Karya: Syaikh Abdurrozzaq bin Abdul
Muhsin al-Badr خفظه الله
Muqoddimah
Sesungguhnya segala pujian itu hanya milik Allah Ta'ala, kita
memuji, minta pertolongan dan ampunan kepada-Nya, dan kita berlindung dari keburukan
diri-diri kita dan dari kejelekan amalan-amalan kita. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh-Nya maka dialah orang yang telah mendapat petunjuk dan
barangsiapa disesatkan maka tidak ada petunjuk baginya. Aku bersaksi bahwa
tidak ada Illah yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah
semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Aku juga bersaksi bahwasannya Muhammad
adalah seorang hamba dan rasul-Nya. Shalawat dan salam semoga terlimpah
kepadanya, beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. Amma ba'du:
Buku ini membahas berbagai hal yang berkaitan dengan masalah
istiqomah, dan pembahasan tentang istiqomah adalah pembahasan yang sangat
penting dan memiliki kedudukan yang besar. Oleh karena itu setiap dari diri
kita harus selalu memperhatikannya dan memberikan porsi yang besar dan
kesungguhan serta penjagaan. Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ.
أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاء بِمَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan
Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah. Maka tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. mereka
Itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai Balasan atas
apa yang telah mereka kerjakan ". (QS. Al-Ahqaaf/46:13- 14)
Dalam surat Fushshilat Allah Ta'ala juga berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا
تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ
تُوعَدُونَ. نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ.
نُزُلاً مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ
" Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan
Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka
Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut
dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah
dijanjikan Allah kepadamu". kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan
dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan
memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu)
dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ". (QS.
Fushshilat/41:30-32)
Sifat istiqomah akan menjadikan seorang muslim meraih
kebahagian baik ketika di dunia maupun di akhirat. Dengannya pula seorang hamba
akan meraih kemenangan dalam bergulat
dengan fitnah yang banyak sekali, bahkan istiqomah mengakibatkan kesudahan yang
baik dari segala urusanya.
Maka penasehat yang jujur, yang ingin menasehati dirinya
untuk dapat memperoleh kebahagiaan yang di inginkanya maka hendaknya dia
memperhatikan masalah keistiqomahanya dengan porsi perhatian yang besar baik
dari sisi ilmu maupun pengamalannya, dan
setelah itu ia tetap teguh denganya sampai ajal menjemputnya. Dengan
menyandarkan diri kepada Allah Ta'ala
serta selalu meminta pertolongan dari-Nya Tabaraka wa Ta'ala.
Dari kebanyakan pertanyaan yang muncul dari manusia kepada
ahli ilmu (ulama.pent), para penuntut ilmu serta juru dakwah dan orang-orang
yang sholeh adalah yang berkaitan dengan masalah istiqomah, tentang hakekatnya
dan perkara-perkara yang bisa membantu untuk bisa tetap teguh dijalan Allah
yang lurus, serta serba-serbi lainya yang berkaitan dengan masalah ini.
Maka berawal dari itu saya melihat bahwa akan sangat bermanfaat sekali, baik untuk diri
saya pribadi atau untuk para saudaraku untuk mengumpulkan beberapa kaidah
penting yang mencakup keseluruhannya dalam masalah istiqomah ini. Yang nantinya
bisa menjadi penerang bagi kita dan petunjuk setelah membaca dan memperhatikan
serta mendengar perkataannya pada ulama tentang masalah istiqomah dan yang
berkaitan dengannya. Maka disini saya akan menyebutkan kaidah-kaidah yang agung
dalam masalah istiqomah. Yang mana itu semua merupakan kaidah-kaidah yang
sangat penting yang diperlukan oleh setiap orang muslim agar selalu menjaganya.
Dan hanya kepada Allah semata saya meminta pertolongan dan taufiq-Nya.
Kaidah Pertama:
Istiqomah adalah Anugerah
Ilahiyyah dan Hadiah Rabbaniyyah
Didalam ayat-ayat yang sangat banyak dari Kitabullah, Allah عزّوجلّ sering kali
menyandarkan kepada dirinya Hidayah (petunjuk.pent) kepada jalan-Nya yang
lurus. Bahwa setiap perkara semua ada ditangan-Nya عزّوجلّ yang mana Allah
memberi petunjuk kepada siapa yang di kehendaki-Nya dan menyesatkan siapa yang
di kehendaki-Nya. Di tangan Allah lah hati-hati setiap hamba-Nya, siapa yang di
kehendaki maka dia ditetapkan berada dijalan-Nya dan siapa yang di kehendaki
maka dia di palingkan dari jalan-Nya.
Allah Ta'ala berfirman:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ
أَنِ اقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُواْ مِن دِيَارِكُم مَّا فَعَلُوهُ
إِلاَّ قَلِيلٌ مِّنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُواْ مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ
خَيْراً لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتا. وَإِذاً لَّآتَيْنَاهُم مِّن لَّدُنَّـا
أَجْراً عَظِيماً. وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطاً مُّسْتَقِيماً
"Dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:
"Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka
tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan Sesungguhnya
kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal
yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).
Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari
sisi Kami, Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus". (QS.
an-Nisaa’/4:66-68)
Maka Hidayah (petunjuk) kepada jalan-Nya itu ada ditangan
Allah عزّوجلّ,
Allah Ta'ala berfirman:
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُواْ بِاللّهِ
وَاعْتَصَمُواْ بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِّنْهُ وَفَضْلٍ
وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطاً مُّسْتَقِيماً
"Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan
berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke
dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. dan
menunjuki mereka kepada jalan yang Lurus (untuk sampai) kepada-Nya". (QS.
an-Nisaa’/4:175)
Dalam ayat yang lain Allah Ta'ala berfirman:
وَاللّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ
السَّلاَمِ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
"Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan
menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang Lurus (Islam)".
(QS. Yunus/10:25)
Allah Ta'ala juga berfirman:
وَالَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا
صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ مَن يَشَإِ اللّهُ يُضْلِلْهُ وَمَن يَشَأْ
يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
"Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah
pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah
(kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya, dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah
(untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan
yang lurus". (QS. al-An'am/6:39)
Allah عزّوجلّ juga berfirman:
لَقَدْ أَنزَلْنَا آيَاتٍ
مُّبَيِّنَاتٍ وَاللَّهُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang
menjelaskan dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus ". (QS. an-Nuur/24:46)
Allah Ta'ala berfirman:
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ
لِّلْعَالَمِينَ. لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ. وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا
أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
"Al Qur'an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi
semesta alam. (yaitu) bagi siapa di
antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.. dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan
semesta alam". (QS at-Takwir/81:27-29)
Masih banyak ayat yang semakna dengan ini, maka dari itu bisa
diambil kesimpulan bahwa Hidayah itu, semuanya ada di tangan Allah عزّوجلّ yang Allah
Ta'ala berikan kepada siapa yang dikehendaki dari hamba-Nya.
Oleh karena ini saya jadikan hal tersebut sebagai kaidah
pertama tentang istiqomah. Dan pondasinya tidak lain adalah menghadap kepada
Allah Ta'ala dengan penuh kejujuran untuk bisa meraihnya karena semuanya ada
ditangan-Nya dan Allah سبحانه و تعالى adalah pemberi petunjuk kepada
jalan-Nya yang lurus.
