Allah Subhanahu wa ta'ala dengan sifat hikmah dan keadilan-Nya menimpakan
berbagai ujian dan cobaan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman pada
khususnya, dan seluruh makhluk pada umumnya.
Di antara bentuk ujian dan cobaan itu adalah adanya berbagai jenis
penyakit di zaman ini, karena kemaksiatan dan kedurhakaan umat terhadap
Allah dan Rasul-Nya.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar).” (Ar-Rum: 41)
Islam adalah agama yang sempurna, yang menuntut seorang muslim agar
tetap menjaga keimanannya dan status dirinya sebagai hamba Allah Subhanahu wa ta'ala.
Seorang muslim akan memandang berbagai penyakit itu sebagai:
1. Ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu wa ta'ala.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (Al-Mulk: 2)
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan
(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
(Al-Anbiya`: 35)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya tentang ayat ini:
“Kami menguji
kalian, terkadang dengan berbagai musibah dan terkadang dengan berbagai
kenikmatan. Maka Kami akan melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang
kufur (terhadap nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala), siapa yang sabar dan siapa yang putus
asa (dari rahmat-Nya). Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalhah, dari
Ibnu Abbas: ‘Kami akan menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan,
maksudnya yaitu dengan kesempitan dan kelapangan hidup, dengan kesehatan
dan sakit, dengan kekayaan dan kemiskinan, dengan halal dan haram,
dengan ketaatan dan kemaksiatan, dengan petunjuk dan kesesatan; kemudian
Kami akan membalas amalan-amalan kalian’.”
Ujian dan cobaan akan datang silih berganti hingga datangnya kematian.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu?” (Al-Baqarah: 214)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “(Ujian yang akan datang adalah) berbagai penyakit, sakit, musibah, dan cobaan-cobaan lainnya.”
Bila demikian, maka sikap seorang muslim tatkala menghadapi berbagai
ujian dan cobaan adalah senantiasa berusaha sabar, ikhlas, mengharapkan
pahala dari Allah, terus-menerus memohon pertolongan Allah Subhanahu wa ta'ala sehingga
tidak marah dan murka terhadap taqdir yang menimpa dirinya, tidak pula
putus asa dari rahmat-Nya.
2. Penghapus dosa.
Seandainya setiap dosa dan kesalahan yang kita lakukan mesti dibalas
tanpa ada maghfirah (ampunan)-Nya ataupun penghapus dosa yang lain, maka
siapakah di antara kita yang selamat dari kemurkaan Allah? Sehingga,
termasuk hikmah dan keadilan Allah Subhanahu wa ta'ala bahwa Dia menjadikan berbagai ujian
dan cobaan itu sebagai penghapus dosa-dosa kita.
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam beliau bersabda:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ
حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ
كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah menimpa seorang muslim kelelahan, sakit, kekhawatiran,
kesedihan, gangguan dan duka, sampai pun duri yang mengenai dirinya,
kecuali Allah akan menghapus dengannya dosa-dosanya.” (Muttafaqun alaih)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarh Riyadhish Shalihin
(1/94):
“Apabila engkau ditimpa musibah maka janganlah engkau
berkeyakinan bahwa kesedihan atau rasa sakit yang menimpamu, sampaipun
duri yang mengenai dirimu, akan berlalu tanpa arti. Bahkan Allah Subhanahu wa ta'ala akan
menggantikan dengan yang lebih baik (pahala) dan menghapuskan
dosa-dosamu dengan sebab itu. Sebagaimana pohon menggugurkan
daun-daunnya. Ini merupakan nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala. Sehingga, bila musibah itu
terjadi dan orang yang tertimpa musibah itu:
- Mengingat pahala dan mengharapkannya, maka dia akan mendapatkan dua balasan, yaitu menghapus dosa dan tambahan kebaikan (sabar dan ridha terhadap musibah).
- Lupa (akan janji Allah), maka akan sesaklah dadanya sekaligus menjadikannya lupa terhadap niat mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa ta'ala.
Dari penjelasan ini, ada dua pilihan bagi seseorang yang tertimpa
musibah: beruntung dengan mendapatkan penghapus dosa dan tambahan
kebaikan, atau merugi, tidak mendapatkan kebaikan bahkan mendapatkan
murka Allah karena dia marah dan tidak sabar atas taqdir tersebut.”
3. Kesehatan adalah nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala yang banyak dilupakan.
Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيْهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ
“Dua kenikmatan yang kebanyakan orang terlupa darinya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari)
Betapa banyak orang yang menyadari keberadaan nikmat kesehatan ini,
setelah dia jatuh sakit. Sehingga musibah sakit ini menjadi peringatan
yang berharga baginya. Setelah itu dia banyak bersyukur atas nikmat
Allah Ta'ala tersebut. Itulah golongan yang beruntung.
Adab-adab Syar’i ketika Sakit
Di antara bukti kesempurnaan Islam, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam menuntunkan
adab-adab yang baik ketika seorang hamba tertimpa sakit. Sehingga, dalam
keadaan sakit sekalipun, seorang muslim masih bisa mewujudkan
penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Di antara adab-adab tersebut adalah:
1. Sabar dan ridha atas ketentuan Allah Subhanahu wa ta'ala, serta berbaik sangka kepada-Nya.
Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ
وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ
شَكَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ، وَإِذَا أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ
خَيْرٌ لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman. Sesungguhnya semua
urusannya baik baginya, dan sikap ini tidak dimiliki kecuali oleh orang
yang mukmin. Apabila kelapangan hidup dia dapatkan, dia bersyukur, maka
hal itu kebaikan baginya. Apabila kesempitan hidup menimpanya, dia
bersabar, maka hal itu juga baik baginya.” (HR. Muslim)
Dari Jabir radhiyallahu'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالَى
“Janganlah salah seorang di antara kalian itu mati, kecuali dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Ta'ala.” (HR. Muslim)
2. Berobat dengan cara-cara yang sunnah atau mubah dan tidak bertentangan dengan syariat.
Diriwayatkan dari Abud Darda` radhiyallahu'anhu secara marfu’:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah
kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Ad-Daulabi.
Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan sanad hadits ini hasan. Lihat
Ash-Shahihah no. 1633)
Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ دَاءٍ إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
“Tidaklah Allah menurunkan satu penyakit pun melainkan Allah turunkan
pula obat baginya. Telah mengetahui orang-orang yang tahu, dan orang
yang tidak tahu tidak akan mengetahuinya.” (HR. Al-Bukhari. Diriwayatkan
juga oleh Al-Imam Muslim dari Jabir)
Di antara bentuk pengobatan yang sunnah adalah:
- Madu dan berbekam
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ: شُرْبَةِ عَسَلٍ، وَشِرْطَةِ مُحَجِّمٍ،
وَكَيَّةِ نَارٍ، وَأَنَا أَنْهَى عَنِ الْكَيِّ –وَفِي رِوَايَةٍ: وَلاَ
أُحِبُّ أَنْ أَكْتَوِي
“Obat itu ada pada tiga hal: minum madu, goresan bekam, dan kay[1] dengan api, namun aku melarang kay.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam riwayat lain: “Aku tidak senang berobat dengan kay.”
- Al-Habbatus sauda` (jintan hitam)
Dari Usamah bin Syarik dia berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
الْحَبَّةُ السَّوْدَاءُ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَ السَّامَ
“Al-Habbatus Sauda` (jintan hitam) adalah obat untuk segala penyakit,
kecuali kematian.” (HR. Ath-Thabarani. Dikatakan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani bahwa sanadnya hasan, dan hadits ini punya banyak
syawahid/pendukung)
- Kurma ‘ajwah
Dari Aisyah radhiyallahu'anha, dari Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam:
فِي عَجْوَةِ الْعَالِيَةِ أَوَّلُ الْبُكْرَةِ عَلىَ رِيْقِ النَّفَسِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ سِحْرٍ أَوْ سُمٍّ
“Pada kurma ‘ajwah ‘Aliyah yang dimakan pada awal pagi (sebelum makan
yang lain) adalah obat bagi semua sihir atau racun.” (HR. Ahmad.
Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini sanadnya jayyid (bagus).
