Makna Istilah Tafsir
Secara bahasa tafsir bermakna
menyingkap sesuatu yang tertutupi. Adapun menurut istilah para ulama, yang
dimaksud dengan tafsir adalah menerangkan kandungan makna al-Qur'an al-Karim
(lihat Ushul fi at-Tafsir, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah,
hal. 25)
Tujuan Mempelajari Tafsir
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah menerangkan, bahwa tujuan mempelajari tafsir adalah untuk
menggapai maksud yang terpuji dan memetik faidah yang agung yaitu: membenarkan berita-berita yang terkandung di
dalamnya, memetik manfaat darinya, dan menerapkan hukum-hukumnya sebagaimana
yang dikehendaki oleh Allah. Dengan demikian, seorang hamba akan bisa beribadah
kepada Allah di atas landasan bashirah/ilmu (lihat Ushul fi at-Tafsir,
hal. 26)
Hukum Mempelajari Tafsir
Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), “(Ini adalah) Sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad)
yang penuh dengan berkah agar supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya
orang-orang yang memiliki akal pikiran mau mengambil pelajaran darinya.” (QS.
Shaad: 29)
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan
bahwa mempelajari ilmu tafsir adalah wajib. Sebab hikmah diturunkannya
al-Qur'an ini adalah untuk direnungkan oleh umat manusia dan supaya mereka bisa
memetik pelajaran-pelajaran yang tersimpan di dalamnya. Sedangkan tadabbur itu
sendiri adalah sebuah usaha mencermati lafal-lafalnya untuk mencapai kandungan
makna yang tersimpan di dalamnya. Apabila tidak demikian niscaya hikmah
diturunkannya al-Qur'an menjadi sirna. Sehingga al-Qur'an hanya akan menjadi
lafal-lafal yang tidak meninggalkan bekas pengaruh apapun dalam diri manusia.
Sebab tidak mungkin bisa memetik pelajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an
jika seorang tidak memahami kandungan makna-maknanya (lihat Ushul fi
at-Tafsir, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 25)
Kaitan Ilmu Tafsir Dengan
Ilmu Tauhid
Para ulama menjelaskan, bahwa
sesungguhnya ayat-ayat al-Qur'an jika dicermati secara seksama maka ia tidak
pernah keluar dari pembicaraan seputar tauhid. Sebab, ayat al-Qur'an itu
terdiri dari beberapa bentuk pembahasan:
- Ayat-ayat yang berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang biasa dikenal dengan istilah tauhid al-'ilmi al-khabari (tauhid ini telah mencakup tauhid rububiyah dan tauhid asma' wa shifat)
- Ayat-ayat yang berisi seruan untuk beribadah kepada Allah semata dan ajakan untuk mencampakkan segala sesembahan selain-Nya. Inilah yang biasa disebut dengan istilah tauhid al-iradi ath-thalabi (disebut juga tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah)
- Ayat-ayat yang berisi perintah dan larangan serta pengharusan untuk taat kepada-Nya, maka ini merupakan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya (huquuqut tauhid wa mukammilaatuhu). Inilah yang biasa dikenal dengan hukum syari'at atau fikih
- Ayat-ayat yang berisi pemberitaan mengenai kemuliaan yang Allah berikan kepada orang-orang yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah berikan kepada mereka sewaktu di dunia dan apa yang Allah karuniakan kepada mereka kelak di akhirat. Maka itu semua merupakan balasan atas ketauhidan yang telah diwujudkan oleh mereka selama hidup di dunia
- Ayat-ayat yang berisi berita tentang orang-orang musyrik serta hukuman yang Allah timpakan kepada mereka ketika di dunia dan siksaan yang Allah berikan untuk mereka kelak di akhirat. Maka ini merupakan balasan setimpal bagi orang yang menyimpang dari hukum tauhid (lihat Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah karya Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi, hal. 89 takhrij Syaikh al-Albani dan Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan, hal. 15)
Kaitan Surat al-Fatihah
Dengan Ilmu Tauhid
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “al-Fatihah adalah Ummul Qur'an (Induk al-Qur'an); dikarenakan seluruh
maksud ajaran al-Qur'an terkandung di dalamnya. Ia telah mencakup tiga macam
tauhid. Ia juga mencakup penetapan risalah, hari akhir, jalan para rasul dan
jalan orang-orang yang menyelisihi mereka. Segala perkara yang terkait dengan
pokok-pokok syari'at telah terkandung di dalam surat ini. Oleh karena itu ia
disebut dengan Ummul Qur'an.” (lihat Syarh al-Mumti' [2/82])
Imam Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi rahimahullah