Ummu Salamah رضي الله عنها pernah berkata:
"Saya pernah bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم,
Wahai Rasulallah! Apakah hati itu bisa terbolak balik? Beliau menjawab:
إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِيٌّ إِلَّا
وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ
وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
"Iya, Tidak ada seorangpun dari anak cucu Adam kecuali
hatinya itu berada diantara jari-jemarinya Allah, jika Allah menghendaki maka
di tetapkan pada (jalan-Nya), jika Allah menghendaki maka di palingkan (dari
jalan-Nya)". (HR. Ahmad no: 26576. at-Tirmidzi no: 3522 dan Beliau
menghasankannya. Lihat ash-Shahihah al-Albani no: 2091)
Istiqomah itu ada di tangan Allah, siapa yang menginginkannya
maka mintalah kepada-Nya, dan bersungguh-sunguhlah di dalam memintanya. Dan
telah tsabit (tetap) di dalam Shahih Muslim dari haditsnya Aisyah رضي الله عنها, bahwasannya
dia pernah di tanya: "Dengan suatu (bacaan) apakah Nabi صلى الله عليه وسلم
itu memulai sholat malamnya? Maka Aisyah رضي الله عنها menjawab:
"Jika Beliau bangun pada malam hari maka beliau memulai bacaan sholat
malamnya dengan membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ
وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ
تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
"Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil, pencipta
langit dan bumi. Wahai, Tuhan yang mengetahui perkara yang ghaib dan perkara
yang nampak. Engkau yang menghukumi di antara hamba-hambamu atas apa yang
mereka perselisihkan. Tunjukanlah aku kepada kebenaran apa yang menjadi
perselihan dengan seizinMu. Sesungguhnya Engkau Maha yang memberi petunjuk
kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus".
Dengan do'a inilah Rasulullah صلى الله عليه وسلم
membacanya pada setiap malam ketika Beliau memulai sholat malamnya:
"Sesungguhnya Engkau Maha yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau
kehendaki kepada jalan yang lurus".
Manakala inilah yang di cari yaitu meminta hidayah kepada
Allah عزّوجلّ
yang merupakan hal yang paling besar dan
yang paling mulia untuk selalu dicari maka Allah سبحانه و تعالى mewajibkan
kepada para hamba-Nya agar mereka meminta hidayah serta petunjuk kepada
jalan-Nya yang lurus, yang mana hal tersebut rutin berulang-ulang dalam sehari
semalam, semua itu ada di dalam surat al-Fatihah, Allah berfirman:
اهدِنَــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ.
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ
الضَّالِّينَ
"Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat". (QS.
al-Fatihah/1:6-7)
Sebagian ulama mengatakan: "Hendaknya orang-orang awam memperhatikan
do'a ini, ketika dia mengatakan: Tunjukilah Kami jalan yang lurus. Maka kamu
sekarang sedang menyeru kepada Allah Ta'ala dengan do'a yang Allah wajibkan
atasmu sebanyak tujuh belas kali dalam sehari semalam sebanyak bilangan raka'at
dalam sholat wajib".
Oleh karena itu hendaknya seorang muslim selalu menghadirkan
dalam hatinya bahwa kalimat tersebut adalah suatu do'a. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah رحمه
الله pernah mengatakan: "Saya telah meneliti do'a apa yang
paling bermanfaat, maka saya temukan bahwa do'a tersebut adalah meminta
pertolongan diatas ridho Ilahi, kemudian saya melihat bahwa itu semua ada di
dalam surat al-Fatihah dalam sebuah ayat yang berbunyi:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ
"Hanya Engkaulah yang Kami ibadahi, dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan". (QS al-Fatihah/1:5)
Beliau melanjutkan: "Seorang hamba diperintahkan untuk
selalu membiasakan meminta kepada Allah عزّوجلّ jalan hidayah
kepada keistiqomahan".
Maka pada intinya kamu selalu di tuntut mulai dari dirimu
sendiri agar senantiasa terbiasa dengan do'a yang agung ini, berdo'a kepada
Allah untuk mendapat hidayah agar selalu ditetapkan di dalam istiqomah.
Yang mana itu ada dalam surat
al-Fatihah.
Adalah Imam Hasan al-Basri رحمه الله jika membaca
firman Allah Ta'ala :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan
Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah.." (QS.
al-Ahqaaf/46:13) Beliau lalu berdo'a: Ya Allah Engkaulah Rabb kami, berilah
kami rizki untuk selalu di atas keistiqomahan".
Kaidah Kedua:
Istiqomah yang Hakiki
Adalah Berpegang diatas Manhaj (Metode atau Cara) yang Tegak dan Berjalan diatas
Jalan yang Lurus
Kita bisa mengambil petunjuk untuk bisa memahami istiqomah
yang hakiki dengan meneliti serta memahami penukilan-penukilan yang berbarakah
dari perkataanya para sahabat dan
tabi'in serta orang-orang yang mengikuti cara mereka dengan baik di
dalam menjelaskan makna istiqomah serta penjabarannya. Berikut nukilan dari
perkataannya mereka:
Telah berkata Shodiqul Ummah (orang yang jujur dalam umat
ini) Abu Bakar رضي الله عنه di dalam tafsir firman Allah
Ta'ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan
Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah.." (QS.
al-Ahqaaf/46:13) Beliau mengatakan: "Mereka adalah orang-orang yang tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun".
Dan di riwayatkan dari Umar bin al-Khattab رضي الله عنه bahwasannya
beliau jika membaca ayat ini di atas mimbar. Beliau mengatakan: "Mereka
tidak mengaung seperti aungan srigala"
(diriwayatkan oleh Thabrani dalam tafsir-nya [21/465])
Dan di riwayatkan dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما pada makna
firman Allah Ta'ala :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan
Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah.." (QS.
al-Ahqaaf/46:13) Beliau mengatakan: "Diatas kalimat syahadah (persaksian) laa ilaha ilaa
allah".
Demikian pula di riwayatkan semisal ini dari Anas, Mujahid,
al-Aswad bin Hilal, Zaid bin Aslam as-Sudi, Ikrimah dan selain mereka. Demikian
pula di riwayatkan dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما ketika
menafsirkan makna ayat di atas, beliau
mengatakan: "Mereka beristiqomah di atas faraid (kewajiban-kewajiban.pent)
yang mereka kerjakan".
Abu Aliyah رحمه الله mengatakan:
"Kemudian mereka mengikhlaskan agama serta amalannya kepada Allah
semata".
Sedangkan di riwayatkan dari Qatadah رحمه الله ketika beliau
menafsirkan firman Allah Ta'ala "kemudian mereka tetap istiqamah..".
Beliau berkata: "Mereka istiqomah di atas ketaatan kepada Allah
Ta'ala". (Diriwayatkan oleh Abdurazzaq dalam Mushanif-nya 2618)
Ibnu Rajab رحمه الله telah
menyebutkan perkataan-perkataan salaf seperti di atas tadi di dalam kitabnya
Jaami'ul ulum wal hikam. Beliau juga menjelaskan yang berkaitan tentang
istiqomah tersebut dengan mengatakan: "Istiqomah adalah menempuh jalan
yang lurus, yaitu (jalan yang lurus tersebut adalah) agama yang tegak lurus
tanpa ada kebengkokan sedikitpun baik ke kiri maupun ke kanan, yang mencakup di dalamnya semua
perbuatan taat baik yang dhohir (nampak) maupun yang bathin (tersembunyi), dan
meninggalkan seluruh larangan. Sehingga menjadikan wasiat ini (untuk istiqomah)
merupakan wasiat yang mencakup seluruh dari cabang agama semuanya".
