728x90 AdSpace

Pos Terbaru

Keutamaan Tauhid

Firman Allah ta’ala, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamaan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)

Dari Ubadah bin ash-Shamit beliau berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya, bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah, kalimatNya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dariNya, surga adalah haq dan neraka adalah haq, niscaya allah memasukannya kedalam surga sesuai amal yang dia lakukan.” (HR. Bukhari no.3435 dan Muslim no.28)

Dari Itban, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan La ilaha illallah yang dengannya dia mengharap Wajah Allah.” (HR. Bukhari no.425, 1186, 5401 dan Muslim no. 263)

Dari Abu Sa’id al-Khudri dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, “Musa berkata, ‘Ya Rabbi, ajarkanlah kepadaku sesuatu yang dengannya aku mengingatMu dan berdoa kepadaMu.’ Allah menjawab, ‘Wahai Musa ucapkanlah La ilaha illallah.’ Musa berkata, ‘Ya Rabbi, semua hambaMu mengucapkannya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Musa, seandainya langit yang tujuh dan penghuninya selain Aku dan bumi yang tujuh diletakkandisatu daun timbangan sedangkan La ilaha illallah didaun yang lain, niscaya La ilaha illallah lebih berat’.” (HR. Ibnu Hibban 14/102 no. 6218, Hakim no. 1/528 dan dia menshahihkannya)

Dari Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai Bani Adam, seandainya kamu datang kepadaKu dengan memikul dosa sepenuh bumi kemudian kamu bertemu denganKu dengan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu, niscaya Aku membalasmu dengan ampunan sepenuh bumi’.” (HR. At-Tirmidzi no. 3540 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Kandungan Bab:
  • 1.       Luasnya karunia Allah
  • 2.       Banyaknya pahala bertauhid disisi Allah.
  • 3.       Bersama banyaknya pahala tersebut, bertauhid juga meleburkan dosa-dosa.
  • 4.       Tafsir al-An’am ayat 82.
  • 5.       Perhatikan lima perkara yang terkandung dalam hadits Ubadah.
  • 6.       Jika anda menggabungkannya dengan hadits Itban dan apa yang sesudahnya, maka jelaslah bagi anda makna La ilaha illallah, dan anda akan mengetahui kekeliruan orang-orang yang tertipu (dalam masalah ini).
  • 7.       Peringatan tentang syarat yang tercantum dalam hadits Itban.
  • 8.       Keterangan tentang lebih unggulnya La ilaha illallah dibanding seluruh makhluk, padahal banyak orang yang mengucapkannya, timbangan (kebaikan)nya ringan.
  • 9.       Keterangan jelas bahwa bumi adalah tujuh lapis seperti halnya langit.
  • 10.   Bahwa ia memiliki penghuni.
  • 11.   Menetapkan sifat-sifat golongan Asy-‘ariyah.
  • 12.   Jika anda mengetahui makna hadits Anas, maka anda juga mengetahui makna sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Itban, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan La ilaha illallah yang dengan itu dia mencari Wajah Allah.” Bahwa itu adalah meninggalkan syirik; bukn sekedar mengucapkan dengan lisan saja.
  • 13.   Merenungkan penggabungan (baca: kesamaan) antara Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam dan Nabi Isa ‘Alaihissalam yang merupakan dua orang hamba dan utusan Allah.
  • 14.   Mengetahui kekhususan Nabi Isa bahwa dia adalah Kalimatullah.
  • 15.   Mangetahui Isa adalah ruh dariNya.
  • 16.   Mengetahui keutamaan iman kepada surga dan neraka.
  • 17.   Mengetahui sabdanya, “Sesuai dengan amal yang dilakukannya.”
  • 18.   Mengetahui bahwa timbangan mempunyai dua daun timbangan.
  • 19.   Mengetahui disebutnya Wajah (Allah).