memaparkan, bahwa seluruh al-Qur'an adalah membicarakan tentang tauhid,
hak-haknya, balasan atasnya, dan juga membicarakan tentang syirik, pelakunya
dan hukuman untuk mereka. Maka, Alhamdulillahi Rabbil 'alamin mengandung
ajaran tauhid. Ar-Rahmanir Rahim juga mengandung ajaran tauhid. Maaliki
yaumid diin mengandung ajaran tauhid. Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in
pun berbicara tentang tauhid. Ihdinash shirathal mustaqim mengajarkan
tauhid yang di dalamnya berisi permohonan petunjuk menuju jalan orang yang
bertauhid. Mereka itulah Alladzina an'amta 'alaihim. Bukan jalan
maghdhubi 'alaihim wa ladh dhaalliin yaitu orang-orang memisahkan diri dari
tauhid (lihat Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 89-90)
Rujukan Dalam Menafsirkan
al-Qur'an
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa penafsiran al-Qur'an dapat
diperoleh dengan bersandar kepada hal-hal berikut:
- Kalam Allah (al-Qur'an itu sendiri), yaitu suatu ayat ditafsirkan oleh ayat yang lain. Karena Allah yang menurunkan al-Qur'an maka Allah pula yang paling mengetahui apa yang Dia maksud dengan firman-Nya
- Perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu al-Qur'an ditafsirkan dengan as-Sunnah atau hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena beliau adalah orang yang menyampaikan wahyu Allah tersebut kepada umat manusia, maka beliau lah orang yang paling mengetahui tentang makna yang dimaksud oleh firman Allah
- Perkataan para sahabat radhiyallahu'anhum, terutama ahli tafsir diantara mereka. Karena al-Qur'an itu turun dengan bahasa mereka dan di masa mereka hidup. Mereka juga adalah orang-orang yang paling tulus dalam mencari kebenaran dan paling bersih dari penyimpangan-penyimpangan yang menjadi sebab seorang terhalang dari taufik kepada kebenaran
- Perkataan para tabi'in yang memiliki perhatian besar terhadap periwayatan tafsir dari kalangan para sahabat radhiyallahu'anhum. Karena umat manusia yang terbaik setelah para sahabat adalah para tabi'in dan mereka itu lebih bersih dari kotoran penyimpangan daripada generasi sesudah mereka. Selain itu, pada masa tabi'in juga belum terjadi banyak pergeseran dan perubahan dalam bahasa arab. Oleh sebab itulah para tabi'in lebih mendekati kebenaran dibandingkan generasi sesudah mereka. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berpaling dari madzhab para sahabat dan tabi'in serta penafsiran mereka kepada pemahaman yang bertentangan dengannya maka dia adalah orang yang berbuat kekeliruan dalam hal itu, bahkan tergolong pelaku kebid'ahan, walaupun dia seorang mujtahid yang boleh jadi kesalahannya itu mendapatkan ampunan.”
- Penunjukan makna secara syari'at maupun secara bahasa yang terkandung di dalam ayat sesuai dengan konteks pembicaraannya. Apabila terdapat perbedaan antara makna suatu kata dalam istilah syari'at dan pengertian bahasa maka yang lebih didahulukan adalah pemaknaan menurut syari'at karena al-Qur'an diturunkan untuk menjelaskan syari'at, bukan untuk menjelaskan bahasa, kecuali apabila terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut memang pemaknaan secara bahasa maka makna itulah yang diambil (lihat Ushul fi at-Tafsir karya Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah, hal. 27-29)
Ahli Tafsir Diantara Para
Sahabat dan Tabi'in
Diantara para sahabat yang masyhur
sebagai ahli tafsir adalah keempat khalifah sesudah Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam. Hanya saja riwayat tafsir dari ketiga khalifah yang pertama
tidak sebanyak riwayat tafsir yang dibawakan oleh 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu.
Hal itu dikarenakan pada masanya mereka tersibukkan dengan urusan khilafah,
sedikitnya kebutuhan periwayatan pada masa itu, dan masih banyak orang yang
memahami tafsir. Para sahabat lain yang terkenal sebagai ahli tafsir di
kalangan para sahabat adalah Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu'anhuma
(lihat Ushul fi at-Tafsir, hal. 33-34)
Adapun para ulama tafsir di kalangan
tabi'in cukup banyak, diantara mereka adalah:
- Para ulama Mekah yang berguru kepada Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma, semacam Mujahid, 'Ikrimah, dan 'Atha' bin Abi Rabah
- Para ulama Madinah yang berguru kepada Ubay bin Ka'ab radhiyallahu'anhu, semacam Zaid bin Aslam, Abul 'Aliyah, dan Muhammad bin Ka'ab al-Qardhi.
