Karya: Syaikh
‘Abdur-Razzâq bin ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd
MUQODDIMAH
FAKTOR-FAKTOR MANTAPNYA AQIDAH DI
DALAM JIWA
- Pertama : Berpegang teguh dengan al-Kitâb dan as-Sunnah
- Kedua : Keyakinan as-Salaf bahwa al-Kitâb dan as-Sunnah saling menjelaskan (menafsirkan)
- Ketiga : Kembali kepada al-Kitâb dan as-Sunnah di saat berselisih
- Keempat : Fithrah yang lurus
- Kelima : Akal mereka yang sehat
- Keenam : Wajib merasa tenang dengan aqidah ini
- Ketujuh : Mengikat dengan pemahaman sahabat dan yang mengikuti mereka
- Kedelapan : Bersikap moderat (wasath) dan pertengahan (i’tidal)
- Kesembilan : Tidak mendahulukan akal daripada naql
- Kesepuluh : Hubungan yang baik dengan Allôh
- Kesebelas : Yakin secara sempurna terhadap aqidah ini
- Kedua belas : Berkeyakinan bahwa mengimani Allôh, asmâ`dan shifat-shifat-Nya serta hari akhir, adalah yang didatangkan oleh wahyu
- Ketiga belas : Aqidah yang jelas dan jauh dari ketidakjelasan
- Keempat belas : Mengambil pelajaran tentang keadaanpara pengikut hawa nafsu terdahulu
- Kelima belas : Mempersatukan kalimat tidak berpecah belah.
BIOGRAFI
RINGKAS PENULIS
Beliau adalah Syaikh yang mulia,
Prof. Dr. ‘Abdur Razzâq bin ‘Abdil Muhsin bin Hamad bin ‘Utsmân al-‘Abbâd Alu
Badr, putera dari seorang Ulama Senior, ahli hadits Madinah zaman ini,
al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd al-Badr –semoga Allah memelihara beliau dan
memberkahi amal dan lisan beliau-, dan kami tidak mensucikan seorangpun di
hadapan Allah Azza wa Jalla. Alu Badr merupakan keturunan Alu Jalas dari Kabilah
‘Utrah salah satu kabilah al-‘Adnaniyah. Kakek tingkatan ketiga beliau adalah
‘Abdullah yang memiliki laqob (gelar) ‘Abbad, yang pada akhirnya keturunan
beliau dikenal dengan intisâb (penyandaran) kepada laqob (julukan) ini. Nenek
beliau adalah putri dari Sulaiman bin‘Abdullah Alu Badr.
Beliau lahir di Zulfa (300 km
dari utara Riyadh) pada hari Rabu, 22 Dzulqo’dah 1382 yang bertepatan dengan 17
April 1963. Beliau tumbuh dan dewasa di desa ini dan belajar baca tulis di
sekolah yang diasuh oleh ayah beliau sendiri.
Beliau mengambil pendidikan
hingga sampai kepada tingkatan doktoral dalam bidang Aqidah. Beliau adalah
salah seorang staff pengajar di Islamic University of Madinah jurusan Aqidah
sampai hari ini.
Beliau menimba ilmu dari beberapa
ulama dan masyaikh, yang terdepan diantara mereka kepada :
1. Ayah beliau, al-Allâmah ‘Abdul
Muhsin al-‘Abbâd hafizhahullâhu.
2. Fadhîlatusy Syaikh ‘Alî Nâshir
Faqîhî hafizhahullâhu
3. Fadhîlatusy Syaikh ‘Abdullâh
al-Ghunaimân hafizhahullâhu.
Dan selain mereka, semoga Allôh
menjaga mereka dan membalas mereka semua dengan
kebaikan yang berlimpah.
Syaikh ‘Abdur-Razzâq al-‘Abbâd
memiliki karya tulis yang cukup banyak, diantaranya adalah
1. Fiqhu ad-Da’iyah wal Adzkâr
2. Al-Hajj wa Tahdzîbun Nufūs
3. Tadzkirotul Mu`tasî Syarh
‘Aqîdah al-Hâfizh ‘Abdil Ghonî al-Maqdisî
4. Syarh Hâsiyah Abî Dâwud
5. Al-Atsar al-Masyhūr ‘anil Imâm
Mâlik fî Shifatil Istiwâ`
6. Al-Qoulus Sadîd fîr Raddi ‘ala
Man Ankara Taqsîmat Tauhîd
7. At-Tuhfatus Sanîyah Syarh
Manzhūmah Ibnu Abî Dâwud al-Hâ`iyah
8. Tsabât Aqîdah as-Salaf wa Salâmatuhâ
’anit
Taghayirât (yang ada di hadapan
pembaca) Dan lain-lain.
Beliau juga memiliki rekaman
ceramah baik audio dan video yang tersebar. Syaikh sangat aktif memberikan
ceramah baik di dalam negeri (Kerajaan Arab Saudi) maupun di luar negeri, seperti
Afrika, Asia dan Eropa.
Semoga Allôh membalas segala
amalan Syaikh dengan kebaikan yang berlimpah, menganugerahi beliau ilmu, amal
shalih dan umur yang panjang, serta keistiqomahan di dalam mendakwahkan dakwah
salafiyah ini.
(Disadur dari beberapa sumber
situs. Diantaranya dari sahab.net, islamway.com, alukaz.com, dan lain-lain).
بسم لله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، والعاقبة للمتقين، والصلاة والسلام على إمام المرسلين،
نبينا
محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين .أما بعد:
Dengan nama Allôh yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.
Segala puji hanyalah milik Allôh
Rabb (Pemelihara) Alam semesta, dan akibat yang baik adalah bagi orang-orang
yang bertakwa. Semoga Sholâwat dan Salâm senantiasa terlimpahkan kepada
penghulu para rasūl, Nabî kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabat
beliau.
Adapun setelah itu :
Sesungguhnya, ‘Aqîdah Islâmîyah
yang murni lagi suci, yang digali dari al-Kitâb dan as-Sunnah, memiliki
kedudukan yang tinggi lagi teratas di dalam agama, bahkan kedudukannya bagaikan
kedudukan suatu pondasi bagi bangunan, bagaikan kedudukan hati terhadap jasad
dan kedudukan akar bagi pohon.
Allôh Ta’âlâ berfirman :
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah
Telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS Ibrâhîm : 24).
Jadi, perkara aqidah ini
merupakan perkara yang sangat besar, kedudukannya tinggi dan statusnya mulia.
Perkaranya tertanam di dalam jiwa dan terpendam di dalam hati pemiliknya,
sehingga dari aqidah-lah mereka beranjak dan condong kepadanya serta demi
aqidah pula-lah mereka membela. Begitu tingginya kedudukan aqidah di dalam jiwa
dan hati mereka, sehingga menyebabkan hati menjadi mantap dan jiwa menjadi
kokoh. Hal ini membuahkan dan membentuk perangai yang baik, manhaj yang lurus,
kesempurnaan di dalam amalan, ketekunan di dalam ketaatan dan ibadah, dan
menetapi perintah Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ. Setiap kali aqîdah ini semakin
kokoh tertanam di dalam jiwa dan semakin mantap terpendam di dalam hati mereka,
pada saat itulah aqidah akan membawa mereka kepada setiap kebaikan dan
mendorong mereka kepada segenap keberhasilan, kebaikan dan keistiqomahan.
Begitulah, mereka mencurahkan
perhatian yang besar terhadap aqidah, dan semakin bertambah perhatian dan pemeliharaan
mereka terhadap aqidah melebihi semua hal yang urgen dan penting. Aqidah
menurut mereka lebih urgen ketimbang makanan, minuman, pakaian dan seluruh
kebutuhan mereka, karena aqidah merupakan hakikat hati mereka. Allôh Ta’âlâ
berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang
memberi kehidupan kepada kamu.” (QS al- Anfâl : 24)
Aqidah adalah kehidupan hati
mereka yang sejati merupakan pondasi tumbuhnya amalan, lurusnya perangai dan
baiknya manhaj dan cara (beragama) mereka. Karena itulah, perhatian mereka
semakin besar terhadap aqidah, baik secara keilmuan maupun keyakinan, sehingga
membuahkan hasil berupa kesungguhan, ketekunan, keistiqomahan dan penjagaan di
dalam mentaati Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ.
Sesungguhnya, Aqidah Islâmiyah
yang shahih (benar) lagi murni dan suci, merupakan perkara yang paling penting
diantara hal-hal penting lainnya dan merupakan kewajiban yang paling
ditekankan. Untuk itulah perhatian terhadap aqidah haruslah didahulukan
daripada hal-hal yang penting dan urgen lainnya. Apabila kita memperhatikan
sirah (sejarah) salaf (pendahulu) kita yang terbaik –semoga Allôh merahmati dan
menempatkan mereka ke dalam surga, dan semoga Allôh membalas (segala jerih payah)
mereka terhadap kaum muslimin dengan balasan yang baik- kita melihat bagaimana
besarnya perhatian dan kesungguhan mereka terhadap aqidah, dan bagaimana mereka
mendahulukan masalah aqidah dengan perhatian dan kesungguhan melebihi semua
hal. Karena aqidah adalah keinginan mereka terbesar, puncak ambisi dan
semulia-mulianya tujuan mereka.
Bentuk perhatian mereka terhadap
aqidah melalui upaya dan kesungguhan yang bermacam-macam. Diantara bentuk
perhatian mereka terhadap aqidah yang merupakan faktor yang turut menjaga kokoh
dan kekalnya aqidah adalah, karya tulis mereka yang sangat bermanfaat dan
buku-buku berfaidah yang menetapkan, menjelaskan dan menerangkan masalah aqidah
serta menyebutkan argumentasi dan dalil-dalilnya.
Membelanya dari tipu daya para penipu,
permusuhan para agresor, pengingkaran kaum atheis dan penyelewengan kaum kaum
ekstremis serta semisalnya yang acap kali mengusik permasalahan seputar aqidah
dan menjadi sasarannya.
Para salaf
–rahimahumullâhu-menjalankan peran yang agung ini dengan kesungguhan yang luar
biasa dan pengamalan yang besar, sebagai bentuk pengkhidmatan dan sokongan
terhadap aqidah dan menegakkan kewajiban besar. Mereka menulis tentang aqidah
sebagai penjelas dan penerang, berargumentasi dan berdalil dengan ratusan buku,
bahkan ribuan buku baik yang panjang maupun yang ringkas, baik yang
komprehensif mencakup segala bab maupun yang khusus hanya mencakup satu aspek
dari aspek-aspek aqidah, baik yang meletakkan dasar bagi al-Haq dan kebenaran
maupun yang membantah penyeleweng lagi pendusta (yang tak dapat dipercaya).
Kemudian, orang yang belakangan mengambil aqidah dari pendahulu mereka yang
terang seterang matahari di siang hari bolong, yang begitu jelasnya tanpa ada
kesamaran dan kekaburan, disebabkan argumentasinya, keselamatan dan kekuatan
dalilnya, yang begitu terang dan jelasnya.
Kaum mu’minin ahli ittibâ’
mewarisinya dari generasi ke generasi dan dari waktu ke waktu. Setiap generasi
menjaga dan memelihara aqidahnya dengan upaya yang begitu besar, kemudian menyampaikannya
kepada generasi setelahnya apa adanya tanpa perubahan, penggantian maupun
penyelewengan dan lain sebagainya. Generasi setelahnya menjaga dan
memperhatikan aqidah sebagaimana pendahulu mereka menjaga dan memperhatikannya.
Demikianlah aqidah ini terwarisi dari generasi ke generasi, dan akan senantiasa
ada sekelompok dari ummat Muhammad Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam yang berada di
atas kebenaran dan mendapatkan pertolongan (kemenangan), tidaklah mencederai
mereka orang-orang yang mencerca dan menyelisihi mereka, sampai datangnya hari
kiamat.
