Oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.
Telah menjadi sunnatullah kalau kebanyakan manusia merupakan para
penentang kebenaran. Maka menjadi ironi, ketika kebenaran kemudian
diukur dengan suara mayoritas.
Apa Itu Hukum Mayoritas?
Yang dimaksud dengan hukum mayoritas dalam pembahasan kali ini adalah
suatu ketetapan hukum di mana jumlah mayoritas merupakan patokan
kebenaran dan suara terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti
meski bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam.
Sejauh mana keabsahan hukum mayoritas ini? Untuk mengetahui jawabannya,
perlu ditelusuri terlebih dahulu oknum (pengusung)nya, yang dalam hal
ini adalah manusia, baik tentang hakikat dirinya, sikapnya terhadap para
rasul, maupun keadaan mayoritas mereka, menurut kacamata syariat.
Dengan diketahui keadaan oknum mayoritas, maka akan diketahui pula
sejauh mana keabsahan hukum tersebut.
Hakikat Jati Diri Manusia
Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah yang menyatakan diri siap
memikul ‘amanat berat’ yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk-makhluk
besar seperti langit, bumi, dan gunung-gunung. Padahal makhluk yang
bernama manusia ini berjatidiri dzalum (amat zalim) dan jahul (amat
bodoh). Allah 'Azza wa jalla berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allah 'Azza wa jalla
mengangkat permasalahan amanat yang Dia amanatkan kepada para mukallafin
(makhluk yang dibebani hukum syariat), yaitu amanat menjalankan segala
yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan, baik dalam
keadaan tampak maupun tidak tampak. Dia tawarkan amanat itu kepada
makhluk-makhluk besar; langit, bumi, dan gunung-gunung sebagai tawaran
pilihan, bukan keharusan, ‘Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya
niscaya ada pahala bagimu, dan bila tidak niscaya kamu akan dihukum.’
Maka makhluk-makhluk itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir
akan mengkhianatinya, bukan karena menentang Rabb mereka dan bukan pula
karena tidak butuh terhadap pahala-Nya. Kemudian Allah 'Azza wa jalla tawarkan kepada
manusia, maka ia pun siap menerima amanat itu dan siap memikulnya
dengan segala kezaliman dan kebodohan yang ada pada dirinya. Maka amanat
berat itu pun akhirnya dipikul olehnya.” (Taisirul Karimirrahman, hlm.
620)
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Mahakuasa lagi
Mahabijaksana, tidaklah membiarkan manusia mengarungi kehidupan dengan
memikul amanat berat tanpa bimbingan Ilahi. Maka Dia pun mengutus para
rasul sebagai pembimbing mereka dan menurunkan Kitab Suci agar manusia
berpegang teguh dengannya dan mengambil petunjuk darinya. Allah 'Azza wa jalla
berfirman:
“Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata, serta Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (al-Hadid: 25)
Sikap Manusia terhadap Para Rasul yang Membimbing Mereka
Namun, demikianlah umat manusia. Para rasul yang membimbing mereka itu
justru ditentang, didustakan, dan dihinakan. Allah 'Azza wa jalla berfirman:
“Yang demikian itu dikarenakan telah datang para rasul kepada mereka
dengan membawa bukti-bukti nyata, lalu mereka kafir (menentang para
rasul tersebut), maka Allah mengazab mereka. Sesungguhnya Dia Mahakuat
lagi Mahadahsyat hukuman-Nya.” (Ghafir: 22)
“Jika mereka mendustakan kamu (Muhammad), maka sesungguhnya para rasul
sebelummu pun telah didustakan (pula). Mereka membawa mukjizat-mukjizat
yang nyata, Zabur dan Kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.” (Ali
‘Imran: 184)
“Sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongan yang bersekutu sesudah
mereka telah mendustakan (rasul), dan tiap-tiap umat telah merencanakan
makar terhadap rasul mereka untuk menawannya. Dan mereka membantah
dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil
itu, oleh karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya) azab-Ku.”