- Para ulama Kufah yang berguru kepada Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu, semacam Qotadah, 'Alqomah, dan asy-Sya'bi (lihat Ushul fi at-Tafsir, hal. 37)
Metode Pengambilan Tafsir
Abu Abdirrahman as-Sulami berkata,
“Para sahabat yang mengajarkan bacaan al-Qur'an kepada kami seperti 'Utsman bin
'Affan, Abdullah bin Mas'ud dan lain-lain menuturkan kepada kami, bahwasanya
dahulu apabila mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam, maka mereka tidaklah melewatinya kecuali setelah mereka pelajari
pula kandungan ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka berkata: Maka
kami mempalajari al-Qur'an, ilmu, dan amal sekaligus secara bersamaan.” (lihat Ushul
fi at-Tafsir oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 26)
Syaikh as-Sa'di rahimahullah
menjelaskan, bahwa al-Qur'an ini diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi
seluruh manusia dan pemberi arahan bagi mereka. Pada segala waktu dan masa ia
akan tetap menunjukkan kepada kebaikan dan kebenaran. Oleh sebab itu, wajib
bagi kaum muslimin untuk menerima dan mengambil pelajaran dari Kalam Allah
sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu'anhum.
Sesungguhnya para sahabat, apabila membaca kurang lebih sepuluh ayat, maka
mereka tidaklah melampauinya kecuali setelah memahami keimanan, ilmu, dan
amalan yang terkandung di dalamnya. Sehingga mereka pun mengejawantahkan
kandungan ayat-ayat tersebut ke dalam realitas kehidupan. Apabila ayat itu
berisi berita, maka mereka pun meyakini kebenarannya. Apabila ayat itu berisi
perintah dan larangan, maka mereka pun menundukkan hawa nafsu mereka kepadanya.
Mereka berusaha untuk menerapkan kandungan ayat-ayat tersebut kepada segala
kenyataan dan kejadian yang mereka saksikan, baik yang mereka alami sendiri
ataupun yang dialami oleh orang lain. Setelah itu, mereka berusaha
berintrospeksi diri; apakah mereka sudah melaksanakan kandungan ayat-ayat
tersebut dengan baik ataukah justru sebaliknya? Kemudian, mereka mencari cara
untuk bisa konsisten dalam melaksanakan amal-amal yang bermanfaat dan bagaimana
agar bisa menyempurnakan kekurangan yang masih melekat pada dirinya. Mereka pun
mencari cara untuk bisa terbebas dari hal-hal yang membahayakan dan
mencelakakan dirinya. Dengan cara itulah para sahabat bisa memetik hidayah dari
ilmu-ilmu yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut. Mereka berakhlak
dengannya dan beradab dengan adab yang diajarkan olehnya. Mereka meyakini,
bahwa al-Qur'an ini adalah ucapan dari Dzat Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib
maupun yang tampak, suatu ucapan yang ditujukan oleh Allah kepada mereka,
sehingga mereka tertuntut untuk memahami makna-maknanya dan mengamalkan
ajaran-ajarannya. Inilah metode para sahabat dalam memahami tafsir (lihat al-Qawa'id
al-Hisan al-Muta'alliqatu bi Tafsir al-Qur'an, hal. 17-18)
Hukum Menafsirkan Dengan
Logika Belaka
Imam al-Qurthubi rahimahullah
membawakan riwayat dari Imam Tirmidzi, dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma,
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Barangsiapa
yang berbicara tentang al-Qur'an dengan logikanya semata hendaklah dia
mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2951, beliau
mengatakan: hadits hasan).
Imam al-Qurthubi menjelaskan, bahwa
maksud dari hadits ini adalah; barangsiapa yang berbicara tentang al-Qur'an
-menafsirkan al-Qur'an- dengan mengemukakan suatu pendapat yang dia mengetahui
bahwasanya kebenaran bertentangan dengan pendapatnya itu maka hendaklah dia
menempati tempat duduknya di neraka. Namun, tidaklah termasuk dalam larangan
ini siapa saja yang menafsirkan al-Qur'an berdasarkan kompetensi ilmu syari'at
yang dikuasainya, seperti penafsiran dari sisi bahasa, dari sisi ilmu nahwu,
dari sisi fikih dan lain sebagainya yang berlandaskan pada kaidah-kaidah
ilmiah, karena orang yang menafsirkan al-Qur'an dengan landasan ilmu-ilmu
tersebut tidaklah disebut sebagai orang yang menafsirkan al-Qur'an semata-mata
dengan logika (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an karya Imam al-Qurthubi rahimahullah
[1/57-58])
Cara Salafus Shalih
Mempelajari al-Qur'an dan as-Sunnah
Imam al-Hakim di dalam al-Mustadrak
dan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman meriwayatkan, dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu.