Lihat Ash-Shahihah no. 2000)
- Ruqyah
Yaitu membacakan surat atau ayat-ayat Al-Qur’an atau doa-doa yang
tidak mengandung kesyirikan, kepada orang yang sakit. Bisa dilakukan
sendiri maupun oleh orang lain.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya berkata:
“Al-Qur`an itu
mengandung syifa` (obat) dan rahmat. Namun kandungan tersebut tidak
berlaku untuk setiap orang, hanya bagi orang yang beriman dengannya,
yang membenarkan ayat-ayat-Nya, dan mengilmuinya. Adapun orang-orang
yang zalim, yang tidak membenarkannya atau tidak beramal dengannya, maka
Al-Qur`an tidak akan menambahkan kepada mereka kecuali kerugian. Dan
dengan Al-Qur`an berarti telah tegak hujjah atas mereka.”
Obat (syifa`) yang terkandung dalam Al-Qur`an bersifat umum. Bagi
hati / jiwa, Al-Qur`an adalah obat dari penyakit syubhat, kejahilan,
pemikiran yang rusak, penyimpangan, dan niat yang jelek. Sedangkan bagi
jasmani, dia merupakan obat dari berbagai sakit dan penyakit.
Dari Abu Abdillah Utsman bin Abil ‘Ash :
أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللهِ n وَجَعًا يَجِدُ فِي جَسَدِهِ،
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ n: ضَعْ يَدَكَ عَلىَ الَّذِي يَأْلَمُ مِنْ
جَسَدِكَ وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ -ثَلَاثًا-؛ وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ:
أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
Dia mengadukan kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam tentang rasa sakit yang ada pada
dirinya. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Letakkanlah tanganmu di atas
tempat yang sakit dari tubuhmu, lalu bacalah: بِسْمِ اللهِ (tiga kali),
kemudian bacalah tujuh kali:
أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
‘Aku berlindung dengan keperkasaan Allah dan kekuasaan-Nya, dari
kejelekan yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan’.” (HR. Muslim)
Dari Aisyah radhiyallahu'anha bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam menjenguk sebagian keluarganya (yang
sakit) lalu beliau mengusap dengan tangan kanannya sambil membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ، اشْفِ، أَنْتَ الشَّافِي
لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاءُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini.
Sembuhkanlah, Engkau adalah Dzat yang Maha Menyembuhkan. (Maka) tidak
ada obat (yang menyembuhkan) kecuali obatmu, kesembuhan yang tidak
meninggalkan penyakit.” (Muttafaqun ‘alaih)
Atau berobat dengan cara-cara yang mubah, misalkan berobat ke dokter
atau orang lain yang memiliki keahlian dalam pengobatan seperti ramuan,
refleksi, akupunktur, dan sebagainya.
Adapun berobat kepada tukang sihir atau dukun, atau dengan cara-cara
perdukunan semacam mantera yang mengandung unsur syirik, atau
rajah-rajah yang tidak diketahui maknanya, maka haram hukumnya, dan bisa
menyebabkan seseorang keluar (murtad) dari Islam. Dari Mu’awiyah ibnul
Hakam, dia berkata: Aku berkata:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ وَقَدْ
جَاءَ اللهُ تَعَالَى بِالْإِسْلاَمِ وَمِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ
الْكُهَّانَ. قَالَ: فَلاَ تَأْتِهِمْ
“Wahai Rasulullah, aku baru saja meninggalkan masa jahiliah. Dan
sungguh Allah telah mendatangkan Islam. Di antara kami ada orang-orang
yang mendatangi para dukun.” Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau
mendatangi mereka (para dukun).” (HR. Muslim)
Dari Shafiyyah bintu Abi ‘Ubaid, dari sebagian istri Nabi, Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ يَوْمًا
“Barangsiapa mendatangi peramal, kemudian dia bertanya kepadanya
tentang sesuatu lalu dia membenarkannya, maka tidak akan diterima
shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim)
3. Bila sakitnya bertambah parah atau tidak kunjung sembuh, tidak diperbolehkan mengharapkan kematian.
Dari Anas dia berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ، فَإِنْ
كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ
الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْراً لِي
“Janganlah salah seorang kalian mengharapkan kematian karena musibah
yang menimpanya. Apabila memang harus melakukannya, maka hendaknya dia
berdoa:
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْراً لِي
‘Ya Allah, hidupkanlah aku bila kehidupan itu adalah kebaikan bagiku
dan wafatkanlah aku bila kematian itu adalah kebaikan bagiku’.”
