المرأة الخمار وهو (غطاء الرأس ) بحيث يستر جيب الثوب وهو ( فتحة العنق ) ومن ذلك قول الله تعالى { يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن …يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفوراً رحيماً } (سورة الأحزاب الآية رقم59 ) ومن السنة النبوية قول الرسول صلى الله عليه وسلم ( يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يُرى منها إلا هذا وهذا ، وأشار إلى الوجه والكفين ) رواه أبو داود عن عائشة رضى الله عنها.
…وعلى ذلك انعقد إجماع علماء الأمة منذ عهد النبوة ، فمن ادعى جواز كشف المرأة المسلمة أمام الرجال الأجانب شعرها أو عنقها أو نحوهما مما أمرت بستره فقد خالف الكتاب والسنة والإجماع واستحل ما حرمه الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم 0
)فتاوى قطاع الإفتاء بالكويت - (ج 6 / ص – 224 -223)
Sumber: http://nahimunkar.com/141/quraish-shihab-syiah-dan-jilbab/
Lihat Videonya
Kritik Terhadap Quraish Shihab
Jangan mudah memfitnah orang lain,sungguh itu merupakan dosa yang teramat besar..
BalasHapusbagaimana dengan Gus Dur yang keluarganya juga tidak memakai jilbab? tapi saya lebih percaya KEILMUAN GUS DUS dengan SEGALA KITAB-KITAB SUMBERNYA nya daripana penulis di blog ini..
BalasHapusSaya lebih percaya firman-firman Allah Ta'ala dan sabda RasulNya Shallallahu'alaihi wa sallam.
Hapus