Beliau berkata, “Dahulu kami -para sahabat- apabila belajar kepada Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam sepuluh ayat, maka kami tidaklah mempelajari sepuluh ayat
lain yang diturunkan berikutnya kecuali setelah kami pelajari apa yang
terkandung di dalamnya.” Hadits ini disahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi
menyepakatinya (lihat catatan kaki al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [1/68])
Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dengan
sanadnya di dalam al-Mushannaf, dari Abu Abdirrahman as-Sulami. Beliau
berkata, “Dahulu apabila kami mempelajari sepuluh ayat al-Qur'an, maka tidaklah
kami mempelajari sepuluh ayat berikutnya sampai kami memahami kandungan halal
dan haram, serta perintah dan larangan yang terdapat di dalamnya.” (lihat al-Jami'
li Ahkam al-Qur'an [1/68])
Imam Abu Bakar al-Anbari
meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu.
Beliau berkata, “Sesungguhnya kami mengalami kesulitan dalam menghafalkan
al-Qur'an tetapi mudah bagi kami mengamalkannya. Dan kelak akan datang kaum
setelah kami, ketika itu begitu mudah menghafalkan al-Qur'an tetapi sulit bagi
mereka mengamalkannya.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [1/69])
Imam al-Qurthubi rahimahullah
mengatakan, “Ulama hadits berpesan, tidak semestinya seorang penimba ilmu
hadits mencukupkan diri dengan mendengar dan mencatat hadits tanpa mengetahui
dan memahami kandungannya. Sebab hal itu akan membuang tenaganya dalam keadaan
dia tidak mendapatkan apa-apa. Hendaknya dia menghafalkan hadits secara
bertahap. Sedikit demi sedikit seiring dengan perjalanan siang dan malam.”
(lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [1/70])
Ma'mar mengatakan: Aku pernah
mendengar az-Zuhri mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu secara instan
maka ia akan hilang dengan cepat. Sesungguhnya ilmu hanya akan diperoleh dengan
menekuni satu atau dua hadits, sedikit demi sedikit.” (lihat al-Jami' li
Ahkam al-Qur'an [1/70])
Tatkala begitu banyak orang yang
menimba hadits pada masa al-A'masy maka ada yang berkata kepada beliau, “Wahai
Abu Muhammad, lihatlah mereka?! Betapa banyak jumlah mereka!!”. Maka beliau
menjawab, “Janganlah kamu lihat kepada banyaknya jumlah mereka. Sepertiganya
akan mati. Sepertiga lagi akan disibukkan dengan pekerjaan. Dan sepertiganya
lagi, dari setiap seratus orang hanya akan ada satu orang yang berhasil
-menjadi ulama-.” (lihat Nasha'ih Manhajiyah li Thalib 'Ilmi as-Sunnah
an-Nabawiyah oleh Hatim bin 'Arif al-'Auni hafizhahullah, hal. 28)
Imam asy-Syafi'i rahimahullah
berkata, “Barangsiapa yang menuntut suatu ilmu hendaklah dia mendalaminya
dengan baik, supaya ilmu-ilmu yang rumit tidak menjadi sirna.” (lihat Nasha'ih
Manhajiyah li Thalib 'Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 28)
Suatu saat Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah
dicela karena sedemikian sering mencari hadits. Beliau pun ditanya, “Sampai
kapan kamu akan terus mendengar hadits?”. Beliau menjawab, “Sampai mati.”
(lihat Nasha'ih Manhajiyah, hal. 58)
Demikian yang bisa kami sajikan ke
tengah pembaca pada kesempatan ini. Mudah-mudahan bisa menambah ilmu dan
pemahaman kita terhadap agama yang mulia ini. Dan semoga bisa menjadi ilmu yang
bermanfaat. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa
sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.
Kitab-Kitab Tafsir
Berikut
ini adalah kitab-kitab tafsir (buku-buku tafsir):
- Jaami’ul Bayaan fii Ta’wiilil Qur-aan, karya Imam ath-Thabari (wafat th. 310 H).
- Tafsiir al-Qur-aanil ‘Azhiim, karya Imam Ibnu Katsir.
- Umdatut Tafsiir-Mukhtashar Tafsiir al-Qur-aanil Azhim, karya Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir.
- Taisiirul Karimir Rahman fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan, karya Syaikh Abdurrahman as-Sa’di (wafat th. 1376 H).
- Adhwaa-ul Bayaan, karya al-‘Allamah Muhammad asy-Syanqithi (wafat th. 1393 H).
- Aisaarut Tafaasiir, karya Abu Bakar Jabir al-Jaza-iri.
- Muqaddimah Ushuulut Tafsiir, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Fat-hul Qadiir, karya Imam asy-Syaukani.
- Zubdatut Tafsiir, karya Syaikh Sulaiman al-Asyqar.
- At-Tas-hiil li Ta’wiili at-Tanziil, karya Syaikh Abu Abdillah Mushtafa al-Adawi.
- Dan kitab-kitab lainnya.
[Oleh : Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi dalam bentuk eBook]
0 komentar:
Posting Komentar