Dalam catatan kaki Fathul Majid berkata, Banyak orang keliru dalam memahami hadits-hadits, “Barangsiapa mengucapkan La ilaha illallah, niscaya dia masuk surga.” Mereka mengira bahwa sekedar mengucapkan sudah cukup  untuk bisa selamat dari neraka dan masuk surga, padahal tidak demikian. Siapa yang mengira demikian, maka termasuk orang-orang yang tertipu, tidak memahami La ilaha illallah, karena tidak merenungkannya. Karena hakikat maknanya adalah berlepas diri dari segala yang disembah (selain Allah), dan bertekad untuk memurnikan segala ibadah hanya kepada Allah semata, menunaikannya dalam bentuk yang di ridhai dan  dicintai Allah ‘Azza wa jalla. Barangsiapa yang tidak menunaikan ibadah yang menjadi hakNya, atau menunaikan sebagian ibadah lalu dia menyembah selain Allah bersamaNya dalam bentuk berdoa kepada para wali dan orang-orang shalih, bernazar untuk mereka dan perbuatan lain sepertinya, maka dia telah merobohkannya, klaimnya tidak bermanfaat dan tidak berarti apapun. Seandainya mengucapkannya saja sudah cuku, niscaya apa yang terjadi diantara Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dan orang-orang musyrikin tidak pernah terjadi, tidak akan pernah ada peperangan dan permusuhan.

Allah ta’ala berfirman, “Maka ketahuilah bahwa tidak ada tuhan yang haq selain Allah.” (Muhammad: 19). Dan Allah berfirman, “Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang bersaksi (syahadat) dengan yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az-Zhukhruf: 87).

Siapa yang tidak memenuhinya dan tidak melaksanakan tuntutannya, maka mengucapkannya tidak berarti baginya. Siapa yang memberikan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah, maka dia bisa jadi adalah orang yang jahil terhadap maknanya atau dusta dalam klaim imannya. Mereka itulah orang-orang yang terkecoh, “Orang-orang yang paling merugi perbuatannya, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi: 104).

Firman Allah ta’ala, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamaan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)

Ibnu Jarir berkata, “Al-Mutsanna menyampaikan kepadaku –dan dia menyebutkan dengan sanadnya- ar-Rabi’ bin Anas, beliau berkata, “Iman adalah ikhlas kepada Allah semata.”

Ibnu katsir rahimahullah berkata tentang ayat diatas, “Yakni, mereka yang mengikhlaskan ibadah hanya kepadaNya semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun, mereka itulah orang-orang yang aman pada hari kiamat, yang mendapatkan petunjuk didunia dan akhirat.”

Imam Ahmad memiliki riwayat dari Abdullah radhiyallahu’anhu, beliau berkata,
“Ketika turun ayat, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman.’ (Al-An’am: 82). Hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, siapa diantara kita yang tidak pernah menzhalimi dirinya?’ Beliau menjawab, ‘Perkaranya bukan seperti yang kalian kira, apakah kalian tidak mendengar ucapan seorang hamba shalih, ‘Wahai anakkau, janganlah mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezhaliman yang besar.’ Kezhaliman yang dimaksud adalah syirik’.”

Dari Umar diriwayatkan bahwa beliau menafsirkan kezhaliman disini dengan dosa, sehingga makna ayat tersebut adalah, aman dari semua azab.

Alhasan dan al-Kalbi berkata, “(Makna ayat tersebut) adalah mereka mendapatkan rasa aman diakhirat dan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk didunia.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang membuat mereka berat adalah dugaan mereka bahwa kezhaliman wajib tidak ada (untuk mendapatkan rasa aman) adalah kezhaliman seorang hamba kepada dirinya (berupa kesalah dan dosa, bahwa rasa aman tidak akan ada dan hidayah tidak diperoleh kecuali bagi orang yang tidak menzhalimi dirinya. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan kepada mereka apa yang membuat mereka mengerti bahwa syirik merupakan kezhaliman dalam kitabullah, maka rasa aman dan petunjuk tidak akn terwujud, kecuali bagi yang tidak mencampur imannya dengan kezhaliman (syirik) ini. Karena siapa yang tidak mencampur imannya dengan kezhaliman (syirik) ini, maka mereka termasuk orang-orang yang meraih rasa aman dan mendapatkan petunjuk, sebagaimana dia juga termasuk orang-orang terpilih dalam firmanNya, “Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami. Lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32).

Ini tidak menutup kemungkinan salah seorang dari mereka diazab karena dia menzhalimi dirinya dengan melakukan dosa, jika dia tidak bertaubat, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaian seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yng mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az-Zalzalah: 7-8)

Abu Bakar ash-Shiddiq pernah bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dia berkata, “Ya Rasulullah, siapa yang diantara kita yang tidak melakukan keburukan?” Maka Belaiu menjawab, ‘Wahai Abu Bakar, bukankah kamu mengalami kelelahan? Bukankah kamu mengalami kesedihan? Bukankah kamu terkena penyakit? Itulah balasan kepada kalian (yang dimaksud)’.”

Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa seorang mukmin yang jika mati lalu masuk surga, maka bisa jadi dia dibalas didunia dengan musibah-musibah karena dosa-dosanya. Siapa yang selamat dari tiga jenis kezhaliman: Syirik (yang merupakan kezhaliman kepada Allah), kezhaliman kepada hamba-hamba Allah, dan kezhaliman kepada diri dengan dosa-dosa, tetapi selain syirik, maka dia meraih rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna pula. Siapa yang tidak selamat dari menzhalimi dirinya sendiri, maka dia mendaptkan rasa aman dan petunjuk mutlak, artinya dia pasti masuk surga sebagaimana Allah menjanjikan hal itu dalam ayat yang lain, Allah telah membimbingnya kejalan yang lurus dimana akibatnya adalah kesurga, tetapi rasa aman dan petunjuk yang diperolehnya berkurang menurut berkurangnya iman akbat dia menzhalimi dirinya sendiri. Maksud Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan sabdany, “Ia (kezhaliman yang dimaksud) adalah syirik.”  Bukanlah bahwa siapa yang tidak melakukan syirik akbar maka dia meraih rasa aman dan petunjuk yang sempurna, karena hadits-hadits beliau yang berjumlah besar disamping ayat-ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa pelaku dosa besar berisiko terkena azab. Mereka tidak memperoleh rasa aman dan petunjuk yang sempurna dimana dengan keduanya mereka menjadi orang-orang yang dibimbing kejalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, tanpa azab yang menimpa mereka. Bahkan mereka mempunyai dasar petunjuk kepada jalan yang lain, merek ajuga mendapatkan pokok nikmat Allah, dan mereka pasti masuk surga.

Dan sabdanya, “Ia (kezhaliman yang dimaksud) adalah syirik.” Jika dimaksud beliau adalah syirik akbar maka maksudnya adalah bahwa siapa yang tidak melakukannya, maka mereka aman dari azab dunia dan akhirat yang diancamkan kepada orang-orang musyrik. Jika yang dimaksud Beliau adalah syirik secara umum, dikatakan bahwa kezhaliman seorang hamba terhadap dirinya seperti kebakhilannya –karena kecintaannya kepada harta- dari melakanakan dari sebagian kewajiban merupakan syirik ashghar (kecil), dan kecintaannya kepada apa yang dibenci oleh Allah ta’ala sehingga mendahulukan hawa nafsunya atas kecintaan kepada Allah, dan ini merupakan syirik ashghar, dan yang sepertinya, maka orang inikehilangan rasa amandan petunjuk sesuai dengan kadarnya, oleh karena itu, ulama salaf memasukkan dosa-dosa kedalam syirik ini dengan pertimbangan ini.” (Demikian ucapan Syaikhul Islam dari Kitab al-Iman, dengan ringkas).

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Yaitu ketika mereka belum mengerti apa yang dimaksud dengan kezhaliman tersebut, mereka mengira bahwa menzhalimi diri termasuk kedalamnya, dan bahwa siapa yang menzhalimi dirinya sendiri –apapun kezhalimannya itu- maka dia bukan orang yang meraih keamanan dan petunjuk. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menjawab bahwa kezhaliman yang menghanguskan rasa aman dan petunjuk secara mutlak adalah syirik.

Inilah –demi Allah- jawaban yang menyembuhkan orang sakit dan menghilangkan haus orang yang dahaga. Kezhaliman yang total lagi mutlak adalah syirik, yaitu meletakkan ibadah bukan pada tempatnya. Rasa aman dan hidayah yang mutlak adalah rasa aman didunia dan akhirat dan hidayah kejalan yang lurus.

Kezhaliman yang mutlak lagi sempurna menghanguskan rasa aman dan petunjuk yang mutlak lagi sempurna, dan tidak tertutup kemungkinan sekedar kezhaliman menghalangi sebagian rasa aman dan dasar petunjuk. Renungkanlah. Yang mutlak untuk yang mutlak, yang berupa satuan untuk satuan.” (Demikian ucapan Ibnu Qayyim secara ringkas). 