(Muttafaqun ‘alaih)
4. Apabila dirinya mempunyai kewajiban (seperti hutang, pinjaman,
dll), atau amanah yang belum dia tunaikan, atau kezaliman terhadap hak
orang lain yang dia lakukan, hendaknya dia bersegera menyelesaikannya
dengan yang bersangkutan, bila memungkinkan.
Bila tidak memungkinkan, karena jauh tempatnya, atau belum ada
kemampuan, atau sebab lainnya, hendaknya dia berwasiat (kepada ahli
warisnya) dalam perkara tersebut. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)
Dari Abu Huraiah, dari Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ
شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ
دِيْنَارٌ وَدِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ
بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ
سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa berbuat kezaliman terhadap saudaranya, baik pada harga
dirinya atau sesuatu yang lain, hendaknya dia minta agar saudaranya itu
menghalalkannya (memaafkannya) pada hari ini, sebelum (datangnya hari)
yang tidak ada dinar maupun dirham. Apabila dia memiliki amal shalih,
akan diambil darinya sesuai kadar kezalimannya (lalu diberikan kepada
yang dizaliminya). Apabila dia tidak memiliki kebaikan-kebaikan, akan
diambil dari kejelekan orang yang dizalimi lalu dipikulkan kepadanya.”
(HR. Al-Bukhari)
Dari Jabir, dia berkata:
لَمَّا حَضَرَ أُحُدٌ دَعَانِي أَبِي مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ: ماَ
أُرَانِي إِلاَّ مَقْتُولاً فِي أَوَّلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ n وَإِنِّي لاَ أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ
نَفْسِ رَسُولِ اللهِ n وَإِنَّ عَلَيَّ دَيْنًا فَاقْضِ وَاسْتَوْصِ
بِإِخْوَتِكَ خَيْرًا. فَأَصْبَحْنَا فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ
“Sebelum terjadi perang Uhud, ayahku memanggilku pada malam harinya.
Dia berkata: ‘Tidak aku kira kecuali aku akan terbunuh pada golongan
yang pertama terbunuh di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam. Dan
sesungguhnya aku tidak meninggalkan setelahku orang yang lebih mulia
darimu, kecuali Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam. Sesungguhnya aku mempunyai hutang maka
tunaikanlah. Nasihatilah saudara-saudaramu dengan baik.’ Tatkala masuk
pagi hari, dia termasuk orang yang pertama terbunuh.” (HR. Al-Bukhari)
5. Disyariatkan segera menulis wasiat dengan saksi dua orang lelaki
muslim yang adil. Bila tidak didapatkan karena safar, boleh dengan saksi
dua orang ahli kitab yang adil.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu)
disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang
berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi
lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (Al-Ma`idah: 106)
Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam, beliau berkata:
مَا حَقَّ امْرُؤٌ مُسْلِمٌ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ وَلَهُ شَيْءٌ
يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلاَّ وَوَصَّيْتُهُ عِنْدَ رَأْسِهِ. وَقَالَ
ابْنُ عُمَرَ c: مَا مَرَّتْ عَلَيَّ لَيْلَةٌ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللهِ n قَالَ ذَلِكَ إِلاَّ وَعِنْدِي وَصِيَّتِي
“Tidak berhak seorang muslim melalui dua malam dalam keadaan dia
memiliki sesuatu yang ingin dia wasiatkan kecuali wasiatnya berada di
sisinya.”
Dan Ibnu Umar berkata: “Tidaklah berlalu atasku satu malam pun
semenjak aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata demikian, kecuali di sisiku
ada wasiatku.” (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnu Abdil Bar berkata (At-Tamhid, 14/292):
“Para ulama bersepakat
bahwa wasiat itu bukan wajib, kecuali bagi orang yang memiliki
tanggungan-tanggungan yang tanpa bukti, atau dia memiliki amanah yang
tanpa saksi. Apabila demikian, dia wajib berwasiat. Tidak boleh dia
melalui dua malam pun kecuali sungguh telah mempersaksikan hal itu.
