Tawassul diambil dari wasilah yang artinya
menjadikan sesuatu sebagai perantara antara dia dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Dan tawassul dibagi oleh para ulama menjadi dua macam:
1. Tawassul yang syar’iy yaitu tawassul yang
di idzinkan oleh syari’at
Tawassul yang syar’iy yaitu tawassul yang diidzinkan oleh syari’at mempunyai beberapa macam:
Pertama: Tawassul dengan melalui asmaul husna.
Tawassul yang syar’iy yaitu tawassul yang diidzinkan oleh syari’at mempunyai beberapa macam:
Pertama: Tawassul dengan melalui asmaul husna.
Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang
artinya:
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti
mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (Al
A’raaf: 180).
Kedua: Tawassul dengan melalui amal shalih.
Kedua: Tawassul dengan melalui amal shalih.
Berdasarkan hadits yang mengkisahkan tiga orang
yang masuk ke dalam goa, lalu jatuh batu besar dari gunung dan menutup mulut goa
tersebut, lalu masing-masing mereka bertawassul dengan menyebutkan amalan shalih
yang mereka pernah lakukan.
Ketiga: Tawassul dengan melalui orang shalih yang masih hidup dan hadir.
Ketiga: Tawassul dengan melalui orang shalih yang masih hidup dan hadir.
Berdasarkan hadits orang buta yang datang
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minta dido’akan agar disembuhkan
matanya.
Dari Utsman bin Hanif bahwa ada seorang laki-laki buta datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika kamu mau aku akan berdo’a dan jika kamu mau bersabar itu lebih baik”. Ia berkata: “Do’akanlah”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya berwudlu dan membaguskan wudlunya dan berdo’a dengan do’a ini: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu melalui NabiMu Nabi rahmat, wahai Muhammad aku menghadap kepada Rabbku melalui kamu agar hajatku dipenuhi, ya Allah berilah syafa’at untuknya terhadapku”. Maka penglihatannyapun kembali seperti semula”. (HR Ibnu Majah dan lainnya).
2. Tawassul yang diharamkan
Dari Utsman bin Hanif bahwa ada seorang laki-laki buta datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika kamu mau aku akan berdo’a dan jika kamu mau bersabar itu lebih baik”. Ia berkata: “Do’akanlah”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya berwudlu dan membaguskan wudlunya dan berdo’a dengan do’a ini: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu melalui NabiMu Nabi rahmat, wahai Muhammad aku menghadap kepada Rabbku melalui kamu agar hajatku dipenuhi, ya Allah berilah syafa’at untuknya terhadapku”. Maka penglihatannyapun kembali seperti semula”. (HR Ibnu Majah dan lainnya).
2. Tawassul yang diharamkan
Tawassul yang diharamkan ada dua macam, yaitu tawassul yang syirik dan tawassul yang bid’ah.
Tawassul yang syirik adalah menjadikan Nabi
atau orang shalih yang telah meninggal sebagai perantara dalam berdo’a kepada
Allah, dengan mengatakan misalnya: “Ya Allah, dengan melalui Syaikh fulan (yang
telah meninggal), kabulkanlah permintaanku”. Ini adalah kesyirikan yang
dilakukan oleh kaum musyrikin arab di zaman di utusnya Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang
bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah
(berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami
kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di
antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah
tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”. (Az Zumar:
3).
Imam Qatadah rahimahullah berkata: “Dahulu (sebagian orang-orang kafir quraisy) apabila dikatakan kepada mereka: “siapa Rabb dan pencipta kamu? Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit?” Mereka menjawab: “Allah”. Dikatakan kepada mereka: “Lalu apa makna ibadahmu kepada patung-patung?” Mereka menjawab: “Agar mereka (patung-patung yang diberi nama dengan nama-nama orang shalih itu) mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, dan memberikan syafa’at kepada kami disisiNya”.[1]
Dalam ayat ini kaum musyrikin ketika menyembah Latta, hubal, dan patung-patung lainnya yang diberi nama orang-orang shalih mengatakan bahwa tujuan mereka bukanlah menyembah patung-patung tersebut bahkan mereka meyakini bahwa patung-patung tersebut tidak dapat menciptakan apa-apa, namun tujuan mereka adalah agar orang-orang shalih yang telah meninggal itu dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.
Ini tidak ada bedanya dengan para penyembah kuburan di zaman ini, mereka datang kepada kuburan-kuburan para wali dan berkata: “Kami tidak menyembah kuburan, namun kami ingin agar do’a kami di sampaikan kepada Allah Ta’ala dan agar orang shalih yang telah mati itu memberikan syafaat kepada kami di sisi Allah”. Padahal kaum musyrikin arabpun sama mengatakan demikian bahwa tujuan mereka bukan menyembah patung, tapi agar dapat menyampaikan doa-doa mereka kepada Allah dan memberikan syafaat kepada mereka di sisiNya.
Adapun tawassul yang bid’ah adalah bertawassul dengan melalui hak dan kedudukan Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam, karena perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh para shahabat, tidak pula para tabi’in dan tabi’uttabi’in.
Menjawab syubhat
Imam Qatadah rahimahullah berkata: “Dahulu (sebagian orang-orang kafir quraisy) apabila dikatakan kepada mereka: “siapa Rabb dan pencipta kamu? Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit?” Mereka menjawab: “Allah”. Dikatakan kepada mereka: “Lalu apa makna ibadahmu kepada patung-patung?” Mereka menjawab: “Agar mereka (patung-patung yang diberi nama dengan nama-nama orang shalih itu) mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, dan memberikan syafa’at kepada kami disisiNya”.[1]
Dalam ayat ini kaum musyrikin ketika menyembah Latta, hubal, dan patung-patung lainnya yang diberi nama orang-orang shalih mengatakan bahwa tujuan mereka bukanlah menyembah patung-patung tersebut bahkan mereka meyakini bahwa patung-patung tersebut tidak dapat menciptakan apa-apa, namun tujuan mereka adalah agar orang-orang shalih yang telah meninggal itu dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.
Ini tidak ada bedanya dengan para penyembah kuburan di zaman ini, mereka datang kepada kuburan-kuburan para wali dan berkata: “Kami tidak menyembah kuburan, namun kami ingin agar do’a kami di sampaikan kepada Allah Ta’ala dan agar orang shalih yang telah mati itu memberikan syafaat kepada kami di sisi Allah”. Padahal kaum musyrikin arabpun sama mengatakan demikian bahwa tujuan mereka bukan menyembah patung, tapi agar dapat menyampaikan doa-doa mereka kepada Allah dan memberikan syafaat kepada mereka di sisiNya.
Adapun tawassul yang bid’ah adalah bertawassul dengan melalui hak dan kedudukan Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam, karena perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh para shahabat, tidak pula para tabi’in dan tabi’uttabi’in.
Menjawab syubhat
Sebagian kaum muslimin ada yang membela
tawassul yang syirik dan bid’ah ini, bahkan mengatakan bahwa tawassul melalui
orang shalih yang telah mati bukan syirik, dan menuduh bahwa yang mengatakan
syirik adalah wahabi yang menyesatkan, dan mereka mengemukakan dalil yang banyak
yang seakan-akan membolehkan tawassul melalui mayat, dan kita akan menyebutkan
dalil-dalil mereka satu persatu diringi dengan jawaban terhadap dalil tersebut
satu persatu:
Syubhat 1:
Syubhat 1:
Firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka
sendiri mencari jalan (al wasilah) kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka
yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan
azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”. (Al
Israa: 57).
mereka berkata: “Ayat ini menyebutkan bahwa mereka mencari al wasilah (perantara) kepada Allah, ini menunjukkan bolehnya bertawassul melalui mayat di kuburan”.
mereka berkata: “Ayat ini menyebutkan bahwa mereka mencari al wasilah (perantara) kepada Allah, ini menunjukkan bolehnya bertawassul melalui mayat di kuburan”.
Jawaban:
Pertama: Memahami ayat ini untuk membolehkan
tawassul dengan melalui para Nabi dan orang-orang shalih adalah pemahaman yang
sangat rusak, karena bertentangan dengan penafsiran para ahli tafsir dalam
kitab-kitab tafsir, bahwa maksud ayat ini adalah bahwa sesembahan-sesembahan
yang disembah selain Allah berupa Malaikat, Jinn, Nabi Isa dan ibunya serta Nabi
Uzair dan sebagainya justru mencari wasilah yaitu qurbah (taqarrub) untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Kedua: Bila kita melihat ayat sebelumnya, akan tampak jelas maknanya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
Kedua: Bila kita melihat ayat sebelumnya, akan tampak jelas maknanya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
56. Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu
anggap (tuhan) selain Allah, Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk
menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya.”
57. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka
sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih
dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya;
Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (Al Israa:
56-57).
Bila kita perhatikan ayat tersebut semakin jelas bahwa mereka yang mencari al wasilah kepada Allah adalah orang-orang yang diseru selain Allah berupa malaikat, jinn, para Nabi dan sebagainya. Mereka sendiri berusaha mendekatkan diri kepada Allah dan takut dari adzabNya, maka bagaimana kamu jadikan mereka sesembahan selain Allah??
Bahkan redaksi ayat ini menunjukkan syiriknya tawassul dengan melalui para Nabi dan orang shalih yang telah meninggal, dari dua sisi:
Kaum musyrikin meyakini bahwa para malaikat, jinn, para nabi dan orang-orang shalih tidak dapat menciptakan apapun tidak pula memberikan rizki, tidak bisa memberi manfaat dan mudlarat, namun mereka menjadikannya sebagai wasilah yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah sedekat-dekatnya dan berharap syafaat darinya sebagaimana telah kita jelaskan, namun Allah menganggap mereka musyrik karena telah menjadikan mereka tandingan selain Allah.
Bila kita perhatikan ayat tersebut semakin jelas bahwa mereka yang mencari al wasilah kepada Allah adalah orang-orang yang diseru selain Allah berupa malaikat, jinn, para Nabi dan sebagainya. Mereka sendiri berusaha mendekatkan diri kepada Allah dan takut dari adzabNya, maka bagaimana kamu jadikan mereka sesembahan selain Allah??
Bahkan redaksi ayat ini menunjukkan syiriknya tawassul dengan melalui para Nabi dan orang shalih yang telah meninggal, dari dua sisi:
Kaum musyrikin meyakini bahwa para malaikat, jinn, para nabi dan orang-orang shalih tidak dapat menciptakan apapun tidak pula memberikan rizki, tidak bisa memberi manfaat dan mudlarat, namun mereka menjadikannya sebagai wasilah yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah sedekat-dekatnya dan berharap syafaat darinya sebagaimana telah kita jelaskan, namun Allah menganggap mereka musyrik karena telah menjadikan mereka tandingan selain Allah.
Bahwa malaikat, jinn, para nabi dan sebagainya yang diseru selain Allah dan dijadikan sebagai wasilah kepada Allah, mereka sendiri berusaha mendekatkan diri kepada Allah, berharap rahmatNya dan takut dari adzabNya. Artinya mereka tidak mampu untuk memberikan manfaat untuk dirinya atau menolak mudlarat dari dirinya, mereka pun takut dari adzab Allah dan tidak mampu menolong siapapun dari adzabNya kecuali dengan idzin Allah. Bila untuk dirinya sendiri tidak mampu bagaimana untuk orang lain?! Maka orang yang bertawassul kepada dzat para Nabi atau orang shalih yang telah mati, telah menjadikannya tandingan selain Allah.
Ketiga: Bahwa yang dimaksud dengan al wasilah dalam ayat ini adalah qurbah (ketaatan) sebagaimana yang ditafsirkan oleh ibnu Abbas, Qatadah dan Mujahid[2].
Keempat: Makna al wasilah dalam ayat tidak tidak ada bedanya dengan makna al wasilah dalam surat Al Maidah ayat 35 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (al wasilah),
dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Imam ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan makna Al Wasilah:
Imam ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan makna Al Wasilah:
قال سفيان الثوري، حدثنا أبي، عن طلحة، عن عطاء،
عن ابن عباس: أي القربة. وكذا
قال مجاهد, وعطاء, وأبو وائل، والحسن، وقتادة، وعبد الله بن كثير، والسدي، وابن زيد. وقال قتادة: أي
تقربوا إليه بطاعته والعمل بما يرضيه.. وهذا الذي قاله هؤلاء الأئمة لا خلاف بين المفسرين
فيه.
Berkata Sufyan Ats Tsauri: haddatsana ayahku
dari Thalhah dari ‘Atha dari ibnu Abbas: “Maknanya adalah al qurbah (ketaatan).
Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha, Abu Wail, Al Hasan, Qatadah,
Abdullah bin Katsir, As Suddi dan ibnu Zaid. Qatadah berkata: “Artinya
bertaqarrublah kepadanya dengan melalui ketaatan kepadaNya dan mengamalkan apa
yang diridlaiNya”. Dan yang dikatakan oleh para imam ini tidak ada perselisihan
diantara mufassirin (ahli tafsir)”.[3]
Jadi, ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bolehnya bertawassul kepada para nabi atau orang shalih yang telah meninggal, namun menunjukkan kepada tawassul dengan melalui amal shalih dan ketaatan.
Syubhat 2:
Jadi, ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bolehnya bertawassul kepada para nabi atau orang shalih yang telah meninggal, namun menunjukkan kepada tawassul dengan melalui amal shalih dan ketaatan.
Syubhat 2:
Firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul
melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika
Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (An Nisaa: 64).
Mereka berkata: “Ayat ini bersifat umum, baik datang kepada Rasulullah ketika masih hidup maupun setelah matinya”.
Jawab:
Mereka berkata: “Ayat ini bersifat umum, baik datang kepada Rasulullah ketika masih hidup maupun setelah matinya”.
Jawab:
Pertama: Ayat ini hanya menunjukkan memohon
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar memintakan ampun kepada Allah
ketika beliau masih hidup, jadi ini adalah tawassul dengan melalui orang shalih
yang masih hidup dan hadir, dan ini boleh berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Maka
berdalil untuk membolehkan bertawassul kepada Nabi setelah matinya dengan ayat
ini adalah termasuk qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang hidup dengan orang yang
telah mati, dan ini batil. karena perbedaan antara orang yang hidup dengan orang
yang telah mati ditetapkan oleh firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup
dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa
yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang
didalam kubur dapat mendengar”. (Fathir: 22).
Dan diantara syarat sah qiyas adalah persamaan illat antara cabang dan pokok, sedangkan di sini illatnya berbeda, yaitu datang kepada nabi setelah meninggal diqiyaskan kepada datang kepada nabi ketika masih hidup, dan qiyas yang berbeda illatnya adalah batil dengan kesepakatan ahli ushul.
Kedua: Pemahaman ini tidak pernah difahami oleh para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada satupun para shahabat atau tabi’in atau tabi’uttabi’in yang datang kepada kuburan Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan dosa begini dan begitu, maka mohonkanlah ampunan kepada Allah untukku”. Kalaulah pemahaman itu benar, tentu mereka yang terlebih dahulu memahaminya dan melakukannya.
Syubhat 3:
Dan diantara syarat sah qiyas adalah persamaan illat antara cabang dan pokok, sedangkan di sini illatnya berbeda, yaitu datang kepada nabi setelah meninggal diqiyaskan kepada datang kepada nabi ketika masih hidup, dan qiyas yang berbeda illatnya adalah batil dengan kesepakatan ahli ushul.
Kedua: Pemahaman ini tidak pernah difahami oleh para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada satupun para shahabat atau tabi’in atau tabi’uttabi’in yang datang kepada kuburan Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan dosa begini dan begitu, maka mohonkanlah ampunan kepada Allah untukku”. Kalaulah pemahaman itu benar, tentu mereka yang terlebih dahulu memahaminya dan melakukannya.
Syubhat 3:
Ayat-ayat dan hadits yang menyebutkan bahwa para Nabi dan orang-orang shalih itu hidup dalam kuburnya dan menjawab salam orang yang memberi salam kepadanya, seperti hadits Abu hurairah:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
قَالَ « مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَىَّ إِلاَّ رَدَّ اللَّهُ عَلَىَّ رُوحِى حَتَّى
أَرُدَّ عَلَيْهِ
السَّلاَمَ ».
“Sesunnguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Tidak ada seorangpun yang mengucapkan salam kepadaku,
kecuali Allah akan mengembalikan ruhku sampai aku jawab salamnya”. (HR Abu Dawud
dan dihasankan oleh Syaikh Al Bani).
Dan juga firman Allah Ta’ala yang artinya:
Dan juga firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan
mendapat rezki”. (Ali Imran: 169).
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ
يُصَلُّونَ
“Para Nabi hidup dikuburan mereka shalat”. (HR
Al Bazzar).
Mereka berkata: “Dalil-dalil di atas
menunjukkan bahwa Nabi hidup di dalam kuburnya seperti kehidupan di dunia,
sehingga boleh bertawassul kepadanya”.
Jawab:
Jawab:
Pertama: Kehidupan mereka di alam kubur adalah
kehidupan alam barzakh yang tidak sama dengan kehidupan dunia.
Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah ketika berbicara tentang definisi shahabat berkata: “Adapun orang yang melihat Nabi setelah wafatnya dan sebelum dikuburkan, yang rajih ia bukan shahabat, sebab bila ia dianggap shahabat maka orang yang melihat jasad Rasulullah di dalam kuburnya walaupun di zaman ini tentu termasuk shahabat.. dan hujjah (alasan) orang yang berpendapat bahwa orang yang melihat Nabi setelah wafat sebelum dikuburkan dianggap sebagai shahabat adalah bahwa Nabi masih hidup terus, padahal kehidupan beliau (setelah mati) adalah kehidupan ukhrawiyah yang tidak berhubungan dengan hukum-hukum dunia, karena para syuhadapun hidup, namun aturan-aturan yang berlaku untuk mereka setelah terbunuh sama dengan aturan-aturan untuk mayat-mayat lainnya”.[4]
Dan kehidupan alam barzakh adalah kehidupan alam ghaib yang tidak bisa diqiyaskan dengan kehidupan dunia, dan kalaulah hidup beliau di kuburnya sama dengan kehidupan dunia, tentu orang yang melihat jasadnya di zaman ini dianggap sebagai shahabat dan ini batil, juga tentunya beliau akan makan, minum, berpakaian, menikah dan sebagainya.
Kedua: Hadits yang menyebutkan bahwa Nabi dan orang-orang shalih dapat menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepadanya hanya menunjukkan bahwa roh Nabi dikembalikan ke jasadnya hanya untuk menjawab salam, dan tidak menunjukkan bahwa ruhnya terus menerus berada di jasadnya di setiap waktu.