Makna-makna yang terkandung dari ucapan para ulama tersebut
tidaklah saling jauh berbeda satu sama lainnya, namun yang ada adalah saling menafsirkan
sebagian dengan sebagian yang lainnya, di karenakan istiqomah termasuk dari
kumpulan kalimat yang mengandung makna agama secara keseluruhan.
Ibnu Qoyim رحمه الله menegaskan:
"Istiqomah adalah sebuah kalimat yang mencakup dan terambil dari semua
cabang agama, yang mana agama tersebut tegak di hadapan Allah di atas kejujuran
yang sejati dan mau memenuhi janji".
Kaidah Ketiga:
Asal dari Istiqomah adalah
Istiqomahnya Hati
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari haditsnya Anas bin Malik رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم
bahwasannya beliau bersabda:
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ
حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ
"Tidaklah mungkin keimanannya seorang hamba (bisa
istiqomah) sampai hatinya beristiqomah". (HR. Ahmad dalam musnadnya 13048.
di hasankan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah 2841)
Maka asal dari istiqomah adalah istiqomahnya hati, dan hati
jika baik dan dapat beristiqomah maka badan pun dengan sendirinya akan
mengikutinya.
Hal itu sebagaimana di tegaskan oleh Imam Ibnu Rajab رحمه الله, dalam hal ini
beliau mengatakan: "Asal dari istiqomah adalah istiqomahnya hati di atas
tauhid. Hal itu sebagaimana tafsiran Abu Bakar Shidiq رضي الله عنه dan selain
beliau ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan
Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah.." (QS.
al-Ahqaaf/46:13)
Dengan mengatakan bahwasannya mereka tidak berpaling kepada
yang lainnya. Maka kapan hati bisa istiqomah di atas ma'rifah (mengetahui)
kepada Allah, takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, mencintai-Nya, rasa raja'
(berharap) kepada-Nya, berdo'a kepada-Nya, bertawakal kepada-Nya serta
berpaling dari selain Allah. Maka anggota badan akan bisa beristiqomah di atas
ketaatan kepada-Nya. Sesungguhnya hati adalah rajanya anggota badan sedangkan
anggota badan adalah pasukannya, maka jika rajanya berada di atas keistiqomahan
maka pasukan serta yang di pimpinnya akan menjadi beristiqomah".
Dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) di riwayatkan dari
Nu'man bin Basyir رضي الله عنهما, dia berkata saya pernah
mendengar Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,
أَلَا وَإِنَّ فِي اَلْجَسَدِ مُضْغَةً
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ اَلْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اَلْجَسَدُ
كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ اَلْقَلْبُ
"Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, jika
baik maka akan menjadi baik seluruh anggota badan, dan jika ia rusak maka rusak
pula semua anggota badannya, ketahuillah
bahwa segumpal daging tersebut adalah hati". (HR Bukhari no: 52, Muslim
no: 1599)
Ibnu Qoyyim berkata di dalam muqodimah kitabnya
"Ighaatsatul Lahfan min mashaaid Syaithan". Beliau mengatakan: "Ketika hati bagi
anggota badan seperti rajanya yang berhak untuk mengatur pasukan yang berada di bawah komandonya,
menggunakan sesukanya, dan semuanya berada di bawah kekuasaannya, keistiqomah
atau ketergelinciran berada di bawahnya, maka semua akan mengikuti apa yang
menjadi keyakinannya dari keharaman seuatu perkara maupun kehalalannya. Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda: "Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, jika baik maka
akan menjadi baik seluruh anggota badan, dan jika ia rusak maka rusak pula
semua anggota badannya, ketahuillah
bahwa segumpal daging tersebut adalah hati". Hati adalah raja, hati pula
yang memutuskan dalam perkara yang ingin di perintahkan kepada anggota badan,
yang berhadapan dengan apa yang di dapat dari hidayahnya, yang mana tidak akan
tegak dan bisa istiqomah sedikitpun dari amalan-amalan yang muncul darinya
kecuali yang sudah berada di dalam niatnya, dan hati itu adalah penanggung
jawab atas itu semua".
Oleh karena itu Allah Ta'ala berfirman:
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا
بَنُونَ. إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
"(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak
berguna. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih". (QS.
asy-Syua'araa/26:88-89)
Dan termasuk do'a yang biasa Nabi صلى الله عليه وسلم
panjatkan adalah: "Ya Allah
sesungguhnya saya meminta kepada-Mu hati yang sehat". (HR. Ahmad: 17114.
Nasai no: 1304. Di shahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah: 2328)
Kaidah Keempat:
Istiqomah yang di Tuntut
dari Seorang Hamba adalah Berusaha Untuk Selalu Berada Pada Sebuah
Keistiqomahan Jika Tidak Mampu Maka Lebih Mendekatinya
Dan Nabi صلى الله عليه وسلم telah
menjadikan satu dari dua perkara ini di dalam sabdanya,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ
الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
"Sesungguhnya agama itu adalah mudah, tidak ada seorang
pun yang mempersulit di dalam agama kecuali dia akan terkalahkan, maka
dekatkanlah kepada sunah dan beri kabar gembira". (HR Bukhari no: 39,
6463)
Maka yang di tuntut dalam masalah istiqomah adalah sadad dan
sadad maknanya yaitu bertepatan dengan sunah.
Nabi صلى الله عليه وسلم pernah
mengatakan kepada Ali رضي الله عنه ketika dia meminta kepada Nabi
untuk mengajari do'a yang bisa ia panjatkan kepada Allah, Nabi mengajarinya
dengan do'a:
اللَّهُمَّ اهْدِنِي وَسَدِّدْنِي
"Ya Allah berilah aku petunjuk dan cukupkanlah aku di
atas sunah".
Nabi صلى الله عليه وسلم juga bersabda,
وَاذْكُرْ بِالْهُدَى هِدَايَتَكَ
الطَّرِيقَ وَالسَّدَادِ سَدَادَ السَّهْمِ
"Ingatlah dengan hidayah yang (dengan hidayah tersebut)
engkau di atas jalan yang lurus, dan dengan sadad (ketepatan.pent) di atas
sunah seperti tepatnya anak panah (yang mengenai sasarannya)". (HR. Muslim
no: 2725)
Seorang hamba di tuntut agar berusaha dengan
bersungguh-sungguh untuk sesuai dengan sunah, sesuai dengan petunjuk Nabi صلى الله عليه وسلم,
metode dan perjalanan hidupnya. dan selalu berusaha untuk bisa mencapai hal
tersebut. Jika tidak memungkinkan bagi dirinya untuk bertepatan dengan sunah
secara sempurna maka setidaknya bisa mendekatinya dan Allah Ta'ala telah
berfirman:
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ
وَاسْتَغْفِرُوهُ
"Maka tetaplah pada jalan yang Lurus menuju kepadanya
dan mohonlah ampun kepada-Nya". (QS. Fushilat/41:6)
Allah menyebutkan dalam ayat di atas agar meminta ampun
kepada-Nya yang sebelumnya di dahului perintah untuk beristiqomah, ini
mengisyaratkan bahwa seorang hamba bagaimanapun usahanya serta kesungguhan
untuk selalu bisa tetap di atas istiqomah tentu masih saja ada kekurangannya.