(Ghafir: 5)
“Dan sungguh telah diperolok-olok beberapa rasul sebelum kamu. Maka
turunlah kepada orang yang mencemoohkan para rasul itu azab atas apa
yang selalu mereka perolok-olokkan.” (al-Anbiya: 41)
Bila kita merujuk kepada Al-Qur’anul Karim, maka kita akan dapati bahwa keadaan mayoritas umat manusia adalah:
1. Tidak beriman
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
“Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari Rabbmu, tetapi mayoritas manusia tidak beriman.” (Hud: 17)
2. Tidak bersyukur
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi mayoritas manusia tidak bersyukur.” (al-Baqarah: 243)
3. Benci kepada kebenaran
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian,
tetapi mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu.” (az-Zukhruf: 78)
4. Fasiq (keluar dari ketaatan)
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
“Dan sesungguhnya mayoritas manusia adalah orang-orang yang fasiq.” (al-Maidah: 49)
5. Lalai dari ayat-ayat Allah
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
“Dan sesungguhnya mayoritas dari manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami.” (Yunus: 92)
6. Menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
“Sesungguhnya mayoritas (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan
(orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.” (al-An’am: 119)
7. Tidak mengetahui agama yang lurus
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
“Itulah agama yang lurus, tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40)
8. Mengikuti persangkaan belaka
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
“Mereka (mayoritas manusia) tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
(al-An’am: 116)
9. Penghuni Jahannam
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam mayoritas dari jin dan manusia.” (al-A’raf: 179)
Refleksi terhadap Hukum Mayoritas
Dari apa yang telah lalu, kita pun mengetahui bahwa ternyata oknum
mayoritas tersebut (manusia) berjati diri amat zalim dan amat bodoh.
Penentangan mereka terhadap para rasul yang membimbing mereka luar
biasa. Demikian pula mayoritas mereka tidak beriman, tidak bersyukur,
benci kepada kebenaran, keluar dari ketaatan, lalai dari ayat-ayat Allah 'Azza wa jalla , menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu dan tanpa ilmu, tidak
mengetahui agama yang lurus, mengikuti persangkaan belaka, dan penghuni
Jahannam.
Demikianlah kacamata syariat memandang oknum mayoritas. Bila demikian
kenyataannya, lalu bagaimana dengan hukum mayoritas itu sendiri?
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menggolongkan hukum mayoritas ini
ke dalam kaidah-kaidah yang dipegangi oleh orang-orang jahiliah, bahkan
termasuk kaidah terbesar yang mereka punyai. Beliau berkata,
“Sesungguhnya di antara kaidah terbesar mereka adalah berpegang dan
terbuai dengan jumlah mayoritas. Mereka menilai suatu kebenaran
dengannya serta menilai suatu kebatilan dengan langka dan sedikitnya
orang yang melakukan….” (Masail al-Jahiliah, masalah ke-5)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Di antara karakter
jahiliah, mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan
menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas. Sehingga sesuatu yang
diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh
segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada diri
mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini
tidak benar, karena Allah Ta'ala berfirman:
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
Allah 'Azza wa jalla juga berfirman:
“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (al-A’raf: 187)
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya
Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (al-A’raf: 102)
Dan lain sebagainya.” (Syarh Masail al-Jahiliah, hlm. 60).
Bila demikian permasalahannya, maka betapa ironisnya pernyataan para
budak demokrasi bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”[1]. Suatu
pernyataan sesat yang memosisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat
tertinggi yang tak akan pernah salah bak suara Tuhan. Mau dikemanakan
firman-firman Allah di atas?! Yang lebih tragis lagi, orang-orang yang
mengampanyekan diri sebagai “partai Islam”….., siang dan malam
berteriak “tegakkan syariat Islam!!”, namun sejak awal kampanyenya yang
dibidik adalah suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu. Ketika
telah duduk di kursi dewan, teriakannya pun hanya sampai pada kata
“tegakkan” sedangkan kata “syariat Islam” tak lagi terdengar. Jangankan
menegakkan syariat Islam, menampakkan syi’ar Islam pada dirinya saja
masih harus mempertimbangkan sekian banyak pertimbangan.
Terlebih lagi ketika rapat dan sidang digelar, hasilnya pun berujung
pada suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu… Tak mau peduli,
apakah sesuai dengan syariat Islam ataukah justru menguburnya… Tak mau
pusing, apakah menguntungkan umat Islam ataukah justru menelantarkannya.
Ketika hasil sidang tersebut diprotes karena tak selaras dengan syariat
Islam, maka dia pun orang yang pertama kali berkomentar bahwa ini
adalah suara mayoritas anggota dewan, kita harus mempunyai sikap toleran
dan legowo…, kita harus menjunjung tinggi demokrasi…, dan lain
sebagainya. Padahal jika belum duduk di kursi dewan, barangkali dialah
orang pertama yang menggelar demonstrasi[2] dengan berbagai macam atribut
dan spanduknya. Wallahul musta’an.