Ketiga: Kalaulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hidup di kuburnya seperti kehidupan beliau di dunia sehingga boleh bertawassul kepadanya, tentu para shahabat, para tabi’in dan tabi’uttabi’in yang pertama kali mendatangi kuburan beliau untuk menyelesaikan berbagai macam konflik dan perselisihan yang terjadi di zaman mereka, namun kita tidak pernah mendapat ada seorang shahabat yang melakukannya, tidak pula tabi’in dan tabi’uttabi’in, kalaulah itu baik tentu mereka yang lebih dahulu melakukannya, karena mereka adalah generasi terbaik yang paling memahami agama ini dengan persaksian dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah ketika berbicara tentang definisi shahabat berkata: “Adapun orang yang melihat Nabi setelah wafatnya dan sebelum dikuburkan, yang rajih ia bukan shahabat, sebab bila ia dianggap shahabat maka orang yang melihat jasad Rasulullah di dalam kuburnya walaupun di zaman ini tentu termasuk shahabat.. dan hujjah (alasan) orang yang berpendapat bahwa orang yang melihat Nabi setelah wafat sebelum dikuburkan dianggap sebagai shahabat adalah bahwa Nabi masih hidup terus, padahal kehidupan beliau (setelah mati) adalah kehidupan ukhrawiyah yang tidak berhubungan dengan hukum-hukum dunia, karena para syuhadapun hidup, namun aturan-aturan yang berlaku untuk mereka setelah terbunuh sama dengan aturan-aturan untuk mayat-mayat lainnya”.[4]
Dan kehidupan alam barzakh adalah kehidupan alam ghaib yang tidak bisa diqiyaskan dengan kehidupan dunia, dan kalaulah hidup beliau di kuburnya sama dengan kehidupan dunia, tentu orang yang melihat jasadnya di zaman ini dianggap sebagai shahabat dan ini batil, juga tentunya beliau akan makan, minum, berpakaian, menikah dan sebagainya.
Kedua: Hadits yang menyebutkan bahwa Nabi dan orang-orang shalih dapat menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepadanya hanya menunjukkan bahwa roh Nabi dikembalikan ke jasadnya hanya untuk menjawab salam, dan tidak menunjukkan bahwa ruhnya terus menerus berada di jasadnya di setiap waktu.
Ketiga: Kalaulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hidup di kuburnya seperti kehidupan beliau di dunia sehingga boleh bertawassul kepadanya, tentu para shahabat, para tabi’in dan tabi’uttabi’in yang pertama kali mendatangi kuburan beliau untuk menyelesaikan berbagai macam konflik dan perselisihan yang terjadi di zaman mereka, namun kita tidak pernah mendapat ada seorang shahabat yang melakukannya, tidak pula tabi’in dan tabi’uttabi’in, kalaulah itu baik tentu mereka yang lebih dahulu melakukannya, karena mereka adalah generasi terbaik yang paling memahami agama ini dengan persaksian dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
______
[1] Al Jaami’ li ahkaamil qur’an 15/233.
[1] Al Jaami’ li ahkaamil qur’an 15/233.
[2] Dirujuk tafsir Ath thabari
[3] Tafsir ibnu Katsir 3/75 tahqiq Hani Al
haj.
[4] Fathul bari 7/4.
Syubhat 4:
Hadits yang menunjukkan bahwa orang yang telah mati bisa memberikan manfaat kepada orang yang masih hidup, dari ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Hadits yang menunjukkan bahwa orang yang telah mati bisa memberikan manfaat kepada orang yang masih hidup, dari ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
..وَفَاتِي خَيْرٌ
لَكُمُ ، تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَمَا كَانَ
مِنْ حَسَنٍ حَمِدْتُ اللَّهَ ، وَمَا كَانَ مِنْ
سَيِّءٍ اسْتَغْفَرْتُ اللَّهَ
لَكُمْ.
…wafatku adalah kebaikan untuk kamu,
amal-amalmu ditampakkan kepadaku, bila baik maka aku memuji Allah dan bila
buruk, aku akan mohonkan ampunan untukmu”. (HR Al Bazzaar).
Dan hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dan hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى
أَقَارِبِكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ مِنَ الأَمْوَاتِ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا اسْتَبْشَرُوا بِهِ، وَإِنْ
كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ، قَالُوا:
اللَّهُمَّ لاَ تُمِتْهُمْ حَتَّى تَهْدِيَهُمْ
كَمَا هَدَيْتَنَا.
“Sesungguhnya amal-amalmu akan ditampakkan
kepada karib kerabat dan keluargamu (yang telah meninggal), jika baik mereka
bergembira, dan jika buruk mereka berkata: “Ya Allah jangan Engkau matikan dia
sampai Engkau memberikan hidayah kepadanya sebagaimana Engkau memberi kami
hidayah”. (HR Ahmad).
Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa orang yang masih hidup dapat mengambil manfaat dari do’a orang yang telah mati, bila keadaannya demikian maka diperbolehkan kita bertawassul kepada mereka”.
Jawab.
Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa orang yang masih hidup dapat mengambil manfaat dari do’a orang yang telah mati, bila keadaannya demikian maka diperbolehkan kita bertawassul kepada mereka”.
Jawab.
Pertama: Hadits-hadits tersebut kalau ternyata
shahih maka tidak bisa dijadikan dalil bolehnya bertawassul kepada nabi dan
orang-orang shalih, dari beberapa sisi:
Bahwa para shahabat, tabi’in, dan tab’iut tabi’in serta para ulama setelahnya tidak ada yang memahami demikian, karena apabila pemahaman tersebut benar tentu mereka akan melakukannya, dan akan dinukil kepada kita walaupun satu riwayat.
Bahwa para shahabat, tabi’in, dan tab’iut tabi’in serta para ulama setelahnya tidak ada yang memahami demikian, karena apabila pemahaman tersebut benar tentu mereka akan melakukannya, dan akan dinukil kepada kita walaupun satu riwayat.
Hadits tersebut hanya mengabarkan apa yang dilakukan oleh mereka (orang-orang yang mati tersebut) tentunya dengan perintah dari Allah, seperti halnya Allah mengabarkan bahwa para malaikat mendo’akan kaum mukminin, seperti dalam firman Allah:
“(malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan
Malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka
beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya
mengucapkan): “Ya Tuhan Kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu,
Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan
Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala”. (Al
mukmin: 7).
Para Malaikat pemikul ‘Arasy itu memohonkan ampunan untuk kaum mukminin yang bertaubat, dan keadaan semacam tidak butuh untuk diminta, karena baik diminta maupun tidak diminta mereka tetap akan mendo’akan sehingga tidak perlu dijadikan wasilah.
Yang ada dilangit dan di bumipun sampai ikan yang ada di laut dan semut yang ada di sarangnya dapat memohonkan ampunan untuk orang yang beriman, seperti disebutkan dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Para Malaikat pemikul ‘Arasy itu memohonkan ampunan untuk kaum mukminin yang bertaubat, dan keadaan semacam tidak butuh untuk diminta, karena baik diminta maupun tidak diminta mereka tetap akan mendo’akan sehingga tidak perlu dijadikan wasilah.
Yang ada dilangit dan di bumipun sampai ikan yang ada di laut dan semut yang ada di sarangnya dapat memohonkan ampunan untuk orang yang beriman, seperti disebutkan dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّ الْعَالِمَ
لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى
جَوْفِ الْمَاءِ
“Sesungguhnya orang yang berilmu itu dimohonkan
ampunan untuknya oleh yang ada di langit dan di bumi sampai ikan yang ada di
dalam air”. (HR Abu daud, At Tirmidzi dan lainnya).
Jika hadits: “..wafatku adalah kebaikan untuk kamu.. dst”, dan hadits setelahnya, bisa dijadikan dalil bolehnya bertawassul kepada mayat karena mereka memohonkan ampunan untuk orang yang hidup, maka konsekwensinya adalah boleh bertawassul kepada malaikat, pohon-pohon, batu, dan ikan-ikan yang ada di laut, karena merekapun dapat memohonkan ampunan untuk kaum mukminin, dan ini jelas kebatilannya.
Kedua: Ternyata dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah, penjelasannya sebagai berikut:
Jika hadits: “..wafatku adalah kebaikan untuk kamu.. dst”, dan hadits setelahnya, bisa dijadikan dalil bolehnya bertawassul kepada mayat karena mereka memohonkan ampunan untuk orang yang hidup, maka konsekwensinya adalah boleh bertawassul kepada malaikat, pohon-pohon, batu, dan ikan-ikan yang ada di laut, karena merekapun dapat memohonkan ampunan untuk kaum mukminin, dan ini jelas kebatilannya.
Kedua: Ternyata dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah, penjelasannya sebagai berikut:
Adapun hadits yang pertama adalah hadits yang syadz, diriwayatkan oleh Al Bazzaar dalam musnadnya: Haddatsana Yusuf bin Musa haddatsana Abdul majid bin Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad dari Sufyan dari Abdullah bin Saaib dari Zaadzan dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ مَلائِكَةً سَيَّاحِينَ
يُبَلِّغُونِي عَنْ أُمَّتِي السَّلامَ قَالَ : وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :
حَيَاتِي خَيْرٌ لَكُمْ
تُحَدِّثُونَ وَنُحَدِّثُ لَكُمْ ، وَوَفَاتِي خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ ، فَمَا
رَأَيْتُ مِنَ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللَّهَ عَلَيْهِ ، وَمَا رَأَيْتُ مِنَ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ
اللَّهَ لَكُمْ.
“Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat
yang bersiyahah (bertebaran di bumi) yang menyampaikan kepadaku salam dari
umatku”. Ia berkata: “Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Hidupku adalah baik untuk kamu, kamu berbicara dan kamipun berbicara kepada
kamu, dan wafatku adalah kebaikan untuk kamu, amal-amalmu ditampakkan kepadaku,
bila baik maka aku memuji Allah dan bila buruk, aku akan mohonkan ampunan
untukmu”.
Lafadz: “Hidupku adalah baik untuk kamu…. sampai akhirnya, hanya diriwayatkan oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawwad. Ia diselisihi oleh para perawi yang sangat tsiqat yang meriwayatkannya tanpa lafadz tersebut mereka adalah:
Fudlail bin ‘Iyadl, dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (10/220).
Lafadz: “Hidupku adalah baik untuk kamu…. sampai akhirnya, hanya diriwayatkan oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawwad. Ia diselisihi oleh para perawi yang sangat tsiqat yang meriwayatkannya tanpa lafadz tersebut mereka adalah:
Fudlail bin ‘Iyadl, dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (10/220).
Muhammad
bin Yusuf Al Firyaabi, dikeluarkan oleh Ad darimi dalam sunannya
(2/409).
Mu’adz bin Mu’adz dikeluarkan oleh An nasai dalam sunannya (3/43).
Al Wakie’ bin Al Jarraah Ar Ruaasi, dikeluarkan oleh An Nasai juga.
Abdurrazzaaq bin Hammaam Ash Shan’aani, dikeluarkan oleh An Nasai juga.
Abu Nu’aim Al Fadll bin Dukain, dikeluarkan oleh Al Baghawi dalam Syarhussunnah (1/496).
Abdullah bin Al Mubarak dalam musnadnya (1/53).
Yahya bin Sa’id Al Qathaan, dikeluarkan oleh Al Bazzaar dalam musnadnya (5/329).
Dan Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad ini dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam taqribnya: “Shaduuq yukhti”. Artinya perawi yang shaduuq dan masih suka salah dalam periwayatannya, dan di sini ia menyelisihi delapan perawi yang sangat tsiqat yang meriwayatkan hadits tersebut tanpa tambahan lafadz tersebut, sehingga haditsnya menjadi syadz dan hadits syadz adalah salah satu macam hadits yang lemah atau bahkan sangat lemah.
Ya, lafadz tersebut diriwayatkan dari jalan lain secara mursal dari Bakr bin Abdillah, dikeluarkan oleh ibnu Sa’ad dalam thabaqatnya 2/194, dari jalan Hammad bin Zaid dari Ghalib dari Bakr bin Abdillah dari Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini adalah sanad yang shahih sampai Bakr bin Abdillah, namun Bakr ini seorang tabi’in sehingga periwayatannya mursal, dan dikeluarkan oleh Al Harits dalam musnadnya 4/23 dari jalan Al Hasan bin Qutaibah dari Jisr bin Farqad dari bakr bin Abdillah, dan Jisr bin Farqad ini perawi yang disepakati kedla’ifannya sebagaimana dikatakan oleh Al Bushiri dalam ithaful khairah 7/47. Dan hadits mursal adalah salah satu hadits yang lemah.
Adapun hadits yang kedua yaitu hadits: “Sesungguhnya amal-amalmu akan ditampakkan kepada karib kerabat dan keluargamu (yang telah meninggal), jika baik mereka bergembira, dan jika buruk mereka berkata: “Ya Allah jangan Engkau matikan dia sampai Engkau memberikan hidayah kepadanya sebagaimana Engkau memberi kami hidayah”.
Hadits ini dikeluarkan olh imam Ahmad dalam musnadnya no 12706: haddatsana Abdurrazzaq haddatsana Sufyan dari orang yang mendengar Anas, dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda… alhadits.
Bila kita perhatikan sanad hadits ini, terdapat di dalamnya perawi yang tidak disebut namanya (mubham), yaitu orang yang mendengar dari Anas, dan ini adalah cacat yang membuat hadits ini lemah, karena perawi yang mubham itu tidak diketahui siapa ia (majhul).
Namun hadits ini mempunyai jalan lain yang dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir no 3887, dan juga dalam musnad Asy Syamiyiin no 1544, dari jalan Maslamah bin Ali dari Zaid bin Waqid dari Makhul dari Abdurrahman bin Salaamah dari Abu Rahm As Samaa’i dari Abu Ayyub Al Anshary dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sanad ini sangat lemah karena Maslamah bin Ali adalah perawi yang sangat lemah, berikut perkataan ulama tentang dia: Al Hafidz ibnu Hajar berkata:
Mu’adz bin Mu’adz dikeluarkan oleh An nasai dalam sunannya (3/43).
Al Wakie’ bin Al Jarraah Ar Ruaasi, dikeluarkan oleh An Nasai juga.
Abdurrazzaaq bin Hammaam Ash Shan’aani, dikeluarkan oleh An Nasai juga.
Abu Nu’aim Al Fadll bin Dukain, dikeluarkan oleh Al Baghawi dalam Syarhussunnah (1/496).
Abdullah bin Al Mubarak dalam musnadnya (1/53).
Yahya bin Sa’id Al Qathaan, dikeluarkan oleh Al Bazzaar dalam musnadnya (5/329).
Dan Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad ini dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam taqribnya: “Shaduuq yukhti”. Artinya perawi yang shaduuq dan masih suka salah dalam periwayatannya, dan di sini ia menyelisihi delapan perawi yang sangat tsiqat yang meriwayatkan hadits tersebut tanpa tambahan lafadz tersebut, sehingga haditsnya menjadi syadz dan hadits syadz adalah salah satu macam hadits yang lemah atau bahkan sangat lemah.
Ya, lafadz tersebut diriwayatkan dari jalan lain secara mursal dari Bakr bin Abdillah, dikeluarkan oleh ibnu Sa’ad dalam thabaqatnya 2/194, dari jalan Hammad bin Zaid dari Ghalib dari Bakr bin Abdillah dari Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini adalah sanad yang shahih sampai Bakr bin Abdillah, namun Bakr ini seorang tabi’in sehingga periwayatannya mursal, dan dikeluarkan oleh Al Harits dalam musnadnya 4/23 dari jalan Al Hasan bin Qutaibah dari Jisr bin Farqad dari bakr bin Abdillah, dan Jisr bin Farqad ini perawi yang disepakati kedla’ifannya sebagaimana dikatakan oleh Al Bushiri dalam ithaful khairah 7/47. Dan hadits mursal adalah salah satu hadits yang lemah.
Adapun hadits yang kedua yaitu hadits: “Sesungguhnya amal-amalmu akan ditampakkan kepada karib kerabat dan keluargamu (yang telah meninggal), jika baik mereka bergembira, dan jika buruk mereka berkata: “Ya Allah jangan Engkau matikan dia sampai Engkau memberikan hidayah kepadanya sebagaimana Engkau memberi kami hidayah”.
Hadits ini dikeluarkan olh imam Ahmad dalam musnadnya no 12706: haddatsana Abdurrazzaq haddatsana Sufyan dari orang yang mendengar Anas, dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda… alhadits.
Bila kita perhatikan sanad hadits ini, terdapat di dalamnya perawi yang tidak disebut namanya (mubham), yaitu orang yang mendengar dari Anas, dan ini adalah cacat yang membuat hadits ini lemah, karena perawi yang mubham itu tidak diketahui siapa ia (majhul).
Namun hadits ini mempunyai jalan lain yang dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir no 3887, dan juga dalam musnad Asy Syamiyiin no 1544, dari jalan Maslamah bin Ali dari Zaid bin Waqid dari Makhul dari Abdurrahman bin Salaamah dari Abu Rahm As Samaa’i dari Abu Ayyub Al Anshary dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sanad ini sangat lemah karena Maslamah bin Ali adalah perawi yang sangat lemah, berikut perkataan ulama tentang dia: Al Hafidz ibnu Hajar berkata:
“Ibnu Ma’in dan Duhaim berkata: “Laisa bisyai”.
Al Bukhari dan Abu Zur’ah berkata: “Mungkarul hadits”. Ibnu Hibban berkata:
“Dla’if hadits mungkar hadits jangan disibukkan dengannya, ia berada pada
batasan at tark (ditinggalkan/matruk)”. Al Jauzaqani berkata: “Dla’if haditsnya
matruk”. Ya’qub bin Sufyan berkata: “Tidak layak bagi para ahli ilmu untuk
menyibukkan diri dengannya”. An Nasai, Ad Daraquthni, dan Al Barqaani berkata:
“Matruk haditsnya”. An Nasai juga berkata: “Laisa bi tsiqah”. Al hakim Abu Ahmad
berkata: “Dzahibul hadits”. Ibnu Hibban berkata: “Ia suka membolak balikkan
sanad dan meriwayatkan dari para perawi tsiqat apa-apa yang tidak mereka miliki
dan bukan dari hadits mereka, tatkala telah banyak melakukannya maka batal
berhujjah dengannya”. (Tahdzibuttahdzib 10/133).
Dan Al Hakim Abu Abdillah berkata: “Ia meriwayatkan dari ibnu juraij, Az Zubaidi, dan Al Auza’i hadits-hadits yang mungkar bahkan maudlu’ (palsu)”. (Al madkhal (1/214) Adz Dzahabi dalam kitab Al kasyif berkata: “Tarakuuh”. Artinya matruk, dan Al Hafidz ibnu Hajar dalam taqribnya berkata: ‘Matruuk”. Dan matruk adalah derajat yang sangat lemah sehingga tidak dapat menguatkan sanad di atas, sehingga status hadits ini lemah.
Apabila kita telah mengetahui kelemahan dua hadits tersebut, tidak boleh kita berhujjah dengannya, karena para ulama semuanya bersepakat melarang berhujjah dengan hadits dla’if dalam masalah ‘aqidah.
Syubhat 5:
Dan Al Hakim Abu Abdillah berkata: “Ia meriwayatkan dari ibnu juraij, Az Zubaidi, dan Al Auza’i hadits-hadits yang mungkar bahkan maudlu’ (palsu)”. (Al madkhal (1/214) Adz Dzahabi dalam kitab Al kasyif berkata: “Tarakuuh”. Artinya matruk, dan Al Hafidz ibnu Hajar dalam taqribnya berkata: ‘Matruuk”. Dan matruk adalah derajat yang sangat lemah sehingga tidak dapat menguatkan sanad di atas, sehingga status hadits ini lemah.