Oleh karena itu
al-Hafidz Ibnu Rajab رحمه الله mengatakan: "Dalam firman Allah
Ta'ala:
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ
وَاسْتَغْفِرُوهُ
"Maka tetaplah pada jalan yang Lurus menuju kepadanya
dan mohonlah ampun kepada-Nya". (QS. Fushilat/41:6) mengisyaratkan kepada
bahwasannya ada saja kekurangan yang di dapati dalam masalah istiqomah yang
Allah perintahkan dalam ayat tersebut yang mana itu semua dapat tertutupi
dengan istighfar (minta ampun) yang mencakup taubat kepada Allah Ta'ala, dan
ini seperti yang disabdakan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم
kepada Mu'adz bin Jabal رضي الله عنه, beliau bersadba:
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ،
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا
"Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada, dan
ikutlah perbuatan buruk dengan kebaikan niscaya ia akan menghapusnya".
(HR. Tirmidzi, ia berkata: Hasan Sahih)
Dalam hadits yang lain Nabi صلى الله عليه وسلم
menjelaskan bahwa manusia tidak akan mungkin sanggup untuk bisa beristiqomah
sebenar-benar istiqomah hal ini sebagaimana dalam hadits yang di keluarkan oleh
Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari haditsnya Tsauban رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda,
اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا
وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى
الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ
"Istiqomahlah kalian dan jangan menghitung-hitung,
beramallah kalian dan sebaik-baik amalan yang kalian lakukan adalah sholat.
Tidak ada yang menjaga wudhu kecuali seorang mu'min". (HR. Ahmad 22378,
Ibnu Majah 277, Di shahihkan oleh al-Albani dalam Irwaul gholil no:412)
Dalam shahih Bukhori dan Muslim di riwayatkan dari Abu
Hurairah رضي
الله عنه bahwasannya Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda,
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا
"Sesuaikanlah (amalan) kalian selalu dengan sunah dan
(jika tidak mungkin) maka dekatilah". (HR Bukhari no:6463, Muslim no:
2816)
Maka sesuai dengan sunah adalah istiqomah yang benar dan
hakiki, yaitu mengena dalam sunah pada semua perkataan, perbuatan, maksud serta
keinginan-keinginannya seperti halnya orang yang melempar sesuatu ke lubang
lalu masuk tepat di lubangnya.
Dan sungguh Nabi صلى الله عليه وسلم
pernah menyuruh Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه supaya meminta
kepada Allah عزّوجلّ amalan yang sesuai dengan sunah dan
hidayah, Nabi mengatakan kepadanya, "Ingatlah dengan (amalanmu yang sesuai
dengan sunah) seperti halnya panah yang tepat mengenai sasarannya. Dan ingatlah
jalan hidayah seperti halnya engkau
menempuh sebuah jalan". Maka mendekatkan diri kepada sunah seperti
lemparan yang setidaknya dekat dengan sasaran walaupun tidak masuk kepada
lubangnya.
Namun dengan catatan hendaknya di bangun di atas niat yang
benar dalam masalah ini, mengenai sasaran. Dan hendaknya mendekat dengan usaha
yang tanpa mengenal lelah, karena seberapa usaha kita tetap saja kita tidak
akan sanggup untuk bisa sesuai dengan sunah dalam segala sisi. Yang menunjukan
hal ini adalah sebuah hadits yang di riwayatkan oleh al-Hakam bin Hazn
al-Kulafi bahwasannya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَنْ
تُطِيقُوا أَوْ لَنْ تَفْعَلُوا كُلَّ مَا أُمِرْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ سَدِّدُوا
وَأَبْشِرُوا
"Wahai manusia! Sesungguhnya kalian tidak akan
mampu mengerjakan – atau tidak akan
sanggup – (mengerjakan) semua yang saya
perintahkan, akan tetapi (berusahalah) untuk lebih mengenai (yang saya
perintahkan) dan berilah kabar gembira".
(HR. Abu Dawud no: 1097, Ahmad 17856, dan di hasankan oleh al-Albani dalam
Irwa’ no: 616)
Adapun maknanya yaitu sedikit dalam mengenai sunah dan tetap
dalam keistiqomahan ketika mengerjakan sunah tersebut. Karena sesungguhnya
jikalau kalian selalu berusaha untuk sesuai dengan sunah dalam setiap amalan
maka seolah-olah kalian telah melakukan setiap perintah tersebut"
Kaidah Kelima:
Istiqomah Itu Selalu
Terkait dengan Perkataan, Perbuatan dan Niat
Istiqomah yang di tuntut dari seorang muslim adalah istiqomah
dalam perkataan, perbuatan dan dalam setiap keinginan dan kemauananya. Dengan
artian lain bahwa perkataannya seorang muslim, demikian pula amal perbuatan dan
juga hatinya hendaknya seluruhnya di kerjakan di atas keistiqomahan.
Imam Ibnu Qoyim رحمه الله mengatakan
dalam kitabnya Madaariju Saalikin 2/105: "Istiqomah erat kaitannya dengan
perkataan, perbuatan, keadaan dan juga maksud dan keinginannya".
Diriwayatkan dalam Musnadnya Imam Ahmad dari haditsnya Anas
bin Malik رضي
الله عنه bahwasannya Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda,
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ
حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ
لِسَانُهُ
"Tidak akan bisa lurus (istiqomah.pent) imannya seorang
hamba sampai hatinya lurus, dan tidak akan bisa lurus hatinya seorang hamba
sampai lisannya lurus". (HR. Ahmad dalam musnadnya 13048. di hasankan oleh
al-Albani dalam ash-Shahihah 2841)
Al-Hafidhz Ibnu Rajab رحمه الله mengatakan:
"Dan perhatian yang terbesar yang harus di perhatikan oleh seorang muslim
dalam masalah istiqomah setelah hati dan amalan badannya adalah lisan,
sesungguhnya lisan adalah penerjemah dan pengungkap apa yang ada dalam
hatinya".
Yang perlu di beri perhatian di sini adalah bagaimana
bahayanya hati dan lisan bagi seorang hamba di dalam masalah istiqomah bahkan
bisa di katakan keduanya adalah seperti sayap bagi istiqomah.
Dalam masalah ini sebagian ulama mengatakan: "Seseorang
itu berada dalam besar dan kecilnya apa yang ada dalam hati dan yang di
keluarkan oleh lisannya".
Maka hati dan lisan keduanya adalah segumpal daging yang
sangat kecil namun seluruh anggota badan seseorang itu mengikuti apa yang dalam
kata hati dan ucapan lisan. Oleh karena itu jika hati seseorang itu bisa
istiqomah (lurus.pent) demikian pula lisannya maka anggota badan tentu akan mengikutinya dalam
beristiqomah.
Adapun dalil pertama yang menunjukan istiqomahnya hati adalah
haditsnya Nu'man bin Basyir رضي الله عنه yang telah
lewat penjelasannya. Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda:
أَلَا وَإِنَّ فِي اَلْجَسَدِ مُضْغَةً
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ اَلْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اَلْجَسَدُ
كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ اَلْقَلْبُ
"Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad manusia ada
segumpal daging, jika dia baik maka baik pula seluruh anggota badannya namun
jika segumpal daging tersebut rusak maka akan rusak pula seluruh anggota
badannya, maka ketahuilah bahwa segumpal daging tersebut adalah
hati".