Dari Ubadah bin ash-Shamit beliau berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya, bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah, kalimatNya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dariNya, surga adalah haq dan neraka adalah haq, niscaya allah memasukannya kedalam surga sesuai amal yang dia lakukan.” (HR. Bukhari no.3435 dan Muslim no.28)

(Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah)
Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fatul Majid menjelaskan,
Yakni, barangsiapa yang mengucapkannya dengan didasari dengan mengetahui maknanya dan mengamalkan tuntutannya, lahir dan batin. Maka Syahadatain memerlukan ilmu, keyakinan dan amal terhadap tuntutannya, sebagaimana Firman Allah ta’ala, “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah.” (Muhammad: 19) dan firmanNya, “Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui (syahadat) yang haq dan mereka mengetahui (maknanya).” (Az-Zukhruf: 86).

Adapun sekedar mengucapkannya tanpa mengetahui maknanya, tanpa keyakinan dan mengamalkan tuntutannya, berupa berlepas diri dari syirik, mengikhlaskan perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati dan anggota badan, maka tidak berguna.”

Dalam Qurrah al-Uyun al-Muwahhidin dijelaskan,
“Kalimat yang agung ini mengandung peniadaan dan penetapan. Ia menafikan Ilahiyah dari selain Allah dengan ucapan “Tiada tuhan yang berhak disembah.” Ia menetapkan Ilahiyah hanya bagi Allah semata dengan ucapan, “kecuali Allah.” Allah ta’ala berfirman, “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan, para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu), tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Ali Imran: 18).

Berapa banyak orang yang tersesat karena tidak mengerti maknanya dan mereka adalah mayoritas. Mereka membalik hakikat makna, maka mereka menetapkan ilahiyah yang dinafikan kepada sesuatu yang tidak berhak memilikinya dari para makhluk, para penghuni kubur dan altar persembahan, thaghut-thaghut, pohon-pohon, jin dan lain-lain. Mereka menjadikan hal itu sebagai agama. Mereka meniru dan menghiasinya, mereka mnenganggap tauhid sebagai bid’ah, mereka mengingkari orang-orang yang menyeru kepada tauhid. Mereka tidak mengetahui hakikatt dari syahadat itu sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang jahiliyahdari kalangan orang-orang kafir Quraisy dan lainnya. Mereka ini mengetahui maknanya, tapi mengingkari keikhlasan yang merupakan makna kandungannya, sebagaimana Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya mereka dahulu apabla dikatakan kepada mereka, ‘La ilaha illallah (Tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata, ‘apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” (Ash-Shaffat: 35-36).

Orang-orang musyrik dari kalangan akhir umat ini mengingkari apa yang diingkari oleh orang-orang musyrik dahuklu yang menolak siapa yang menyeru mereka agar meninggalkan apa yang mereka sembah selain Allah, dalam bentuk kuburan, altar persembahan, thaghut dan lain-lain. Hanya saja orang-orang musyrik jahiliyah dulu mengetahui makna ini maka mereka mengingkarinya, sementara orang-orang musyrik zaman ini tidak menetahuinya, maka mereka juga mengingkarinya. Oaleh karena itu andan melihatnya orang yang mengucapkan La ilaha illalah sementara dia tetap beribadah kepada selain Allah bersama Allah.” Selesai.

Imam Ibnu Baz mengomentari,
“Penyebabnya adalah bahwa orang-orang Arab jahiliyah adalah ahli bahasa al-Qur’an yang fasih, sehingga mereka mengetahui makna kalimat Tauhid yang ditetapkan oleh al-Qur’an. Adapun orang-orang sekarang dimana mereka terjerumus kedalam syirik ibadah, maka mereka bukanlah orang-orang yang menguasai bahasa al-Qur’an dengan baik, mereka hanya beragama dengan berpijak kepada terminologi-terminologi dimana sebagian dari mereka mengambil dari sebagian yang lain, dari orang-orang ahli kalam dan orang-orang awam. Jika orang sekaliber al-Fakhrurrazi, salah seorang tokoh besar ilmu kalam dan pakar ilmu ushul dari kalangan mereka, keliru dalam memahami makna al-ilah dalam tafsir firman Allah, “Mereka berkata, ‘Wahai Musa, jadikanlah untuk kami tuhan seperti mereka mempunyai tuhan-tuhan.” (Al-A’raf: 138), maka bagaimana dengan ulama-ulama mereka dibawahnya? Tidak perlu meninggung orang awam dan orang jahil dari mereka. Apakah masih terasa aneh jika mereka tidak mengetahui bahwa siapa yang berdoa kepada orang mati atau orang hidup dalam perkara yang hanya boleh diminta kepada Allah semata, atau thawaf dikuburannya, atau bernadzar kepadanya, berarti telah menyembahnya dan mengangkat sebagai tuhan?”

Al-Qurthubi dalam al Mufhim ala Shahih Muslim, berkata (Sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat tidaklah cukup, akan tetapi harus didukung dengan keyakinan hati.) Bab ini merupakan bukti rusaknya pandangan golongan Murji’ah ekstrem yang berkata bahwa sekedar mengucapkan syahdatain sudah cukup dalam iman. Dan hadits-hadits dalam bab ini menetapkan kerusakannya, bahkan kerusakan mahzab ini sudah dimaklumi dalam syariat bagi siapa yang mengetahuinya, karena madzhab ini berarti membolehkan kemunafikan dan menghukumi bahwa iman orang munafik adalah shahih. Dan ini batil tanpa ragu.” Demikian al-Qurthubi.

Dalam hadits ini terdapat petunjuk kepada hal ini, yaitu ucapannya, (Barangsiapa bersaksi). Kesaksian tidak sah kecuali jika berpijak kepada ilmu, keyakinan, keikhlasan dan kebenaran.

An-Nawawi berkata, “Ini adalah hadits yang agung dan memiliki kedudukan yang mulia. Ini adalah hadits yang paling luas maknanya (termasuk hadits yang simpel tetapi bermakna luas) yang mengandung masalah-masalah akidah. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam mengumpulkan didalamnya apa yang dikeluarkan dari aliran-aliran kekufuran dengan berbagai macam akidah dan perbedaanya yang berjauhan, maka beliau menetapkan batasan dengan kalimat-kalimat dalam hadits ini apa yang menjelaskan seluruhnya.” Demikian dalam ucapan beliau rahimahullah.

Al-Hafizh menyebutkan, ini adalah sebagaimana dengan firman Allah,
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah:163)  

“Dan Kami tidak mengutus Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Aku, maka sembahlah Aku’.” (Al-Anbiya’:25) 

“Dan Kami telah mengutus kaum ‘Ad saudara mereka, Hud. Ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan yang berhak disembah bagimu selainNya.” (Al-A’raf: 65)

Maka  mereka menjawabnya –sebagaimana bantahan atasnya- dengan ucapan mereka, “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al-A’raf: 70) 

Dan Allah ta’ala berfirman, “(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Al-Hajj: 62).

Hal ini mengandung peniadaan terhadap ilahiyah (predikat sebagai yang disembah) dari selain Allah, yaitu ibadah, dan penetapannya hanya bagi Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Al-Qur’an dari awal hingga akhir menjelaskan dan menetapkan haikat ini, serta membimbing kepadanya.

Ibadah dengan berbagai macamnya hanya berasal dari penghambaan hati dalam bentuk kecintaan, ketundukan, dan kerendahan, dalam keadaan takut dan  berharap, dan semua ini hanya Allah semata yang berhak atasnya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Barangsiapa memberikan sebagian dari itu kepada selain Allah dan dengan demikian perkataan dan perbuatannya menjadi tidak berguna baginya.

Perkataan Ulama Tentang Makna “La ilaha illallah”

Al-Wazir Abu al-Muzhaffar berkata dalam al-Ifshah,
Orang yang bersaksi dengannya mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah.” (Muhammad: 19)
Beliau berkata, “Faidahnya globalnya adalah hendaknya anda mengetahui bahwa kalimat ini mengandung kewajiban kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah. Ketika anda menafikan ilahiyah (dari selain Allah) dan menetapkannya hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala, maka anda termasuk orang yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah.”

Ibnul Qayyim rahimahullah (dalam al-Bada’i al-Fawa’id 3/56) membantah pendapat yang berkata bahwa al-Mustatsna (yang dikecualikan) dikeluarkan dari al-Mutsatsna minhu (yang dikecualikan baginya). Beliau berkata, “Bahkan ia dikeluarkan dari al-Mutsatsna minhu dan hukumnya sekaligus, sehingga ia tidak termasuk kedalam al-Mutsatsna, karena jika demikian maka seseorang tidak masuk islam dengan mengatakan La ilaha illallah, karena dia tidak menetapkan ilahiyah bagi Allah ta’ala. Kalimat ini adalah kalimat yang agung yang –dari sisi peletakannya dalam bahasa- mengandung penafian terhadap ilahiyah dari selain Allah dan penetapannya bagiNya secara khusus. Petunjuknya terhadap penetapan ilahiyah lebih agung daripada petunjuk ucapan kita, ‘Allah dalah Tuhan’ dan tidak ada yang meragukan ini sedikitpun” Demikian ibnul Qayyim secara ringkas.

Abu Abdullah al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya, “La ilaha illallah, yakni tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.”

Az-Zamakhsyari berkata, al-ilaahu (tuhan) termasuk isim jism (kata jenis) seperti kata “Laki-laki” dan kata “Kuda”. Kata ini diberikan kepada setiap yang disembah, benar atau bathil,  kemudian penggunannya yang dominan adalah untuk yang disembah dengan benar.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “tuhan” adalah yang disembah dan ditaati, karena al-ilaahu adalah yang dituhankan dan yang berhak disembah. Dia berhak untuk disembah karena Dia mempunyai sifat-sifat yang menuntutnya menjadi yang dicintai dengan kecintaan paling tinggi dan ditaati dengan ketaatan yang mendalam.”

Kemuidan beliau berkata, “al-ilaahu” adalah yang dicintai lagi disembah, yang dipertuhankan oleh hati dengan mencintainya, mematuhinya, merendahkan, takut, dan berharap kepadanya, kembali kepadanya dalam kesulitan, berdoa kepadanya dalam perkara-perkara yang penting, bertawakal kepadanya untuk meraih kebaian-kebaikan, berlindung kepadanya, merasa tentram dengan menyebutnya, merasa tenang dengan mencintainya; semua ini hanya untuk Allah semata. Oeleh karen aitu, La ilaha illallah adalah perkataan yang benar, para pengikut dan penganutnya adalah pengikut Allah dan golonganNya. Sedangkan orang-orang yang mengingkarinya adalah musuh-musuh Allah, dan orang-orang yang berhak mendapatkan azab dan murkaNya. Jika kalimat ini benar, maka benarlah semua masalah, keadaan, dan perasaan. Jika seorang hamba tidak meluruskannya maka kerusakan pasti terjadi pada ilmu dan amal perbuatannya.”

Ibnul Qayyim berkata, “al-ilaahu (tuhan) adalah yang dituhankan oeh hati dengan kecintaan, pengagungan, ketergantungan, pemuliaan, penghormatan, kerendaha, kepatuhan, ketakutan, harapan dan tawakal.”

Ibnu Rajab berkata, “al-ilaahu (tuhan) adalah yang ditaati sehingga dia tidak didurhakai karena rasa penghormatan, pengagungan, kecintaan, ketakutan, harapan, tawakal, permintaan, dan doa kepadanya. Semua ini hanya patut diberikan kepada Allah ‘Azza wa jalla. Siapa yang menyekutukan seorang makhluk dengan Allah dalam salah satu perkara-perkara ini yang merupakan keistimewaan ilahiyah, maka hal iitu merupakan penodaan terhadap keikhlasannya dalam mengucapkan La ilaha illallah, dan sikap itu mengandung penghambaan kepada makhluk sebagaimana kadar apa yang ada padanya dari hal itu.”

Al-Baqa’i berkata, “La ilaha illallah, yakni penafian besar adanya tuhan yang haq selain Allah yang Maharaja lagi Mahaagung. ilmu ini termasuk dzikir teragung yang pasti menyelamatkan dari ketakutan-ketakutan hari kiamat, ia menjadi sebuah ilmu manakala ia berguna, ia menjadi berguna manakala diiringi dengan ketundukan dan pelaksanaan terhadap konsekuensinya, jika tidak maka ia adalah kejahilan murni.”

Pensyarah didalam Fathul Majid berkata, “Ini banyak tercantum didalam perkataan para ulama dan merupakan ijma’ dari mereka.”

Maka La ilaha illallah menunjukkan peniadaan terhadap ilahiyah dari selain Allah, apapun ia, dan penetapannya hanya untuk Allah semata bukan selainNya. Inilah tauhid yang diserukan para Rasul dan al-Qur’an menunjukkannya dari awal hingga akhir, sebagaimana firman Allah ta’ala tentang jin, “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Telah diwahyukan kepadamu bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan al-Qur’an, lalu mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Rabb kami’.” (Al-Jin: 1-2)

La ilaha illallah tidak berguna kecuali bagi orang yang mengetahui kandungannya dari sisi apa yang dinafikan dan apa yang ditetapkan, meyakini hal itu dan mengamalkannya. Adapun orang yang mengucapkannya tanpa ilmu, tanpa keyakinan dan tanpa amal perbuatan, maka telah hadir ucapan para ulama bahwa ini adalah kejahilan murni, ia merupakan hujjah atasnya tanpa ragu. 