Apabila kita telah mengetahui kelemahan dua hadits tersebut, tidak boleh kita berhujjah dengannya, karena para ulama semuanya bersepakat melarang berhujjah dengan hadits dla’if dalam masalah ‘aqidah.
Syubhat 5:
Hadits Abu Sa’id yang diriwayatkan oleh ibnu Majah:
مَنْ قَالَ حِينَ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ :
اللهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ
بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ ، وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ، أَنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشِرًا ، وَلاَ
بَطَرًا ، وَلاَ رِيَاءً ، وَلاَ سُمْعَةً ، خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ
، أَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي
مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ، إِنَّهُ
لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، وَكَّلَ الله
بِهِ سَبْعِينَ أَلْفَ مَلَكٍ
يَسْتَغْفِرُونَ لَهُ ، وَأَقْبَلَ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ
حَتَّى يَفْرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ.
“Barang siapa yang mengucapkan ketika keluar
menuju shalat: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan melalui hak
orang-orang yang meminta atasMu, dan melalui hak perjalanan kakiku ini,
sesungguhnya aku keluar bukan karena sombong dan congkak, tidak juga karena riya
dan sum’ah. Aku keluar karena takut dari kemurkaanMu, dan mengharapkan wajahMu.
Aku memohon kepadaMu agar melindungiku dari api Neraka, dan mengampuniku,
sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau”. Allah akan
mewakilkan tujuh puluh ribu malaikat yang memohonkan ampunan untuknya, dan
menghadapkan wajahNya kepadanya sampai ia ia selesai dari shalatnya. (HR Ibnu
Majah).
Jawab.
Jawab.
Hadits ini dikeluarkan oleh ibnu Majah no 778,
Ahmad dalam musnadnya no 11172, ibnul Ja’d dalam musnadnya no 2031, ibnu Abi
Syaibah dalam mushannafnya 10/211, dan lainnya dari jalan Fudlail bin Marzuq
dari ‘Athiyyah Al ‘Aufiy dari Abu Sa’id Al Khudri.
Bila kita perhatikan sanad hadits ini, tampak kelemahannya dari beberapa sisi:
Bila kita perhatikan sanad hadits ini, tampak kelemahannya dari beberapa sisi:
‘Athiyyah Al ‘Aufi adalah perawi yang dla’if,
Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Husyaim mendla’ifkan hadits
‘Athiyyah, Muslim bin Al Hajjaj berkata: Berkata Ahmad ketika disebutkan
‘Athiyyah Al ‘Aufi: “Dla’if haditsnya”. Ibnu Ma’in berkata: “Shalih”. Abu Zur’ah
berkata: “Layyin”. Abu Hatim berkata: “Dla’if masih ditulis haditsnya”. An
Nasaai berkata: ‘Dla’if”. Ibnu Adiy berkata: “Ia walaupun dla’if, tetapi masih
di tulis haditsnya”.[1] Adz Dzahabi dalam Al Kasyif berkata: “Dla’afuuhu (mereka
mendla’ifkannya)”. Dan Al Hafidz ibnu hajar dalam Taqribnya berkata: “Shaduuq
yukhthi katsiran (banyak berbuat kesalahan) syi’ah dan mudallis”. Banyak berbuat
kesalahan dalam periwayatan adalah kelemahan pada perawi, adapun perkataan ibnu
Ma’in: “Shalih” tidak menunjukkan perawi tersebut tsiqah, namun hanya
menunjukkan keshalihan dalam agamanya.
Athiyah Al ‘Aufiyy meriwayatkan dari Al Kalbi seorang perawi yang matruk, dan memberikan kepadanya kunyah Abu Sa’id, sehingga mereka mengira bahwa ia adalah Abu Sa’id Al Khudri. Ibnu Hibban dalam Al Majruhiin (2/176) berkata: “Ia mendengar dari Abu Sa’id Al Khudri beberapa hadits, ketika telah wafat, ia duduk di majlis Al Kalbi dan menghadiri kisah-kisahnya, apabila Al Kalbi berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda”. Ia segera menghafalnya, dan memberikan kunyah kepada Al Kalbi: Abu Sa’id, apabila dikatakan: “Siapa yang menceritakannya kepadamu?” ia berkata: “Abu Sa’id”. Sehingga mereka mengira bahwa yang dimaksud olenya adalah Abu Sa’id Al Khudri, padahal maksudnya adalah Al Kalbi, maka tidak halal berhujjah dengannya tidak juga menulis haditsnya kecuali untuk ta’ajjub saja”. Dan ini semakin menunjukkan kelemahannya, karena dalam sanad di atas, ia meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri, boleh jadi perawi darinya mengira bahwa ia adalah Abu Sa’id Al khudri padahal sebenarnya adalah Abu Sa’id Al Kalbi.
Namun ibnus Sunni meriwayatkan dalam ‘amalul yaum wal lailah hadits lain yang semakna, ia berkata: “haddatsana ibnu Manii’ haddatsana Al Hasan bin ‘Arafah haddatsana Ali bin Tsabit Al Jazari, dari Al Waazi’ bin Naafi’ Al ‘Uqaili dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari jabir bin Abdillah dari Bilaal bin Rabaah muadzin Rasulullah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila keluar menuju shalat berdo’a:
Athiyah Al ‘Aufiyy meriwayatkan dari Al Kalbi seorang perawi yang matruk, dan memberikan kepadanya kunyah Abu Sa’id, sehingga mereka mengira bahwa ia adalah Abu Sa’id Al Khudri. Ibnu Hibban dalam Al Majruhiin (2/176) berkata: “Ia mendengar dari Abu Sa’id Al Khudri beberapa hadits, ketika telah wafat, ia duduk di majlis Al Kalbi dan menghadiri kisah-kisahnya, apabila Al Kalbi berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda”. Ia segera menghafalnya, dan memberikan kunyah kepada Al Kalbi: Abu Sa’id, apabila dikatakan: “Siapa yang menceritakannya kepadamu?” ia berkata: “Abu Sa’id”. Sehingga mereka mengira bahwa yang dimaksud olenya adalah Abu Sa’id Al Khudri, padahal maksudnya adalah Al Kalbi, maka tidak halal berhujjah dengannya tidak juga menulis haditsnya kecuali untuk ta’ajjub saja”. Dan ini semakin menunjukkan kelemahannya, karena dalam sanad di atas, ia meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri, boleh jadi perawi darinya mengira bahwa ia adalah Abu Sa’id Al khudri padahal sebenarnya adalah Abu Sa’id Al Kalbi.
Namun ibnus Sunni meriwayatkan dalam ‘amalul yaum wal lailah hadits lain yang semakna, ia berkata: “haddatsana ibnu Manii’ haddatsana Al Hasan bin ‘Arafah haddatsana Ali bin Tsabit Al Jazari, dari Al Waazi’ bin Naafi’ Al ‘Uqaili dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari jabir bin Abdillah dari Bilaal bin Rabaah muadzin Rasulullah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila keluar menuju shalat berdo’a:
بسم الله ، آمنت بالله ، توكلت على الله ، لا
حول ولا قوة إلا بالله ، اللهم
بحق السائلين عليك ، وبحق مخرجي هذا ، فإني لم أخرجه أشرا ولا بطرا ولا رياء ولا سمعة ، خرجت ابتغاء مرضاتك ،
واتقاء سخطك ، أسألك أن تعيذني من النار ، وتدخلني الجنة
Dengan nama Allah, aku beriman kepada Allah,
aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan upaya melainkan dengan idzin
Allah, Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan melalui hak
orang-orang yang meminta atasMu, dan melalui hak keluarku ini, sesungguhnya aku
keluar bukan karena sombong dan congkak, tidak juga karena riya dan sum’ah. Aku
keluar karena takut dari kemurkaanMu, dan mengharapkan wajahMu. Aku memohon
kepadaMu agar melindungiku dari api Neraka dan memasukkanku ke dalam
surga”.
Tetapi di dalam sanadnya terdapat perawi yang sangat lemah, yaitu Al Wazi’ bin Nafi’ Al ‘Uqaili. Berikut perkataan ulama tentang perawi ini:
Tetapi di dalam sanadnya terdapat perawi yang sangat lemah, yaitu Al Wazi’ bin Nafi’ Al ‘Uqaili. Berikut perkataan ulama tentang perawi ini:
Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hanbal berkata: “Laisa bi tsiqah”. Al Bukhari berkata: “mungkarul hadits”. An Nasai berkata: “Matruk”.[2] Dan pernyataan: “Laisa bi tsiqah”. Menunjukkan kepada jarh (celaan) yang berat, dan Al Bukhari bila mengatakan: “Mungkarul hadits”. Maka tidak halal meriwayatkan darinya, dan perkataan An Nasai: “Matruk”, menunjukkan perawi ini sangat lemah haditsnya, bila demikian keadaannya maka tidak dapat menguatkan hadits tersebut. Dan berhujjah dengan hadits lemah dalam masalah aqidah adalah haram dengan ijma’ para ulama.
Syubhat 6:
Hadits Umar bin Al Khathab yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Dalaail An Nubuwwah, bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا رب أسألك بحق
محمد إلا ما غفرت لي فقال الله
تعالى كيف عرفت محمداً ولم أخلقه قال : يا رب إنك لما خلقتني رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوباً : لا
إله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله تعالى : صدقت
يا آدم أنه لأحب الخلق إلي
وإذا سألتني بحقه فقد غفرت لك ولولا محمد ما خلقتك ]
رواه الحاكم وصححه
.
Ketika Adam telah melakukan dosa, ia berkata:
“Ya Rabb, aku memohon kepadaMu dengan melalui hak Muhammad agar Engkau ampuni
dosaku”. Allah berfirman kepadanya: “Bagaimana kamu mengetahui Muhammad padahal
Aku belum menciptakannya?” Adam berkata: “Ya Rabb, sesungguhnya ketika Engkau
telah menciptakanku, aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat pada tiang Arasy
tertulis: Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah, maka aku mengetahui bahwa
nama yang Engkau sebutkan itu adalah makhluk yang paling Engkau cintai”. Allah
berfirman: “Kamu benar wahai Adam, sesungguhnya ia adalah makhluk yang paling
Aku cintai, apabila kamu meminta kepadaku dengan melalui haknya, Aku akan
mengampunimu, dan kalau bukan karena Muhammad aku tidak akan menciptakanmu”. (HR
Al Hakim).
Jawab:
Jawab:
Hadits ini dikeluarkan oleh Al hakim dalam Al
Mustadrak (2/615) dari jalan Abul harits Abdullah bin Muslim Al Fihri haddatsana
Isma’il bin Maslamah telah mengabarkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari
ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Al Khathab secara marfu’. Kemudian Al Hakim
setelah itu berkata: “Sanadnya shahih, ia adalah hadits pertama yang aku
sebutkan untuk Abdurahman bin Zaid bin Aslam dalam kitab ini”.
Namun Adz Dzahabi mengomentari: “Justru hadits
ini maudlu’ (palsu), dan Abdurrahman waahin (sangat lemah), dan Abdullah bin
Muslim Al Fihri tidak aku ketahui siapa dia”.
Al Hafidz ibnu Hajar berkata dalam lisanul Mizan (4/358): “Abdullah bin Muslim Abul Harits Al Fihri, meriwayatkan dari Isma’il bin Maslamah bin Qa’nab dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam sebuah kabar yang batil, disebutkan di dalamnya: “..dan kalau bukan karena Muhammad aku tidak akan menciptakanmu”. Dan dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Dalaail An Nubuwwah”.
Dan Ath Thabrani meriwayatkan dalam Al Mu’jamul Ausath (6/313) dari jalan Abdullah bin Isma’il Al Madani dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Al Khathab. Namun jalan ini masih ada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang disepakati kedla’ifannya oleh para ulama, ibnul Jauzi berkata: “Para ulama telah bersepakat akan kelemahannya”.[3]
Dan Al Hakim yang mengatakan shahih sanadnya, seakan beliau lupa kepada perkataannya sendiri dalam kitab Al madkhal: “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits maudlu’ (palsu), tidak tersembunyi bagi ahli hadits bahwa yang seharusnya dihujat adalah dia”.[4] Dan perkataan Al Hakim ini dikatakan juga oleh Abu Nu’aim.[5]
Dan hadits ini dinyatakan maudlu’ oleh Adz Dzahabi, dan dinyatakan batil oleh Al Hafidz ibnu Hajar sebagaimana telah kita sebutkan.
Syubhat 7:
Al Hafidz ibnu Hajar berkata dalam lisanul Mizan (4/358): “Abdullah bin Muslim Abul Harits Al Fihri, meriwayatkan dari Isma’il bin Maslamah bin Qa’nab dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam sebuah kabar yang batil, disebutkan di dalamnya: “..dan kalau bukan karena Muhammad aku tidak akan menciptakanmu”. Dan dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Dalaail An Nubuwwah”.
Dan Ath Thabrani meriwayatkan dalam Al Mu’jamul Ausath (6/313) dari jalan Abdullah bin Isma’il Al Madani dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Al Khathab. Namun jalan ini masih ada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang disepakati kedla’ifannya oleh para ulama, ibnul Jauzi berkata: “Para ulama telah bersepakat akan kelemahannya”.[3]
Dan Al Hakim yang mengatakan shahih sanadnya, seakan beliau lupa kepada perkataannya sendiri dalam kitab Al madkhal: “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits maudlu’ (palsu), tidak tersembunyi bagi ahli hadits bahwa yang seharusnya dihujat adalah dia”.[4] Dan perkataan Al Hakim ini dikatakan juga oleh Abu Nu’aim.[5]
Dan hadits ini dinyatakan maudlu’ oleh Adz Dzahabi, dan dinyatakan batil oleh Al Hafidz ibnu Hajar sebagaimana telah kita sebutkan.
Syubhat 7:
Kisah Abu Ja’far Al Manshur yang bertanya kepada imam Malik:
يا أيا عبد الله أأستقبل القبلة وأدعو أم استقبل
رسول الله ( فقال : ولم تصرف
وجهك عنه وهو وسيلتك ووسيلة أبيك آدم عليه السلام إلى يوم القيامة ، بل استقبله واستشفع به .
“Wahai Abu Abdillah, apakah aku menghadap
kiblat ketika berdo’a atau menghadap Rasulullah?” beliau menjawab: “Mengapa
engkau memalingkan wajahmu dari Rasulullah? Padahal ia adalah wasilahmu dan
wasilah ayahmu Adam ‘alaihissalam sampai hari kiamat. Menghadaplah kepadanya dan
mintalah syafa’atnya”.
Jawab:
Jawab:
Pertama: Kisah ini berasal dari periwayatan
Muhammad bin Humaid Ar Raazi, ia dianggap tsiqah oleh sebagian ulama, dan di
anggap lemah bahkan pendusta oleh ulama lain.
Adapun yang menganggapnya Tsiqah adalah Yahya
bin Ma’in, dan imam Ahmad memujinya, demikian pula Adz Dzuhli.
Adapun yang mencelanya adalah jumhur (mayoritas) ulama, bahkan banyak yang menganggapnya berdusta seperti Abu hatim, An nasai, dan Abu Zur’ah, bahkan ibnu Kharrasy sampai bersumpah dengan nama Allah bahwa ia adalah pendusta. Shalih bin muhammad Al Asadi berkata: “Tidak pernah aku melihat orang yang paling pandai berdusta dari dua orang yaitu Sulaiman Asy Syadzakuuni, dan Muhammad bin humaid”.
Abu Ali An Niisabuuri berkata: “Aku berkata kepada ibnu khuzaimah: “kalaulah ustadz meriwayatkan dari Muhammad bin humaid, karena Ahmad memujinya dengan kebaikan ?” beliau berkata: “Sesungguhnya ia (Ahmad) tidak mengenalnya, kalaulah ia mengenalnya sebagaimana kami mengenalnya, niscaya beliau tidak akan memujinya selama-lamanya”.
dan Abu Nu’aim bin ‘Adi menjelaskan kisah menunjukkan bukti kedustaan Muhammad bin humaid, beliau berkata: “Aku mendengar Abu Hatim Ar Razi di rumahnya, dan di sisinya ada ibnu Kharrasy dan beberapa masyayikh dari penduduk Rayy dan hafidznya, lalu mereka menyebutkan ibnu Humaid, maka mereka bersepakat bahwa ia sangat dla’if dalam hadits, ia suka menyampaikan hadits yang tidak pernah ia dengar, ia suka mengambil hadits-hadits penduduk Bashrah dan Kufah dan menyampaikannya dari penduduk Razi”.
Demikian juga yang dikisahkan oleh Abu hatim Ar Razi sebagaimana disebutkan semua itu oleh Al Hafidz ibnu hajar dalam kitab Tahdzibut Tahdziib (9/127-131).
Dalam kaidah Al Jarhu wat Ta’diil disebutkan bahwa jarh (celaan) yang ditafsirkan lebih didahulukan dari ta’dil (pujian) yang mubham (tidak ditafsirkan). Maka kita lebih mendahulukan pendapat ulama yang menjarhnya, karena jarh mereka mufassar. Dan bisa kita simpulkan bahwa Muhammad bin humaid ini sangat dla’if kalau bukan pendusta.
Kedua: Muhammad bin Humaid tidak ada seorang ulamapun yang menyebutkan bahwa ia meriwayatkan dari imam Malik, terlebih imam Maik meninggal pada tahun 179H, dan Muhammad bin Humaid meninggal pada tahun 248H, dan ia tidak keluar menuntut ilmu kecuali setelah besar bersama ayahnya, sehingga periwayatannya terputus.
Ketiga: Periwayatan ini bertentangan dengan yang masyhur dari madzhab imam Malik, yaitu bahwa orang yang masuk ke masjid Nabawi, bila ia ingin mengucapkan salam kepada Nabi, hendaklah ia menghadap ke kubur Nabi dan mendo’akannya, dan apabila ia ingin berdo’a untuk dirinya sendiri maka hendaklah ia menghadap kiblat dan tidak menghadap kubur.
Syubhat 8:
Adapun yang mencelanya adalah jumhur (mayoritas) ulama, bahkan banyak yang menganggapnya berdusta seperti Abu hatim, An nasai, dan Abu Zur’ah, bahkan ibnu Kharrasy sampai bersumpah dengan nama Allah bahwa ia adalah pendusta. Shalih bin muhammad Al Asadi berkata: “Tidak pernah aku melihat orang yang paling pandai berdusta dari dua orang yaitu Sulaiman Asy Syadzakuuni, dan Muhammad bin humaid”.
Abu Ali An Niisabuuri berkata: “Aku berkata kepada ibnu khuzaimah: “kalaulah ustadz meriwayatkan dari Muhammad bin humaid, karena Ahmad memujinya dengan kebaikan ?” beliau berkata: “Sesungguhnya ia (Ahmad) tidak mengenalnya, kalaulah ia mengenalnya sebagaimana kami mengenalnya, niscaya beliau tidak akan memujinya selama-lamanya”.
dan Abu Nu’aim bin ‘Adi menjelaskan kisah menunjukkan bukti kedustaan Muhammad bin humaid, beliau berkata: “Aku mendengar Abu Hatim Ar Razi di rumahnya, dan di sisinya ada ibnu Kharrasy dan beberapa masyayikh dari penduduk Rayy dan hafidznya, lalu mereka menyebutkan ibnu Humaid, maka mereka bersepakat bahwa ia sangat dla’if dalam hadits, ia suka menyampaikan hadits yang tidak pernah ia dengar, ia suka mengambil hadits-hadits penduduk Bashrah dan Kufah dan menyampaikannya dari penduduk Razi”.
