10 Faidah Seputar Aqidah (Oleh: Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan)
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
1. Hakikat Iman
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali
supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan kepada-Nya agama
secara lurus, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang
lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Ayat ini menunjukkan bahwa iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan
keyakinan. Karena Allah menamakan perkara-perkara ini sebagai agama yang
lurus. Istilah agama dan iman adalah semakna. Yang dimaksud dengan
agama yang lurus adalah millah/ajaran yang benar.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 181)
2. Unsur Keimanan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang. Yang tertinggi
adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan. Bahkan, rasa malu juga merupakan salah satu cabang
keimanan.” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Beliau menjadikan perkara-perkara ini semuanya sebagai bagian
dari iman. Yaitu ucapan laa ilaha illallah, ini adalah ucapan.
Menyingkirkan gangguan dari jalan, ini adalah amalan. Dan rasa malu
sebagai cabang keimanan, maka ini adalah keyakinan…” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 181)
3. Fluktuasi Iman
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
ialah yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka,
dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya mereka maka
bertambahlah keimanan mereka, dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb
mereka.” (QS. al-Anfal: 2).
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Ayat ini menunjukkan bahwa iman itu bertambah. Apabila seorang insan
mendengar al-Qur’an maka bertambahlah imannya. Dan apabila dia jauh dari
al-Qur’an maka berkuranglah imannya.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 175)
4. Tujuan Penciptaan
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
mengatakan, “Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku- adalah agar
mereka mengesakan Aku (Allah, pent) dalam beribadah. Atau dengan
ungkapan lain ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya adalah agar
mereka mentauhidkan Aku; karena tauhid dan ibadah itu adalah sama (tidak
bisa dipisahkan, pent).” (lihat I’anat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/33])
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Dia
(Allah) tidaklah membutuhkan ibadahmu. Seandainya kamu kafir maka
kerajaan Allah tidak akan berkurang. Bahkan, kamulah yang membutuhkan
diri-Nya. Kamulah yang memerlukan ibadah itu. Salah satu bentuk kasih
sayang Allah adalah dengan memerintahkanmu beribadah kepada-Nya demi
kemaslahatan dirimu sendiri. Jika kamu beribadah kepada-Nya, maka Allah subhanahu wa ta’ala
akan memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Ibadah menjadi sebab Allah
memuliakan kedudukanmu di dunia dan di akherat. Jadi, siapakah yang
memetik manfaat dari ibadah? Yang memetik manfaat dari ibadah adalah
hamba. Adapun Allah jalla wa ‘ala, Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya.”(lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 15-16)
5. Asas Agama Islam
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan
larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi
dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat
laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat
yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal
atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan
bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan
meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)
6. Tiga Pilar Ibadah
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu harus mengandung unsur
perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini mengandung tiga pilar; cinta,
harap, dan takut. Ketiga unsur ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya
bergantung kepada salah satu unsur saja maka dia belum dianggap
beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Beribadah kepada Allah dengan
modal cinta saja, maka ini adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya
dengan modal rasa harap semata, maka ini adalah metode kaum Murji’ah.
Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini
adalah jalannya kaum Khawarij.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35)
7. Tauhid Rububiyah Tidak Cukup
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Sebagaimana pula wajib diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid
rububiyah saja tidaklah mencukupi dan tidak bermanfaat kecuali apabila
disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah (mengesakan Allah dalam
beribadah) dan benar-benar merealisasikannya dengan ucapan, amalan, dan
keyakinan…” (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).
8. Landasan Kecintaan
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Kecintaan merupakan pokok agama Islam yang menjadi poros
segala ajaran agama. Dengan kesempurnaan cinta maka sempurnalah agama
islam, dan dengan berkurangnya cinta maka berkuranglah tauhid seorang
insan. Yang dimaksud dengan cinta di sini adalah kecintaaan penghambaan
yang mengandung perendahan diri dan ketundukan serta ketaatan secara
mutlak dan lebih mendahulukan sosok yang dicintai dari segala sesuatu
selain-Nya. Kecintaan semacam ini murni untuk Allah, tidak boleh
dipersekutukan dengan-Nya dalam hal ini sesuatu apapun.”(lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 84)
9. Maqam Tauhid Yang Tertinggi
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Tawakal kepada Allah adalah sebuah kewajiban yang harus
diikhlaskan (dimurnikan) untuk Allah semata. Ia merupakan jenis ibadah
yang paling komprehensif, maqam/kedudukan tauhid yang tertinggi,
teragung, dan termulia. Karena dari tawakal itulah tumbuh berbagai amal
salih. Sebab apabila seorang hamba bersandar kepada Allah semata dalam
semua urusan agama maupun dunianya, tidak kepada selain-Nya, niscaya
keikhlasan dan interaksinya dengan Allah pun menjadi benar.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 91)
10. Larangan Provokasi
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam bentuk
mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling
parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu
dengan mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam
berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini
akan menyulut keresahan masyarakat dan menggiring mereka menuju
pemberontakan terhadap penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan
pemerintah di mata rakyat. Ini artinya, pemberontakan juga bisa terjadi
dalam bentuk ucapan/provokasi.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 272)
Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Sumber: http://abumushlih.com/
0 komentar:
Posting Komentar