Adapun dalil yang menjelaskan istiqomahnya lisan adalah apa
yang telah di riwayatkan oleh Tirmidzi dari haditsnya Abu Sa'id al-Khudri رضي الله عنه bahwasannya
Nabi صلى
الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ
كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ
بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
"Jika anak cucu adam berada di pagi hari, sesungguhnya
semua anggota badan mengingkari lisan seraya mengatakan padanya: "Takutlah
kepada Allah atas kami semua, sesungguhnya kami adalah bagian dirimu, jika kamu
istiqomah (lurus.pent) maka kami pun akan istiqomah namun jika kamu bengkok
(menyeleweng) maka kami pun akan terseret ikut (denganmu)". (HR. Tirmidzi
no: 2407. Di Hasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib no: 2871)
Maka jika hati seseorang sudah istiqomah maka amalan anggota
badan pun akan ikut serta di dalamnya, begitu juga lisan jika ia istiqomah maka
anggota badan pun ikut serta di dalam istiqomah. Karena lisan adalah penerjemah
apa yang ada di dalam hati seseorang bahkan dia adalah pemimpin bagi amalan
dhohir.
Jika hati telah memerintahkan kepada lisan untuk mengucapkan
sesuatu maka lisan pun patuh mengucapkan apa yang menjadi kemauan hati, karena
pada hakekatnya lisan adalah pengekor hati sedangkan amal perbuatan maka mereka
mengikuti kemauan serta tunduk patuh kepada hati dan lisannya.
Oleh karenanya menjadi suatu kewajiban bagi setiap muslim
untuk selalu memperhatikan hatinya dan selalu berusaha untuk memperbaikinya,
dengan memohon kepada Allah Ta'ala supaya di luruskan hatinya dan di jauhkan
dari segala macam penyakit hati dari
iri, dengki, hasad dan lainnya. Sehingga pada akhirnya akan melahirkan ucapan
dan perkataan yang baik sambil di iringi dengan amalan-amalan sholeh.
Kaidah Keenam:
Tidak Ada Istiqomah Kecuali
Hanya untuk Allah, Bersama Allah dan Berjalan di Atas Perintah Allah
Adapun yang pertama maksudnya yaitu, hanya untuk Allah,
maknanya adalah ikhlas karena mengharap wajah Allah dengan makna lain seorang
hamba beristiqomah dan berpegang dengan kuat untuk selalu berjalan di atas jalan yang lurus (shiroqthol
mustaqim.pent). Ikhlas dengan istiqomahnya karena Allah عزّوجلّ mengharap
pahala yang ada di sisi-Nya dan mengharap keridhoi-Nya, yang mana Allah Ta'ala
telah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus". (QS. al-Bayyinah/98:5)
Kedua: Bersama Allah, maknanya selalu meminta pertolongan
dari Allah dalam mencari istiqomah, dalam beristiqomah dan agar bisa teguh di
atas keistiqomahannya. Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman:
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
"Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan
sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan". (QS.
Huud/11:123)
Allah Ta'ala juga berfirman:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ
"Hanya Engkaulah yang Kami ibadahi, dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan".
(QS. al-Fatihah/1:5)
Di dalam sebuah hadits yang shahih di sebutkan:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ
وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
"Bersemangatlah untuk mendapat yang bermanfaat bagi
dirimu dan minta pertolonganlah (untuk itu) kepada Allah". (HR. Muslim no:
2664)
Ketiga: Dan berjalan di atas perintah Allah maknanya adalah
hendaknya dalam beristiqomah dia menempuh manhaj (metode) yang benar, yaitu
jalan yang lurus (shirothol mustaqim ) yang telah Allah سبحانه و تعالى perintahkan
kepada hamba-Nya, sebagaimana hal itu termaktub dalam firman-Nya:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan
kepadamu..". (QS. Huud/11:112)
Dan telah lewat atsar dari sebagian ulama salaf tentang
penjelasan makna kalimat ini, seperti perkataannya Ibnu Abbas رضي الله عنهما ketika
menafsirkan firman Allah Ta'ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan
Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah.." (QS.
al-Ahqaaf/46:13)
Beliau mengatakan: "Mereka tetap istiqomah di dalam
mengerjakan faraidh (kewajiban-kewajiban) yang Allah bebankan kepadanya.
Sedang al-Hasan رحمه الله mengatakan:
"Mereka tetap beristiqomah di atas perintah Allah, beramal ketaatan
kepada-Nya, serta menjauhi segala sesuatu yang di larang oleh-Nya".
Sedangkan makna perintah Allah Ta'ala adalah syari'at-Nya yang
dengannya Allah mengutus Nabi-Nya yang mulia yaitu syari'at yang di bawa oleh
Nabi Muhammad Sholawatullah wa salam 'alaihi.
Kaidah Ketujuh:
Bagi Seorang Muslim Walupun
Sudah Dapat Beristiqomah Namun Jangan Sampai Bersandar Kepada Amalannya
Sebesar apapun dan sebaik apapun istiqomah yang ditelah di
miliki oleh seorang muslim maka jangan sampai dia menyandarkan pada amalanya
serta tertipu dengan ibadahnya, tidak pula dengan banyaknya dzikir yang keluar
dari bibirnya, serta ketaatan-ketaatan yang lainnya.
Dalam hal ini Imam Ibnu Qoyyim رحمه الله menegaskan,
"Yang di tuntut dari seorang hamba dalam masalah istiqomah adalah
mendekatinya (walaupun tidak bisa) seratus persen untuk bertepatan dengan
istiqomah dalam segala sisi, maka jika tidak mampu untuk istiqomah setidaknya
dia bisa lebih mendekati istiqomah. Sehingga jika itu juga sudah tidak mampu
lagi maka yang ada adalah tafrith (kurang) dan idho'ah (menyia-nyiakan), hal
itu sebagaimana hadits yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari
haditsnya Aisyah رضي الله عنها dari Nabi صلى الله عليه وسلم
beliau bersabda,
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِمَغْفِرَةٍ
وَرَحْمَةٍ
"Berusahalah agar (sesuai dengan) sunah, mendekatlah
jika (tidak mampu mengerjakan
seluruhnya) dan berilah kabar gembira (pada orang lain), sesungguhnya tidak ada
seorangpun yang akan masuk surga dengan sebab amalannya". Maka di katakan
kepada Rasulallah: "Tidak pula engkau wahai Rasulallah? Beliau menjawab,
"Tidak pula saya, kecuali bahwa Allah telah mengampuni saya dengan
ampunan-Nya dan rahmat-Nya". (HR. Bukhari no: 6467, Muslim no: 2818)
Dalam hadits yang mulia ini telah terkumpul dan tercakup di
dalamnya kedudukan agama secara sempurna, di dalamnya ada perintah agar
beristiqomah yaitu berusaha (untuk selalu sesuai dengan sunah) dan berusaha
agar amalannya baik itu niat maupun perkataan serta amalan perbuatannya tepat
dan sesuai dengan sunah, dan telah datang hadits yang shahih dari haditsnya
Tsauban رضي
الله عنه:
"Istiqomahlah kalian dan janganlah menghitung-hitung
(amalan kalian), dan beramallah sesungguhnya amalan yang paling baik yang
kalian kerjakan adalah sholat".
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa mereka tidak akan
sanggup untuk beristiqomah secara sempurna sehingga ketika keadaannya sudah
demikian maka di anjurkan supaya mereka lebih mendekati dalam beristiqomah
yaitu berusaha agar dia bisa beristiqomah sesuai dengan kadar kemampuannya.