Demikianlah bila hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya, akan semakin
jauh dari hukum Allah, akan semakin buta tentang syariat Islam,
bahkan akan menjadi penentang terhadap hukum Allah dan syariat-Nya.
Para pembaca yang dirahmati Allah 'Azza wa jalla, sesungguhnya masih ada fenomena
lain yang perlu dijadikan refleksi, yaitu digunakannya hukum mayoritas
sebagai tolok ukur suatu dakwah. Apabila seorang da’i mempunyai banyak
pengikut, ceramahnya diputar di seluruh radio nusantara dan akhirnya
digelari “da’i sejuta umat” maka dakwahnya pun pasti benar. Sebaliknya
bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka dakwahnya pun
dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Padahal Allah 'Azza wa jalla telah
berfirman tentang Nabi Nuh 'Alaihissalam:
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh 'Alaihissalam) kecuali sedikit.” (Hud: 40)
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ،
وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ
مَعَهُ أَحَدٌ …
“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi
bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua
orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….” (HR.
al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari hadits Abdullah bin
‘Abbas c)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy-Syaikh berkata, “Dalam hadits ini
terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas dan
beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah demikian
adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah
bersama siapa saja dan di mana saja.” (Taisir al-‘Azizil Hamid,
hlm.106)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak boleh
tertipu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di
atas kesesatan. Allah 'Azza wa jalla berfirman:
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam kesesatan,
maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan,
‘Sesungguhnya orang-orang melakukan demikian, mengapa aku bersikap
eksklusif tidak sama dengan mereka?’.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit
Tauhid, 1/106)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Maka tolok ukurnya
bukanlah banyaknya pengikut suatu mazhab atau perkataan, namun tolok
ukurnya adalah benar ataukah batil. Selama ia benar walaupun yang
mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka
itulah yang harus dipegang (diikuti), karena ia adalah keselamatan.
Selamanya, sesuatu yang batil tidaklah terdukung (menjadi benar, pen.)
karena banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolok ukur yang harus
selalu dipegangi oleh setiap muslim.”
Beliau juga berkata, “Maka tolok ukurnya bukanlah banyak (mayoritas)
ataupun sedikit (minoritas), bahkan tolok ukurnya adalah al-haq
(kebenaran). Barang siapa di atas kebenaran —walaupun sendirian— maka ia
benar dan wajib diikuti. Jika mayoritas (manusia) berada di atas
kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi
tolok ukurnya adalah kebenaran. Oleh karena itu, para ulama berkata,
‘Kebenaran tidaklah dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai
dengan kebenaran. Barang siapa di atas kebenaran maka ia wajib
diikuti’.” (Syarh Masail al-Jahiliah, hlm. 61)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh berkata, “Hendaknya
seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas,
karena telah banyak orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan
orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam
beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat
(yaitu mengikuti mayoritas manusia, pen.) dan tidak mau melihat kepada
apa yang dikatakan oleh Allah 'Azza wa jalla dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihi wa sallam.” (Qurratu ‘Uyunil
Muwahhidin, dinukil dari ta’liq [catatan kaki] Fathul Majid, hlm. 83,
no. 1)
Bagaimanakah Jika Mayoritas Berada di Atas Kebenaran?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Ya, jika mayoritas
manusia berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik. Namun
sunnatullah menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas
kebatilan.
“Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (al-An’am:
116) [Syarh Masail al-Jahiliah, hlm. 62]
Penutup
Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan
bahwasanya hukum mayoritas bukan dari syariat Islam, sehingga ia tidak
bisa dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran suatu dakwah, manhaj, dan
perkataan. Tolok ukur yang hakiki adalah kebenaran yang dibangun di atas
Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-Salafush Shalih.
Atas dasar ini, maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas
adalah batil. Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu
dakwah, manhaj, dan perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan
perbuatan batil dan bukan dari syariat Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Asysyariah.Com
[1] Bahkan ini adalah kata-kata syirik, menyekutukan Allah dalam hal sifat-Nya (red.).
[2] Demonstrasi sendiri bukanlah dari ajaran Islam.
Baca juga : Apakah Pendapat Mayoritas Adalah Standar Kebenaran? (Tafsir al-An'am :116)
Baca juga : Apakah Pendapat Mayoritas Adalah Standar Kebenaran? (Tafsir al-An'am :116)
0 komentar:
Posting Komentar