Tema pembahasan kita ini adalah
tentang mantapnya aqidah as-Salaf ash-Shâlih –rahimahumullâhu- dan terbebasnya
(selamatnya) dari segala bentuk perubahan, seiring dengan perubahan waktu dan
zaman yang panjang. Ia adalah aqidah yang didakwahkan oleh Nabi ‘alaihi
ash-Sholâtu was Salâm dan aqidah yang para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan lebih baik berada di atasnya, yang mana mereka saling
menyampaikan satu dengan yang lainnya, dan saling mewariskannya hingga sampai
di zaman kita dalam keadaan yang murni lagi suci.
Ironinya, banyak kaum dan
mayoritas manusia menyimpang dan menyeleweng dari aqidah (yang benar). Jalan
mereka saling berpecah belah dan merekapun menyimpang dari jalan yang benar
lagi lurus.
Nabi yang mulia ‘alaihi
ash-Sholâtu was Salâm telah mengisyaratkan bahwa kejadian ini akan berlangsung
dan terjadi. Beliau bersabda :
إنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافاً كثيراً، فعليكم بسنتي وسنن الخلفاء
الراشدين المهديين من بعدي، تمسكو بها وعضا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور؛
فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة " رواه أبو داود ( 4607 )، والترمذي
( 2676 ).
“Sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup
diantara kalian sepeninggalku nanti, niscaya akan melihat perselisihan yang
banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para
khalifah yang lurus lagi terbimbing setelahku. Genggamlah sunnah tersebut dan
gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang
diada-adakan (di dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan (di
dalam agama) itu ada bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” [HR Abū Dâwud (4607)
dan at-Turmudzî (2676)].
Beliau bersabda di dalam hadits
yang lain :
وستفترق هذه الأمُة على ثلاث وسبعين فرقة، كلها في النار إلا واحدة (
رواه أحمد 4/102، و وأبو داود 4597، وصححه الألباني في السلسلة الصحيحة
( 203 )
“Dan umat ini akan berpecah belah
menjadi tujuh puluh tiga kelompok dan semuanya masuk neraka kecuali satu.” [HR
Ahmad (4/102) dan Abū Dâwud (4597). Dishahihkan oleh al-Albânî di dalam
as-Silsilah ash- Shahîhah (203)].
Kelompok yang satu itu adalah
kelompok yang selamat agamanya, lurus manhajnya dan shahih aqidahnya. Karena
mereka mengambilnya dari sumbernya yang masih murni dan mata airnya yang tidak
tercemar dengan suatu kekeruhan sedikitpun. Mereka mengambilnya dari Kitâbullâh
dan Sunnah Nabi-Nya Shalawâtullah wa Salâmuhu ‘alaihi. Keberuntungan mereka di
dalam aqidah dan semua perkara agama terletak pada keselamatan, ilmu, hikmah
dan kemuliaannya, sehingga mereka lebih berhak menjadi kelompok yang selamat
itu dan sebagai ahlinya. Karena mereka mengambil aqidahnya dari sumbernya yang
utama dan mata airnya, yaitu Kitâb Rabb mereka dan sunnah Nabi mereka Shallâllâhu
‘alaihi wa Sallam. Allôhpun menyelamatkan mereka sehingga mereka tidak
direnggut oleh hawa nafsu dan tidak ditelan oleh syubuhât. Mereka tidak condong
kepada akal, pemikiran, hati dan perasaan atau yang semisalnya dalam rangka
mencari pengetahuan aqidah yang benar. Mereka hanya berpijak pada Kitâbullâh
dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.
Tidak diragukan lagi bahwa ada
berbagai faktor yang menjadi penyebab langgengnya aqidah, keselamatan dan
kemantapannya di dalam diri pemiliknya dengan taufik dari Allôh Subhanahu wa
Ta’âlâ, karena hanya Allôh-lah sang pemberi taufik satu-satunya lagi maha lemah
lembut. Di tangan-Nya berada segala keutamaan yang ia anugerahkan kepada siapa
saja yang Ia kehendaki dan Allôh adalah maha pemilik keutamaan yang agung.
Maka, taufik Allôh, petunjuk,
hidayah dan pertolongan-Nya kepada ahlus sunnah merupakan perkara terbesar yang
dapat mewujudkan keselamatan mereka, dan hal ini pulalah yang menjadikan aqidah
ini kekal di dalam jiwa-jiwa mereka.Dan Allôh adalah maha pemelihara terbaik
lagi yang paling welas asih.
Oleh karena itu, seharusnyalah
bagi setiap muslim memperkuat hubungannya dengan Allôh, senantiasa memohon
kepada-Nya agar diberikan pertolongan, taufik, petunjuk dan keselamatan, karena
semua perkara ini berada di tangan-Nya Tabâroka wa Ta’âlâ :
”Dan tidak ada taufik bagiku
melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah Aku bertawakkal dan
Hanya kepada-Nya-lah Aku kembali.” (QS Hūd : 88)
Tidak diragukan lagi, bahwa ada
banyak faktor setelah taufik dari Rabb Jalla wa ’Alâ dan penjagaan-Nya
Subhânahu yang menjadi faktor penyebab yang dapat mengokohkan, melanggengkan
dan memantapkan aqidah ini ke dalam jiwa pemiliknya serta selamatnya dari
perubahan, ketidaktetapan dan penyelewengan.
Tidak diragukan pula bahwa
termasuk hal yang bermanfaat dan berfaidah bagi seorang muslim di dalam
hidupnya, adalah berupaya memahami faktor-faktor penyebab yang dapat
mengokohkan dan menyelamatkan, memelihara dan menjaga aqidah di dalam dirinya
dengan sebaik-baik penjagaan sembari tetap memohon pertolongan kepada Allôh
Tabâroka wa Ta’âlâ atas semua hal ini.
Ada beberapa hal yang dapat saya
ringkaskan setelah mencermati dan mengobservasi pendapat para ulama
rahimahumullâhu di dalam bab yang agung ini, yaitu banyak faktor yang dapat
menghantarkan kepada kemantapan dan langgengnya aqidah di dalam diri pemiliknya
dan terbebasnya dari segala bentuk perubahan dan penyimpangan. Saya ringkaskan
beberapa hal yang mudah bagi saya tentang hal ini di dalam beberapa poin
berikut :
Pertama
: Berpegangteguhnya ahlus sunnah kepada Kitâbullâh dan Sunnah
Nabi-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam, keimanan mereka terhadap semua yang ada
di dalam Kitâbullah dan Sunnah Nabi-Nya ’alaihi ash-Sholâtu was Salâm dan
keyakinan mereka secara totalitas bahwa tidak boleh meninggalkan sedikitpun
sesuatu yang ada di dalam al-Kitâb dan as-Sunnah.
Namun wajib bagi setiap muslim
untuk mengimani dan membenarkan segala hal yang ada di dalam Kitâbullâh dan
Sunnah Nabi-Nya ’alaihi ash-Sholâtu was Salâm, sehingga mereka mengimani
seluruh nash (teks) yang terdiri atas informasi-informasi tentang Allôh,
namanama dan sifat-sifat-Nya, nabi-nabi-Nya, hari akhir, al-Qodar dan yang
semisal dengannya. Mereka wajib mengimaninya secara ijmâl (global) dan tafshîl
(terperinci), yaitu mengimani secara global tentang segala hal yang diberitakan
oleh Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ dari perkara-perkara keimanan, dan mengimani
secara terperinci setiap apa yang Ia sampaikan kepada mereka berupa ilmu-Nya di
dalam Kitabullâh dan Sunnah Nabi-Nya.
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan
Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS al-Hujurât : 15)
Beginilah keadaan mereka terhadap
semua nash-nash (teks) al-Kitâb da as-Sunnah, yaitu menerima dan mengimani
keseluruhannya. Keadaan mereka ini sebagaimana yang diucapkan oleh sebagian
ulama salaf:
" من الله الرسالة، وعلى الرسول البلاغ، وعلينا التسليم "
“Dari Allôh-lah Risalah berasal,
kewajiban Rasūl menyampaikannya dan kewajiban kita adalah menerimanya.”
Siapa saja yang berpegang teguh
dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, menaruh
kepercayaan dan bersandar pada keduanya, niscaya dia akan senantiasa mantap,
selamat dan istiqomah serta jauh dari penyelewengan dengan izin Allôh Tabâroka
wa Ta’âlâ.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah
rahimahullâhu berkata:
جماع الفرقان بين الحق والباطل، والهدى والضلال، والرشاد والغي، وطريق
السعادة والنجاة وطريق الشقاوة والهلاك؛ أن يجعل ما بعث الله به رسله وأنزل به كتبه
هو الحق الذي يجب إتباعه، وبه يحصل الفرقان والهدى والعلم والإيمان، فيصدق بأنه حق
وصد ق، وما سواه من كلام سائر الناس يعرض عليه، فإن وافقه فهو حق، وإن خالفه فهو باطل،
وإن لم يعلم هل هو وافقه أو خالفه؛ لكون ذلك الكلام مجملاً لا يعرف مراد صاحبه، أو
قد عرف مراده، ولكن لم يعرف هل جاء الرسول بتصديقه أو تكذيبه، فإنه يمسك فلا يتكلم
إلا بعلم، والعلم ما قام عليه دليل، والنافع منه ما جاء به الرسول (مجموع الفتاوى لابن
تيميه 13/135-136)
“Al-Furqôn (pembeda) yang terhimpun (untuk
membedakan) antara kebenaran dengan kebatilan, petunjuk dengan kesesatan,
bimbingan lurus dengan penyelewengan, jalan kebahagiaan dan kesuksesan dengan
jalan kesengsaraan dan kebinasaan, adalah untuk menjadikan risalah yang Allôh
mengutus Nabi-Nya dengannya dan kitab-kitab yang Ia turunkan adalah sebagai
kebenaran yang wajib diikuti. Dengannya akan diperoleh al-Furqôn, petunjuk,
ilmu dan keimanan, sehingga dapat dibenarkan bahwa wahyu-Nya adalah haq dan
benar (lurus) sedangkan selainnya baik itu perkataan semua manusia perlu
ditimbang. Apabila selaras dengan wahyu Allôh maka ia adalah kebenaran dan
apabila menyelisihi maka ia adalah kebatilan.
Apabila tidak diketahui apakah
ucapan tersebut sesuai atau menyelisihi wahyu, bisa jadi karena ucapan tersebut
adalah ucapan yang global sehingga tidak diketahui maksud orang yang
mengucapkannya, atau diketahui maksud ucapannya namun tidak diketahui apakah
Rasūlullâh membenarkan atau mendustakannya, maka ucapan tersebut ditahan
(didiamkan) dan tidaklah dikomentari melainkan dengan ilmu. Ilmu adalah yang
ditegakkan di atasnya dalil dan ilmu yang bermanfaat adalah yang datang dari
Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.” (Majmū’ Fatâwâ karya Ibnu Taimiyah
XIII:135-136).
هذه خلاصة طريقة أهل السنة والجماعة – رحمهم الله – في هذا الباب العظيم،
يعولون على الكتاب والسنة، وذا التعويل نالوا السلامة والثبات، وكما قال شيخ الإسلام
– رحمه الله – في مقام آخر؛ بل كان كثيراً ما يقول: " من فارق الدليل ضل السبيل،
ولا دليل إلا ما جاء به الرسول (مفتاح دار السعادة لابن القيم - ص: 90)
Inilah ringkasan manhajnya Ahlus
Sunnah wal Jamâ’ah rahimahumullâhu di dalam bab yang agung ini. Mereka
meletakkan kepercayaan terhadap al-Kitâb dan as-Sunnah, yang dengan kepercayaan
inilah mereka memperoleh keselamatan dan kemantapan, sebagaimana ucapan
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah pada tempat yang lain, bahkan cukup sering beliau
mengatakan : “Barangsiapa menyelisihi dalil maka jalannya akan sesat, dan tidak
ada dalil melainkan apa yang didatangkan oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa
Sallam.” (Lihat : Miftâh Dâris Sa’âdah karya Ibnul Qoyyim hal. 90).
Ibnu Abîl Izz berkata di dalam
Syarh (penjelasan) beliau terhadap al-Aqîdah ath-Thohâwîyah : “Bagaimana
mungkin menghendaki untuk memperoleh ilmu ushul (ilmu dasar ~ aqidah) selain
dengan apa yang didatangkan oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.”
(Syarh al-‘Aqîdah ath-Thohâwîyah hal. 18)
Artinya, hal ini tidak mungkin
dan mustahil. Jadi, kepercayaan mereka rahimahumullâhu tehadap segala apa yang
ada di dalam Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm dan
bersandarnya mereka kepada apa yang datang dari keduanya, merupakan penyebab
utama mantapnya aqidah mereka. Tidaklah mungkin seorang dari ahlus sunnah wal
jamâ’ah rahimahumullâhu mengada-adakan suatu aqidah dari dirinya sendiri, atau
mendatangkan suatu keyakinan atau agama yang berasal dari akal, perasaan atau
pemikirannya sendiri. Siapa saja yang melakukan hal seperti ini maka mereka
adalah ahlul ahwâ` (pengikut hawa nafsu), yang dengannya mereka tidak
memperoleh kemantapan (dalam aqidah) dan mayoritas keadaan mereka dalam keadaan
berubah-ubah dan labil, sebagaimana akan datang penjelasan hal ini.
Adapun Ahlus Sunnah, tidak ada
seorangpun dari mereka yang membuat-buat suatu aqidah dari diri mereka sendiri,
namun mereka semua menaruh kepercayaan dan bersandar kepada Kitâbullâh dan
Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.
Di sini saya akan menukilkan
perkataan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu yang anggun, beliau
berkata : “Tidaklah aqidah itu berasal dari diriku dan tidak pula dari mereka
yang lebih senior daripadaku (Yaitu : Bukanlah wewenangku untuk mendatangkan
suatu aqidah yang berasal dari diriku sendiri yang aku buat-buat dan
ada-adakan, bukan pula wewenang orang yang lebih senior dariku seperti Imam
Ahmad, asy-Syâfi’î, Mâlik dan selainnya dari para Imâm Islâm. Tidak ada
seorangpun dari mereka yang membuat-buat aqidah yang berasal dari diri mereka
sendiri.) namun aqidah itu diambil dari Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ, Rasūl-Nya
Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan Ijma’ (konsensus) salaf, diambil dari
Kitâbullâh, dari hadits-hadits Bukhârî, Muslim dan selainnya dari hadits-hadits
yang diketahui, juga dari yang telah tetap dari Salaful Ummah.” (Majmū` Fatâwâ
III:203).
Beliau rahimahullâhu juga berkata
:
“Aqidahnya asy-Syâfi’î
radhiyallâhu ‘anhu dan aqidah para ulama salaf semisal Mâlik, ats-Tsaurî,
al-Auzâ’î, Ibnul Mubârok, Ahmad bin Hanbal dan Ishâq bin Râhawaih, adalah
aqidahnya para masyaikh teladan semisal al-Fudhail bin ‘Iyâdh, Abū Sulaimân
ad-Dârônî, Sahl bin ‘Abdillâh at-Tusturî dan selain mereka. Sesungguhnya tidak
ada pada para imam dan orang semisal mereka adanya perselisihan di dalam
ushūluddîn (pokok agama), demikian pula dengan Abū Hanîfah rahmatullahi
‘alaihi, karena sesungguhnya aqidah yang tsabit (tetap) dari beliau di dalam
masalah tauhid, qodar dan semisalnya, adalah selaras dengan aqidah para imam,
dan aqidah para imam tersebut adalah sebagaimana aqidahnya para sahabat dan
tabi’in yang mengikuti mereka dengan cara lebih baik, yaitu aqidah yang
diucapkan oleh al-Kitâb dan as-Sunnah.” (Majmū’ Fatâwâ V:25)
Jadi, inilah pokok dan poin
pertama diantara faktor-faktor penyebab mantapnya aqidah di dalam jiwa
pemiliknya, yaitu bersandar kepada al-Kitâb dan as-Sunnah. Tanpa bersandar
kepada kedua ini tidak akan memperoleh kemantapan, keselamatan dan keistiqomahan.
Kedua
: Keyakinan para salaf rahimahullâhu bahwa al- Kitâb dan as-Sunnah
mencakup aqidah yang benar yang tidak ada cela pada keduanya di segala
aspeknya.
Karena aqidah yang benar itu
sangat terang dan sangat gamblang di dalam Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya
Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ : “Pada hari ini
telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian”, yaitu aqidah, ibadah dan akhlak,
“dan Aku sempurnakan bagi kalian nikmat-Ku serta Aku ridhai Islâm sebagai agama
kalian.” (QS al-Mâ`idah : 3)
Telah dijelaskan semuanya di
dalam al-Kitâb dan as-Sunnah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, baik
yang berkaitan aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlaq dan tingkah laku. Sebagaimana
di dalam sebuah hadits yang shahih dari Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam :
إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقاً عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه
لهم، وينذرهم شر ما يعلمه لهم (صحيح مسلم:
( 1844
“Sesungguhnya tidak ada Nabi sebelumku
melainkan wajib atasnya untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang ia
ketahui, dan memperingatkan mereka dari keburukan yang ia ketahui.” (Shahîh
Muslim : 1844)
Ketika Ahlus Sunnah beriman
dengan keimanan yang sempurna dan tunduk ridha dengan keridhaan yang totalitas
bahwa agama mereka adalah aqidah, ibadah dan akhlaq yang dijelaskan di dalam
al-Qur`ân dan as-Sunnah dengan sejelas-jelasnya, merekapun beriltizam
(menetapi) dengan sebenar-benarnya dan menaruh kepercayaan mereka dengan
sungguh-sungguh kepada segala hal yang datang di dalam Kitabullâh dan Sunnah
Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam serta mereka tidak butuh lagi merujuk
kepada selain yang datang dari Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shalawâtullâhi wa
Salâmuhu ‘alaihi dan mereka merasa mantap dengan sebenar-benarnya terhadap
Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, maka akan
termanifestasikan keselamatan kepada mereka secara sempurna.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah
rahimahullâh berkata :
بين جميع الدين؛ أصوله وفروعه، باطنه وظاهره، علمه إن رسول الله وعملَه،
فإن هذا الأصل هو أصل أصول العلم والإيمان، وكل من كان أعظم اعتصاماً ذا الأصل كان
أولى بالحق علماً وعملاً " مجموع الفتاوى155/19))
“Sesungguhnya Rasulullah
Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam telah menjelaskan segala hal di dalam agama, baik
yang ushūl (pokok/dasar) maupun yang furū’ (cabang), yang bâthin maupun yang
zhâhir, atau pada keilmuan (aqidah) maupun amalan. Karena dasar ini merupakan
dasar dari pokok-pokok ilmu dan keimanan, dan setiap orang yang paling
berpegang teguh dengan pokok ini, maka ia adalah orang yang lebih utama di
dalam kebenaran ini, baik ilmu (aqidah) maupun amalan.” (Majmū’ Fatâwâ XIX/155)
Yang dimaksud dengan pokok/dasar
di sini adalah kepercayaan dan penyandaran yang sempurna terhadap Kitâbullâh
dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, karena keduanya telah menjelaskan
agama seluruhnya, baik aqidah, ibadah maupun akhlak.
Kitâbullâh dan Sunnah Rasūlullâh
telah menjelaskan secara cermat lagi mudah hal yang berkaitan dengan Adab
(etika), seperti adab buang hajat, adab bersuci, adab bermu’amalah
(berinteraksi) dan semisalnya. Apakah mungkin jika adab-adab ini dijelaskan di
dalam Kitâbullâh dan Sunnah namun masalah keyakinan ditinggalkan tanpa
dijelaskan?!
Hal ini suatu hal yang mustahil
sebagaimana diutarakan oleh Imâm Mâlik bin Anas, yang bergelar Imâm Dârul Hijrah
rahimahullâhu :
“Sungguh mustahil Nabi
Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan bagi ummatnya segala sesuatunya
sampai dalam masalah buang air, namun beliau tidak menjelaskan tauhid kepada
mereka.”
Dengan demikian, al-Qur`ân dan
as-Sunnah mencakup segala kebaikan, petunjuk dan arahan yang lurus seluruhnya,
baik di dalam aqidah, ibadah, mu’amalah ataupun akhlaq. Manusia memperoleh
keberuntungan berupa keselamatan dan keistiqomahan sesuai dengan porsinya di
dalam bersandar kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa
Sallam.
Sebagaimana ucapan Mâlik
Rahimahullâhu :
" السنة سفينُة نوح، من ركبها نجا ومن تركها غرق "
“Sunnah itu bagaikan perahunya
Nūh, barangsiapa menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang meninggalkannya
akan tenggelam (binasa).”
Ketiga
: diantara faktor-faktor yang memantapkan aqidah di dalam jiwa
pemiliknya, bahwasanya ahlus sunnah, berangkat dari penjelasan sebelumnya,
telah menetapkan di dalam jiwa mereka bahwa di saat terjadi perdebatan atau
perselisihan, mereka tidak condong dan mengembalikannya kepada sesuatupun
melainkan kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.
Mereka mengetahui secara pasti dan yakin bahwa perdebatan dan perselisihan atau
yang semisalnya, tidak akan pernah beres dan sirna problematikanya melainkan
dengan bersandar kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa
Sallam, sebagaimana firman Alloh Ta’âlâ :
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah kepada Alloh (Al-Qur`ân) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisâ`: 59)
Suatu hal yang tidak diragukan,
bahwa siapa saja yang perhatiannya lebih condong kepada Kitab Rabbnya dan
Sunnah Nabi-nya ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm di saat terjadinya perselisihan
di tengah-tengah manusia, maka buahnya adalah kemantapan dan keselamatan, serta
aqidahnya tidak akan goncang dan labil. Mereka senantiasa condong kepada Kitâbullâh
dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam di dalam perkara-perkara yang
manusia bertikai dan berselisih didalamnya. Suatu hal yang diketahui bersama
dan ditetapkan, bahwa setiap pertikaian dan perselisihan yang terjadi, tidak
akan terurai di tengah-tengah manusia melainkan dengan berpegang kepada
Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.
Karena pemikiran dan akal itu
beraneka ragam dan bermacam-macam, demikian pula dengan sisi pandang tiap orang
itu saling berjauhan, maka tidak ada peran di kala bertikai dan mengangkat
perselisihan melainkan dengan mengembalikan semuanya secara sebenar-benarnya
kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Maka
inilah faktor terbesar diantara faktor-faktor mantapnya ahli kebenaran di atas
kebenaran.
Keempat
: Fithrah mereka yang selamat. Fithrah merupakan nikmat dari Alloh
Azza wa Jalla dan anugerah yang Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ anugerahkan kepada
hamba-hamba-Nya. Allôh Jalla wa Ta‘alâ memberikan keutamaan kepada hamba-hamba-Nya
dengan menciptakan mereka di atas fithrah, sebagaimana sabda Rasūlullâh
Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam :
"كل مولود يولد على الفطرة، فأبواه يهودانه أو ينصرانه
أو يمجسانه "( صحيح البخاري: ( 1385
“Setiap (hamba) yang lahir dilahirkan di atas
fithrah, kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani
atau Majusi.” (Shahîh al-Bukhârî : 1385)
Maka Allôh ciptakan mereka di
atas fithrah. Adapun Ahlus Sunnah, fithrah mereka tetap selamat tidak
berubah-ubah. Allôh perlihara fithrah mereka (ahlus sunnah) dari segala bentuk
perubahan, pergantian dan penyelewengan. Sedangkan manusia lainnya, fithrah
mereka telah terkotori dan mengalami penyelewengan sesuai dengan yang melekat
padanya, sedikit maupun banyak.
Di dalam sebuah hadits Qudsi,
Allôh Ta’âlâ berfirman:
خلقت عبادي حنفاء كلهم، وإم أتتهم الشياطين فاجتالتهم عن دينهم
( صحيح مسلم رقم 2365)
“Aku ciptakan hamba-hamba-Ku
seluruhnya dalam keadaan hanif (lurus), kemudian syaithan mendatangi mereka dan
memalingkan mereka dari agama mereka.” (Shahîh Muslim no. 2365).