Seperti halnya orang yang sedang melempar sesuatu kesebuah lubang
(sasaran.pent) jika dia tidak bisa memasukan tepat kelubangnya maka lebih dekat
dengan sasaran itu lebih baik baginya. Namun dengan ini semua Nabi
mengkhabarkan bahwa walaupun mereka sudah berusaha untuk selalu istiqomah dan
ketika tidak sanggup mereka berusaha untuk lebih dekat dengan istiqomah namnun
semua itu tidak bisa menyelamatan mereka pada hari kiamat. Oleh karena itu
jangan sampai ada seseorang yang
bersandar dengan amalannya merasa bangga dengan amal perbuatannya, jangan
berfikir bahwa dia akan selamat dengan sebab amalannya namun dia akan selamat
dengan sebab rahmat Allah Tabaraka wa Ta'ala, ampunan-Nya dan
keutamaan-Nya".
Kaidah Kedelapan:
Buah dari Istiqomah di
Dunia adalah Bisa Istiqomah Ketika Meniti Shirot (Jalan) Pada Hari Kiamat Nanti
Siapa yang telah di beri hidayah (petunjuk) untuk meniti
shirothol mustaqim (jalan yang lurus) yaitu jalannya Allah عزّوجلّ di dunia ini
maka dia akan di beri hidayah di kampung akhirat nanti ketika sedang
menyebrangi shirot yang di bawahnya adalah neraka jahanam. Maka pada hari
kiamat seseorang akan berjalan melewati shiroth yang telah di bentangkan di
atas neraka jahanam yang mana dia lebih tajam dari pada mata pedang dan lebih
lembut dari pada rambut.
Setiap manusia di perintahkan untuk melewati shiroth (titian)
ini, namun pada akhirnya setiap orang saling berbeda-beda di dalam cara
melewatinya sesuai dengan kadar amal perbuatannya ketika masih di dunia,
demikian pula sesuai dengan keistiqomahanya dalam menempuh shirothol mustaqim
pada kehidupannya di dunia.
Imam Ibnu Qoyyim رحمه الله mengatakan,
"Barangsiapa yang telah diberi hidayah (petunjuk) di dunia ini kepada
shirothol mustaqim (jalan yang lurus) oleh Allah عزّوجلّ yang mana Allah Ta'ala telah mengutus para rasul-Nya
dengannya dan menurunkan bersama mereka
kitab-kitab-Nya, dengan sebab itu dia akan diberi hidayah ketika meniti shiroth
yang akan mengantarkan kepada surga-Nya dan negeri balasan. Namun ketetapan
seorang hamba di atas shiroth (jalan yang lurus) ini yang mana di bentangkan
oleh Allah عزّوجلّ
di dunia akan menjadikan tetapnya dia ketika melewati shiroth yang berada di
atas neraka jahanam di akhirat nanti sesuai dengan kadar amalannya, dan
seberapa besar ia didalam (menempuh) pada jalan yang lurus ini (ketika didunia)
maka begitu pula kadarnya ketika melewati shiroth di akhirat nanti sehingga di
antara mereka ada yang melewatinya secepat kilat, di antara mereka ada yang
melewatinya seperti kedipan mata, di antara mereka ada yang melewatinya secepat
angin, ada yang seperti orang yang naik kendaraan, ada yang seperti orang yang
berlari, ada yang seperti orang yang berjalan kaki, dan ada di antara mereka yang merangkak, ada
yang tersambar oleh api neraka dan ada yang terjatuh kedalamnya, maka seorang
hamba dalam melewati shiroth sesuai kadar ia di dalam menjalani shirotol
mustaqim sebagai balasan yang setimpal, Allah Ta'ala berfirman:
هَلْ تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ
"Tiadalah kamu dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa
yang dahulu kamu kerjakan". (QS an-Naml/27:90)
Perhatikan serta berhati-hatilah terhadap syubhat
(kerancuan.pent) dan syahwat (hawa nafsu) yang akan memalingkan dari jalan yang
lurus ini, maka sesungguhnya shiroth adalah (seperti) besi bengkok yang akan
menjauhkan dari shiroth tersebut kemudian ia tersambar oleh api neraka, dan
terhalangi untuk melewatinya, walaupun demikian Allah berfirman:
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
"Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya
hamba-hamba-Nya". (QS Fushilat/41:46)
Dalam kesempatan yang lain beliau menegeskan:
"Barangsiapa yang dalam kehidupan di dunia ini telah tersambar fitnah
syubhat serta syahwat (sehingga) berpaling dari jalan yang lurus, maka dia akan
tersambar oleh jilatan api mana kala melewati shiroth pada hari kiamat nanti
seperti halnya dia tersambar oleh (fitnah) syubhat dan syahwat didunia, dan
pada tempatnya ada pembahasan yang lain dalam kitab ini (al-Jawabul
kaafii)".
Kaidah Kesembilan:
Pencegah untuk Istiqomah
adalah Syubhat yang Menyesatkan dan Syahwat yang Melalaikan
Segala macam bentuk syubhat (kerancuan.pent) dan syahwat
(hawa nafsu.pent) maka keduanya adalah pencegah serta pemutus yang dapat
menghadang seseorang untuk selalu bisa istiqomah. Seorang yang sedang berjalan
menempuh jalan yang lurus, yang mana di dalam perjalanannya tersebut (tanpa
sadar) dia terus menerus (terjatuh) di dalam fitnah syubhat dan syahwat yang
memalingkannya dari jalan yang lurus (maka dirinya akan terpalingkan) jauh dari
jalan yang lurus .
Maka setiap orang yang telah melenceng dari istiqomah (dan
dari jalan yang lurus), itu semua tidak bisa terlepas dari dua perkara ini,
baik itu di sebabkan oleh fitnah syahwat maupun fitnah syubhat. Dengan syahwat
dia akan merusak amalan yang telah di kerjakan, sedangkan dengan sebab fitnah
syubhat maka dia akan merusak ilmunya.
Allah Ta'ala berfirman:
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً
فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku
yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya". (QS
al-An'am/6:153)
Telah tetap di dalam sebuah hadits dari Abdillah bin Mas'ud رضي الله عنه yang di
riwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Mas'ud mengatakan:
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ
خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ السُّبُلُ عَلَى
كُلِّ سَبِيلٌ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ:
"Rasulullah صلى الله عليه وسلم
pernah menggaris (di hadapan) kami sebuah garis yang lurus, kemudian Rasulullah
mengatakan: "Ini adalah jalannya Allah", lalu beliau menggaris
garis-garis (yang lain) di samping kiri dan kanannya. Kemudian mengatakan:
"Ini adalah jalan-jalan yang pada setiap jalan tersebut ada setan yang
mengajak kepadanya", beliau lalu membaca firman Allah Ta'ala:
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً
فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku
yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya". [QS
al-An'am/6:153] (HR. Ahmad no: 4142)
Oleh karena itu setan yang mengajak manusia untuk berpaling
dari jalan Allah Ta'ala yang lurus, maka ajakannya tersebut tidak lepas dari
syubhat (kerancuan dan kesamaran) yang
telah di tebarkan oleh setan serta syahwat
yang melalaikan.