Demikian juga yang dikisahkan oleh Abu hatim Ar Razi sebagaimana disebutkan semua itu oleh Al Hafidz ibnu hajar dalam kitab Tahdzibut Tahdziib (9/127-131).
Dalam kaidah Al Jarhu wat Ta’diil disebutkan bahwa jarh (celaan) yang ditafsirkan lebih didahulukan dari ta’dil (pujian) yang mubham (tidak ditafsirkan). Maka kita lebih mendahulukan pendapat ulama yang menjarhnya, karena jarh mereka mufassar. Dan bisa kita simpulkan bahwa Muhammad bin humaid ini sangat dla’if kalau bukan pendusta.
Kedua: Muhammad bin Humaid tidak ada seorang ulamapun yang menyebutkan bahwa ia meriwayatkan dari imam Malik, terlebih imam Maik meninggal pada tahun 179H, dan Muhammad bin Humaid meninggal pada tahun 248H, dan ia tidak keluar menuntut ilmu kecuali setelah besar bersama ayahnya, sehingga periwayatannya terputus.
Ketiga: Periwayatan ini bertentangan dengan yang masyhur dari madzhab imam Malik, yaitu bahwa orang yang masuk ke masjid Nabawi, bila ia ingin mengucapkan salam kepada Nabi, hendaklah ia menghadap ke kubur Nabi dan mendo’akannya, dan apabila ia ingin berdo’a untuk dirinya sendiri maka hendaklah ia menghadap kiblat dan tidak menghadap kubur.
Syubhat 8:
Hadits Fathimah bintu Asad ketika meninggal dunia, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendo’akannya:
الله الذي يحيى ويميت وهي حي لا يموت اغفر لأمي
فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها
ووسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلي فإنك أرحم الراحمين
.
“Allah yang menghidupkan dan mematikan dan Dia
senantiasa hidup dan tidak akan mati, ampunilah ibuku Fathimah bintu Asad dan
kuatkan hujjahnya, luaskan kuburnya, melalui hak NabiMu dan para Nabi sebelumku,
sesungguhnya Engkau paling penyayang dari para penyayang”.
Jawab:
Jawab:
Hadits ini dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam
Al Mu’jamul Kabiir (24/351) dan Al Ausath (1/67 no 189): haddatsana Ahmad bin
Hammad bin Zaghbah haddatsana Ruh bin Shalah haddatsana Sufyan Ats Tsauri dari
‘Ashim Al Ahwal dari Anas bin Malik.
Tampak kepada kita sanad hadits ini lemah, karena Ruh bin Shalah walaupun dianggap tsiqah oleh ibnu Hibban dan Al Hakim, namun jumhur ulama menganggapnya dla’if, berikut perkataan mereka sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Lisanul Mizan (3/311):
Ruh bin Shalah Al mishri dikatakan: ibnu Sayyabah, didla’ifkan oleh ibnu Adi, kunyahnya Abul Harits, ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqaat, Al Hakim berkata: “Tsiqah ma’mun”.. ibnu Yunus menyebutkannya dalam Tarikh Al Ghuraba, dan beliau berkata: “Ia (Ruh) dari penduduk Maushil lalu datang ke Mesir dan menyampaikan hadits di sana, telah diriwayatkan darinya periwayatan-periwayatan yang mungkar”.. Ad darquthni berkata: “Dla’if dalam hadits”. Ibnu Makula berkata: “Mereka mendla’ifkannya”. Ibnu Adi berkata: “Ia mempunyai banyak hadits, pada sebagiannya terdapat nukrah (kemunkaran)”.
Perhatikanlah, walaupun ia dianggap tsiqah oleh ibnu Hibban dan Al Hakim, namun perkataan keduanya tidak dapat diuggulkan karena dua perkara:
Ibnu Hibban dan Al hakim adalah ulama yang gampang menganggap tsiqah perawi, dan ini masyhur bagi orang yang mempelajari ilmu hadits, seringkali keduanya menganggap tsiqah perawi-perawi yang lemah.
Tampak kepada kita sanad hadits ini lemah, karena Ruh bin Shalah walaupun dianggap tsiqah oleh ibnu Hibban dan Al Hakim, namun jumhur ulama menganggapnya dla’if, berikut perkataan mereka sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Lisanul Mizan (3/311):
Ruh bin Shalah Al mishri dikatakan: ibnu Sayyabah, didla’ifkan oleh ibnu Adi, kunyahnya Abul Harits, ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqaat, Al Hakim berkata: “Tsiqah ma’mun”.. ibnu Yunus menyebutkannya dalam Tarikh Al Ghuraba, dan beliau berkata: “Ia (Ruh) dari penduduk Maushil lalu datang ke Mesir dan menyampaikan hadits di sana, telah diriwayatkan darinya periwayatan-periwayatan yang mungkar”.. Ad darquthni berkata: “Dla’if dalam hadits”. Ibnu Makula berkata: “Mereka mendla’ifkannya”. Ibnu Adi berkata: “Ia mempunyai banyak hadits, pada sebagiannya terdapat nukrah (kemunkaran)”.
Perhatikanlah, walaupun ia dianggap tsiqah oleh ibnu Hibban dan Al Hakim, namun perkataan keduanya tidak dapat diuggulkan karena dua perkara:
Ibnu Hibban dan Al hakim adalah ulama yang gampang menganggap tsiqah perawi, dan ini masyhur bagi orang yang mempelajari ilmu hadits, seringkali keduanya menganggap tsiqah perawi-perawi yang lemah.
Yang mendla’ifkannya menjelaskan sebab kelemahannya, yaitu banyak periwayatannya yang munkar, dan kaidah ilmu Al Jarh wat ta’dil berkata: “Jarh yang ditafsirkan lebih didahulukan dari ta’dil yang mubham”.
Kesimpulannya bahwa Ruh bin Shalah ini adalah perawi yang lemah, maka hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah karena kelemahannya, dan dalam masalah aqidah tidak diterima hadits yang lemah dengan kesepakatan seluruh ulama.
__________
[1] Tahdzibut Tahdzib 7/225.
[2] Mizanul i’tidal 4/327.
[3] Tahdzibuttahdziib 6/179.
[4] Al Madkhal ilaa Ash Shahiih
1/154.
[5] Tahdzibuttahdziib 6/179.
Hadits orang buta yang bertawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
عن عثمان بن حنيف أن رجلاً ضريراً أتى النبي (
فقال : أدع الله أن يعافيني
فقال : إن شئت دعوت وإن شئت صبرت وهو خير قال : فادعه فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه ويدعو بهذا الدعاء :
اللهم إني أسألك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضي اللهم شفعه في .
فعاد وقد أبصر .
Dari Utsman bin Hanif bahwa ada seorang
laki-laki buta datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata:
“Berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika kamu mau
aku akan berdo’a dan jika kamu mau bersabar itu lebih baik”. Ia berkata:
“Do’akanlah”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya berwudlu dan
membaguskan wudlunya dan berdo’a dengan do’a ini: “Ya Allah, aku memohon
kepadaMu melalui NabiMu Nabi rahmat, wahai Muhammad aku menghadap kepada Rabbku
melalui kamu agar hajatku dipenuhi, ya Allah berilah syafa’at untuknya
terhadapku”. Maka penglihatannyapun kembali seperti semula”.
Jawab:
Jawab:
Sesungguhnya hadits ini hanya menunjukkan
kepada tawassul yang disyari’atkan, yaitu bertawassul melalui orang shalih yang
masih hidup dan hadir, karena orang buta ini datang kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam semasa hidupnya, dan tidak pernah datang kepada beliau setelah
matinya, kalaulah tujuan orang buta ini bertawassul kepada Nabi saja, tentu
tidak perlu ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, cukup ia berdo’a
di rumahnya saja. Jadi hadits ini sama sekali tidak menunjukkan bolehnya
tawassul kepada Nabi setelah wafatnya.
Adapun tambahan: “Jika ada hajat, lakukanlah seperti itu lagi”. Tambahan ini diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah, walaupun ia perawi yang tsiqah, namun menyelisihi periwayatan perawi yang lebih tsiqah darinya, yaitu Syu’bah bin Al Hajjaj yang meriwayatkan dengan tanpa tambahan tersebut. Dan Syu’bah jauh lebih tsiqah dari Hammad bin Salamah sehingga tambahan tersebut dihukumi syadz yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang berlawanan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah dan syadz adalah salah satu macam hadits lemah.
Syubhat 10:
Adapun tambahan: “Jika ada hajat, lakukanlah seperti itu lagi”. Tambahan ini diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah, walaupun ia perawi yang tsiqah, namun menyelisihi periwayatan perawi yang lebih tsiqah darinya, yaitu Syu’bah bin Al Hajjaj yang meriwayatkan dengan tanpa tambahan tersebut. Dan Syu’bah jauh lebih tsiqah dari Hammad bin Salamah sehingga tambahan tersebut dihukumi syadz yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang berlawanan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah dan syadz adalah salah satu macam hadits lemah.
Syubhat 10:
Hadits seorang laki-laki yang mempunyai kebutuhan di sisi Utsman bin Affan.
روى الطبراني والبيهقي :كان يختلف إلى عثمان بن
عفان رجل في زمن خلافته في
حاجة … فكان لا يلتفت ولا ينظر إليه في حاجته . فشكا ذلك لعثمان بن
حنيف فقال له : إئت الميضأة
فتوضأ ثم ائت المسجد فصل ثم قل : اللهم إني أسألك
وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك
إلى ربي في حاجتي لتقضي وتذكر
حاجتك فانطلق الرجل فصنع ذلك ثم أتى باب عثمان فجاء البواب فأخذ بيده فأدخله على عثمان فأجلسه معه
وقال له اذكر حاجتك فذكر حاجته فقضاها ثم قال : ما كان لك من حاجة فاذكرها ثم خرج من عنده فلقي ابن
حنيف فقال له جزاك الله خيراً
ما كان ينظر لحاجتي حتى كلمته لي فقال ابن حنيف :
والله ما كلمته ولكن شهدت رسول الله ( وأتاه ضرير فشكا
إليه ذهاب بصره إلى أخر الحديث
المتقدم أي ( حديث الأعمى ) .
Ath Thabrani dan Al Baihaqi meriwayatkan:
Dahulu di zaman Utsman bin Affan ada seorang laki-laki yang suka mondar-mandir
kepada Utsman bi Affan di zaman kekhilafahannya untuk suatu kebutuhannya, namun
Utsman tidak memperdulikan dan tidak memperhatikannya. Maka laki-laki itu
mengadu kepada Utsman bin Hanif, dan beliau berkata kepadanya: “Pergilah ke
tempat wudlu dan berwudlulah lalu pergilah ke masjid dan shalatlah kemudian
ucapkan: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu melalui NabiMu Nabi rahmat, wahai
Muhammad aku menghadap kepada Rabbku melalui kamu agar hajatku dipenuhi”. Lalu
sebutkan hajatmu. Laki-laki itupun pergi dan melaksanakan titahnya, setelah itu
ia mendatangi rumah utsman bin Affan. Maka datanglah penjaga pintu dan
memasukkannya kepada Utsman, dan utsman mendudukkan ia di sisinya dan berkata:
“Sebutkan hajatmu!”, ia pun menyebutkannya dan Utsman pun memenuhi kebutuhannya,
dan berkata: “Bila kamu ada kebutuhan lagi, sebutkan saja”. Lalu laki-laki itu
pergi dan bertemu dengan Utsman bin Hanif, laki-laki itu berkata: “Jazakallahu
khaira, Utsman memenuhi kebutuhanku karena kamu berbicara kepadanya untukku”.
Utsman berkata: “Demi Allah, aku tidak berbicara dengannya, namun aku pernah
melihat Rasulullah di datangi oleh seorang laki-laki buta dan meminta agar di
do’akan kesembuhan.. lalu beliau menyebutkan hadits di atas.
Jawab:
Jawab:
Kisah ini diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam
Al Mu’jamul Kabiir (9/30) dan shagirnya (1/306) dari jalan Abdullah bin Wahb
dari Syabib bin Sa’id Al Makki dari Ruuh bin Al Qasim dari Abu Ja’far Al
Khuthami Al madani dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif dari pamannya Utsman bin
Haniif.
Dan periwayatan Abdullah bin Wahb dari Syabiib adalah lemah sebagaimana dikatakan oleh ibnu Adi dalam Al Kamil (4/31) beliau berkata: “Ibnu Wahb meriwayatkan dari Syabiib hadits-hadits yang munkar”. Oleh karena itu Al Hafidz ibnu Hajar berkata dalam Taqribnya: “La ba’sa haditsnya dari riwayat anaknya Ahmad darinya bukan dari riwayat ibnu Wahb”.
Namun ibnu Wahb dimutaba’ah oleh Isma’il dan Ahmad anak dari Syabiib bin Sa’id dari ayahnya Syabib bin Sa’id dari Ruh bin Al Qasim..dan seterusnya, diriwayatkan oleh Al baihaqi sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah[1].
Akan tetapi jalan ini tidak dapat diterima karena tiga alasan:
Dan periwayatan Abdullah bin Wahb dari Syabiib adalah lemah sebagaimana dikatakan oleh ibnu Adi dalam Al Kamil (4/31) beliau berkata: “Ibnu Wahb meriwayatkan dari Syabiib hadits-hadits yang munkar”. Oleh karena itu Al Hafidz ibnu Hajar berkata dalam Taqribnya: “La ba’sa haditsnya dari riwayat anaknya Ahmad darinya bukan dari riwayat ibnu Wahb”.
Namun ibnu Wahb dimutaba’ah oleh Isma’il dan Ahmad anak dari Syabiib bin Sa’id dari ayahnya Syabib bin Sa’id dari Ruh bin Al Qasim..dan seterusnya, diriwayatkan oleh Al baihaqi sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah[1].
Akan tetapi jalan ini tidak dapat diterima karena tiga alasan:
Pertama: Syabiib bin Sa’id ini periwayatannya
diterima dengan dua syarat: (1) Bila perawi darinya adalah anaknya yang bernama
Ahmad bin Syabiib dan (2) ia (Syabib) meriwayatkan dari Yunus, Ibnu Adi berkata
dalam Al kamil (4/31): “Syabib, apabila anaknya yang bernama Ahmad bin Syabib
meriwayatkan darinya naskah Yunus dari Az Zuhri, maka hadits-haditsnya mustaqim
(lurus)”. Dan kepada ini lah dibawa perkataan para ulama yang menganggapnya
tsiqah, karena kaidah mengatakan: “Apabila perkataan yang mutlaq bertemu dengan
perkataan yang muqayyad, maka yang mutlak dibawa kepada yang muqayyad”. Dan ini
ditunjukkan juga oleh perbuatan imam Al Bukhari dalam shahihnya, dimana beliau
hanya mengeluarkan periwayatan Syabib bin Sa’id bila ia meriwayatkan dari Yunus
dan yang meriwayatkan darinya adalah anaknya yang bernama Ahmad bin Syabiib. Di
sini ia meriwayatkan dari Ruh bin Al Qasim sehingga periwayatannya tetap
lemah.
Kedua: ‘Aun bin ‘Imarah meriwayatkan dari Ruh bin Al Qasim dari Abu ja’far Al Kuthami.. dst, dengan tanpa kisah laki-laki yang mengadu kepada Utsman bin Hanif, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Hakim dalam mustadraknya, dan ‘Aun bin ‘Imarah ini lemah akan tetapi periwayatannya sesuai dengan periwayatan Syu’bah bin Al hajjaj dari Abu Ja’far Al Khuthami tanpa kisah tersebut, sehingga periwayatan ‘Aun lebih diunggulkan dari periwayatan Syabib, terlebih telah kita jelaskan bahwa periwayatan Syabib ini juga lemah karena meriwayatkan dari selain yunus.
Ketiga: ibnu Sunni meriwayatkan dalam kitab ‘Amalul Yaum Wallailah dan Al Hakim dalam mustadraknya dari tiga jalan[2] dari Ahmad bin Syabib dengan tanpa kisah itu juga, sehingga ini semakin menunjukkan bahwa kisah tersebut adalah merupakan wahm dari Syabib bin Sa’id. Wallahu a’lam.
Syubhat 11:
Kedua: ‘Aun bin ‘Imarah meriwayatkan dari Ruh bin Al Qasim dari Abu ja’far Al Kuthami.. dst, dengan tanpa kisah laki-laki yang mengadu kepada Utsman bin Hanif, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Hakim dalam mustadraknya, dan ‘Aun bin ‘Imarah ini lemah akan tetapi periwayatannya sesuai dengan periwayatan Syu’bah bin Al hajjaj dari Abu Ja’far Al Khuthami tanpa kisah tersebut, sehingga periwayatan ‘Aun lebih diunggulkan dari periwayatan Syabib, terlebih telah kita jelaskan bahwa periwayatan Syabib ini juga lemah karena meriwayatkan dari selain yunus.
Ketiga: ibnu Sunni meriwayatkan dalam kitab ‘Amalul Yaum Wallailah dan Al Hakim dalam mustadraknya dari tiga jalan[2] dari Ahmad bin Syabib dengan tanpa kisah itu juga, sehingga ini semakin menunjukkan bahwa kisah tersebut adalah merupakan wahm dari Syabib bin Sa’id. Wallahu a’lam.
Syubhat 11:
Hadits:
إذا سألتم الله فسلوه بجاهي فإن جاهي عند الله
عظيم
“Apabila kamu memohon kepada Allah, maka
mintalah dengan melalui kedudukanku, karena kedudukanku di sisi Allah
agung”.
Jawab:
Jawab:
Hadits ini batil tidak ada asalnya, karena
tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab hadits manapun.
Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah Rahimahullah
berkata: “Sebagian orang bodoh meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah melalui
kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah adalah agung”. Hadits
ini adalah dusta, tidak ditemukan dalam kitab-kitab kaum muslimin yang menjadi
sandaran ahli hadits, tidak pula disebutkan oleh para ulama hadits
seorangpun.
Dan kedudukan Rasulullah di sisi Allah paling agung dibandingkan kedudukan seluruh nabi dan rasul.. beliau pelaku syafa’at pada hari kiamat disaat Nabi Adam dan ulu ‘azmi tidak sanggup melakukannya, beliau adalah pemuka anak Adam, dan imam para Nabi.
Namun kedudukan makhluk di sisi Khaliq tidak sama dengan kedudukan makhluk di sisi makhluk, karena tidak ada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah kecuali dengan idzinNya.. adapun makhluk, ia memberi syafa’at di sisi makhluk walaupun tanpa idzinnya, sehingga ia menjadi sekutu baginya untuk meraih yang diinginkan, sedangkan Allah tidak ada sekutu bagiNya. FirmanNya yang artinnya:
22. Katakanlah: ” serulah mereka yang kamu anggap (sebagai Tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.
Dan kedudukan Rasulullah di sisi Allah paling agung dibandingkan kedudukan seluruh nabi dan rasul.. beliau pelaku syafa’at pada hari kiamat disaat Nabi Adam dan ulu ‘azmi tidak sanggup melakukannya, beliau adalah pemuka anak Adam, dan imam para Nabi.
Namun kedudukan makhluk di sisi Khaliq tidak sama dengan kedudukan makhluk di sisi makhluk, karena tidak ada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah kecuali dengan idzinNya.. adapun makhluk, ia memberi syafa’at di sisi makhluk walaupun tanpa idzinnya, sehingga ia menjadi sekutu baginya untuk meraih yang diinginkan, sedangkan Allah tidak ada sekutu bagiNya. FirmanNya yang artinnya:
22. Katakanlah: ” serulah mereka yang kamu anggap (sebagai Tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.
23. Dan Tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah
melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu..(Saba :
22-23).[1]
Syaikhul islam juga berkata: “Dan yang diriwayatkan oleh sebagian orang awam: “Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah melalui kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah adalah agung”. Hadits ini adalah dusta dan palsu, tidak ada seorangpun ahli ilmu yang meriwayatkannya, tidak juga ada dalam kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan sandaran dalam agama. Jikalau mayat itu mempunyai keutamaan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam adalah orang yang paling berhak untuk mendapat semua keutamaan, dan para shahabatnya setelahnya. Kalaulah orang yang hidup dapat mengambil manfaat dari orang yang telah mati, maka para shahabat adalah orang yang paling berhak mendapat manfaat dari Nabi baik masih hidup maupun telah mati, sehingga dapat diketahui bahwa pendapat tersebut adalah sesat, walaupun sebagian syuyukh ada yang berpendapat demikian, namun itu adalah sebuah kesalahan, dan Allah akan mengampuni dosa mujtahid yang salah, dan ia bukan Nabi yang wajib diikuti pendapatnya, tidak juga ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dalam perintah dan larangannya, sedangkan Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(An Nisaa : 59).[2]
Syubhat 12:
Kabar:
إذا أعيتكم الأمور فعليكم بأصحاب
القبور
“Apabila kamu ditimpa urusan yang payah maka
hendaklah datang ke penghuni kubur”.
Jawab:
Jawab:
Khabar ini disebutkan oleh Al ‘Ajluuni dalam
Kasyful khofaa (1/85) dan beliau menisbatkannya kepada kitab Al Arba’in karya
ibnu kamal Basya, dan khabar ini batil tidak ada asalnya, tidak pernah
diriwayatkan oleh para ulama hadits dalam kitab-kitab yang dapat dijadikan
sandaran.
Syaikhul islam Ahmad bin Taimiyah rahimahullah berkata: “Sebagian orang dari masyayikh yang diikuti ada yang berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila kamu ditimpa urusan yang payah maka hendaklah datang ke penghuni kubur”. Dalam riwayat lain: “Hendaklah minta bantuan kepada penghuni kubur”. Padahal hadits ini dusta dan dipalsukan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ijma’ (kesepakatan) orang-orang yang memahami hadits, dan tidak ada seorang ulamapun yang meriwayatkannya, dan tidak ditemukan dalam kitab hadits manapun yang dijadikan sandaran”.[3]
Syubhat 13:
Syaikhul islam Ahmad bin Taimiyah rahimahullah berkata: “Sebagian orang dari masyayikh yang diikuti ada yang berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila kamu ditimpa urusan yang payah maka hendaklah datang ke penghuni kubur”. Dalam riwayat lain: “Hendaklah minta bantuan kepada penghuni kubur”. Padahal hadits ini dusta dan dipalsukan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ijma’ (kesepakatan) orang-orang yang memahami hadits, dan tidak ada seorang ulamapun yang meriwayatkannya, dan tidak ditemukan dalam kitab hadits manapun yang dijadikan sandaran”.[3]
Syubhat 13:
Hadits Bilal bin Al Harts yang beristisqa setelah wafatnya Rasulullah.
روى البيهقي وابن أبي شيبة :أن الناس أصابهم قحط
في خلافة عمر ( فجاء بلال بن
الحرث وكان من أصحاب النبي إلى قبر النبي وقال يا رسول الله : استسق لأمتك فإنهم هلكوا فأتاه رسول الله
في المنام وأخبره أنهم سيسقون .
Al Baihaqi dan ibnu Abi Syaibah meriwayatkan
bahwa manusia di zaman kekhilafahan Umar di timpa kekeringan, maka Bilal bin Al
Harits salah seorang shahabat Nabi datang ke kuburan Nabi dan berkata: “Wahai
Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, karena mereka telah binasa”. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya dalam tidurnya dan
mengabarkan bahwa mereka akan diberikan hujan”.
Jawab:
Jawab:
Kabar ini diriwayatkan dari jalan Abu Mu’awiyah
dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Malik Ad Daar bahwa ia berkata: “Kekeringan
melanda manusia di zaman Umar, lalu datanglah seseorang ke kuburan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan
untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa”. Lalu orang itu didatangi
di dalam tidurnya dan dikatakan kepadanya: “Datanglah kepada Umar dan sampaikan
salam untuknya dan kabarkan kepadanya bahwa kalian akan diberikan hujan, dan
katakan kepadanya: “Hendaklah kamu menggunakan aqal dan kedermawanan”. Lalu Umar
dikabarkan, dan beliau berkata: “Ya Rabb, Aku terus berusaha kecuali yang aku
tidak mampu”.
Berdalil dengan kisah ini untuk memperbolehkan tawassul kepada orang shalih yang telah mati atau berdo’a kepada mayat adalah tidak benar dari beberapa sisi:
Pertama: Orang yang datang ke kuburan Nabi tersebut adalah majhul (tidak diketahui siapa ia), adapun perkataan Al Hafidz ibnu Hajar dalam fathul baari bahwa ia bernama Bilaal bin Al Harits sebagaimana dalam riwayat Saif bin Umar adalah tertolak, karena Saif bin Umar ini disepakati oleh para ulama hadits kelemahannya, bahkan ibnu Hibban berkata: “Ia suka meriwayat hadits-hadits maudlu’ (palsu) dari perawi yang tsiqat, dan mereka berkata bahwa ia suka memalsukan hadits, bahkan ibnu Hibban dan Al Hakim menuduhnya zindiq[4].
Bila ada yang berkata: “Akan tetapi Saif bin Umar dapat dipercaya periwayatannya dalam tarikh, sebagaimana yang dikatakan oleh Adz Dzahabi: “Ia (Saif) sama dengan Al Waqidi”. Yaitu dapat dipercaya dalam sejarah, dan itu juga yang dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam dalam taqribnya, beliau berkata: “Dla’if dalam hadits dan umdah (sandaran) dalam tarikh (sejarah)”. Dan penyebutan nama adalah termasuk sejarah.
Dijawab: Bahwa Al Hafidz tidak menyebutkan dari siapa Saif meriwayatkan riwayat tersebut, terlebih Saif bin Umar meriwayatkan dari perawi-perawi yang banyak yang majhul sebagaimana dikatakan oleh Adz Dzahabi dalam Mizannya, sehingga inipun tidak dapat dijadikan sandaran, dan tidak dapat memberi kepastian tentang siapa nama laki-laki yang datang ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kedua: Bila memang yang melakukannya adalah Bilal bin Al Harits, maka perbuatan beliau ini bertentangan dengan perbuatan para shahabat lainnya, karena Umar dan para shahabat tidak datang ke kuburan Rasulullah, namun datang kepada Al ‘Abbas bin Abdil Muthalib dan menyuruhnya agar berdo’a kepada Allah Ta’ala. Dan perbuatan seorang shahabat bila bertentangan dengan perbuatan shahabat lainnya tidak dapat dijadikan hujjah, bagaimana bila bertentangan dengan dalil?!
Bila dikatakan: Di dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa ia menceritakannya kepada Umar, dan ternyata Umar tidak mengingkarinya.
Dijawab: Bahwa yang ia ceritakan adalah perihal mimpinya bertemu Rasulullah, dan bukan perihal datangnya ia ke kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, buktinya umar hanya mengomentari perkataan Rasulullah dalam mimpi tersebut. Dan kalaulah datang ke kuburan Rasulullah untuk memohon do’a Rasulullah diperbolehkan, tentu para shahabat akan datang ke kuburan Rasulullah dalam perkara-perkara yang lebih besar dari itu, seperti peperangan yang terjadi diantara para shahabat dan kejadian-kejadian lainnya.
Ketiga: Malik Ad Daar perawi dalam kisah itu adalah majhul hal yaitu perawi yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih dan tidak ada yang mentsiqahkan tidak juga menjarhnya, dan periwayatan majhul hal adalah tertolak.
Bila dikatakan: Akan tetapi disebutkan dalam riwayat lain bahwa Malik Ad Daar ini Bendahara Umar, dan tidak mungkin Umar mengangkat seseorang sebagai bendahara kecuali orang yang ‘adil dan dapat dipercaya.
Dijawab bahwa seorang yang dipercaya sebagai bendahara belum tentu dipercaya dalam periwayatan hadits, karena berbeda antara dua perkara tersebut, sebagaimana banyak perawi-perawi yang dipercaya menjadi qadli, namun dalam periwayatan haditsnya tertolak, sehingga alasan seperti ini adalah lemah dan tidak dapat diterima.
Keempat: kalaupun misalnya kisah ini shahih, maka tidak dapat dijadikan hujjah, karena perbuatan shahabat yang bertentangan dengan shahabat bahkan mayoritas shahabat adalah bukan hujjah, bagaimana bila bertentangan dengan dalil? Sebagaimana telah kita sebutkan, oleh karena itu imam Al Bukhari dalam Tarikhnya hanya mengeluarkan perkataan Umar saja: “Ya Rabb, Aku terus berusaha kecuali yang aku tidak mampu”. Dan tidak menyebutkan kisah tersebut, seakan kisah tersebut tidak sah di sisi beliau. Wallahu a’lam.
Al Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik:
Berdalil dengan kisah ini untuk memperbolehkan tawassul kepada orang shalih yang telah mati atau berdo’a kepada mayat adalah tidak benar dari beberapa sisi:
Pertama: Orang yang datang ke kuburan Nabi tersebut adalah majhul (tidak diketahui siapa ia), adapun perkataan Al Hafidz ibnu Hajar dalam fathul baari bahwa ia bernama Bilaal bin Al Harits sebagaimana dalam riwayat Saif bin Umar adalah tertolak, karena Saif bin Umar ini disepakati oleh para ulama hadits kelemahannya, bahkan ibnu Hibban berkata: “Ia suka meriwayat hadits-hadits maudlu’ (palsu) dari perawi yang tsiqat, dan mereka berkata bahwa ia suka memalsukan hadits, bahkan ibnu Hibban dan Al Hakim menuduhnya zindiq[4].
Bila ada yang berkata: “Akan tetapi Saif bin Umar dapat dipercaya periwayatannya dalam tarikh, sebagaimana yang dikatakan oleh Adz Dzahabi: “Ia (Saif) sama dengan Al Waqidi”. Yaitu dapat dipercaya dalam sejarah, dan itu juga yang dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam dalam taqribnya, beliau berkata: “Dla’if dalam hadits dan umdah (sandaran) dalam tarikh (sejarah)”. Dan penyebutan nama adalah termasuk sejarah.
Dijawab: Bahwa Al Hafidz tidak menyebutkan dari siapa Saif meriwayatkan riwayat tersebut, terlebih Saif bin Umar meriwayatkan dari perawi-perawi yang banyak yang majhul sebagaimana dikatakan oleh Adz Dzahabi dalam Mizannya, sehingga inipun tidak dapat dijadikan sandaran, dan tidak dapat memberi kepastian tentang siapa nama laki-laki yang datang ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kedua: Bila memang yang melakukannya adalah Bilal bin Al Harits, maka perbuatan beliau ini bertentangan dengan perbuatan para shahabat lainnya, karena Umar dan para shahabat tidak datang ke kuburan Rasulullah, namun datang kepada Al ‘Abbas bin Abdil Muthalib dan menyuruhnya agar berdo’a kepada Allah Ta’ala. Dan perbuatan seorang shahabat bila bertentangan dengan perbuatan shahabat lainnya tidak dapat dijadikan hujjah, bagaimana bila bertentangan dengan dalil?!
Bila dikatakan: Di dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa ia menceritakannya kepada Umar, dan ternyata Umar tidak mengingkarinya.
Dijawab: Bahwa yang ia ceritakan adalah perihal mimpinya bertemu Rasulullah, dan bukan perihal datangnya ia ke kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, buktinya umar hanya mengomentari perkataan Rasulullah dalam mimpi tersebut. Dan kalaulah datang ke kuburan Rasulullah untuk memohon do’a Rasulullah diperbolehkan, tentu para shahabat akan datang ke kuburan Rasulullah dalam perkara-perkara yang lebih besar dari itu, seperti peperangan yang terjadi diantara para shahabat dan kejadian-kejadian lainnya.
Ketiga: Malik Ad Daar perawi dalam kisah itu adalah majhul hal yaitu perawi yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih dan tidak ada yang mentsiqahkan tidak juga menjarhnya, dan periwayatan majhul hal adalah tertolak.
Bila dikatakan: Akan tetapi disebutkan dalam riwayat lain bahwa Malik Ad Daar ini Bendahara Umar, dan tidak mungkin Umar mengangkat seseorang sebagai bendahara kecuali orang yang ‘adil dan dapat dipercaya.
Dijawab bahwa seorang yang dipercaya sebagai bendahara belum tentu dipercaya dalam periwayatan hadits, karena berbeda antara dua perkara tersebut, sebagaimana banyak perawi-perawi yang dipercaya menjadi qadli, namun dalam periwayatan haditsnya tertolak, sehingga alasan seperti ini adalah lemah dan tidak dapat diterima.
Keempat: kalaupun misalnya kisah ini shahih, maka tidak dapat dijadikan hujjah, karena perbuatan shahabat yang bertentangan dengan shahabat bahkan mayoritas shahabat adalah bukan hujjah, bagaimana bila bertentangan dengan dalil? Sebagaimana telah kita sebutkan, oleh karena itu imam Al Bukhari dalam Tarikhnya hanya mengeluarkan perkataan Umar saja: “Ya Rabb, Aku terus berusaha kecuali yang aku tidak mampu”. Dan tidak menyebutkan kisah tersebut, seakan kisah tersebut tidak sah di sisi beliau. Wallahu a’lam.
Al Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ
عَنْهُ كَانَ إِذَا قُحِطُوا
اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ : اللَّهُمَّ
إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا -صلى الله عليه وسلم- فَتَسْقِينَا وَإِنَّا
نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ
الْيَوْمَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا -صلى الله عليه وسلم- فَاسْقِنَا فَيُسْقَوْنَ.
Sesungguhnya Umar bin Al Khathab apabila di
landa kekeringan beristisqa melalui Al Abbas bin Abdul Muthalib dan berkata: “Ya
Allah, dahulu kami bertawassul kepadaMu melalui NabiMu, dan Engkaupun memberi
kami hujan, dan sekarang aku bertawassul kepadaMu melalui paman NabiMu, maka
berikanlah kami hujan”. Lalu merekapun di beri hujan.
Riwayat ini menegaskan bahwa para shahabat tidak datang ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk minta diturunkan hujan, namun mereka pergi kepada Al ‘Abbas dan menyuruhnya berdo’a agar Allah menurunkan hujan, dan ini adalah tawassul yang disyari’atkan.
Syubhat 14:
Riwayat ini menegaskan bahwa para shahabat tidak datang ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk minta diturunkan hujan, namun mereka pergi kepada Al ‘Abbas dan menyuruhnya berdo’a agar Allah menurunkan hujan, dan ini adalah tawassul yang disyari’atkan.
Syubhat 14:
Hadits tahun fatq :
روى الدارمي في مسنده عن أبي الجوزاء قال : قحط
أهل المدينة قحطاً شديداً
فشكوا إلى عائشة رضي الله عنها : فقال انظروا إلى قبر رسول الله فاجعلوا منه كوة إلى السماء حتى لا يكون
بينه وبين السماء سقف ففعلوا فمطروا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقت من الشحم فسمي عام
الفتق .
Ad Darimi meriwayatkan dalam musnadnya dari
Abul Jauzaa, ia berkata: “Penduduk kota Madinah ditimpa kekeringan, lalu mereka
mengadu kepada Aisyah radliyallahu ‘anha, maka ia berkata: “Lihatlah ke kuburan
rasulullah, jadikanlah darinya kuwwah (lubang) menuju ke langit sehingga tidak
ada ada yang menghalangi antara langit dan kuburan beliau”. Merekapun
melaksanakannya, maka hujanpun turun sampai-sampai rerumputan tumbuh dan
unta-unta menjadi gemuk dan banyak gajihnya, maka dinamailah tahun itu dengan
tahun al fatq”.
Jawab:
Jawab:
Kita jawab hadits ini dari sisi matan dan
sanadnya:
Adapun sanad, maka hadits ini dikeluarkan oleh
Ad darimi dalam sunannya (1/43-44): haddatsana Abun Nu’maan haddatsana Sa’id bin
Zaid haddatsana Amru bin Malik An Nukri haddatsana Abul Jauza Aus bin
Abdillah..dan seterusnya.
Dalam sanad hadits ini terdapat Abun Nu’maan Muhammad bin Al Fadll As Saduusi yang dikenal dengan gelar ‘Arim, walaupun ia seorang perawi yang tsiqah, namun para ulama menyatakan bahwa ia berubah hafalannya (mukhtalith) pada tahun 216H sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dawud, dan imam Ad Darimi tidak diketahui apakah ia termasuk yang meriwayatkan darinya setelah berubah hafalannya ataukah sebelumnya, sehingga masih menghasilkan keraguan.
Dalam sanadnya juga terdapat Amru bin Malik An Nukri, ibnu Adi berkata tentangnya: “Mungkarul hadits dari perawi-perawi tsiqaat, dan suka mencuri hadits”.[5] Dan Abu Ya’la menganggapnya dla’if[6]. Dan ini adalah jarh yang mufassar dan jarh yang mufassar lebih didahulukan dari ta’dil yang mubham seperti perbuatan ibnu Hibban yang memasukkannya dalam kitab tsiqatnya dan mengatakan bahwa haditsnya dapat dijadikan i’tibar dari selain periwayatan anaknya darinya, dan ibnu Hibban termasuk ulama mutasahil (longgar) dalam tautsiq.
Dan bila kita menerima perkataan ibnu Hibban ini, maka makna dapat dijadikan i’tibar artinya bila ia tidak sendirian, dan bila bersendirian maka haditsnya tertolak, dan disini ia bersendirian. Dan Al Hafidz ibnu Hajar dalam tahdzibnya tidak menyebutkan perkataan ibnu Adi tadi dan pendla’ifan Abu Ya’la, sehingga menghasilkan vonis bahwa ia perawi yang shaduq lahu auham, bila beliau menemukan perkataan ibnu Adi yang menjarhnya dengan jarh mufassar tentu hukumnya akan berubah, karena kaidah berkata: “Jarh mufassar lebih di dahulukan dari ta’dil yang mubham”. Jadi kesimpulannya Amru bin Malik An Nukri ini seorang perawi yang lemah.
Adapun dari sisi matannya, maka terdapat banyak kejanggalan, dari beberapa sisi, yaitu:
Dalam sanad hadits ini terdapat Abun Nu’maan Muhammad bin Al Fadll As Saduusi yang dikenal dengan gelar ‘Arim, walaupun ia seorang perawi yang tsiqah, namun para ulama menyatakan bahwa ia berubah hafalannya (mukhtalith) pada tahun 216H sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dawud, dan imam Ad Darimi tidak diketahui apakah ia termasuk yang meriwayatkan darinya setelah berubah hafalannya ataukah sebelumnya, sehingga masih menghasilkan keraguan.
Dalam sanadnya juga terdapat Amru bin Malik An Nukri, ibnu Adi berkata tentangnya: “Mungkarul hadits dari perawi-perawi tsiqaat, dan suka mencuri hadits”.[5] Dan Abu Ya’la menganggapnya dla’if[6]. Dan ini adalah jarh yang mufassar dan jarh yang mufassar lebih didahulukan dari ta’dil yang mubham seperti perbuatan ibnu Hibban yang memasukkannya dalam kitab tsiqatnya dan mengatakan bahwa haditsnya dapat dijadikan i’tibar dari selain periwayatan anaknya darinya, dan ibnu Hibban termasuk ulama mutasahil (longgar) dalam tautsiq.
Dan bila kita menerima perkataan ibnu Hibban ini, maka makna dapat dijadikan i’tibar artinya bila ia tidak sendirian, dan bila bersendirian maka haditsnya tertolak, dan disini ia bersendirian. Dan Al Hafidz ibnu Hajar dalam tahdzibnya tidak menyebutkan perkataan ibnu Adi tadi dan pendla’ifan Abu Ya’la, sehingga menghasilkan vonis bahwa ia perawi yang shaduq lahu auham, bila beliau menemukan perkataan ibnu Adi yang menjarhnya dengan jarh mufassar tentu hukumnya akan berubah, karena kaidah berkata: “Jarh mufassar lebih di dahulukan dari ta’dil yang mubham”. Jadi kesimpulannya Amru bin Malik An Nukri ini seorang perawi yang lemah.
Adapun dari sisi matannya, maka terdapat banyak kejanggalan, dari beberapa sisi, yaitu:
Pertama: Semasa hidup Aisyah, kamar beliau
sebagiannya tertutup dan sebagiannya terbuka, dan cahaya matahari masuk ke dalam
kamar beliau, sebagaimana dalam Shahihain dari Aisyah:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
كَانَ يُصَلِّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ فِى حُجْرَتِهَا لَمْ يَظْهَرِ الْفَىْءُ فِى
حُجْرَتِهَا.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam shalat ashar, sementara (sinar) matahari di kamarnya, dan belum tampak
bayangan di kamarnya”.
Maka tidak butuh lagi dibuat kuwwah. Dan kamar Aisyah tidak berubah sampai dimasukan ke dalam masjid di masa Al Walid bin Abdul Malik.
Kedua: Bila dikatakan, boleh jadi atap rumah Aisyah dibongkar semuanya, jawabnya: konsekwensi perkataan ini adalah bahwa Aisyah tinggal di dalam rumah tersebut tanpa atap, dan ini menunjukkan kedustaan kabar tersebut.
Ketiga: Kalaulah terbukanya kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebab utama turunnya hujan, maka seharusnya kuburan itu selalu terbuka agar hujan senantiasa turun, dan para shahabatpun tidak perlu lagi shalat istisqa’ dan bertawassul melalui Al ‘Abbas radliyallahu ‘anhu.
Syubhat 15:
Maka tidak butuh lagi dibuat kuwwah. Dan kamar Aisyah tidak berubah sampai dimasukan ke dalam masjid di masa Al Walid bin Abdul Malik.
Kedua: Bila dikatakan, boleh jadi atap rumah Aisyah dibongkar semuanya, jawabnya: konsekwensi perkataan ini adalah bahwa Aisyah tinggal di dalam rumah tersebut tanpa atap, dan ini menunjukkan kedustaan kabar tersebut.
Ketiga: Kalaulah terbukanya kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebab utama turunnya hujan, maka seharusnya kuburan itu selalu terbuka agar hujan senantiasa turun, dan para shahabatpun tidak perlu lagi shalat istisqa’ dan bertawassul melalui Al ‘Abbas radliyallahu ‘anhu.
Syubhat 15:
Hadits tawassulnya seorang arab badawi kepada Rasul setelah beliau wafat tiga hari.
روى أبو الحسن علي بن إبراهيم بن عبدالله بن عبد
الرحمن الكرخي عن علي بن محمد
بن علي حدثنا أحمد بن محمد بن الهيثم الطائي حدثنا أبي عن أبيه عن سلمة بن كهيل عن أبي صادق عن علي بن أبي
طالب قال : قدم علينا أعرابي بعدما دفنا رسول الله بثلاثة أيام فرمى نفسه على قبر النبي وحثى على رأسه
من ترابه وقال : يا رسول الله
قلت فسمعنا قولك ووعيت من الله عز وجل ما وعينا
عنك وكان فيما أنزل الله تبارك وتعالى عليك ( ولو أنهم
إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك
فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله تواباُ رحيماً ). وقد ظلمت نفسي وجئتك لتستغفر لي فنودي من القبر
أنه غفر لك .
Abul hasan Ali bin Ibrahim bin Abdullah bin
Abdurrahman Al Karkhi meriwayatkan dari Ali bin Muhammad bin Ali haddatsana
Ahmad bin Muhammad bin Al Haitsam Ath Thaai haddatsana ayahku dari ayahnya dari
Salamah bin Kuhail dari Abu Shadiq dari Ali bin Abi Thalib ia berkata: “Datang
kepada kami seorang arab badawi setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat
tiga hari, lalu ia melemparkan dirinya di atas kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan menaburkan tanah ke kepalanya dari kuburan Nabi, dan berkata:
“Wahai Rasulullah, engkau berkata dan kami mendengarkan perkataanmu, engkau
memahami dari Allah apa yang kami fahami darimu, dan diantara ayat yang Allah
Tabaraka wa Ta’ala turunkan kepadamu (yang artinya):
Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (An Nisaa: 64).
Dan aku telah menzalimi diriku dan datang kepadamu agar engkau memohonkan ampun untukku, lalu diseru dari kuburan bahwa ia telah diampuni”.
Jawab:
Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (An Nisaa: 64).
Dan aku telah menzalimi diriku dan datang kepadamu agar engkau memohonkan ampun untukku, lalu diseru dari kuburan bahwa ia telah diampuni”.
Jawab:
Ibnu Abdil Haadi rahimahullah berkata: “Kabar
ini mungkar dan maudlu’ (palsu), tidak boleh dijadikan sandaran dan pegangan,
dan sanadnya kegelapan di atas kegelapan, Al Haitsam kakek dari Ahmad berat
dugaan saya adalah bin Adi Ath Thaai, jika memang dia maka ia adalah perawi yang
matruk dan kadzaab (tukang dusta), dan jika bukan dia maka majhul, karena Al
haitsam bin Adi dilahirkan di Kuufah dan mendapati zaman Salamah bin Kuhail,
kemudian pindah ke Baghdad dan tinggal di sana.
Abbas Ad Duuri berkata: “Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Al Haitsam bin Adi adalah orang Kufah, ia tidak tsiqah dan suka berdusta”. Abu Dawud berkata: “Kadzaab (tukang berdusta)”. Abu Hatim Ar Razi, An Nasai, Ad Duulaabi dan Al Azdi berkata: “Matruk haditsnya”. Al Bukhari berkata: “sakatuu ‘anhu (mereka mendiamkannya)”. Artinya mereka meninggalkannya. Ibnu Hibban berkata: “Ia ulama dalam sejarah dan hari-hari manusia dan kabar arab, akan tetapi ia meriwayatkan dari perawi tsiqat kabar-kabar yang seakan-akan palsu, dan saya menduga ia mentadlisnya”. Al ‘Abbas bin Muhammad berkata: “Sebagian sahabat kami berkata: “Budak wanita Al Haitsam berkata: “Majikanku suka shalat semalam suntuk, dan di pagi hari ia duduk untuk berdusta”.[7]
Syubhat 16:
Abbas Ad Duuri berkata: “Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Al Haitsam bin Adi adalah orang Kufah, ia tidak tsiqah dan suka berdusta”. Abu Dawud berkata: “Kadzaab (tukang berdusta)”. Abu Hatim Ar Razi, An Nasai, Ad Duulaabi dan Al Azdi berkata: “Matruk haditsnya”. Al Bukhari berkata: “sakatuu ‘anhu (mereka mendiamkannya)”. Artinya mereka meninggalkannya. Ibnu Hibban berkata: “Ia ulama dalam sejarah dan hari-hari manusia dan kabar arab, akan tetapi ia meriwayatkan dari perawi tsiqat kabar-kabar yang seakan-akan palsu, dan saya menduga ia mentadlisnya”. Al ‘Abbas bin Muhammad berkata: “Sebagian sahabat kami berkata: “Budak wanita Al Haitsam berkata: “Majikanku suka shalat semalam suntuk, dan di pagi hari ia duduk untuk berdusta”.[7]
Syubhat 16:
Al Baihaqi meriwayatkan dari Anas bahwa ada orang arab badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk istisqa, dan ia melantunkan bait-bait sya’ir, diantaranya:
وليس لنا إلا إليك فرارنا
وأنى فرار الخلق إلا إلى الرسل
فلم ينكر عليه ( هذا البيت بل قال أنس : لما
أنشد الأعرابي قام ( يجر رداءه
حتى رقى المنبر فخطب ودعا لهم فلم ينزل يدعو حتى أمطرت السماء .
Kami tidak mempunyai tempat lari kecuali
kepadamu.
Dan adakah tempat lari para makhluk kecuali
kepada para Rasul?
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
mengingkari bait-bait ini, bahkan Anas berkata: “Ketika orang arab badui ini
telah melantunkan sya’irnya, beliau berdiri menyeret pakaian atasnya sampai
menaiki mimbar dan mendo’akan mereka, dan beliau belum turun ternyata langit
telah menurunkan hujan”.
Jawab:
Pertama: Hadits ini jika shahih tidak
menunjukkan bolehnya bertawassul kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
setelah beliau wafat, karena orang arab badui ini datang kepada Rasulullah
semasa hidup beliau, lalu beliaupun berdo’a kepada Allah Ta’ala, dan ini adalah
termasuk tawassul yang syari’atkan, yaitu bertawassul kepada orang shalih yang
masih hidup dan hadir dan tawassul seperti ini diperbolehkan.
Kedua: Di dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang sangat lemah yang bernama Muslim bin Kaisaan Adl Dabbi Al Kuufi Al Mulaai, Al Fallaas berkata: “Matruk haditsnya”. Ahmad berkata: “Tidak boleh ditulis haditsnya”. Yahya bin Ma’in berkata: “Laisa bi tsiqah”[8]. An Nasai berkata: “Matruk”.[9] Sehingga hadits ini sangat lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Syubhat 17:
Kedua: Di dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang sangat lemah yang bernama Muslim bin Kaisaan Adl Dabbi Al Kuufi Al Mulaai, Al Fallaas berkata: “Matruk haditsnya”. Ahmad berkata: “Tidak boleh ditulis haditsnya”. Yahya bin Ma’in berkata: “Laisa bi tsiqah”[8]. An Nasai berkata: “Matruk”.[9] Sehingga hadits ini sangat lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Syubhat 17:
Hadits dalam shahih Bukhari:
لما جاء الأعرابي وشكا للنبي ( القحط فدعا الله
فانجابت السماء بالمطر ( : لو
كان أبو طالب حياً لقرت عيناه . من ينشدنا قوله ؟ فقال علي ( : يا رسول الله : كأنك أردت قوله :
وأبيض يستسقى الغمام بوجهه
ثمال اليتامى عصمة للأرامل
فتهلل وجه الرسول ( ولم ينكر إنشاد البيت ولا
قوله يستسقى الغمام بوجهه ولو كان ذلك حراماً أو شركاً لأنكره ولم يطلب
إنشاده .
Ketika datang orang arab badui dan mengadukan
kekeringan kepada Nabi, beliau berdo’a kepada Allah, maka langitpun menurunkan
hujan, beliau bersabda: “kalaulah Abu thalib masih hidup tentu ia akan gembira,
siapakah yang bisa melantunkan sya’irnya?” Ali berkata: “Wahai Rasulullah,
tampaknya engkau menginginkan sya’irnya : dan si putih yang dimintai hujan
melalui wajahnya
Pemberi makan anak yatim dan pelindung para
janda.
Maka wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallampun berseri-seri”.
Di sini Nabi tidak mengingkari pelantunan sya’ir tersebut tidak juga mengingkari perkataannya: “Dimintai hujan melalui wajahnya”. Kalaulah itu haram atau syirik tentu beliau akan mengingkarinya dan tidak minta dilantunkan sya’irnya.
Di sini Nabi tidak mengingkari pelantunan sya’ir tersebut tidak juga mengingkari perkataannya: “Dimintai hujan melalui wajahnya”. Kalaulah itu haram atau syirik tentu beliau akan mengingkarinya dan tidak minta dilantunkan sya’irnya.
Jawab:
Pertama: yang ada dalam shahih Al bukhari
adalah dengan lafadz:
حدثنا عمرو بن علي قال حدثنا أبو قتيبة قال
حدثنا عبد الرحمن بن عبد الله بن دينار عن أبيه قال : سمعت ابن عمر يتمثل بشعر أبي
طالب
وأبيض يستسقى الغمام بوجهه * ثمال اليتامى عصمة
للأرامل
وقال عمر بن حمزة حدثنا سالم عن أبيه ربما ذكرت
قول الشاعر وأنا أنظر إلى وجه
النبي صلى الله عليه و سلم يستسقي فما ينزل حتى يجيش كل ميزاب
وأبيض يستسقى الغمام بوجهه * ثمال اليتامى عصمة
للأرامل
وهو قول أبي طالب
Haddatsana Amru bin Ali haddatsana Abu Qutaibah
haddatsana Abdurrahman bin Abdillah bin Dinar dari ayahnya berkata: Aku
mendengar ibnu Umar mengkisahkan sya’ir Abu Thalib:
dan si putih yang dimintai hujan melalui
wajahnya
Pemberi makan anak yatim dan pelindung para
janda.
Dan Umar bin Hamzah berkata: Haddatsana Salim
dari ayahnya berkata: “Barangkali aku ingat perkataan seorang penya’ir,
sementara aku melihat kepada wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang
istisqa (meminta hujan), tidaklah beliau turun dari mimbarnya sampai setiap
selokan mengalirkan air:
dan si putih yang dimintai hujan melalui
wajahnya
Pemberi makan anak yatim dan pelindung para
janda.
Ia adalah perkataan Abu thalib.
Dalam kisah ini tidak disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta agar dilantunkan sya’ir Abu Thalib, namun sebatas ibnu Umar mengingat sya’ir tersebut ketika melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beristisqa, sehingga sama sekali tidak ada dalil yang menunjukkan boleh bertawassul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah matinya.
Kedua: Adapun datangnya arab badui yang meminta agar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta hujan, diriwayatkan oleh Al Bukhari dari hadits Anas ia berkata:
Dalam kisah ini tidak disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta agar dilantunkan sya’ir Abu Thalib, namun sebatas ibnu Umar mengingat sya’ir tersebut ketika melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beristisqa, sehingga sama sekali tidak ada dalil yang menunjukkan boleh bertawassul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah matinya.
Kedua: Adapun datangnya arab badui yang meminta agar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta hujan, diriwayatkan oleh Al Bukhari dari hadits Anas ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْمَوَاشِي وَانْقَطَعَتْ
السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمُطِرْنَا مِنْ الْجُمُعَةِ إِلَى
الْجُمُعَةِ فَجَاءَ رَجُلٌ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَهَدَّمَتْ الْبُيُوتُ
وَانْقَطَعَتْ السُّبُلُ
وَهَلَكَتْ الْمَوَاشِي فَقَالَ اللهم على الآكام والظراب
والأودية ومنابت الشجر فَانْجَابَتْ عَنْ الْمَدِينَةِ
انْجِيَابَ الثَّوْبِ
“Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, telah binasa
binatang ternak dan jalan-jalan telah terputus, maka berdo’alah kepada Allah
‘Azza wa Jalla, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdo’a,
kamipun di beri hujan dari jum’at ke jum’at lagi. Lalu orang itu datang lagi
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah,
Rumah-rumah telah roboh, jalan-jalan terputus dan binatang ternak telah mati”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdo’a: “Ya Allah, (pindahkan hujan itu)
ke bukit-bukit, gunung, lembah-lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan”. Maka
hujan pun sedikit-demi sedikit berhenti seperti baju yang dilepas sedikit-demi
sedikit”.
Dan Al Bukhari meriwayatkan hadits Anas ini dalam shahihnya dari beberapa jalan, dan tidak ada satupun disebutkan sabda Rasulullah: “Kalaulah Abu thalib masih hidup tentu ia akan gembira, siapakah yang bisa melantunkan sya’irnya?” Ali berkata: “Wahai Rasulullah, tampaknya engkau menginginkan sya’irnya :
Dan Al Bukhari meriwayatkan hadits Anas ini dalam shahihnya dari beberapa jalan, dan tidak ada satupun disebutkan sabda Rasulullah: “Kalaulah Abu thalib masih hidup tentu ia akan gembira, siapakah yang bisa melantunkan sya’irnya?” Ali berkata: “Wahai Rasulullah, tampaknya engkau menginginkan sya’irnya :
dan si putih yang dimintai hujan melalui
wajahnya
Pemberi makan anak yatim dan pelindung para
janda.
Maka wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallampun berseri-seri”.
Lafadz ini tidak diriwayatkan oleh Al Bukhari sama sekali, namun diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab Dalail Nubuwwah dari jalan Muslim Al Mulaai dari Anas, dan Muslim Al Mulaai ini adalah perawi yang sangat lemah sebagaimana telah kita jelaskan dalam bantahan syubhat yang ke 16.
Lafadz ini tidak diriwayatkan oleh Al Bukhari sama sekali, namun diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab Dalail Nubuwwah dari jalan Muslim Al Mulaai dari Anas, dan Muslim Al Mulaai ini adalah perawi yang sangat lemah sebagaimana telah kita jelaskan dalam bantahan syubhat yang ke 16.
Ketiga: Bila ada yang berkata: “Ibnu Umar teringat sya’ir itu dan tidak mengingkarinya, dan ini menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Dijawab: “Bahwa ibnu Umar mengingat sya’ir tersebut ketika melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beristiqa’ semasa hidupnya, dan kejadian seperti ini tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan tawassul kepada Rasulullah setelah matinya, karena ibnu Umar tidak pernah bertawassul kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kalaulah pemahaman seperti ini benar, tentu ibnu Umar yang pertama kali melakukannya.
____________
[1] Majmu’ fatawa 1/319-320 secara
ringkas.
[2] Majmu’ fatawa 27/126.
[3] Majmu’ fatawa 1/356.
[4] Tahdzibuttahdzib 4/296.
[5] Al Kamil 5/150.
[6] Adl Dlu’afaa wal matrukin 2/231 karya ibnul
Jauzi.
[7] Ash Sharim Al Munakki
(1/321-322).
[8] Laisa bi tsiqah di sisi ibnu Ma’in adalah
lafadz yang menunjukkan jarh yang berat atau haditsnya sedikit, namun makna
pertama itu yang sesuai dengan vonis ulama lainnya.
[9] Mizanul i’tidal (4/106-107).
Syubhat 18:
Hadits Sawad bin Qarib:
Hadits Sawad bin Qarib:
روى الطبراني في الكبير أن سواد بن قارب ( أنشد
الرسول ( قصيدته التي فيها
التوسل ، ( يقول الدحلان ) : ولم ينكر الرسول عليه ومنها قوله :
وأشهد أن الله لا رب غيره
وأنك أدنى المرسلين وسيلة
فمرنا بما يأتيك يا خير مرسل
وكن لي شفيعاً يوم لا ذو شفاعة
At Thabrani meriwayatkan dalam mu’jam kabirnya
bahwa Sawad bin Qarib melantunkan qashidah di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam yang di dalamnya terdapat tawassul dan ternyata Nabi tidak
mengingkarinya:
Aku bersaksi bahwa Allah tidak ada Rabb selainNya.
Aku bersaksi bahwa Allah tidak ada Rabb selainNya.
Dan sesungguhnya engkau adalah rasul yang
paling dekat wasilahnya.
Maka perintahkan dengan apa yang datang
kepadamu wahai sebaik-baiknya rasul.
Dan jadilah pemberi syafaat kepadaku pada hari
tidak ada yang mempunyai syafaat.
Jawab:
Jawab:
Pertama: Hadits ini bila shahih, sama sekali
tidak menunjukkan kepada bolehnya tawassul melalui Rasulullah setelah beliau
wafat, karena shahabat ini datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
semasa hidupnya. Dan sesuatu yang tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam akan memberi syafa’at untuk umatnya pada hari
kiamat dengan idzin Allah Ta’ala.
Kedua: sanad hadits ini lemah dari seluruh jalannya, penjelasannya sebagai berikut[1]:
Kedua: sanad hadits ini lemah dari seluruh jalannya, penjelasannya sebagai berikut[1]:
Riwayat Al Baihaqi dalam Dalaail An Nubuwwah,
di dalam sanadnya terdapat Ziyad bin Yazid, dan Muhammad bin Tarras Al Kuufi,
Adz Dzahabi berkata: “Hadits ini sangat mungkar, Muhammad bin Tarras dan Ziyad
adalah majhul dan periwayatannya tidak diterima”. Beliau menambahkan: “Aku
khawatir bila hadits ini dipalsukan atas Abu bakar bin Ayyasy.
Riwayat Abu Ya’la, dan disebutkan oleh ibnu Katsir dalam siyarnya, dan beliau berkata: “Sanad ini terputus dari jalan ini”. Dan Adz Dzahabi dalam Tarikhnya menjelaskan: “Abu Abdirrahman namanya Utsman bin Abdurrahman Al Waqqashi, ia disepekati oleh para ulama untuk ditinggalkan (matruk), dan Ali bin Manshur majhul, selain haditsnya juga terputus.
Riwayat ibnu Adi, Adz Dzahabi berkata: “Di dalamnya ada Sa’id, ia berkata: “Mengabarkan kepadaku Sawad bin Qarib, dan antara keduanya terputus. Dan Abbad laisa bi tsiqah dan membawa bencana”.
Riwayat Muhammad bin As Saib Al Kalbi, ibnu Katsir berkata dalam sirahnya: “Muhammad bin As Saib Al Kalbi tertuduh berdusta, dan dituduh sebagai rafidlah”. Sebagaimana juga disebutkan dalam At Taqrib.
Riwayat Al Fadll bin Isa Al Qurasyi dari Al ‘Alaa bin Yaziid, As Suuthi dalam kitab syarah Syawahid Al Mughni berkata: “Al ‘Alaa bin Yazid dikatakan oleh Al Madiini: “Ia suka memalsukan hadits”. Al Bukhari dan lainnya berkata: “Munkar haditsnya”. Ibnu Hibban berkata: “Ia meriwayat naskah yang palsu”. Dan Adz Dzahabi menyebutkan dalam Al mizan beberapa kemungkarannya.
Riwayat Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya dari Jalan Al Hasan bin ‘Imaarah, As Suyuthi dalam syarah syawahid Al Mughni berkata: “Al Hasan bin ‘Imarah sangat lemah”. Al Hafidz ibnu Hajar berkata: “Matruk”.
Riwayat Abu Ya’la, dan disebutkan oleh ibnu Katsir dalam siyarnya, dan beliau berkata: “Sanad ini terputus dari jalan ini”. Dan Adz Dzahabi dalam Tarikhnya menjelaskan: “Abu Abdirrahman namanya Utsman bin Abdurrahman Al Waqqashi, ia disepekati oleh para ulama untuk ditinggalkan (matruk), dan Ali bin Manshur majhul, selain haditsnya juga terputus.
Riwayat ibnu Adi, Adz Dzahabi berkata: “Di dalamnya ada Sa’id, ia berkata: “Mengabarkan kepadaku Sawad bin Qarib, dan antara keduanya terputus. Dan Abbad laisa bi tsiqah dan membawa bencana”.
Riwayat Muhammad bin As Saib Al Kalbi, ibnu Katsir berkata dalam sirahnya: “Muhammad bin As Saib Al Kalbi tertuduh berdusta, dan dituduh sebagai rafidlah”. Sebagaimana juga disebutkan dalam At Taqrib.
Riwayat Al Fadll bin Isa Al Qurasyi dari Al ‘Alaa bin Yaziid, As Suuthi dalam kitab syarah Syawahid Al Mughni berkata: “Al ‘Alaa bin Yazid dikatakan oleh Al Madiini: “Ia suka memalsukan hadits”. Al Bukhari dan lainnya berkata: “Munkar haditsnya”. Ibnu Hibban berkata: “Ia meriwayat naskah yang palsu”. Dan Adz Dzahabi menyebutkan dalam Al mizan beberapa kemungkarannya.
Riwayat Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya dari Jalan Al Hasan bin ‘Imaarah, As Suyuthi dalam syarah syawahid Al Mughni berkata: “Al Hasan bin ‘Imarah sangat lemah”. Al Hafidz ibnu Hajar berkata: “Matruk”.
Syubhat 19:
Hadits yang disebutkan oleh imam An Nawawi dalam kitab al adzkar:
أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر أن يقول العبد
بعد ركعتي الفجر ثلاثاً : اللهم رب جبرائيل وميكائيل وإسرافيل ومحمد أجرني من
النار
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menyuruh setelah shalat dua rakaat fajar untuk membaca tiga kali: Ya Allah, Rabb
Jibril, Mikail, Israfil, dan Muhammad, lindungi aku dari Neraka”.
Jawab:
Jawab:
Hadits ini tidak menunjukkan kepada tawassul
melalui Jibril, Mikail, Israfil, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
karena Nabi berdo’a langsung kepada Allah Rabb semesta alam, karena Allah adalah
Rabb Jibril, Mikail, Israfil, dan Muhammad, seperti halnya bila kita berkata:
“Ya Allah Rabb Langit dan Bumi, Rabb seluruh manusia dan Jinn”. Apakah berarti
kita bertawassul dengan langit dan bumi dan seluruh manusia?! Tentu
tidak.
Syubhat 20:
Syubhat 20:
Hadits Abu Hurairah secara marfu’:
لولا عباد ركع وبهائم رتع لصب عليكم العذاب
صباً .
“kalau bukan karena para hamba yang ruku’ dan
binatang-binatang ternak, tentu Allah akan menimpakan adzab kepada kamu”. (HR Al
Baihaqi).
Jawab:
Jawab:
Pertama: Hadits ini jika shahih tidak
menunjukkan kepada tawassul sama sekali, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam hanya mengabarkan bahwa adzab itu terhindar karena adanya para hamba
yang ta’at dan binatang-binatang yang berdo’a.
Kedua : Hadits ini adalah hadits yang lemah, penjelasannya sebagai berikut: Hadits ini dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam sunannya (3/345) dari jalan Ibrahim bin Khutsaim yakni ibnu ‘Arrak bin Malik dari ayahnya dari kakeknya dari Abu Hurairah dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.. alhadits. Namun ibnu At Turkumani mengomentari: “Di Dalam sanadnya terdapat ibnu Khutsaim, Al Baihaqi berkata: “Ghairu qawiyy (tidak kuat)”. Dan para pakar ilmu ini mengomentarinya dengan nada keras, An Nasai berkata: “Matruk”. Abul Fath Al Azdi berkata: “Kadzaab (tukang berdusta)”..
Tetapi hadits ini mempunyai jalan lain, dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (22/309), dan juga Al Baihaqi dalam sunannya (3/345) dari jalan Abdurrahman bin Sa’ad Al Muadzin dari malik bin Ubaidah Ad Diili dari ayahnya dari kakeknya secara marfu’.
Namun sanadnya lemah, karena Malik bin Ubaidah dikatakan oleh Yahya bin Ma’in: “Aku tidak mengenalnya”.[2] Dan Abdurrahman bin Sa’ad Al muadzin di dla’ifkan oleh ibnu Ma’in dan Al Hafidz ibnu hajar berkata dalam taqribnya: “Dla’if”. Dan jalan ini tidak dapat menguatkan jalan sebelumnya karena sangat lemah sehingga tidak dapat mengangkat derajatnya.
Syubhat 21:
Kedua : Hadits ini adalah hadits yang lemah, penjelasannya sebagai berikut: Hadits ini dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam sunannya (3/345) dari jalan Ibrahim bin Khutsaim yakni ibnu ‘Arrak bin Malik dari ayahnya dari kakeknya dari Abu Hurairah dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.. alhadits. Namun ibnu At Turkumani mengomentari: “Di Dalam sanadnya terdapat ibnu Khutsaim, Al Baihaqi berkata: “Ghairu qawiyy (tidak kuat)”. Dan para pakar ilmu ini mengomentarinya dengan nada keras, An Nasai berkata: “Matruk”. Abul Fath Al Azdi berkata: “Kadzaab (tukang berdusta)”..
Tetapi hadits ini mempunyai jalan lain, dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (22/309), dan juga Al Baihaqi dalam sunannya (3/345) dari jalan Abdurrahman bin Sa’ad Al Muadzin dari malik bin Ubaidah Ad Diili dari ayahnya dari kakeknya secara marfu’.
Namun sanadnya lemah, karena Malik bin Ubaidah dikatakan oleh Yahya bin Ma’in: “Aku tidak mengenalnya”.[2] Dan Abdurrahman bin Sa’ad Al muadzin di dla’ifkan oleh ibnu Ma’in dan Al Hafidz ibnu hajar berkata dalam taqribnya: “Dla’if”. Dan jalan ini tidak dapat menguatkan jalan sebelumnya karena sangat lemah sehingga tidak dapat mengangkat derajatnya.
Syubhat 21:
Hadits Abu Bakar Ash Shiddiq:
يروى عن عبد الملك بن هارون بن عنترة عن أبيه عن
جده أن أبا بكر الصديق أتى
النبي فقال : إني أتعلم القرآن ويتفلت مني فقال له رسول الله : قل اللهم إني أسألك بمحمد نبيك وإبراهيم خليلك
وبموسى نبيك وعيسى روحك وكلمتك وبتوراة موسى وإنجيل عيسى وزبور داود وفرقان محمد بكل وحي أوحيته
وقضاء قضيته .
Diriwayatkan dari Abdul Malik bin Harun bin
‘Antarah dari ayahnya dari kakeknya bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Sesungguhnya aku mempelajari Al
Qur’an namun mudah lepas dari (hafalan)ku”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda kepadanya: katakanlah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
melalui Muhammad NabiMu, dan Ibrahim kekasihMu, dan dengan melalui Musa NabiMu
dan Isa ruhMu dan kalimatmu, dan melalui taurat Musa, injil Isa, Zabur Dawud,
dan furqan Muhammad dengan seluruh wahyu yang Engkau wahyukan, dan kebutuhan
yang Engkau penuhi”.
Jawab:
Jawab:
Hadits ini berasal dari periwayatan Abdul Malik
bin Harun bin ‘Antarah dari ayahnya, Ad Daraquthni berkata: “Keduanya dla’if”.
Yahya bin Ma’in berkata: “Kadzaab (Tukang berdusta)”. Abu Hatim berkata: “Matruk
dzahib hadits”. Ibnu Hibban berkata: “Suka memalsukan hadits”.[3] Bila
keadaannya demikian maka hadits ini adalah hadits yang palsu, dan dinyatakan
kepalsuannya oleh syaikhul islam dalam Majmu fatawa (1/525).
Syubhat 22:
Syubhat 22:
Hadits do’a menghafal Al Qur’an:
ذكره موسى بن عبد الرحمن الصنعاني صاحب التفسير
بإسناده عن ابن عباس مرفوعاً
أنه قال : من سره أن يوعيه الله حفظ القرآن وحفظ أصناف العلم فليكتب هذا الدعاء في إناء نظيف في صحف
قوارير بعسل وزعفران وماء مطر وليشربه على الريق وليصم ثلاثة أيام وليكن إفطاره عليه ويدعو به في
أداء صلواته : اللهم إني أسألك
بأنك مسؤول لم يسأل مثلك ولا يسأل وأسألك بحق
محمد نبيك وإبراهيم خليلك وموسى روحك وكلمتك ووجيهك …
وذكر تمام الدعاء .
Disebutkan oleh Musa bin Abdurrahman Ash
Shan’ani pemilik kitab tafsir dengan sanadnya dari ibnu Abbas secara marfu’
bahwa ia berkata: “Barang siapa yang ingin dimudahkan oleh Allah untuk menghafal
Al Qur’an dan menghafal berbagai macam ilmu, hendaklah ia menulis do’a berikut
ini dalam bejana yang bersih, dalam lembaran botol dengan dicampur madu,
za’faran, dan air hujan untuk diminum dan hendaklah ia berpuasa tiga hari, dah
hendaklah ia berbuka dengannya dan ketika shalat ia berdo’a dengannya: Ya Allah
sesungguhnya aku memohon kepadaMu bahwasannya Engkaulah yang berhak diminta,
tidak dimintai sesuatu sepertiMu, aku memohon kepadamu melalui hak muhammad
NabiMu, dan Musa RuhMu, kalimatMu dan wajihMu… sampai akhir do’a.
Jawab:
Jawab:
Musa bin Abdurrahman Ash Shan’ani adalah
penyakit kabar ini, ibnu Hibban berkata: “Dia Dajjal dan memalsukan hadits atas
ibnu Juraij dari ‘Athaa dari ibnu Abbas sebuah kitab dalam tafsir yang ia
kumpulkan dari perkataan Al Kalbi dan Muqatil”.[4] Dan As Suyuthi menganggapnya
sebagai hadits yang palsu dan memasukkannya dalam kitab Al Laali al Mashnuu’ah
(2/356), juga dinyatakan kepalsuannya oleh ibnu ‘Arraaq dalam kitab Tanzih Asy
Syari’ah (2/322).
Syubhat 23:
Syubhat 23:
Kisah kaum Yahudi yang bertawassul dengan Nabi Muhamad untuk mengalahkan kaum musyrikin:
يروي عن عبد الملك بن هارون بن عنترة عن أبيه عن
سعيد بن جبير عن ابن عباس قال
: كانت يهود خيبر تقاتل غطفان فكلما التقوا هزمت يهود فعاذت بهذا الدعاء : اللهم إنا نسألك بحق محمد النبي
الأمي الذي وعدتنا أن تخرجه لنا آخر الزمان إلا نصرتنا عليهم فكانوا إذا دعوا بهذا الدعاء هزموا غطفان
فلما بعث النبي ( كفروا به
فأنزل الله تعالى : ( وكانوا من قبل يستفتحون على
الذين كفروا …)
Diriwayatkan dari Abdul Malik bin Harun bin
‘Antarah dari ayahnya dari Sa’id bin Jubair dari ibnu Abbas, ia berkata:
“Dahulu, kaum Yahudi perang melawan ghathafan dan selalu kalah dalam peperangan,
maka mereka berlindung dengan do’a ini: “Ya Allah, sesungguhnya Kami memohon
kepadaMu dengan melalui hak Muhammad Nabi yang Ummiy yang Engkau janjikan kepada
kami di akhir zaman, agar Engkau menangkan kami atas mereka. Dan mereka apabila
berdo’a dengan do’a ini dapat mengalahkan ghathafan, namun ketika Nabi diutus,
mereka kafir kepadanya, maka Allah turunkan ayat ini: “Padahal sebelumnya mereka
biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang
kafir..
Jawab:
Jawab:
Hadits ini berasal dari periwayatan Abdul Malik
bin Harun bin ‘Antarah dari ayahnya, dan telah kita jelaskan pada bantahan
terhadap syubhat yang ke 21 bahwa ia adalah perawi yang suka bedusta, sehingga
kabar ini adalah palsu. dan Al Hakim dalam Al madkhal berkata: “Abdul malik bin
Harun bin ‘Antarah Asy Syaibani meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits
palsu”.
Dan di antara bukti yang menunjukkan kepalsuan kabar ini juga adalah bahwa ayat ini turun untuk Yahudi yang berada di madinah, dan Yahudi tidak pernah berperang melawan Ghathafan sekalipun.
Dan di antara bukti yang menunjukkan kepalsuan kabar ini juga adalah bahwa ayat ini turun untuk Yahudi yang berada di madinah, dan Yahudi tidak pernah berperang melawan Ghathafan sekalipun.
Dan kalaupun misalnya kisah ini shahih, maka
perbuatan Yahudi bukan dalil, justru kita jadikan dalil bahwa tawassul seperti
ini adalah perbuatan kaum Yahudi yang dimurkai oleh Allah Ta’ala.
Syubhat 24:
Syubhat 24:
Hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, ia berkata:
سألت أن يشفع لي يوم القيامة فقال : ( أنا
فاعل ).
“Aku meminta (kepada Rasulullah) agar
memberikan syafaat kepadaku pada hari kiamat”. Beliau bersabda: “Aku akan
melakukannya”.
Jawab:
Jawab:
Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu bukan sedang
bertawassul kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah matinya,
namun Anas datang kepada beliau semasa hidupnya dan memohon agar beliau memberi
syafa’at kepadanya pada hari kiamat kelak. Dan sabda Rasulullah: “Aku akan
melakukannya”. Tentunya dengan idzin Allah dan keridlaanNya, dan para shahabat
adalah generasi yang paling berhak mendapatkan syafa’at Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, disebabkan oleh keimanan dan tauhid mereka yang amat kokoh,
dan syafa’at Rasulullah hanya di dapat oleh orang yang tidak pernah
mempersekutukan Allah, sebagaimana dalam hadits:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصَةً مِنْ قِبَلِ
نَفْسِه
“Orang yang paling berbahagia mendapatkan
syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah
dengan penuh keikhlasan dari dirinya”. (HR Bukhari).
Maka hadits ini sama sekali tidak menunjukkan kepada bolehnya bertawassul kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau wafat.
Maka hadits ini sama sekali tidak menunjukkan kepada bolehnya bertawassul kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau wafat.
Syubhat 25:
Puisi Shafiyah bintu Abdil Muthalib.
ألا يا رسول الله أنت رجاؤنا
وكنت بنا براً ولم تك جافياً
ففيها النداء بعد وفاته مع قولها ( وأنت رجاؤنا
) وسمع تلك المرثية الصحابة ( فلم ينكر عليها أحد قولها : يا رسول الله أنت
رجاؤنا .
Engkaulah wahai Rasulullah harapan
kami
Yang selalu berbuat baik dan tidak bersikap
dingin kepada kami
Mereka berkata: “Tidak ada satupun shahabat
yang mengingkari perkataan Shafiyyah yang mengatakan: “Engkaulah wahai
Rasulullah harapan kami”.
Jawab:
Jawab:
Dalam sya’ir di atas terdapat perubahan fatal,
karena imam Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (9/39) dengan lafadz:
ألا يا رسول الله كنت رجاؤنا
وكنت بنا براً ولم تك جافياً
Wahai Rasulullah dahulu engkau harapan
kami
Yang selalu berbuat baik dan tidak bersikap
dingin kepada kami
Dan ini lafadz yang benar, dan lafadz yang benar ini justru menjadi dalil bahwa Shafiyyah membedakan antara masa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan setelah mati beliau, karena kata: “Kunta” menunjukkan kepada kejadian yang telah berlalu, namun mereka (para pembela tawassul syirik) kemudian merubahnya dengan lafadz “anta” agar lafadz tersebut dapat dipakai dalil bolehnya tawassul dengan Rasulullah setelah wafatnya. Demikianlah hawa nafsu bila berbicara, akan merusak agama.
Syubhat 26:
Dan ini lafadz yang benar, dan lafadz yang benar ini justru menjadi dalil bahwa Shafiyyah membedakan antara masa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan setelah mati beliau, karena kata: “Kunta” menunjukkan kepada kejadian yang telah berlalu, namun mereka (para pembela tawassul syirik) kemudian merubahnya dengan lafadz “anta” agar lafadz tersebut dapat dipakai dalil bolehnya tawassul dengan Rasulullah setelah wafatnya. Demikianlah hawa nafsu bila berbicara, akan merusak agama.
Syubhat 26:
Mimpi imam At Tirmidzi.
ذكر طاهر بن هاشم با علوي في كتابه المسمى ((
مجمع الأحباب )) في ترجمة الإمام أبي عيسى الترمذي صاحب السنن أنه رأى في المنام رب العزة فسأله
عما يحفظ عليه الإيمان حتى
يتوفاه عليه قال : فقال لي : قل : إلهي بحرمة الحسن
وأخيه وجده وبنيه وأمه وأبيه نجني من الغم الذي أنا فيه
يا حي يا قيوم يا ذا الجلال
والإكرام أسألك أن تحيي قلبي بنور معرفتك يا الله يا الله يا أرحم الراحمين
.
Thahir bin Hasyim Ba’alwi menyebutkan dalam
kitabnya “Majma’ul ahbaab” dalam biografi Abi Isa At Tirmidzi penulis kitab
sunan, bahwa ia bermimpi bertemu dengan Allah, dan bertanya kepadaNya tentang
sesuatu yang dapat menjaga keimanannya sampai wafat, maka Dia berkata:
“Katakanlah: “Ilahi, dengan melalui kehormatan Al Hasan, saudaranya, kakeknya,
anak-anaknya, ibu dan ayahnya, selamatkan aku dari kegundahan yang sedang
menimpaku, wahai yang Maha hidup lagi berdiri sendiri, wahai yang mempunyai
keagungan dan kemuliaan, aku memohon kepadaMu agar menghidupkan hatiku dengan
cahaya ma’riftmu, ya Allah ya Allah ya arhamarrahimiin”.
Jawab:
Jawab:
Pertama: Kisah ini tidak ditemukan padanya
sanad yang shahih sampai kepada imam At Tirmidzi, besar kemungkinan kisah ini
dibuat oleh orang-orang sufi yang tidak bertanggung jawab.
Kedua: Mimpi bukanlah dalil untuk dijadikan
sandaran dalam menentukan hukum syari’at, karena sandaran kita adalah Al Qur’an
dan hadits yang shahih.
Syubhat 27:
Syubhat 27:
Tawassul imam Asy Syafii melalui Abu Hanifah di sisi kuburannya.
قال ابن حجر المكي في كتابه المسمى ( بالخيرات
الحسان ) في مناقب أبي حنيفة
النعمان في الفصل الخامس والعشرين أن الإمام الشافعي أيام هو ببغداد كان يتوسل بالإمام أبي حنيفة ( يجيء إلى
ضريحه يزور فيسلم عليه ثم يتوسل إلى الله به في قضاء حاجاته .
ibnu Hajar Al Makki dalam kitabnya “Al
Khairaatul hisaan” menyebutkan manaqib Abu Hanifah pada fasal 25, bahwa imam Asy
Syafii ketika berada di baghdad bertawassul melalui imam Abu Hanifah, beliau
mendatangi kuburannya dan mengucapkan salam kemudian bertawassul kepada Allah
dengannya untuk memenuhi kebutuhannya.
Jawab:
Jawab:
Pertama: Kisah ini diriwayatkan oleh Al
khathiib Al baghdadi dalam tarikh baghdad dari jalan Umar bin Ishaq bin Ibrahim,
memberitahukan kepada kami Ali bin Maimun, aku mendengar Asy Syafi’i berkata:
“Aku suka bertabarruk dengan kuburan Abu hanifah, aku mendatangi kuburannya
setiap hari, apabila ada kebutuhan aku shalat dua raka’at dan mendatangi
kuburannya, lalu aku memohon kepada Allah hajatku di sisinya, tak lama setelah
itu hajatku dipenuhi”.
Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ishaq bin Ibrahim, tidak diketahui siapa ia, dan tidak juga disebutkan beografinya dalam kitab-kitab rijaal[5], sehingga kisah ini adalah kisah yang lemah bahkan batil.
Kedua: Syaikhul islam rahimahullah berkata dalam kitab iqtidla ash shirathil mustaqim (1/343-344): “Ini adalah kedustaan yang nyata, orang yang mempunyai pengetahuan yang rendah saja dapat memastikan kedustaannya, karena Asy Syafi’i ketika datang ke kota Baghdad, tidak ada di kota Baghdad kuburan yang selalu dikunjungi untuk berdo’a di sisinya, bahkan di zaman imam Asy Syafi’i perbuatan tersebut tidak dikenal, padahal imam Asy Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq dan Mesir kuburan para Nabi, para shahabat dan para Tabi’in yang menurut kaum muslimin lebih utama dari Abu Hanifah dan ulama yang selevel dengannya, lalu ada apa imam Asy Syafi’i hanya berdo’a di sisi kuburan Abu hanifah saja?!
Kemudian shahabat-shahabat Abu Hanifah yang bertemu dengannya seperti Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, Al Hasan bin Ziyad, dan lainnya tidak pernah berdo’a di sisi kuburan Abu Hanifah, tidak juga kuburan lainnya. Terlebih imam Asy Syafi’i mengharamkan mengagungkan kuburan makhluk karena khawatir akan menimbulkan fitnah terhadap kuburan. Orang yang membuat kisah ini hanyalah orang yang dangkal ilmu dan agamanya, atau dinukil dari orang yang tidak dikenal siapa ia”.
Syubhat 28:
Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ishaq bin Ibrahim, tidak diketahui siapa ia, dan tidak juga disebutkan beografinya dalam kitab-kitab rijaal[5], sehingga kisah ini adalah kisah yang lemah bahkan batil.
Kedua: Syaikhul islam rahimahullah berkata dalam kitab iqtidla ash shirathil mustaqim (1/343-344): “Ini adalah kedustaan yang nyata, orang yang mempunyai pengetahuan yang rendah saja dapat memastikan kedustaannya, karena Asy Syafi’i ketika datang ke kota Baghdad, tidak ada di kota Baghdad kuburan yang selalu dikunjungi untuk berdo’a di sisinya, bahkan di zaman imam Asy Syafi’i perbuatan tersebut tidak dikenal, padahal imam Asy Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq dan Mesir kuburan para Nabi, para shahabat dan para Tabi’in yang menurut kaum muslimin lebih utama dari Abu Hanifah dan ulama yang selevel dengannya, lalu ada apa imam Asy Syafi’i hanya berdo’a di sisi kuburan Abu hanifah saja?!
Kemudian shahabat-shahabat Abu Hanifah yang bertemu dengannya seperti Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, Al Hasan bin Ziyad, dan lainnya tidak pernah berdo’a di sisi kuburan Abu Hanifah, tidak juga kuburan lainnya. Terlebih imam Asy Syafi’i mengharamkan mengagungkan kuburan makhluk karena khawatir akan menimbulkan fitnah terhadap kuburan. Orang yang membuat kisah ini hanyalah orang yang dangkal ilmu dan agamanya, atau dinukil dari orang yang tidak dikenal siapa ia”.
Syubhat 28:
Tawassul imam Asy Syafi’i dengan ahlul bait.
ذكر ابن حجر المكي في كتابه المسمى : بالصواعق
المحرقة لإخوان الضلال والزندقة أن الإمام الشافعي ( توسل بأهل البيت النبوي حيث
قال :
آل النبي ذريعتي
أرجو بهم أعطي غداً
وهم إليه وسيلتي
بيدي اليمين صحيفتي
Ibnu hajar Al Makki menyebutkan dalam kitabnya
“Ash Shawa’iq Al Muhriqah” bahwa imam Asy Syafi’i bertawassul dengan ahli bait
Nabi, ia berkata:
Keluarga Nabi pengantarku
Aku berharap besok melalui mereka
diberi
Dan merekalah wasilahku kepadaNya
Di tangan kananku shahifahku.
Jawab:
Pertama: Kisah ini termasuk jenis kisah di
atas, dan tidak diketahui sanad yang shahih kepada imam Asy Syafi’i, sehingga
tidak mungkin dipastikan bahwa ini adalah perkataan imam Asy Syafi’i
rahimahullah, boleh jadi kisah ini dibuat kaum sufi untuk menguatkan
pendapatnya, dengan cara berdusta terhadap imam Asy Syafi’i. Dan yang kita
ketahui dari imam Asy Syafi’i, beliau adalah imam yang sangat kuat berpegang
kepada sunnah, sampai-sampai para ulama di zamannya memberikan beliau julukan:
pembela sunnah, jadi sangat mustahil perkataan ini berasal dari perkataan
beliau.
Kedua: Imam Asy Syafi’i bukanlah dalil yang menjadi sandaran dalam menentukan hukum syari’at, akan tetapi sandaran kita adalah Al Qur’an dan sunnah.
Syubhat 29:
Kedua: Imam Asy Syafi’i bukanlah dalil yang menjadi sandaran dalam menentukan hukum syari’at, akan tetapi sandaran kita adalah Al Qur’an dan sunnah.
Syubhat 29:
Atsar ibnu Umar dan ibnu Abbas.
Ibnu Sunni meriwayatkan dengan sanadnya kepada
Abu Syu’bah ia berkata: “Aku pernah berjalan dengan ibnu Umar radliyallahu
‘anhuma, ternyata kaki beliau terasa berat dan beliaupun duduk, lalu ada
seseorang berkata: “Sebutlah nama orang yang paling kamu sukai”. Ibnu Umar
berkata: “Wahai Muhammad”. Maka beliau langsung bangkit dan berjalan.
Dan riwayat ibnu Abbas bahwa ada seorang laki-laki yang kakinya terasa berat, lalu ibnu Abbas berkata: “Sebutlah nama orang yang paling kamu cintai”. Ia berkata: “Muhammad”. Ternyata penyakitnya langsung hilang.
Jawab:
Dan riwayat ibnu Abbas bahwa ada seorang laki-laki yang kakinya terasa berat, lalu ibnu Abbas berkata: “Sebutlah nama orang yang paling kamu cintai”. Ia berkata: “Muhammad”. Ternyata penyakitnya langsung hilang.
Jawab:
Pertama: Atsar ini bila shahih, tidak
menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Rasulullah setelah beliau wafat. Berkata
Fadllullah Al Jiilaani: “Panggilan nama (Muhammad) yang ada pada sebagian
Riwayat tidak menunjukkan untuk isti’anah (meminta pertolongan) atau
istighatsah, akan tetapi maksudnya adalah memperlihatkan kerinduan dan
menyalakan api cinta, karena mengingat orang yang tercinta dapat menghangatkan
hati dan memberikan dorongan semangat, sehingga dapat menghilangkan darah yang
membeku dan melancarkan aliran darah, dan inilah yang dinamakan
kegembiraan”.[6]
Kedua: Atsar ini bermakna umum, yaitu menyebut
orang yang paling dicintai, maka bila misalnya seorang lelaki atau wanita yang
sedang jatuh cinta kepada seseorang, kemudian ia menyebut nama orang tersebut
walaupun fasiq, apakah ini menunjukkan bolehnya bertawassul dengan orang
tersebut, tentu tidak !!
Ketiga: Atsar ibnu Umar dan ibnu Abbas ini adalah atsar yang lemah, penjelasannya sebagai berikut:
Ketiga: Atsar ibnu Umar dan ibnu Abbas ini adalah atsar yang lemah, penjelasannya sebagai berikut:
Adapun atsar ibnu Umar, berporos kepada Abu
ishaq As Sabii’i, walaupun ia perawi tsiqah namun ia adalah mudallis, dan di
sini ia meriwayatkan dengan lafadz ‘an, sedangkan perawi mudallis bila
meriwayatkan dengan lafadz ‘an tidak diterima. Dan sanadnya juga mudltharib
(guncang), karena Abu Ishaq terkadang meriwayatkan dari Al Haitsam bin Hanasy
seorang perawi majhul dari ibnu Umar, terkadang ia meriwayatkan dari Abdurrahman
bin Sa’ad Al Qurasyi dari ibnu Umar, terkadang ia meriwayatkan dari Abu Sa’id
perawi yang tidak dikenal dari ibnu Umar, terkadang ia meriwayatkan dari
seseorang yang mendengar dari ibnu Umar dan tidak menyebut namanya. Dan
jalan-jalan ini tidak dapat dirajihkan karena para perawinya sama-sama kuat
seperti Syu’bah, Sufyan Ats Tsauri, Israil dan Zuhair bin Mu’awiyah. Dan
keguncangan ini berasal dari Abu Ishaq, karena ia perawi yang mukhthalith
(berubah hafalannya).
Adapun atsar ibnu Abbas adalah palsu karena di
dalam sanadnya terdapat Ghiyats bin Ibrahim, Abu Dawud berkata: “Kadzaab (tukang
dusta)”. Ibnu Ma’in berkata: “Kadzaab khobiits (tukang dusta yang
buruk)”.[7]
Syubhat 30:
Syubhat 30:
Qiyas dengan makhluk.
Mereka berkata: “Apabila kita ada kebutuhan
kepada penguasa, tentu kita pergi kepada ajudannya terlebih dahulu, lalu dia
menyampaikan pengaduan kita kepada penguasa. Demikian juga kami kepada Allah,
kami bertawassul melalui para Nabi, para wali dan orang-orang pilihanNya, agar
mereka menyampaikan kebutuhan kami kepadaNya.
Jawab:
Jawab:
Pernyataan seperti ini bila kita perhatikan,
sebetulnya adalah penghinaan terhadap Allah Ta’ala, karena:
Pertama: Allah tidak serupa dengan hambaNya,
hamba adalah lemah sehingga membutuhkan ajudan, sedangkan Allah Maha sempurna
tidak membutuhkan ajudan.
Kedua: Raja yang membutuhkan ajudan menunjukkan ia tidak mengetahui keadaan orang yang datang kepadanya, sehingga ia butuh ajudan atau pemberi syafa’at ketika minta bantuan kepadanya. Sedangkan Allah Maha tahu keadaan hamba-hambaNya sehingga tidak perlu kepada ajudan dan tidak pula seseorang dapat memberi syafa’at kecuali dengan idzinNya.
Ketiga: Raja yang membutuhkan ajudan menunjukkan kelemahannya untuk menolak orang yang ingin bermakar dan menzaliminya, sedangkan Allah Maha kuat dan Maha mengetahui makar orang-orang yang ingin bermakar kepadanya.
Keempat: Seseorang dapat memberi syafa’at di sisi Raja tanpa harus dengan idzin raja, sedangkan Allah adalah pemilik syafa’at dan tidak ada yang dapat memberi syafa’at kecuali dengan idzinNya.
Kelima: Raja yang membutuhkan ajudan menunjukkan ia tidak mempunyai keinginan untuk memberikan manfaat kepada rakyatnya kecuali bila ada yang menggerakkannya dari ajudan atau orang-orang yang dekat dengannya.
Dan lima perkara ini menjelaskan kepada kita rusaknya analogi tersebut, bahkan mengandung penghinaan terhadap Allah yang tidak serupa dengan makhluk-makhlukNya.
Kedua: Raja yang membutuhkan ajudan menunjukkan ia tidak mengetahui keadaan orang yang datang kepadanya, sehingga ia butuh ajudan atau pemberi syafa’at ketika minta bantuan kepadanya. Sedangkan Allah Maha tahu keadaan hamba-hambaNya sehingga tidak perlu kepada ajudan dan tidak pula seseorang dapat memberi syafa’at kecuali dengan idzinNya.
Ketiga: Raja yang membutuhkan ajudan menunjukkan kelemahannya untuk menolak orang yang ingin bermakar dan menzaliminya, sedangkan Allah Maha kuat dan Maha mengetahui makar orang-orang yang ingin bermakar kepadanya.
Keempat: Seseorang dapat memberi syafa’at di sisi Raja tanpa harus dengan idzin raja, sedangkan Allah adalah pemilik syafa’at dan tidak ada yang dapat memberi syafa’at kecuali dengan idzinNya.
Kelima: Raja yang membutuhkan ajudan menunjukkan ia tidak mempunyai keinginan untuk memberikan manfaat kepada rakyatnya kecuali bila ada yang menggerakkannya dari ajudan atau orang-orang yang dekat dengannya.
Dan lima perkara ini menjelaskan kepada kita rusaknya analogi tersebut, bahkan mengandung penghinaan terhadap Allah yang tidak serupa dengan makhluk-makhlukNya.
____
[1] At Tawashul ila haqiqatit Tawassul
1/271-272.
[2] Mukhtashar Al Kamil fidl Dlu’afa
1/727.
[3] Lisanul Mizan 4/71.
[4] Al Majruhin 2/242.
[5] Silsilah dla’ifah 1/78.
[6] Fadllullah Ash Shomad 4/422.
[7] Tajriid At Tauhid hal. 136-137 karya
Faishal bin Qazar Al Jasim.
Oleh: Ustadz Ustadz Abu Yahya Badrussalam
Sumber: CintaSunah.Com
Oleh: Ustadz Ustadz Abu Yahya Badrussalam
Sumber: CintaSunah.Com
0 komentar:
Posting Komentar