Di dalam al-Qur`ân al-Karîm,
Allôh Ta’âlâ berfirman: “Dan Sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar
menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat
petunjuk. (QS az-Zukhrūf : 37). Syaithan dan bala tentaranya memalingkan dan
mengubah manusia dari fithrah mereka. Untuk itulah, termasuk diantara faktor
yang memantapkan (aqidah) adalah, manusia perlu bersungguh-sungguh di dalam
menjaga keselamatan fithrah mereka :
“(Tetaplah atas) fithrah Alloh yang telah
menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS
ar-Rūm :30).
Fithrah yang selamat terikat
dengan sumber (mashdar) yang selamat. Apabila seorang yang memiliki fithrah
yang selamat menyandarkan dan berpegang dengan Kitâb Rabbnya dan Sunnah Nabinya
‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm, maka fithrahnya tidak akan berubah.
Namun jika fithrahnya tunduk
kepada hawa nafsu yang membinasakan, syubuhat yang merusak, pemikiran yang
menyimpang dan takalluf (sikap membenani diri) yang jauh, atau yang semisalnya,
maka fithrahnya akan menyimpang.
Kelima
: Akal mereka yang sehat. Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah manusia
yang paling baik akalnya, dan paling selamat pendapat, pemikiran dan manhajnya.
Mereka memiliki akal yang rajih
(kuat) yang tidak ada padanya ghuluw (berlebih-lebihan) atau jafa’
(menyepelekan) sebagaimana keadaan selain mereka dari kalangan ahli ahwa` dan
ahli bida’. Ahlus sunnah tidak ada pada akal mereka sikap ghuluw sebagaimana
yang tampak secara jelas pada ucapan-ucapan filsafat dan orang yang terselimuti
dengan belitan mereka.
Manhaj mereka diikuti oleh
orang-orang yang meninggalkan al-Kitâb dan as-Sunnah dan hanya berpegang
seluruhnya kepada akal, pemikiran dan pendapatnya saja. Segala apa yang ia
pandang benar dengan akalnya, ia berpegang dengannya, dan segala apa yang ia
pandang menyelisihi akalnya, maka ia tinggalkan, walaupun hal itu adalah firman
Allôh dan sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Karena sesungguhnya
yang mereka percayai dan mereka anggap hanyalah akal dan pemikiran mereka.
Telah diketahui bersama bahwa
akal manusia itu tidaklah berada di atas akal orang yang satu. Karena itulah,
ketika banyak golongan manusia yang bersandar pada akal, hal itulah yang
menjadi penyebab banyaknya penyelewengan dan banyaknya pemikiran dan madzhab.
Karena akal itu bermacam-macam,
sebagaimana ucapan sebagian salaf :
" لو كانت الأهواء هوى واحداً لقيل إنه الحق، ولكنها
أهواء "
“Sekiranya hawa nafsu itu hanya
satu saja, boleh jadi dikatakan hawa nafsu itu benar. Tetapi kenyataannya hawa
nafsu itu banyak.” Demikian pula dapat kita katakan : Sekiranya akal itu hanya
satu saja, boleh jadi dikatakan akal itu benar. Tetapi kenyataannya akal itu
banyak dan beraneka ragam.
Inilah sisi penyelewengan di
dalam akal, yaitu sisi ghuluw (berlebih-lebihan) di dalam akal dan
mengangkatnya melebihi porsinya. Ada pula sisi lain di dalam akal yang menyeleweng,
yaitu sisi jafa` (menyepelekan). Hal ini banyak ditemui di dalam kesesatan
shufiyah dan kalangan jahil mereka yang meninggalkan aspek akal. Kemudian
mereka memasukkan dengan atas nama tashowwuf perkaraperkara yang sebagian
mereka menyebutnya al-Jadzb (esktase), syahath (dibuai mabuk) dan junun
(gila/tidak waras karena cinta) atau yang semisalnya dalam berbagai bentuk
penyimpangan-penyimpangan yang menjijikkan, yang tidak diterima oleh akal
(sehat), tidak diridhai oleh pikiran dan semua manusia enggan padanya. Mereka
jatuh ke dalamnya disebabkan mereka meninggalkan akal mereka secara sempurna.
Ahlus Sunnah rahimahumullâhu
adalah umat yang pertengahan dan moderat. Mereka tidak melebihkan akal di luar
proporsinya dan tidak pula mengabaikan atau menyia-nyiakannya, namun ahlus
sunnah menempatkan akal pada proporsinya dan koridornya yang terbatas. Sebagaimana
manusia yang memiliki batas pendengaran tertentu yang tidak mungkin
dilampauinya, demikian pula dengan pengelihatan dan indera-indera lainnya, termasuk
juga akal.
Akal memiliki batasan tertentu.
Barangsiapa yang mencoba untuk memaksakan akalnya di luar batas dan
proporsinya, niscaya akan tersesat sebagaimana banyak kaum manusia yang
tersesat. Untuk itulah akal ahlus sunnah wal jama’ah benar dan selamat dari
penyimpangan, dikarenakan mereka mempergunakan akalnya sesuai dengan
proporsinya dan tidak mengabaikannya begitu saja
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal.” (QS Ali ‘Imrân : 191)
Mereka adalah Ūlūl Albâb dan
pemilik akal yang shahih lagi rajih. Mereka menempatkan akal mereka pada
batasannya dan proporsinya, tanpa ada ghuluw atau jafa`, ifrâth
(berlebih-lebihan) atau tafrîth (meremehkan) dan ziyadah (menambah-nambahi)
atau nuqshôn (mengurang-ngurangi). Inilah perkara besar yang merupakan
faktor-faktor penyebab mantapnya aqidah mereka di atas kebenaran.
Keenam
: diantara faktor yang memantapkan dan selamatnya aqidah di dalam
jiwa ahlus sunnah adalah, bahwa jiwa ahlus sunnah merasa begitu tenang dengan
aqidah ini. Setiap orang dari mereka merasakan kedamaian di dalam hatinya,
ketenangan di dalam jiwanya, kesenangan dan kebahagiaan, bahkan juga
kegembiraan dan kelezatan dengan aqidah yang haq ini, yang Allôh Tabâroka wa
Ta’âlâ anugerahkan kepadanya.
Hal ini tidak akan dapat
ditemukan pada seorang pengikut hawa nafsu dan amatlah jauh dirinya. Allôh
Tabâroka wa Ta’âlâ berfirman :
“(Yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Ra’du : 28)
Di dalam jiwa mereka terdapat
ketenangan yang sempurna dan kedamaian yang besar terhadap aqidah yang benar
ini, yang mereka peroleh dari Kitab Rabb mereka dan sunnah Nabi mereka
Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Berkenaan hal ini, Ibnul Qoyyim rahimahullâhu
berkata di dalam kitabnya ash-Showâ’iqul Mursalah :
" سكون القلب إلى شيء ووُثوقه به، وهذا لا يكون إلا
مع اليقين، هو اليقين بعينه، ولهذا تجد قلوب أصحاب الأدلة السمعية – يعني أهل السنة
– مطمئنة بالإيمان بالله وأسمائه وصفاته وأفعاله وملائكته واليوم الآخر، لا يضطربون
في ذلك ولا يتنازعون فيه ". الصواعق المرسلة .(741/2)
“Tetap dan mantapnya hati terhadap sesuatu,
hal ini tidaklah akan terjadi melainkan disertai dengan keyakinan, bahkan
dengan benar-benar yakin (‘ainul yaqîn). Karena itulah anda dapati hatinya
ahlus sunnah, merasa tenang dengan iman kepada Allôh, Asmâ` dan Shifât-Nya,
serta perbuatan-Nya, kepada malaikat-Nya dan hari akhir. Tidak goyah ketenangan
mereka di dalam keimanan ini dan tidak pula bimbang.” (Ash-Showâ’iqul Mursalah
II/741)
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah
rahimahullâhu berkata:
" وأما أهل السنة والحديث فما يعلم أحد من علمائهم
ولا صالح عامتهم رجع قط عن قوله واعتقاده، بل هم أعظم الناس صبراً على ذلك، وإن امتحنوا
بأنواع المحن، وُفتنوا بأنواع الفتن، وهذه حال الأنبياء وأتباعهم من المتقدمين
" مجموع الفتاوى (50/4)
“Adapun ahlus sunnah dan ahli hadits, tidak
ada seorangpun ulama atau orang awam mereka yang shalih, yang diketahui menarik
kembali pendapat dan aqidahnya sama sekali. Bahkan mereka adalah manusia yang
paling sabar dengan pendapat dan aqidahnya, walaupun mereka diuji dengan
berbagai ujian dan fitnah. Dan demikian inilah keadaan para nabi dan para
pengikut mereka terdahulu.”
‘Abdul Haq al-Isybîlî
rahimahullâhu berkata :
" واعلم أن سوء الخاتمة أعاذنا الله تعالى منها لا
تكون لمن استقام ظاهره وصلح باطنه، ما سمع ذا، ولا علم به ولله الحمد، وإنما تكون لمن له فساد في العقد،
أو إصرارٍ على الكبائر، وإقدام على العظائم" (نقله ابن القيم في الجواب الكافي
ص: 198)
“Ketahuilah, bahwasanya sū’ul khâtimah –semoga
Allôh Ta’âlâ melindungi kita darinya- tidak pernah didengar dan diketahui
terjadi pada orang-orang yang lurus zhahirnya dan baik bathinnya, dan hanya
milik Allôhlah segala pujian. Sesungguhnya ia hanya terjadi kepada orang yang
memiliki aqidah yang rusak, terus menerus di dalam dosa besar, dan mendahulukan
keangkuhan.” (Dicuplik oleh Ibnul Qoyyim di dalam al-Jawâbul Kâfî hal.198).
Inilah diantara faktor utama yang
dapat menghantarkan kepada mantapnya ahli kebenaran, jiwa dan hati mereka
merasa tenang terhadap kebenaran, serta merasa enjoy secara sempurna dengannya.
Lantas mengapa mereka menyeleweng darinya? Mengapa mereka masih mencari
selainnya padahal mereka merasa tenang dan enjoy dengan sebenar-benarnya terhadapnya?
Ketujuh
: Termasuk faktor mantapnya mereka di atas keyakinan yang haq
adalah, mereka mengikatkan diri dengan pemahaman as-Salaf ash-Shâlih, para
sahabat dan yang mengikuti mereka dengan lebih baik. Mereka disertai dengan
perkara-perkara (yang disebutkan) sebelumnya, menyandarkan diri di dalam
memahami nash (teks dalil) dan pengetahuan akan dilâlah (penunjukan)-nya kepada
pemahaman sahabat dan generasi yang mengikuti mereka dengan lebih baik.
Karena pemahanan itu terkadang
sebagiannya doyong/miring dan sebagiannya lagi menyeleweng. Akan tetapi orang
yang mengambil agamanya yang murni lagi segar dari Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa
Sallam secara langsung dengan disertai dengan hati yang bersih, akal yang sehat
dan keinginan serta tujuan yang baik, barangsiapa yang demikian ini keadaannya
maka ia memperoleh ilmu, keselamatan dan hikmah yang sejati.
Oleh karena itu ahlus sunnah wal
jamâ’ah berpegang erat di dalam memahami nash-nash dan dalil dengan pemahaman
sahabat. As-Sijzî rahimahullâhu berkata di dalam buku beliau yang berjudul
Ar-Roddu ‘ala Man Ankaro al-Harf wa ash-Shout di dalam mensifati ahlus sunnah
sebagai berikut :
“Mereka adalah kaum yang mantap di atas aqidah
yang para as-Salaf ash-Shâlih rahimahumullâhu menukilkan kepada mereka dari Rasūlullâh
Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam atau dari sahabat beliau radhiyallâhu ‘anhum
mengenai perkara-perkara yang tidak disebutkan oleh nash al-Qur`ân dan (sunnah)
Rasūl Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Mereka adalah para imâm yang Allôh ridhâ
kepada mereka, dan kita diperintahkan untuk mengikuti jejak (atsar) mereka dan
meneladani tuntunan (sunnah) mereka. Hal ini memperlihatkan dengan jelas akan
diperlukannya iqômatu burhân (menegakkan hujjah yang terang), mengambil sunnah
dan berkeyakinan dengannya, merupakan sesuatu hal yang tidak ada kebimbangan
akan kewajibannya.” (Ar-Roddu ‘ala Man Ankaro al-Harf wa ash-Shout hal. 99)
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah
rahimahullâhu berkata:
ولا تج
د إماماً في العلم والدين، كمالك والأوزاعي
والثوري وأبي حنيفة والشافعي وأحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه، ومثل الفضيل وأبي سليمان
ومعروف الكرخي وأمثالهم، إلا وهم مصرحون بأن أفضل علمهم ما كانوا فيه مقتدين
بعلم الصحابة، وهم يرون أن الصحابة فوقهم في جميع أبواب الفضائل والمناقب " شرح
العقيدة الأصفهانية ص128
“Anda tidak akan mendapatkan seorang
imam pun di dalam ilmu dan agama, sebagaimana Mâlik, al-Auzâ’î, ats-Tsaurî, Abî
Hanîfah, asy-Syâfi’î, Ahmad bin Hanbal dan Ishâq bin Rohawaih, atau semisal
al-Fudhail dan Abu Mâlik atau yang lebih dikenal dengan al-Kurkhî, atau yang
semisal mereka, melainkan mereka menjelaskan dengan tegas bahwa seutama-utama
ilmu dan amal mereka adalah yang meniti ilmu dan amal para sahabat, mereka
beranggapan bahwa para sahabat adalah kaum yang berada terdepan di atas mereka
di segala bab keutamaan dan kemuliaan.” (Syarhul Aqîdah al-Ashfahânîyah hal.
128).
Al-Ajurrî rahimahullâhu berkata
di dalam kitab beliau “Asy-Syarî’ah” :
" علامُة من أراد الله عز وجل به خيراً سلوك هذه الطريق،
كتاب الله عز وسنن أصحابه رضي الله عنهم ومن تبعهم ، وجل وسنن رسوله بإحسان رحمة الله
تعالى عليهم، وما كان عليه أئمة المسلمين في كل بلد، إلى آخر ما كان من العلماء؛ مثل
الأوزاعي وسفيان الثوري ومالك بن أنس والشافعي وأحمد بن حنبل والقاسم بن سلام، ومن
كان على مثل طريقتهم، ومجانبة كل مذهبٍ لا يذهب إليه هؤلاء العلماء " الشريعة
.(301/1)
“Tanda-tanda orang yang Allôh Azza wa Jalla
kehendaki kebaikan baginya adalah, orang yang meniti di atas jalan Kitâbullâh
Azza wa Jalla dan sunnah Rasūl-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, sunnah para
sahabat beliau radhiyallâhu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
lebih baik rahmatullâhi Ta’âlâ ‘alaihim, juga (meniti) jalan yang dilalui oleh
para imam kaum muslimin di seluruh negeri sampai generasi akhir para ulama,
semisal al-Auzâ’î, Sufyân ats-Tsaurî, Mâlik bin Anas, asy-Syâfi’î, Ahmad bin
Hanbal, al-Qâsim bin Sallâm, dan siapa saja yang berada di atas metode mereka
dan menjauhi setiap madzhab yang tidak bermadzhab dengan para ulama tersebut.”
(asy-Syarî’ah I:301).
Ibnu Qutaibah rahimahullâhu
berkata dengan sebuah perkataan yang anggun di dalam bab ini :
" ولو أردنا – رحمك الله – أن ننتقل عن أصحاب الحديث،
ونرغب عنهم إلى أصحاب الكلام، ونرغب فيهم؛ لخرجنا من اجتماعٍ إلى تشتت، وعن نظام إلى
تفرق، وعن ُأنسٍ إلى وحشة، وعن اتفاق إلى اختلاف).
تأويل مختلف الحديث ص (16
“Sekiranya kita menghendaki –semoga
Allôh merahmati anda- beranjak dari (manhaj) ahli hadîts dan berpaling dari
mereka menuju (manhaj) ahli kalâm dan mencintai mereka, niscaya kita pasti akan
keluar dari persatuan menuju perselisihan, dari keteraturan menuju perpecahan,
dari kebahagiaan menuju kesengsaraan dan dari kesepakatan menuju pertikaian.”
(Ta’wîl Mukhtalafil Hadîts hal. 16).
Hal ini menjelaskan bahwa tidak
mungkin kemantapan akan diperoleh melainkan dengan berpegang secara sempurna
terhadap faham as-Salaf ash-Shâlih rahimahumullâhu, Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ
berfirman :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasūl sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang
mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (QS an-Nisâ1 : 115).
Kedelapan
: Termasuk faktor-faktor mantapnya ahlus sunnah di atas kebenaran
dan konsisten di atasnya adalah : sikap mereka rahimamullâhu yang wasath (moderat)
dan i’tidâl (sikap pertengahan), sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ :
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan
kamu (umat Islam) sebagai umat yang wasath (moderat).” (QS al-Baqoroh : 143),
yaitu sebagai saksi yang adil. Mereka bersikap moderat tidak bersikap ghuluw
(ekstrem) dan tidak jafâ` (sikap menyepelekan), tidak ifrâth (sikap
berlebih-lebihan) dan tidak pula tafrîth (sikap meremehkan), serta tidak
menambah-nambahi dan tidak mengurangi. Bentuk sikap wasath mereka adalah dengan
berpegangteguhnya mereka terhadap kebenaran, konsisten dan mantap di atasnya
serta menjauhi semua jalan yang menyimpang, tidak ada bedanya baik yang condong
kepada sikap ghuluw ataupun jafâ`. Mereka senantiasa bersikap wasath di dalam
kebenaran dan konsisten di atasnya, mereka kokoh di atasnya dengan pengokohan
Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ bagi mereka.
Inilah faktor utama dari
faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya mereka di atas kebenaran. Sebaik-baik
perkara adalah yang pertengahan, tanpa diiringi sikap tafrîth dan tidak pula
ifrâth. Setiap kali seseorang bersikap wasath dan i’tidâl, maka ia adalah orang
yang paling layak dan paling utama dengan kebenaran.
‘Alî bin Abî Thâlib radhiyallâhu
‘anhu berkata :
" إن دين الله بين الغالي والمقصر، فعليكم بالنمرقة
الوسطى؛ فإنها يحلق المقصر، وإليها يرجع الغالي ".
“Sesungguhnya agama Allôh itu
berada diantara sifat berlebihan dan sifat kurang, maka wajib atas kalian untuk
bersandar kepada sandaran yang pertengahan, karena dengan bersandar padanya
akan memangkas sifat yang kurang dan kepadanya akan berpulang sifat
berlebihan.”
Sikap wasath itu tidak akan bisa
diperoleh selamanya melainkan dengan berpegang teguh terhadap kebenaran
(al-Haq) tanpa menambah-nambahi atau mengurangingurangi. Barangsiapa bersikap
demikian maka ia adalah orang yang lebih utama dengan kebenaran dan orang yang
paling jauh dari penyimpangan serta paling berhak dengan kemantapan dan
keselamatan. Oleh karena itulah Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Bersederhanalah, bersederhanalah, niscaya
kalian akan mendapatkan” (HR Buhârî no. 6463)
Dan sabda beliau ‘alaihi
ash-Sholâtu was Salâm :
عليكم هدياً قاصداً، فإنه من يشاد الدين يغلبه
“Berpegangteguhlah dengan
petunjuk yang pertengahan, karena sesungguhnya orang yang bersikap keras di
dalam agama akan didominasi (dikalahkan) oleh agamanya.” (HR Ahmad 5/350-31,
dishahîhkan oleh al-Albânî di dalam Shahîhul Jâmi’ no. 4086).
Ibnul Qoyyim rahimahullâhu
berkata :
" فدي ن الله بين الغالي فيه والجافي عنه، وخير الناس النمط الأوسط، الذين ارتفعوا
عن تقصير المفرطين، ولم يلحقوا بغلو المعتدين، وقد جعل الله سبحانه هذه الأمة وسطاً،
وهي الخيار العدل، لتوسطها بين الطرفين المذمومين، والعدل هو الوسط بين طرفي الجور
والتفريط، والآفات إنما تتطرق إلى الأطراف والأوساط محميٌة بأطرافها فخيار الأمور أوساطها"
( إغاثة اللهفان : 1/201)
“Agama Allôh itu berada di antara orang yang
berlebihan dan orang yang mengabaikan dan sebaik-baik manusia adalah kelompok
yang pertengahan, mereka meninggikan dari peremehan orang-orang yang tafrîth
(suka mengabaikan) dan tidak menambahkan dari sikap ghuluw-nya orang-orang yang
melampaui batas. Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ menjadikan umat ini (umat Islâm)
sebagai umat pertengahan dan mereka adalah umat terbaik yang adil, oleh sebab
sikap tawassuth (pertengahan) mereka di antara dua golongan yang tercela. Sikap
adil adalah sikap pertengahan di antara dua golongan yang bersikap lalim
(berlebihan) dan tafrîth. Segala hal yang merusak sesungguhnya menembus segala
sisi dan yang paling pertengahan adalah yang terjaga pada segala sisinya, dan
sebaik-baik perkara adalah yang paling pertengahan.” (Ighôtsatul Lahafân
I/201).
Kesembilan
: Termasuk diantara faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya mereka
di atas al-Haq dan selamat dari penyimpangan dan perubahan adalah, mereka tidak
mendahulukan akal dan perasaan mereka melebihi al-Kitâb dan as-Sunnah. Hal ini
juga telah lewat penunjukan salah satu aspek tentangnya sebelumnya, dan saya
akan nukilkan di sini ucapan Abî Muzhoffar as-Sam’ânî yang dinukil dari
at-Taimî di dalam kitabnya “al-Hujjah” dan Ibnul Qoyyim di dalam kitabnya
“ash-Showâ’iq”, dan ucapan beliau ini adalah ucapan yang agung lagi kokoh di
dalam bab ini. As-Sam’ânî berkata :
“Dan merupakan sebab bersatunya ahli hadits
adalah, mereka mengambil agama dari al-Kitâb dan as-Sunnah serta jalur naql
(penukilan riwayat) sehingga mereka mewarisi persatuan dan kesepakatan. Adapun
ahli bid’ah, mereka mengambil agama mereka dari akal-akal mereka sehingga
mereka mewarisi perpecahan dan perselisihan. Karena sesungguhnya, naql
(penukilan) dan riwayat dari orang-orang yang tsiqât (kredibel) dan mutqîn
(mantap hapalan dan ilmunya) sedikit sekali perselisihannya, walaupun lafazh
dan kalimatnya berbeda-beda namun perbedaan ini tidaklah mencederai dan
mencacat di dalam agama. Adapun produk akal, pemikiran dan pendapat maka sedikit
sekali yang saling bersepakat, bahkan akal setiap orang atau pemikiran dan
pendapatnya, difahami oleh orang yang berpendapat tersebut tidak sebagaimana
yang difahami oleh orang selainnya.” (Mukhtashor ash-Showâ’iq hal. 518).
Maka inilah diantara faktor-faktor
tsabât (mantapnya) mereka, yaitu tidak mendahulukan akal, pendapat, perasaan
dan semisalnya, melebihi Kitâb Rabb mereka dan sunnah nabi mereka Shallâllâhu
‘alaihi wa Sallam.
Adapun ahli hawa (pengikut hawa
nafsu), mereka lebih mendahulukan perkara-perkara ini di atas Kitâbullah dan
Sunnah Rasūlullâh. Diantara mereka ada yang lebih mendahulukan akal, ada yang
lebih mendahulukan pemikiran, ada yang lebih mendahulukan perasaan, ada yang
lebih mendahulukan dongeng-dongeng dan mimpi, dan adapula yang lebih
mendahulukan hawa nafsunya di atas perintah Rabb-Nya Tabâroka wa Ta’âlâ, saling
berlainan dan setiap orang memiliki manhaj, metode dan jalannya masing-masing.
Adapun ahlus sunnah, mereka terbebas dari semua penyakit ini, dan mereka
menetapi Kitâbullah dan Sunnah Nabi-Nya Sholawâtullâhi wa Salâmuhu ‘alaihi. Dan
hal ini merupakan faktor terbesar diantara faktor-faktor mantapnya mereka.
Barangsiapa yang menimba dari
sumber air pertama dan mata air yang murni, niscaya ia akan mendapatkan selain
dari pada itu semua adalah sumber-sumber air yang telah keruh.
Kesepuluh
: Hubungan mereka yang baik kepada Allôh, kuatnya ikatan mereka
kepada-Nya dan bersandarnya mereka hanya kepada-Nya. Hal ini adalah perkara
yang telah saya tunjukkan di dalam pembuka di awal. Oleh karena taufîq itu
mutlak berada di tangan-Nya Subhânahu wa Ta’âlâ, maka mereka membaguskan hubungan
mereka dengan Allôh, memperkuat bersandarnya mereka kepada-Nya, meminta hanya
kepada-Nya, memohon pertolongan dan berdoa hanya kepada-Nya, serta meminta
kepada-Nya kemantapan.
Mereka mencontoh hal ini dari
jalan nabi mereka Sholawâtullâhi wa Salâmuhu ‘alaihi. Termasuk doa nabî
Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam adalah :
“Ya Allôh, aku memohon kepada-Mu petunjuk dan
arahan yang benar”
Beliau juga pernah berdoa :
”Ya Allôh, aku meminta kepada-Mu
petunjuk, ketakwaan, kesucian dan kecukupan.”
Beliau juga pernah berdoa :
”Ya Allôh anugerahkan kepada jiwa
kami ketakwaannya, sucikan jiwa kami karena Engkau adalah sebaik-baik yang
mensucikan jiwa kami, Engkaulah yang menguasai jiwa kami dan mengaturnya.”
Beliau juga berdoa :
”Ya Allôh perbaikilah agamaku
yang mana ia merupakan pelindung urusanku, perbaikilah duniaku yang merupakan
tempat pencaharianku, perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku,
jadikanlah kehidupan sebagai tambahan bagiku di dalam segala kebaikan dan
jadikanlah kematian sebagai tempat istirahat bagiku dari segala keburukan.”
Nabi Shallâllâhu ’alaihi wa
Sallam juga berdoa :
“Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil.
Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan
nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka
(orang-orang kristen dan yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran
apa yang dipertentangkan dengan seizin dariMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan
pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki”
Beliau juga berdoa “
“Ya Allôh, hanya kepada-Mu-lah aku berserah
diri, kepada-Mu-lah aku beriman dan kepada-Mu-lah aku bertawakkal. Hanya
kepada-Mu aku bertawakkal dan kepada-Mu lah aku kembali serta dengan-Mu aku
berdebat (dengan orang kafir). Ya Allôh, aku memohon perlindungan dengan
keperkasaan-Mu, yang tiada sesembahan yang haq untuk disembah melainkan Engkau,
dari ketergelinciran. Engkau adalah dzat yang maha hidup tidak pernah mati,
sedangkan manusia dan jin pasti akan binasa.”
Beliau juga pernah berdoa :
“Ya Allôh, yang maha membolak-balikkan hati.
Mantapkan hati kami di atas agama-Mu.”
Beliau juga berdoa :
“Ya Allôh, berikanlah kami pertunjuk
sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk.”
Beliau juga pernah berdoa :
“Ya Allôh hiasilah kami dengan perhiasan
keimanan dan jadikanlah kami orang yang memberikan petunjuk lagi mendapatkan
petunjuk.”
[Semua doa di atas diriwayatkan
oleh Muslim di dalam Shahîh-nya kecuali tiga doa terakhir. Yang pertama dan
kedua diriwayatkan Ahmad (/301) dan (1/200) dan ketiga diriwayatkan an-Nasâ`î
(no. 1305).
Para pengikut nabi Sholawâtullâhi
wa Salâmuhu ‘alaihi berpegang teguh dengan manhaj beliau, mereka senantiasa
menambatkan (hati mereka) dengan Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ di setiap waktu dan
kapan saja.
Mereka meminta kepada Allôh
kemantapan, bimbingan, pertolongan dan taufiq, oleh karena itulah Allôh memberikan
taufiq-Nya kepada mereka, menolong dan membimbing mereka, memelihara dan
menjaga mereka dengan pemeliharaan dan pertolongan-Nya. Penjagaan dan taufiq
Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ hanyalah mutlak berada di tangan-Nya semata.
Kemudian, sesungguhnya ikatan
mereka kepada Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ mewariskan kepada mereka, ibadah yang
benar dan perangai serta akhlâq yang lurus. Oleh karena itulah, sesungguhnya
diantara faidah aqidah yang terpuji dan pengaruhnya yang agung, ia akan
terpancar di dalam perbuatan dan perangai seorang manusia, semakin kuat,
tinggi, tumbuh berkembang dan semakin suci. Dan ini merupakan berkahnya aqidah
yang benar dan termasuk manfaat serta faidahnya yang besar.
Adapun aqidah yang menyimpang,
maka ia merupakan kecelakaan bagi pemiliknya. Oleh karena itulah, rusaknya
aqidah berakibat kepada rusaknya perbuatan dan perangai, dan hal ini tentu saja
merupakan keyakinan yang mencelakakan. Barangsiapa yang meneliti terutama
terhadap para pembesar kebatilah dan penyeru kesesatan, ia akan mendapatkan
ciri ini secara nyata dan jelas pada mereka. Tidak tampak pada mereka
perhatian, kepedulian dan penjagaan kepada ibadah. Tidak tampak pula pada
mereka perangai yang terang, sempurna lagi jelas. Sekiranya ia mendapatkan
sedikit dari hal dari hal-hal ini, maka yang ada pada ahlus sunnah, berupa
kebenaran dan keistiqomahan terhadapnya, lebih besar dan jauh lebih besar.
Dan ini merupakan pengaruh
istiqomah di atas aqidah (yang benar) dan menambatkan (hati mereka) kepada
Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ.
Kesebelas
: Keyakinan mereka secara totalitas dengan aqidah ini yang mereka
beristiqomah di atasnya serta jauhnya mereka dari memperlihatkan pertikaian dan
perdebatan. Hal ini merupakan aspek tertinggi tentang urgennya kemantapan di
dalam aqidah yang benar, yaitu pemiliknya akan menjadi orang yang yakin
dengannya.
Ahlus sunnah memiliki kerelaan
dan kepercayaan yang sempurna terhadap agama dan keyakinan yang mereka pegang.
Oleh karena itulah ahlus sunnah, tidak seperti kelompok lainnya, tidak
memerlukan produk yang ada pada mereka berupa pemikiran dan akal. Sedangkan
pelaku hawa nafsu dan bid’ah, anda dapati mereka adalah orang yang labil gemar
bepindah-pindah dari pendapat orang yang satu ke orang yang lain, bertanya dan
meminta arahan kepada mereka dalam masalah agama, karena mereka merasa ragu,
tidak mantap dan tidak tenang. Adapun Ahlus Sunnah, mereka berada di atas
keyakinan yang sempurna, mereka tidak mau menerima percekcokan dan perdebatan
di dalam aqidahnya.
Mereka merasa mantap dan tenang
dengan aqidahnya dengan kemantapan yang tinggi dan merasa terikat dengan
Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Kitâbullâh, yang
tidak datang dari segala sisi dan tidak pula dari belakangnya kebatilan, dan
sunnah nabi-Nya yang tidaklah diucapkan dari hawa nafsu, sehingga mereka
menjadi tenang dan mantap dengan ketenangan dan kemantapan yang tinggi terhadap
aqidah yang mereka yakini. Mereka tidak membutuhkan perdebatan, percekcokan dan
sebagainya. Namun mereka tetap di dalam aqidahnya di atas jalan dan cara yang
satu, semenjak dari generasi awal hingga akhir, mereka tidak plin-plan dan
tidak goyah, tidak labil dan tidak pula bimbang.
Adapun ahli bathil, maka keadaan
mereka berbeda. Allôh Ta’âlâ berfirman :
“Mereka tidak memberikan
perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, Sebenarnya
mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS az-Zukhruf : 58)
Anda dapati mereka adalah orang
yang goyah dan bimbang, lebih condong kepada pemikiran dan akal manusia dan
banyak melakukan kelabilan di dalam agama.
Saya nukilkan di dalam pembahasan
ini sejumlah atsar dari para salaf rahimahumullâhu yang sangat besar manfaatnya
:
Abū Hudzaifah berkata kepada Abū
Mas’ūd :
“Sesungguhnya kesesatan yang paling sesat
adalah, anda mengakui sesuatu yang anda ingkari dan mengingkari yang anda akui.
Jauhilah sikap labil di dalam agama, karena agama Allôh itu hanya satu.”
(al-Ibânah karya Ibnu Baththoh II/505).
‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz berkata :
“Barangsiapa yang menjadikan agamanya hanya
untuk perdebatan, maka lebih banyak labilnya.”
Beliau rahimahullâhu juga berkata
:
"من عمل بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح، ومن
لم يعد كلامه من عمله كثرت خطاياه، ومن كثرت خصومته لم يزل يتنقل من دين إلى دين"
الإبانة ( 2/504)
“Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka ia
akan lebih banyak merusak daripada membenahi. Dan barangsiapa tidak
memperhitungkan perkataannya sebagai amalnya, maka akan berlimpah dosa-dosanya.
Serta barangsiapa yang banyak berdebat, ia akan senantiasa bersifat labil
berpindah-pindah dari satu agama ke agama lainnya.” (al-Ibânah II/504).
Mi’an bin Isâ berkata :
“Pada suatu hari, Mâlik berangkat ke Masjid
sedangkan beliau dalam keadaan bersandar pada tanganku. Kemudian, seorang pria
yang disebut dengan Abūl Juwairiyah menemui beliau dan dia adalah seorang yang
tertuduh irjâ`, lalu ia berkata : “Wahai Abâ ‘Abdillâh (Imâm Mâlik),
dengarkanlah sesuatu dariku, aku akan bicara kepada anda, berargumentasi dan
menceritakan pemikiranku.” Imâm Malik bertanya, “Apabila engkau dapat
mengalahkanku?”, dia menjawab, “Jika aku dapat mengalahkan anda maka anda harus
mengikutiku.”
Imâm Mâlik bertanya kembali :
“Apabila ada orang lain yang berbicara kepada kita lalu mengalahkan kita?”, ia
menjawab, “kita ikuti dia.” Lantas Imâm Mâlik berkata :
“Wahai hamba Allôh, Allôh telah
mengutus Muhammad Shallâllâhu ‘alaihi was Sallam dengan agama yang satu. Sedangkan
aku melihatmu adalah orang yang labil berpindah dari satu agama ke agama lain.”
Perkara agama ini menjadi perkara
yang labil menurut mereka berpindah-pindah dari orang yang satu ke orang lain
dan dari pemikiran yang satu ke pemikiran lainya.
Dan inilah makna ucapan ‘Umar bin
‘Abdil ‘Azîz yang telah lewat sebelumnya, “Barangsiapa yang menjadikan agamanya
hanya untuk perdebatan, maka lebih banyak labilnya.”
Mâlik berkata :
“Adalah orang tersebut (beliau mengisyaratkan
kepada salah satu imam salaf tanpa menyebut namanya), apabila datang kepadanya
sebagian orang pelaku hawa nafsu, beliau berkata : “Adapun saya, maka saya berada
di atas keterangan dari Tuhanku, sedangkan anda dalam keadaan ragu dan
mendatangi orang yang juga ragu seperti anda lalu anda debat.” Imâm Mâlik
melanjutkan :
“Imam tersebut berkata : mereka
merasa bingung dengan keadaan mereka sendiri kemudian meminta tolong kepada
orang yang mengetahui mereka.” (al-Ibânah II/509).
Yaitu (orang yang mengetahui)
agama mereka. Merasa rancu dengan keadaan mereka yaitu dengan keraguan dan
dugaan para pelaku hawa nafsu dan sebagainya.
Kemudian mereka memohon kepada
orang yang mengetahui agama mereka, yang akan menghilangkan keragu-raguan yang
menyelimuti mereka, namun mereka datangkan dari pendapat dan hawa nafsu akal
seseorang.