Maka jika setan melihat ada seseorang yang sedang dalam
keadaan lalai (melampaui batas) maka setan jadikan dirinya cinta dengan hawa
nafsu yang ada, namun jika setan mengetahui bahwa dirinya dalam kondisi yang
fit, semangat serta selalu menjaga keistiqomahannya maka dirinya dijerumuskan
kedalam keraguan serta kesamaran di dalam beragamanya. Sebagaimana yang di
katakan oleh sebagian ulama salaf:
"Tidaklah Allah memerintahkan kepada hamba-Nya sebuah
perintah kecuali ada dua cara bagi setan untuk menggoda bani adam, adakalanya (supaya)
mereka melalaikan serta meremehkan (pada perintah tersebut), dan adakalanya
diantarkan mereka sampai (batas) yang tidak wajar sehingga mereka ghuluw
(berlebih-lebihan.pent). maka dengan dua hal inilah setan menghasut anak cucu
Adam dan setan tidak peduli dengan mana dari keduanya ia tancapkan kuku-kukunya
kepada anak cucu Adam".
Imam Ibnu Qoyyim رحمه الله mengatakan:
"Sungguh kebanyakan manusia, mereka tidak sanggup untuk bisa melewati dua
lembah ini (dua perkara ini.pent) kecuali sedikit sekali diantara mereka yang
bisa selamat. Lembah yang pertama yaitu lembah (bersikap) meremehkan dan yang
kedua yaitu lembah (bersikap) berlebih-lebihan serta melampaui batas. Dan
sangat sedikit sekali di antara mereka yang bisa tetap teguh di atas jalan yang
lurus (yaitu jalan) sebagaimana yang telah di tempuh oleh Rasulallah صلى الله عليه وسلم
dan para sahabatnya".
Di sini saya akan nukilkan sebuah contoh yang sangat agung
serta besar faidahnya, bahkan contoh ini merupakan sebuah pelajaran yang sangat
berfaidah bagi kita semua. Sebagaimana telah shahih di dalam Musnad Imam Ahmad
dan dalam Sunan Imam Tirmidzi dan selain keduanya yang di riwayatkan dari
Nawaas bin Sam'an رضي الله عنه dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم
bersabda,
"Allah Ta'ala telah memberi sebuah permisalan bagi
jalan-Nya yang lurus, maka pada samping kiri dan kanannya ada dua tembok (yang)
masing-masing memiliki pintu yang
terbuka (hanya) tertutupi oleh penutup (korden.pent). maka di depan
pintu shiroth (jalannya Allah yang lurus) ada penyerunya sambil mengatakan:
"Wahai sekalian manusia masuklah kalian semua kejalannya Allah yang lurus
jangan berbelok-belok". Dan ada pula yang menyeru di atas shiroth yang
mana kala (manusia) akan mencoba untuk membuka (dua pintu) yang ada di kanan
dan kirinya (shiroth) maka di seru kepadanya: "Celakalah kamu, jangan coba
(untuk) sekali-kali membukanya! Sesungguhnya jika kamu membukanya maka kamu
akan masuk kedalamnya". Maka (perumpamaan) shiroth adalah Islam sedangkan
suuroon (dua tembok.pent) adalah batasan-batasannya Allah sedangkan pintu-pintu
yang terbuka adalah larangan-larangannya Allah. (Adapun) penyeru yang berada di
depan shirot adalah kitabullah sedangkan penyeru yang berada di atas shiroth
adalah perasaan (yang akan mencegah) dalam hati setiap muslim". (HR Ahmad
17634, Trimidzi no: 2859, di shahihkan oleh al-Hakim 1/144 dan di setujui oleh
adz-Dzahabi, dan di shahihkan pula oleh al-Albani dalam Shahihul Jami no: 3887)
Perhatikanlah perumpamaan di atas niscaya Allah akan memberi
manfaat kepadamu, Allah Ta'ala telah memberi sebuah permisalan akan jalan-Nya
yang lurus, yang mana pada kiri kanannya terdapat suuraan (dua tembok.pent),
yang kalau di gambarkan maka engkau sedang berjalan di sebuah jalan yang lurus
sedangkan disisi kananmu ada tembok demikian pula di sisi kirimu pun ada
tembok, dan pada tembok tersebut ada pintu-pintu yang sangat banyak yang engkau
lewati di sisi kiri dan kananmu. Ada pun pintu-pintu ini hanya tertutupi tirai
(yang mudah sekali untuk disingkap), sebagaimana kamu ketahui bahwa pintu kalau
hanya tertutupi oleh tirai tidak seperti pintu yang memiliki daun pintu, pintu
itu sangat mudah sekali bagi dirimu untuk memasukinya dan tidak ada yang
menghalanginya sama sekali. Seorang muslim yang jujur dan istiqomah jika
dirinya menginginkan untuk masuk pada pintu syahwat maka akan ia dapati bahwa
hatinya akan menolak serta berontak, tidak merasa tenang dan tentram, maka
inilah teguran dari Allah yang ada pada hati setiap muslim.
Dan yang menjadi penguat dalam hadits di atas adalah bahwasannya
pada sisi kiri dan kanan jalan istiqomah tersebut ada pintu-pintu yang akan
mengeluarkan seorang manusia dari jalan istiqomah, dan pintu-pintu tersebut
semuanya kembali pada dua perkara, mungkin ke syubhat (kesamaran dan keraguan)
dan yang kedua adalah ke hawa nafsu.
Imam Ibnu Qoyyim رحمه الله berkata,
"Allah سبحانه
و تعالى telah membentangkan jembatan yang akan di lewati
oleh setiap orang menuju syurga, dan diciptakannya api yang menjulur-julur yang
akan menyambar setiap orang sesuai dengan amalanya (ketika di dunia), demikian
juga api kebatilan yang menjulur-julur dari syubhat serta kesesatan, adapun
syahwat (hawa nafsu) yang melalaikan pelakunya akan mencegah orang yang
melakukannya dari istiqomah dan dari jalan kebenaran serta (ketika) menempuh di
jalan kebenaran, dan orang yang di jaga maka dialah yang telah di jaga (dan di
selamatkan) oleh Allah Ta'ala".
Dan seorang hamba pada keadaan seperti ini (masalah
istiqomah) membutuhkan dua hidayah agar bisa selamat di dalam perjalanannya
yaitu hidayah kepada jalan yang lurus serta hidayah ketika menempuh di jalan
yang lurus tersebut.
Imam Ibnu Qoyyim رحمه الله menegaskan hal
ini dengan mengatakan, "Maka (meminta) hidayah menuju shirothol mustaqim
(jalan yang lurus) adalah perkara yang lain sedangkan hidayah di dalam menempuh
jalan yang lurus tersebut adalah sesuatu yang lain, tidaklah kamu ketahui bahwa
seseorang yang telah mengetahui bahwa ada jalan fulan pada sebuah kota adalah
jalan yang sifatnya begini dan begitu, akan tetapi tidak mungkin bisa (melewati
dengan) benar pada jalan tersebut, karena (ketika ingin) berjalan melewatinya
membutuhkan petunjuk khusus pada jalan tersebut, seperti (harus) berjalan pada
waktu tertentu (yang) tidak bisa di lewati pada waktu tertentu, membawa air
sesuai dengan ukuran perjalanan yang akan di tempuh, berhenti pada tempat
tertentu, (ini hanyalah permisalan) tentang petunjuk (yang dibutuhkan) pada
sebuah perjalanan yang terkadang dilupakan oleh orang bahkan oleh orang yang
paham akan jalan tersebut sehingga dia binasa tidak sampai pada
tujuan".