Diperbolehkan baginya mewasiatkan sebagian harta yang ditinggalkan,
maksimal sepertiganya. Tidak boleh lebih dari itu. Bahkan Ibnu Abbas berkata: “Aku senang bahwa orang mengurangi dari jumlah 1/3 menjadi ¼
dalam hal wasiat. Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: ‘Sepertiga itu banyak’.” (HR. Ahmad,
Al-Bukhari, Muslim dan Al-Baihaqi)
Wasiat tersebut tidak boleh untuk ahli waris yang berhak mendapatkan
warisan, kecuali dengan kerelaan dari seluruh ahli waris lainnya.
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberi setiap yang memiliki hak akan
haknya, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`)
Ibnu Mundzir rahimahullah berkata (Al-Ijma’ hal. 100):
“Para ulama sepakat bahwa
tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali para ahli waris (yang lain)
memperbolehkannya.”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/471):
“Ketika
wasiat itu adalah rekayasa dan jalan untuk memberi tambahan kepada
sebagian ahli waris, serta mengurangi dari sebagian mereka, maka wasiat
itu haram hukumnya, berdasarkan ijma’ dan dengan Al-Qur`an:
“(Wasiat itu) tidak memberi mudarat (kepada sebagian pihak). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Al-Ma`idah: 12)
Adapun wasiat yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka
wasiat tersebut batil dan tidak boleh dilaksanakan. Dari Aisyah radhiyallahu'anha, dia
berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru pada urusan (agama) ku
ini apa yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak.” (Muttafaqun
‘alaih)
6. Berwasiat agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai As-Sunnah
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata (Ahkamul Jana`iz, hal. 17-18):
“Ketika
adat kebiasaan yang dilakukan mayoritas kaum muslimin pada masa ini
adalah bid’ah dalam urusan agama, lebih-lebih dalam masalah jenazah,
maka termasuk perkara yang wajib adalah seorang muslim berwasiat (kepada
ahli warisnya) agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai As-Sunnah,
untuk mengamalkan firman Allah Subhanahu wa ta'ala: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
Oleh karena itulah, para sahabat mewasiatkan hal tersebut.
Atsar-atsar dari mereka (dalam hal ini) banyak sekali. Di antaranya:
a. Dari Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, bahwa ayahnya (yakni Sa’d bin
Abi Waqqash z) berkata ketika sakit yang mengantarkan kepada wafatnya:
أَلْحِدُوا لِي لَحْدًا وَانْصِبُوا عَلَيَّ نَصْبًا اللَّبِنَ كَمَا صُنِعَ بِرَسُولِ اللهِ n
“Buatlah liang lahat untukku, dan tegakkanlah atasku bata sebagaimana dilakukan demikian kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam.”
b. Dari Abu Burdah dia berkata: Abu Musa mewasiatkan ketika hendak
meninggal:
“Apabila kalian berangkat membawa jenazahku maka cepatlah
dalam berjalan. Jangan mengikutkan (jenazahku) dengan bara api. Sungguh
jangan kalian membuat sesuatu yang akan menghalangiku dengan tanah.
Janganlah membuat bangunan di atas kuburku. Aku mempersaksikan kepada
kalian dari al-haliqah (wanita yang mencukur gundul rambutnya karena
tertimpa musibah), as-saliqah (wanita yang menjerit karena tertimpa
musibah), dan al-khariqah (wanita yang merobek-robek pakaiannya karena
tertimpa musibah).” Mereka bertanya: “Apakah engkau mendengar sesuatu
dari Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam tentang hal itu?” Dia menjawab: “Ya, dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad 4/397, Al-Baihaqi 3/395, dan Ibnu Majah,
sanadnya hasan)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Al-Adzkar: “Disunnahkan baginya
dengan kuat untuk mewasiatkan kepada mereka (ahli waris) untuk menjauhi
adat kebiasaan yang berupa bid’ah dalam pengurusan jenazah. Dan
dikuatkan perkara tersebut (dengan wasiat).”
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Besi dibakar, lalu ditempelkan pada urat yang sakit.
Sumber: http://asysyariah.com/
0 komentar:
Posting Komentar