Ishâq bin Isâ ath-Thobâ’ berkata
:
“Mâlik bin Anas adalah orang yang mencela
perdebatan di dalam agama, beliau berkata, “Tiap kali datang kepada kami
seseorang yang gemar berdebat dengan orang lain. Kami berkeinginan membantah
dengan apa yang diturunkan oleh Jibril kepada Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa
Sallam.” (al-Ibânah II/507).
Hasan al-Bashrî berkata :
“Perbendahaaran harta paling
bernilai seorang mukmin adalah agamanya. Apabila hartanya ini hilang, maka
hilanglah agamanya besertanya. Ia tidak akan mau meninggalkannya untuk orang
lain dan tidak pula mempercayakannya.” (al-Ibânah II/509)
Beginilah keadaan ahlus sunnah,
tidak ada seorangpun dari mereka yang menyandarkan agama dan aqidahnya kepada
akal, hawa nafsu dan pemikiran manusia. Mereka hanya berpegang erat dengan
Kitâbullâh dan Sunnah Nabî-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, menurut timbangan
pemahaman salaful ummah.
Dzakwân berkata :
“Hasan al-Bashrî melarang perdebatan di dalam
agama, beliau mengatakan bahwa berdebat itu kerjanya orang yang ragu dengan
agamanya.” {al-Ibânah II/519).
Adapun orang yang tidak memiliki
keraguan di dalam agamanya, maka ia tidak butuh sedikitpun dengan berbagai
bentuk perdebatan.
Hisyâm bin Hasan berkata :
‘Wahai Abâ Sa’îd, kemarilah, saya
ingin berdiskusi (baca: berdebat) dengan anda tentang masalah agama.’
Hasan al-Bashrî berkata, “Aku
adalah orang yang jelas agamaku, sedangkan anda adalah orang yang sesat
agamanya sehingga menjadi kabur.”
Maksudnya adalah, pergilah dan
carilah agamamu. Adapun saya adalah orang yang mantap dengan agamaku, tenang
dan mengenalnya. Jadi, aku tidak butuh dengan pedebatan dan percekcokan.
Ahmad bin Sinân berkata :
" جاء أبو بكر الأصم إلى عبد الرحمن بن مهدي فقال:
جئت أناظرك في الدين، فقال: إن شككت في شيءٍ من أمر دينك فقف حتى أخرج إلى الصلاة،
وإلا فاذهب إلى عملك، فمضى ولم يثبت " الإبانة ( .(538/ 2
“Abū Bakr al-Ashom mendatangi
‘Abdurrahman bin Mahdî lalu berkata, ‘Saya datang untuk berdiskusi dengan anda
tentang masalah agama.’ Ibnu Mahdî menjawab, ‘Jika engkau merasa ragu dengan
sesuatu dari agamamu, berhentilah sampai aku keluar untuk untuk sholât, apabila
tidak, kembalilah bekerja’, lalu orang tersebut berlalu dan tidak mau menetap.”
(al-Ibânah II/538)
Di dalam kisah di atas,
menunjukkan bahwa ahlus sunnah menyibukkan diri dengan kebenaran yang mereka
pegang, dengan beribadah kepada Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ. Ibnu Mahdî berkata
kepada Abū Bakr al-Ashom, ‘Jika kamu merasa ragu dengan sesuatu dari agamamu
berhentilah sampai aku keluar untuk untuk sholât’, maksudnya adalah, ‘Saya
terlalu sibuk dengan ketaatan kepada Allôh, saya mau sholat dulu, berhentilah
(di situ) sampai aku keluar untuk sholât dan aku tidak punya urusan denganmu.
Jika kau tidak mau kembalilah ke pekerjaanmu. Kemudian orang itu berlalu dan
tidak mau menetap.”
Demikianlah sejumlah nukilan yang
bermanfaat yang aku nukil dari kitab al-Ibânah karya Ibnu Baththah al-‘Ukburî
rahimahullâhu. Buku ini adalah buku yang agung di dalam pembahasan ini, dan
kesemua nukilan dari ulama salaf rahimahullâhu ini menjelaskan akan mantapnya
agama mereka, stabilnya jiwa mereka dan kuatnya penjagaan dan perhatian mereka
terhadap agama.
Mereka tidak menyandarkan
agamanya kepada perdebatan dan percekcokan, atau pemikiran yang menyimpang dan
lain sebagainya. Hal inilah yang menjadikan faktor utama mantapnya mereka
terhadap kebenaran.
Kedua
Belas : Keyakinan kaum salaf bahwa masalah keimanan kepada Allôh,
nama-nama dan sifat-Nya serta hari akhir, juga perkara-perkara aqidah lainnya
yang datang dari para Rasūl yang mereka bersepakat atasnya, kesemuanya ini
adalah perkara yang baku yang tidak dimasuki naskh (penghapusan hukum) maupun
perubahan dan semisalnya. Karena aqidah itu bukanlah bidang yang bisa dimasuki
an-naskh, oleh karena itulah para nabi dari yang awal sampai yang akhir
bersepakat di atas aqidah yang sama, sebagaimana dijelaskan di dalam sebuah
hadîts yang shahîh dari Nabî Shallâllâhu’alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda
:
" الأنبياءُ إخوةٌ من علات، وأمهم شتى، ودينهم واحد
" صحيح مسلم.(1837/4)
”Para Nabi itu bersaudara tiri
dan ibu mereka berbeda-beda, namun agama mereka satu.” (Shahîh Muslim IV/1837).
Ketiga
Belas : Terang, mudah dan jauhnya aqidah ahlus sunnah dari
kerancuan, sedang selain ahlus sunnah, anda dapati aqidahnya diliputi oleh
kerancuan dan ketidakjelasan, serta dipenuhi oleh syubuhât.
Adapun aqidah ahlus sunnah wal
jamâ’ah sangat terang, seterang matahari di tengah hari bolong, yang mana
terangnya ini diperoleh dari mata air dan sumbernya yang jelas.
Imâm Ibnul Qoyîm berkata di dalam
kitab beliau ash-Showâ`iq ketika menjelaskan aqidah yang benar ini, yang
terangnya seterang sumbernya :
" مثل ضوء الشمس للبصر، لا يلحق إشكال، ولا يغير في
وجه دلالتها إجمال، ولا يعرضها تجويز واحتمال، تلج الأسماع بلا استئذان، وتحل من العقول
محل الماء الزلال من الصادي الظمآن، فضلها على أدلة العقول والكلام كفضل الله على الأنام،
لا يمكن أ حد أن يقدح فيها قدحاً يوقع في اللبس، إلا إن أمكنه أن يقدح بالظهيرة صحواً
في طلوع الشمس " الصواعق المرسلة ((1199/3
”Bagaikan cahaya matahari bagi
pengelihatan, yang tidak memiliki penghalang. Yang secara umum tidak berubah
sisi pendalilannya, tidak pula memiliki kelemahan dan probabilitas, merasuk ke
pendengaran tanpa izin, dan memenuhi akal dengan air yang segar yang membasahi
dahaga orang yang kehausan, keutamaannya dibandingkan dalil-dalil akal dan
kalam bagaikan keutamaan Allôh dibandingkan makhluk-Nya. Tidak mungkin ada
seorangpun yang bisa mencela aqidah ini seakan-akan memiliki kerancuan,
melainkan dirinya bagaikan mencela hari yang cerah di tengah terbitnya
matahari.” (ash-Showâ`iqul Mursalah III/1199)
Orang yang ingin mencela aqidah
yang shahîh lagi lurus ini, yang diambil dari Kitâbullâh dan Sunnah, keadaannya
serupa dengan seorang lelaki yang mendatangi manusia di tengah hari dan berkata
kepada mereka: saya jelaskan kepada kalian bahwa sekarang ini adalah malam hari
bukan siang. Beginilah keadaan orang yang datang dan ingin membuat keragu-raguan
terhadap kebenaran aqidah yang shahîh lagi lurus ini, yang diambil dari
Kitâbullâh dan Sunnah Rasul-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Keadaannya
sebagaimana yang difirmankan oleh Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ:
”Karena Sesungguhnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS
al-Hajj : 46)
Keempat
Belas : Diantara (penyebab) mantapnya aqidah ahlus sunnah dan
selamatnya dari penyimpangan adalah, mereka mau mengambil ibrah dan pelajaran
dari keadaan ahli hawa terdahulu.
Dikatakan di dalam sebuah
pepatah, ”Seorang yang berbahagia itu adalah orang yang dapat mengambil
pelajaran dari orang lain”. Ahli hawa yang meninggalkan Kitâbullâh dan Sunnah,
menyebabkan mereka menjadi plin plan, menyimpang, labil (berubah-ubah) dan
goyah, serta jauh dari kemantapan dan kekokohan. Tidak pernah anda dapati ada
seorang ahli hawa yang mantap dan kokoh sikapnya, karena mereka ini terus
menerus dan selamanya dalam keadaan labil.
Saya nukilkan di sini keterangan
dari para ulama tentang pensifatan keadaan ahli ahwâ`: Syaikhul Islâm berkata :
Ahli kalam adalah manusia yang
paling sering berubah-ubah (labil) pendapatnya dari pendapat yang satu ke
pendapat yang lain. Mereka menetapkan suatu pendapat di suatu tempat, namun di
tempat lain mereka membantahnya dan mengkafirkan orang yang berpendapat
dengannya. Ini merupakan dalil bahwa mereka tidak memiliki keyakinan, karena
sesungguhnya iman itu sebagaimana yang dikatakan oleh Kaisar (Heraklius) ketika
bertanya kepada Abū Sufyân tentang siapa saja yang turut masuk Islâm bersama
nabi Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam, ia berkata : ”Adakah seorang diantara
mereka yang kembali dari agamanya disebabkan karena ia murka kepadanya setelah
ia masuk ke dalamnya?” Abū Sufyân menjawab, ”Tidak”. Kaisar berkata, ”Demikianlah
keimanan itu, apabila telah merasuk ke dalam sanubari hati seseorang, tidak ada
seorangpun yang murka padanya.” (Majmū’ Fatâwâ IV/50).
Di dalam kisah di atas terhadap
ibrah dan pelajaran tentang keadaan ahli ahwâ` bahwa mereka tidak memiliki kemantapan
dan keajegan, namun mereka senantiasa berada di dalam kelabilan dan
kegoncangan.
Termasuk sifat yang dijelaskan
oleh para ulama tentang keadaan ahli ahwâ` adalah, ucapan Abū Muzhoffar
as-Sam’ânî yang dinukil olehh at-Taimî dan Ibnul Qoyyim, beliau berkata :
”Apabila anda memperhatikan
keadaan ahli ahwâ`, anda dapati mereka ini dalam keadaan berpecah belah dan
berselisih, bergolong-golongan dan berpartai. Tidak mungkin anda temukan ada
dua orang diantara mereka yang berada di atas satu manhaj di dalam masalah
aqidah, mereka saling membid’ahkan satu dengan lainnya. Bahkan mereka sampai
jatuh kepada pengkafiran, seorang anak sampai mengkafirkan ayahnya, seorang
mengkafirkan saudaranya dan tetangganya. Anda lihat mereka senantiasa dalam
keadaan saling bertikai, membenci dan berselisih. Habis umur mereka namun
mereka tidak pernah bersatu.” (Mukhtashor ash-Showâ`iq al-Mursalah karya Ibnul
Qoyyim hal. 518).
Syaikhul Islâm berkata
menjelaskan sifat ahli ahwâ`:
”Mereka juga senantiasa
menyelisihi ahli hadits, mereka adalah tempatnya kerusakan amal, bisa jadi
berasal dari aqidah yang jelek dan nifaq, dan bisa jadi pula dari hati yang
sakit dan iman yang lemah. Diantara mereka ada yang meninggalkan perkara wajib,
melanggar batas, meremehkan hak dan hati yang kesat, yang tampak pada setiap
orang dari mereka. Secara umum guru-guru mereka gemar melakukan dosa besar,
walaupun ada diantara mereka yang dikenal dengan kezuhudan dan ibadahnya.
Sesungguhnya, zuhud dan ibadahnya orang awam ahlus sunnah lebih baik daripada
mereka. Suatu hal yang telah diketahui bersama, bahwa ilmu itu adalah
pondasinya amal, dan benarnya suatu pondasi mengharuskan benarnya furu’ (cabang
amal). (Majmū’ Fatâwâ IV/53)
Ibrâhîm an-Nakho’î berkata :
"كانوا يرون التلون في الدين من شك القلوب في الله
عز وجل" الإبانة لابن بطة .(505/2)
”Para salaf memandang bahwa
bersikap plin plan di dalam agama merupakan keraguan hati terhadap Allôh Azza
wa Jalla.” (al-Ibânah karya Ibnu Baththoh II/502)
Mâlik bin Anas berkata :
”Penyakit yang paling mematikan
adalah, sikap labil di dalam agama.” Beliau berkata, ”Seorang pria berkata : Aku
tidak pernah bermain-main dengan agama maka janganlah kamu sekali-kali
bermain-main dengan agamamu.” (al-Ibânah II/506)
Barangsiapa memperhatikan keadaan
ahli ahwâ`, niscaya ia akan mendapati bahwa realita keadaan mereka adalah
sedang bermain-main dengan agama dan labil (berubah-ubah pendirian). Pendapat,
akal, pemikiran dan bentuk kelompok ini bermacam-macam dan berbeda-beda, tidak
pernah mantap dan ajeg.
Sampai-sampai ada seorang lelaki
dari ahlis sunnah datang kepada salah satu pembesar ulama ahli kalâm yang
sedang dirundung kebimbangan, keraguan dan kegoncangan. Ahli Kalâm itu bertanya
(kepada ahlus sunnah tadi) : ”Apa yang anda yakini?”, pria itu menjawab, ”saya
meyakini apa yang diyakini oleh kaum muslimin, yaitu yang datang dari
Kitâbullâh dan Sunnah Rasūl-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam.” Ahli Kalâm itu
bertanya kembali, ”Apakah anda merasa mantap dengan keyakinan itu dan berlapang
dada?”, pria itu menjawab, ”Iya”. Kemudian ulama ahli kalâm itu berkata,
”Adapun saya, demi Allôh saya tidak tahu apa yang saya yakini? demi Allôh saya
tidak tahu apa yang saya yakini? Demi Allôh saya tidak tahu apa yang saya
yakini?” sembari menangis tersedu-sedu hingga basah jenggotnya. (Lihat Syarhul
Aqîdah ath-Thohâwiyah hal. 246).
Hal ini disebabkan karena urusan
mereka adalah berdebat, berdiskusi dan sebagainya. Siapa saja yang
memperhatikan keadaan ahli ahwâ`, ia akan dapat memetik pelajaran dan ibrah
dari mereka, sebagaimana perkataan pepatah sebelumnya,
السعيد من اتعظ بغيره
”Seorang yang berbahagia itu
adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain”.
Ahlus sunnah dengan segala pujian
bagi Allôh adalah berada di atas sunnah, ia senantiasa meminta kepada Allôh
Tabâroka wa Ta’âlâ supaya memantapkannya di atas sunnah.
Kelima
Belas : Diantara faktor mantapnya ahlus sunnah di atas keyakinan
yang benar adalah : mereka senantiasa bersatu padu dan tidak berpecah belah. Adapun
ahli ahwâ`, mereka telah memecah belah agama mereka dan mereka
bergolong-golongan. Setiap kelompok merasa bangga dengan apa yang mereka
miliki.
Qotâdah berkata :
" لو كان أمر الخوارج هدى لاجتمع، ولكنه كان ضلالاً
فتفرق " تفسير الطبري .(178/3)
”Sekiranya khowarij itu berada di
atas petunjuk niscaya mereka akan bersatu, namun mereka berada di atas
kesesatan sehingga mereka saling berpecah belah.” (Tafsîr ath-Thobarî III/178).
Hal yang seperti ini tidaklah
sedikit terjadi pada ahli bid’ah. Adapun ahlus sunnah, mereka saling bersatu
padu dan berhimpun, tidak ada pada mereka perpecahan ataupun perselisihan di
dalam agama Allôh. Mereka berada di atas jalan yang lurus, saling berjanji,
berwasiat dan bersabar di atasnya.
Abūl Muzhoffar as-Sam’ânî berkata
:
”Diantara hal yang menunjukkan
bahwa ahli hadits itu berada di atas kebenaran adalah, sekiranya anda menelaah
semua kitab-kitab mereka yang tertulis baik dari awal sampai akhir, baik yang
terdahulu maupun yang kontemporer, walaupun negeri dan zaman mereka berbeda dan
saling berjauhan, dan tempat tinggal setiap orang dari mereka tersebar di
seluruh penjuru dunia, anda dapati bahwa mereka di dalam menjelaskan masalah
aqidah berada pada satu manhaj dan jalan.
Mereka berjalan di atas jalan
ini, tidak menyimpang dan berpaling darinya. Hati mereka satu di dalam keyakinan
tersebut, dan tidak anda dapati perselisihan dan perpecahan sedikitpun di dalam
transmisi (penukilan) mereka kecuali hanya sedikit sekali. Bahkan, sekiranya
anda mengumpulkan semua yang mereka ucapkan dan yang mereka nukil dari
pendahulu (salaf) mereka, anda dapati seakan-akan berasal dari hati dan lisan
yang satu.
Apakah benar ada dalil lain yang
lebih terang daripada ini? Allôh Ta’âlâ berfirman :
”Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al-Qur`ân? kalau kiranya Al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allôh, tentulah
mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS an-Nisâ` :82)
Dan firman-Nya :
”Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah,
orang-orang yang bersaudara.” (QS Âli Imrân : 103) [Mukhtashor ash-Showâ`iqul
Mursalah karya Ibnul Qoyyim hal. 518)
Hal ini juga merupakan diantara
faktor-faktor besar yang dapat menghantarkan ahlus sunnah mantap di atas
kebenaran dan konsisten di atas aqidah yang benar serta selamat dari
penyimpangan, keplinplanan dan perubahan.
Inilah poin terakhir yang hendak
kupaparkan penjelasannya, akan tetapi saya cukupkan sampai di sini dan akan
saya jelaskan sebagian aspek lain dari aqidah yang menjelaskan persatuan ahlus
sunnah wal jamâ’ah di atas aqidah dan jalan mereka yang satu, dari orang
pertama hingga orang terakhir mereka, apabila anda perhatikan pendapat-pendapat
mereka di zaman ini dan pendapat mereka di zaman awal, yaitu zaman Nabî
Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam, anda dapati bahwa mereka berada di atas perkara
yang satu, karena mereka mengambilnya dari sumber yang satu pula.
Imâm Mâlik rahimahullâhu berkata
:
”Segala sesuatu yang pada zaman
nabi tidak termasuk agama, maka tidak akan termasuk agama pula pada hari ini
dan tidak pula termasuk agama hingga hari kiamat. Tidak akan baik keadaan akhir
umat ini melainkan dengan baiknya umat generasi awal.”
Apabila anda memperhatikan aqidah
mereka di zaman ini juga di zaman-zaman sebelumnya, anda dapati mereka berada
di atas aqidah yang satu. Akan saya berikan beberapa contoh hal ini :
Contoh 1 : Apabila anda
mencermati aspek tauhîd dan ikhlâsh, yaitu mengikhlaskan (memurnikan) amal
hanya untuk Allôh Ta’âlâ semata, anda dapati bahwa mereka dari generasi awal
sampai akhir adalah para penyeru tauhîd, semuanya menyeru kepada pemurnian
perbuatan hanya bagi Allôh semata dan semuanya memperingatkan dari kesyirikan dan
segala bentuk peribadatan selain kepada Allôh. Tidak akan anda dapati ada
diantara mereka yang mengajak kepada kesyirikan atau menyelisihi tauhîd,
sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas ahli ahwâ`, yang menyeru kepada
berbagai bentuk penyimpangan ini dan memberikan nama dengan selain namanya.
Mereka menamakan berbagai macam kesyirikan dengan tawassul atau syafâ’at atau
selainnya.
Contoh 2 : Mereka semua
bersepakat untuk mendorong berpegang kepada sunnah dan melarang dari segala
bentuk bid’ah dan hawa nafsu. Anda tidak akan melihat seorangpun dari mereka
melainkan menyeru kepada sunnah dan memperngatkan dari bid’ah. Anda tidak akan
dapati ada diantara mereka yang menganggap baik hawa nafsunya dan mendorong
kepada bid’ah, atau ada orang yang menjelaskan bahwa ada suatu bid’ah yang baik
(hasanah), atau yang semisalnya. Hal ini tidak akan pernah ditemukan pada ahlis
sunnah. Karena seluruh ahlus sunnah dari generasi awal sampai akhir mereka
memperingatkan dari bid’ah dan hawa nafsu, dan menyeru manusia untuk berpegang
teguh dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam.
Contoh 3 : Keimana mereka kepada
Asmâ dan Shifât Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ. Anda dapati bahwa mereka dari
generasi pertama hingga akhir berada di atas manhaj yang satu, menetapkan nama
dan sifat bagi Allôh sebagaimana apa yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dan apa
yang ditetapkan oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam untuk diri-Nya.
Mereka menafikan (menolak) segala apa yang Allôh dan Rasūl-Nya Shallâllâhu
’alaihi wa Sallam nafikan bagi diri-Nya, berupa kekurangan dan sifat cela,
tanpa melakukan tahrîf (merubah makna), ta’thîl (meniadakan), takyîf
(mempertanyakan kaifiyatnya) dan tamtsîl (menyerupakan dengan makhlūq). Kaidah
mereka di dalam hal ini adalah sebagaimana yang Allôh beritakan :
”Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan-Nya dan Ia adalah Maha Mendengar lagi Melihat.” (asy-Syūrâ : 11).
Mereka semua di dalam pembahasan
ini berada di atas manhaj yang satu. Adapun selain mereka, anda dapati mereka
melakukan tahrîf, ta’thîl, takyîf dan tamtsîl atau selainnya dari metode-metode
yang beraneka ragam yang dimiliki oleh setiap madzhab dari madzhab-madzhab
(yang menyimpang) ini.
Contoh 4 : Manhaj mereka yang
satu di dalam metode ber-istidlâl (menggali dalil). Hal ini telah lalu
penjelasannya. Intinya, metode mereka di dalam istidlâl adalah satu dan
sandaran mereka juga satu, yaitu Kitâbullâh dan Sunnah Rasūlullâh Shallâllâhu
’alaihi wa Sallam.
Sebagai penutup risalah ini, saya
memohon kepada Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ dengan nama-nama-Nya yang indah dan
sifat-sifat-Nya yang tinggi agar mejadikanku dan anda sekalian sebagai
hamba-hamba-Nya yang shâlih, mengkaruniakan kita semua untuk senantiasa
berpegang teguh dengan sunnah dan meneladani atsar salaful ummah, menjauhkan
kita dari hawa nafsu dan bid’ah, menganugerahkan kita aqidah yang benar, iman
yang selamat, perangai yang lurus dan adab serta akhlaq yang baik, memberikan
kita semua taufiq-Nya, memberikan petunjuk kepada kita semua kepada jalan yang
lurus dan menjadikan kita termasuk orang yang memberikan petunjuk dan diberi
petunjuk, orang yang mendengarkan suatu ucapan dan mengikuti yang terbaik
darinya, karena sesungguhnya Allôh adalah berkuasa dan mampu untuk melakukan
hal ini.
Semoga Sholawât, Salam,
keberkahan dan kenikmatan Allôh senantiasa terlimpahkan kepada utusan dan
hamba-Nya Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau.
[Risalah ini asalnya merupakan
ceramah yang saya sampaikan pada tanggal 7/3/1420 H, kemudian ditranskrip dari
kaset dan dilakukan beberapa pembenahan ringan dan saya biarkan dalam ushlub
(gaya) ceramah. Hanya Allôh sematalah yang maha memberikan taufiq.]
Silakan menyebarkan risalah ini
dalam bentuk apa saja selama menyebutkan sumber, tidak merubah content dan
makna serta tidak untuk tujuan komersial.
______________
Terjemah : Mohammad Abu Salma
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
Homapage :
http://abusalma.wordpress.com
Sumber: IslamHouse.Com
Sumber: IslamHouse.Com
0 komentar:
Posting Komentar