Dari Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai Bani Adam, seandainya kamu datang kepadaKu dengan memikul dosa sepenuh bumi kemudian kamu bertemu denganKu dengan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu, niscaya Aku membalasmu dengan ampunan sepenuh bumi’.” (HR. At-Tirmidzi no. 3540 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Ini adalah syarat yang berat dalam janji untuk meraih ampunan yaitu keselamatan dari syirik, yang banyak maupun sedikit, yang kecil maupun yang besar, dan tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah ta’ala, dan itulah hati yang selamat, sebagaimana firman Allah ta’ala, “Pada hari dimana harta dan anak-anak tidak lagi berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara’: 88-89).

Ibnu Rajab berkata, “Barangsiapa datang (pada hari kiamat, pent) dengan memikul dosa sepenuh jagat, tetapi dia mempunai tauhid, maka Allah menyambutnya dengan ampunan yang juga sepenuh jagat...”

Sampai beliau berkata, “Jika tauhid seorang hamba dan keikhlasannya kepada Allah ta’ala telah sempurna, dia menunaikan syarat-syaratnya didalam hatinya, lisannya dan anggota badannya, atau dengan hati dan lisannya pada saat menjelang kematian, maka hal itu mewajibkan ampunan terhadap seluruh dosa yang telah berlalu dan menghalanginya secara total untuk masuk neraka. Barangsiapa yang hatinya mewujudkan kalimat Tauhid, maka ia akan mengeluarkan darinya dari segala sesuatu selain Allah: kecintaan, pengagungan, penghormatan, keseganan, ketakutan, dan tawakal, pada saat ituseluruh dosa dari kesalahan dihapuskan, walaupun seperti buih lautan.” Demikian secara ringkas.

Al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang makna hadits diatas,
“(Dosa-dosa) dimaafkan (diampuni) untuk ahli tauhid yang murni yang tidak menodainya dengan syirik apa yang tidak dimaafkan untuk orang yang bukan demikian. Seandainya seorang yang bertauhid –yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun- niscaya Rabbnya dengan membawa dosa-dosa sepenuh jagat raya, niscaya Rabbnya akan menyambutnya dengan ampunan sepenuh jagat raya juga, hal ini tidak terwujud bagi orang yang membatalkan tauhidnya. Tauhid yang murni yang tidak terkotori oleh syirik tidak menyisakan dosa, karena ia mengandung kecintaan kepada Allah, penghormatan, pengagungan, ketakutan, dan harapan kepadaNya semata yang mewajibkan dicucinya dosa-dosa walaupun ia sepenuh jagat, najisnya bersifat insidentil sementara yang menolaknya adalah sesuatu yang kuat.” Demikian Ibnul Qayyim

Dalam hadits ini juga terkandung keterangan bahwa pahala tauhid itu adalah besar, kemurahan Allah, kedermawanan dan rahmatNya adalah luas, dan hadits ini juga membantah golongan khawarij yang mengkafirkan seorang muslim karena dosa-dosa serta (sebaliknya), hadits ini juga membantah golongan Mu’tazilah yang menetapkan satu kedudukan diantara dua kedudukan, yaitu kefasikan, mereka berkata, “Dia tidak mukmin tidak pula kafir, dia kekal didalam neraka.” Yang benar adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa nama iman tidak ditanggalkan darinya, tetapi tidak diberikan kepadanya secara mutlak, akan tetapi dikatakan, mukmin pendurhaka atau mukmin dengan imannya dan fasik dengan dosa besarnya. Inilah yang ditunjukkan oleh al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Salaf ummat ini.

[Disalin dari Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid oleh Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Hasan Alu-Syaikh Bab Keutamaan Tauhid. Pustaka Sahifa]

Faisal Choir Blog :

Blog ini merupakan kumpulan Artikel dan Ebook Islami dari berbagai sumber. Silahkan jika ingin menyalin atau menyebarkan isi dari Blog ini dengan mencantumkan sumbernya, semoga bermanfaat. “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR. Muslim). Twitter | Facebook | Google Plus

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Keutamaan Tauhid Description: Rating: 5 Reviewed By: samudera ilmu
Scroll to Top