Kaidah Kesepuluh:
Tasyabbuh Orang-orang Kafir
Termasuk Perkara Terbesar yang Bisa Memalingkan dari Istiqomah
Adapun tasyabuh (menyerupai.pent) dengan orang-orang kafir
kembali pada dua perkara yang di sebabkan oleh kerusakan adakalanya karena
ilmunya yang tidak benar atau adakalanya karena amalannya yang tidak sesuai
(dan semua itu disebabkan oleh kerusakan).
Maka perhatikan makna kalimat ini yang terkandung dalam
firman Allah Ta'ala:
اهدِنَـا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ.
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ
الضَّالِّينَ
"Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat". (QS.
al-Fatihah/1:6-7)
Maka kerusakan serta penyelewengan kaum yahudi adalah di
karenakan rusaknya di dalam mengamalkan agamanya, karena mereka berilmu namun
tidak mau mengamalkan ilmunya. Sedangkan kerusakan yang timbul di antara
nashrani adalah di karenakan rusaknya ilmu mereka, mereka beramal tanpa
disertai dengan ilmu yang mumpuni.
Sedangkan kerusakan yang timbul dalam pembahasan kita adalah
adakalanya (tidak bisa terlepas) mungkin di karenakan menyerupai yahudi di mana
seseorang memiliki ilmu namun tidak mau mengamalkannya, atau kemungkinan yang
kedua adalah menyerupai nashrani yang mana mereka beramal namun tidak di sertai
dengan ilmu dan dalil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله telah menamakan
mereka di dalam bukunya yang berjudul "Iqtidho shirothol mustaqim
mukholifata ashabal jahim" dan telah mengisyaratkan dalam bukunya tersebut
beberapa perkara yang berkaitan dengan kebiasaan ahlu kitab (yahudi dan
nashrani) yang sudah mempengaruhi umat ini. Sedangkan bagi seorang muslim maka
hendaknya dia berpaling jauh-jauh dari tasyabuh dengan orang-orang kafir agar
tidak melenceng dari jalan yang lurus sehingga ketika melenceng darinya dia
akan berjalan di atas jalan yang dimurkai oleh Allah atau jalan yang sesat.
Sebagaimana telah tergambar dalam firman Allah Ta'ala:
وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّاراً حَسَداً مِّنْ عِندِ
أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
"Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka
dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki
yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka
kebenaran". (QS. al-Baqarah/2:109)
Beliau syaikhul Islam رحمه الله mengatakan:
"Maka yahudi dicela di karenakan hasadnya mereka kepada orang-orang yang
beriman yang berada di atas petunjuk dan ilmu yang bermanfaat, namun sangat di
sayangkan ada sebagian orang yang telah menasabkan dirinya kepada ilmu atau
yang lainnya telah terfitnah dengan penyakit hasad ini yang mana pada
kenyataannya orang tersebut telah Allah beri petunjuk mereka dengan ilmu yang
bermanfaat dan amalan yang shaleh. Maka merekalah orang-orang yang tercela
(dengan penuh kepastian), dan ini dalam permasalahan ini termasuk dalam akhlak
yang di murkai oleh Allah عزّوجلّ".
Kemudian beliau menyebutkan di dalam kitabnya tersebut
beberapa contoh dari kebiasaan yang termasuk kebiasaan orang-orang yahudi
maupun nashrani yang ditiru oleh banyak kaum muslimin, dan Nabi صلى الله عليه وسلم
telah mengkhabarkan akan hal itu dalam sabdanya:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ
ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ
"Sungguh akan ada orang-orang yang akan mengikuti sunah
(perjalanan, kebiasaan) orang-orang sebelum mereka, sejengkal demi sejengkal,
sedepa demi sedepa, sampai-sampai kiranya mereka masuk ke lubang biawak
sekalipun pasti akan ada yang mengikuti
mereka". (HR. Bukhari no: 7320, Muslim no: 2669)
Penutup
Saya tutup risalah ini dengan perkataan yang sangat bagus
dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله, yang mana
diriwayatkan dari muridnya Ibnu Qoyyim رحمه الله beliau
mengatakan: "Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
"Karamah yang paling besar dan agung adalah tetap berpegang teguh dengan
istiqomah".
Berkata Syaikhul Islam dalam bukunya "Al-Furqaan baina
auliyau ar-Rahman wa auliyau asy-Syaithan" (Pembeda antara wali-wali Allah
dan wali-wali setan), beliau mengatakan: "Adapun puncak dari karamah
adalah menetapi istiqomah".
Oleh karena itu Ibnu Qoyyim رحمه الله berkata menukil
perkataan sebagian para ulama, beliau mengatakan: "Jadilah sebagai orang
yang istiqomah bukan sebagai orang yang mencari-cari karamah, karena
sesungguhnya hatimu selalu bergerak (sibuk) ketika dalam pencarian karamah
(tersebut) sedangkan Rabbmu memintamu untuk selalu istiqomah".
Maksud dari perkataannya beliau adalah bahwa seorang hamba
hendaknya selalu dan selalu selama-lamanya berusaha agar dirinya menetapi di
jalannya Allah Ta'ala yang lurus, dan menjaga di atas ketaatan kepada-Nya سبحانه و تعالى,
bersungguh-sungguh dalam usahanya tersebut sehingga dia bisa memenangi
sebesar-besar kemenangan yang ada dan ghonimah yang paling besar yaitu yang
tersirat dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا
تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ
تُوعَدُونَ. نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ.
نُزُلاً مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ
" Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan
Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka
Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut
dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah
dijanjikan Allah kepadamu". kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan
dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan
memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu)
dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ". (QS.
Fushshilat/41:30-32)
Allah Ta'ala juga berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ.
أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاء بِمَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan
Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah. Maka tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. mereka
Itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai Balasan atas
apa yang telah mereka kerjakan ". (QS. Al-Ahqaaf/46:13- 14)
Saya memohon kepada Allah yang Maha Mulia Rabb Arsy yang
agung dengan Nama-namanya yang mulia serta sifat-sifat-Nya yang tinggi agar
menjadikan kita semuanya sebagai orang-orang yang di tetapkan dan beri hidayah
untuk selalu berjalan di jalan-Nya yang lurus, dan menjauhkan kita dari jalan
yang di murkai-Nya serta jalan yang
menyesatkan, memperbaiki urusan kita semuanya, dan memperbaiki agama kita yang
menjadi penjaga segala urusan kita, dan memperbaiki dunia kita sebagai tempat
kita mencari penghidupan serta memperbaiki akhirat kita sebagai tempat kembali
kita semua, dan mudah-mudahan menjadikan hidup ini sebagai (tempat) untuk
menambah amal kebaikan kita dan kematian sebagai tempat (istirahat) kita dari
segala keburukan.
Shalawat serta salam dan barakah serta nikmah semoga Allah
curahkan selalu kepada hamba dan Rasul-Nya Nabi kita Muhammad, keluarga serta
para sahabat beliau seluruhnya.[]
___________
Terjemah: Abu Umamah Arif Hidayatullah
Editor: Eko Haryanto Abu Ziyad
Terbitan: IslamHouse 1432H
Catatan: Buku ini Asyru Qawa'ida fil Istiqamah telah
diringkas pula oleh Ustadz Arif Fathul Ulum خفظه الله di Majalah
Al-Furqon, No. 124 Ed.10 Th. ke-11_1433H/2012M dengan judul Kaidah-Kaidah
Istiqamah, dan darinya sebagian besar teks arab hadits kami ambil, dan sumber
lainnya, bila ada kesalahan maka murni kesalahan pada kami. Sumber eBook : http://ibnumajjah.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar