Keutamaan Orang Miskin
Orang miskin punya keutamaan saat ia mau bersabar. Di sini juga jadi pertanda, jangan sampai kita meremehkan mereka.
Berikut tiga di antaranya:
Berikut tiga di antaranya:
1- Penghuni surga banyak orang miskin
Dari Harits bin Wahb radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia berkata,
أَلاَ
أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ
أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ ، أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ
كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
“Maukah kuberitahu pada kalian siapakah ahli surga itu? Mereka
itu adalah setiap orang yang lemah dan dianggap lemah oleh para manusia,
tetapi jika ia bersumpah atas nama Allah, pastilah Allah mengabulkan
apa yang disumpahkannya. Maukah kuberitahu pada kalian siapakah ahli
neraka itu? Mereka itu adalah setiap orang yang keras, kikir dan gemar
mengumpulkan harta lagi sombong” (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).
Orang yang lemah yang dimaksud adalah orang yang diremehkan orang
lain karena keadaan yang lemah di dunia (alias: miskin). Ini cara baca
mutadho’af dalam hadits. Bisa juga dibaca mutadho’if yang artinya orang
yang rendah diri dan tawadhu’. Al Qadhi menyatakan bahwa yang dimaksud
orang yang lemah adalah orang yang lembut hatinya dan tawadhu’. Lihat
Syarh Shahih Muslim, 17: 168.
2- Orang miskin mendahului orang kaya masuk surga
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ
“Orang beriman yang miskin akan masuk surga sebelum orang-orang kaya yaitu lebih dulu setengah hari yang sama dengan 500 tahun.” (HR. Ibnu Majah no. 4122 dan Tirmidzi no. 2353. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Diterangkan dalam Tuhfatul Ahwadzi (7: 68) sebagai berikut.
Satu hari di akhirat sama dengan seribu tahun di dunia. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan,
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
“Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj: 47). Oleh karenanya, setengah hari di akhirat sama dengan 500 tahun di dunia.
Adapun firman Allah Ta’ala,
فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun” (QS. Al
Ma’arij: 4). Ayat ini menunjukkan pengkhususan dari maksud umum yang
sebelumnya disebutkan atau dipahami bahwa waktu tersebut begitu lama
bagi orang-orang kafir. Itulah kesulitan yang dihadapi orang-orang
kafir,
فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُورِ (8) فَذَلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيرٌ (9) عَلَى الْكَافِرِينَ غَيْرُ يَسِيرٍ (10)
“Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.” (QS. Al Mudatsir: 8-10).
3- Berkah dari do’a orang miskin
Dalam hadits disebutkan bahwa Sa’ad menyangka bahwa ia memiliki
kelebihan dari sahabat lainnya karena melimpahnya dunia pada dirinya,
lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ
“Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian” (HR. Bukhari no. 2896).
Dalam lafazh lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذَهِ اْلأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا: بِدَعْوَتِهِمْ، وَصَلاَتِهِمْ، وَإِخْلاَصِهِمْ.
“Sesungguhnya Allah menolong umat ini dengan sebab orang-orang
lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan
mereka” (HR. An Nasai no. 3178. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Baththol berkata, “Ibadah orang-orang lemah dan doa mereka lebih
ikhlas dan lebih terasa khusyu’ karena mereka tidak punya
ketergantungan hati pada dunia dan perhiasannya. Hati mereka pun jauh
dari yang lain kecuali dekat pada Allah saja. Amalan mereka bersih dan
do’a mereka pun mudah diijabahi (dikabulkan)”. Al Muhallab berkata,
“Yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan adalah dorongan bagi
Sa’ad agar bersifat tawadhu’, tidak sombong dan tidak usah menoleh pada
harta yang ada pada mukmin yang lain” (Lihat Syarh Al Bukhari li Ibni Baththol, 9: 114).
Pengemis Jalanan Bukanlah Orang Miskin
Karena rerata pengemis jalanan adalah orang mampu nan kuat yang malas bekerja, padahal di balik itu juga mereka kaya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ
الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ
الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ
النَّاسَ إِلْحَافًا
“Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua
suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya
kecukupan, lantas ia pun malu atau tidak meminta dengan cara mendesak” (HR. Bukhari no. 1476)
Keutamaan Orang Kaya
Mengenai keutamaan orang kaya dijelaskan pada dua hadits berikut:
1- Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ
عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ،
فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang
yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan
kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As
Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)
Hadits di atas menjelaskan akan keutamaan orang kaya yang giat memanfaatkan hartanya untuk diinfakkan dalam jalan kebaikan.
2- Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata,
Hadits di atas menjelaskan akan keutamaan orang kaya yang giat memanfaatkan hartanya untuk diinfakkan dalam jalan kebaikan.
2- Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata,
ذَهَبَ
أَهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَالنَّعِيمِ
الْمُقِيمِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى ، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ ،
وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّونَ بِهَا ، وَيَعْتَمِرُونَ ،
وَيُجَاهِدُونَ ، وَيَتَصَدَّقُونَ
“Orang-orang kaya dengan harta selalu mendapatkan kedudukan
tinggi dan nikmat yang terus menerus. Mereka shalat sebagaimana kami
shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami puasa. Mereka memiliki
kelebihan harta sehingga bisa pergi berhaji, berumrah, berjihad serta
bershodaqoh.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ
أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ
سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ
مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ
تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ
ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ
“Maukah kuberitahu pada kalian jika kalian mau mengamalkannya, maka
kalian akan mengejar ketertinggalan dari orang-orang kaya dan tidak ada
yang mendapati setelah itu. Engkau akan mendapatkan kebaikan lebih dari
mereka. Kecuali jika mereka mengamalkan yang semisal. Amalkanlah tasbih,
tahmid, dan takbir masing-masing sebanyak 33 kali.”
فَاخْتَلَفْنَا
بَيْنَنَا فَقَالَ بَعْضُنَا نُسَبِّحُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ،
وَنَحْمَدُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَنُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ .
فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ « تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ ، وَالْحَمْدُ
لِلَّهِ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، حَتَّى يَكُونَ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ
ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ »
“Kami pun berselisih. Sebagian kami bertasbih 33 kali, bertahmid 33
kali, dan bertakbir 33 kali. Aku pun kembali menghadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mengatakan, “Berdzikirlah
dengan menyebut “subhanallah, walhamdulillah, wallahu akbar” dari setiap
dzikir itu 33 kali.” (HR. Bukhari no. No. 843 dan Muslim no. 595)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, dari Abu Shalih yang meriwayatkan dari Abu Hurairah
Dalam riwayat Muslim disebutkan, dari Abu Shalih yang meriwayatkan dari Abu Hurairah
فَرَجَعَ
فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا
فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ »
“Orang-orang fakir dari kaum muhajirin kembali pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata, “Saudara-saudara kami
yang kaya mendengar apa yang kami lakukan. Maka mereka melakukan ” (HR.
Muslim no. 595)
Ketika menjelaskan hadits di atas disebutkan oleh Imam Nawawi,
Ketika menjelaskan hadits di atas disebutkan oleh Imam Nawawi,
وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل لِمَنْ فَضَّلَ الْغَنِيّ الشَّاكِر عَلَى الْفَقِير الصَّابِر
وَفِي الْمَسْأَلَة خِلَاف مَشْهُور بَيْن السَّلَف وَالْخَلَف مِنْ الطَّوَائِف . وَاللَّهُ أَعْلَم
“Dalam hadits ini terdapat dalil akan keutamaan orang kaya yang
pandai bersyukur daripada orang miskin yang mau bersabar. Manakah yang
lebih utama daripada keduanya terdapat perselisihan di antara para ulama
salaf dan khalaf dari berbagai kalangan. Wallahu a’lam.”
Tentang cara membaca tasbih, tahmid dan takbir diterangkan oleh Imam Nawawi sebagai berikut.
Tentang cara membaca tasbih, tahmid dan takbir diterangkan oleh Imam Nawawi sebagai berikut.
وَذَكَرَ
بَعْد هَذِهِ الْأَحَادِيث مِنْ طُرُق غَيْر طَرِيق أَبِي صَالِح ،
وَظَاهِرهَا أَنَّهُ يُسَبِّح ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ مُسْتَقِلَّة ،
وَيُكَبِّر ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ مُسْتَقِلَّة ، وَيَحْمَد كَذَلِكَ ،
وَهَذَا ظَاهِر الْأَحَادِيث . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض : وَهُوَ أَوْلَى
مِنْ تَأْوِيل أَبِي صَالِح . وَأَمَّا قَوْل سُهَيْل : إِحْدَى عَشْرَة
فَلَا يُنَافِي رِوَايَة الْأَكْثَرِينَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، بَلْ
مَعَهُمْ زِيَادَة يَجِب قَبُولهَا ، وَفِي رِوَايَة : تَمَام الْمِائَة
لَا إِلَه إِلَّا اللَّه وَحْده لَا شَرِيك لَهُ لَهُ الْمُلْك وَلَهُ
الْحَمْد وَهُوَ عَلَى كُلّ شَيْء قَدِير ) ، وَفِي رِوَايَة : ( أَنَّ
التَّكْبِيرَات أَرْبَع وَثَلَاثُونَ ) وَكُلّهَا زِيَادَات مِنْ الثِّقَات
يَجِب قَبُولهَا ، فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْتَاط الْإِنْسَان فَيَأْتِي
بِثَلَاثٍ وَثَلَاثِينَ تَسْبِيحَة ، وَمِثْلهَا تَحْمِيدَات وَأَرْبَع
وَثَلَاثِينَ تَكْبِيرَة وَيَقُول مَعَهَا : لَا إِلَه إِلَّا اللَّه
وَحْده لَا شَرِيك لَهُ . . . إِلَى آخِرهَا ؛ لِيَجْمَع بَيْن
الرِّوَايَات .
“Ada jalur lain selain jalur Abu Shalih. Yang Nampak jelas, bacaan
tasbih dibaca 33 kali tasbih dan 33 kali takbir, begitu pula 33 kali
tahmid. Inilah yang nampak dalam hadits. Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan
bahwa penafsiran seperti ini lebih utama dari penafsiran Abu Shalih.
Adapun riwayat dari Suhail yang menyatakan bahwa masing-masing bacaan tadi dibaca 11 kali, itu tidak menafikan riwayat yang menyatakan 33 kali. Bahkan ziyadah (tambahan) seperti itu hendaklah diterima.
Dalam riwayat lain, dzikir tersebut disempurnakan dengan bacaan: ‘laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodir’.
Adapun riwayat dari Suhail yang menyatakan bahwa masing-masing bacaan tadi dibaca 11 kali, itu tidak menafikan riwayat yang menyatakan 33 kali. Bahkan ziyadah (tambahan) seperti itu hendaklah diterima.
Dalam riwayat lain, dzikir tersebut disempurnakan dengan bacaan: ‘laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodir’.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa bacaan takbir dibaca 34 kali.
Semua tambahan tadi adalah tambahan dari perowi tsiqoh (terpercaya) yang mestinya diterima.
Yang layak kita katakan, lebih hati-hatinya seseorang berdzikir membaca: subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali, Allahu akbar 34 kali, lalu ditambahkan bacaan ‘laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah … hingga akhir. Untuk menggabungkan riwayat-riwayat yang ada’.” Demikian penjelasan Imam Nawawi rahimahullah dalam Shahih Muslim.
Kaya atau Miskin yang Utama?
Manakah yang utama, orang kaya ataukah orang miskin? Orang kaya punya kemudahan untuk mudah bersedekah. Orang miskin pun disebutkan dalam hadits akan masuk surga 500 tahun lebih dahulu dari orang kaya. Kaya atau miskin yang utama?
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS. Al Hujurat: 13)
Ibnul Qayyim berkata,
Ibnul Qayyim berkata,
ولم يقل أفقركم ولا أغناكم
“Allah tidak mengatakan bahwa yang paling mulia adalah yang paling miskin atau yang paling kaya di antara kalian.” (Madarijus Salikin, 2: 442)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan mengenai keutamaan suatu hal dari yang lainnya, di antaranya beliau ditanyakan mengenai manakah yang lebih utama antara orang kaya yang pandai bersyukur atau orang miskin yang selalu bersabar. Lalu beliau jawab dengan jawaban yang sangat memuaskan, “Yang paling afdhol (utama) di antara keduanya adalah yang paling bertaqwa kepada Allah Ta’ala. Jika orang kaya dan orang miskin tadi sama dalam taqwa, maka berarti mereka sama derajatnya.” (Badai’ul Fawaidh, 3: 683).
Itu pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Al Furqon hal. 67. Ketika diajukan pertanyaan yang sama, beliau jawab dengan surat Al Hujurat ayat 13. Yang maksudnya bahwa yang paling mulia adalah yang paling bertakwa, bukan kaya atau miskinnya.
Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, terdapat riwayat dari Abu Hurairah,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan mengenai keutamaan suatu hal dari yang lainnya, di antaranya beliau ditanyakan mengenai manakah yang lebih utama antara orang kaya yang pandai bersyukur atau orang miskin yang selalu bersabar. Lalu beliau jawab dengan jawaban yang sangat memuaskan, “Yang paling afdhol (utama) di antara keduanya adalah yang paling bertaqwa kepada Allah Ta’ala. Jika orang kaya dan orang miskin tadi sama dalam taqwa, maka berarti mereka sama derajatnya.” (Badai’ul Fawaidh, 3: 683).
Itu pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Al Furqon hal. 67. Ketika diajukan pertanyaan yang sama, beliau jawab dengan surat Al Hujurat ayat 13. Yang maksudnya bahwa yang paling mulia adalah yang paling bertakwa, bukan kaya atau miskinnya.
Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, terdapat riwayat dari Abu Hurairah,
قِيلَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَنْ أَكْرَمُ النَّاسِ قَالَ « أَتْقَاهُمْ » .
فَقَالُوا لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ . قَالَ « فَيُوسُفُ نَبِىُّ
اللَّهِ ابْنُ نَبِىِّ اللَّهِ ابْنِ نَبِىِّ اللَّهِ ابْنِ خَلِيلِ
اللَّهِ » . قَالُوا لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ . قَالَ فَعَنْ
مَعَادِنِ الْعَرَبِ تَسْأَلُونَ خِيَارُهُمْ فِى الْجَاهِلِيَّةِ
خِيَارُهُمْ فِى الإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا
Ada yang mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling mulia?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling bertakwa.”
Kemudian mereka yang bertanya tadi berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “(Yang paling mulia adalah) Yusuf, Nabi Allah. Dia anak dari Nabi Allah (Ya’qub). Dia cucu dari Nabi Allah (Ishaq). Dan dia adalah keturunan kekasih Allah (Ibrahim).”
Kemudian mereka yang bertanya tadi berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah mengenai barang tambang Arab yang kalian tanyakan? (Manusia adalah barang tambang), yang paling baik di antara mereka di masa Jahiliyah adalah yang paling baik di antara mereka di masa Islam, namun jika mereka berilmu.” (HR. Bukhari no. 3353 dan Muslim no. 2378).
Kemudian mereka yang bertanya tadi berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “(Yang paling mulia adalah) Yusuf, Nabi Allah. Dia anak dari Nabi Allah (Ya’qub). Dia cucu dari Nabi Allah (Ishaq). Dan dia adalah keturunan kekasih Allah (Ibrahim).”
Kemudian mereka yang bertanya tadi berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah mengenai barang tambang Arab yang kalian tanyakan? (Manusia adalah barang tambang), yang paling baik di antara mereka di masa Jahiliyah adalah yang paling baik di antara mereka di masa Islam, namun jika mereka berilmu.” (HR. Bukhari no. 3353 dan Muslim no. 2378).
Intinya pada takwa, bukan pada kekayaan ataupun nasab (keturunan). Ketika Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, beliau sebutkan,
إنما تتفاضلون عند الله بالتقوى لا بالأحساب
“Sesungguhnya seseorang dinilai mulia di sisi Allah dilihat dari ketakwaan, bukan pada garis keturunannya yang mulia.”
Ibnu Taimiyah pernah juga menyatakan,
Ibnu Taimiyah pernah juga menyatakan,
أن تعليق الشرف في الدين بمجرد النسب هو حكم من أحكام الجاهلية الذين اتبعتهم عليه الرافضة وأشباههم من أهل الجهل
“Anggapan bahwa kemuliaan dalam agama dilihat dari nasab (keturunan)
yang mulia adalah di antara sifat jahiliyyah. Sifat seperti ini diikuti
oleh Rafidhah (baca: Syi’ah) dan ahlu jahiliyyah semisalnya.” (Daqoiqut Tafsir, 2: 22). Karena memang Rafidhah terlalu berlebihan dalam mengagungkan ahlul bait (keturunan Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-).
Semoga bermanfaat.
Disalin dari 3 Artikel Rumaysho.ComSemoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar