Oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Dalam kehidupan ini, banyak sekali kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa
bersejarah, aneh, dan lucu. Hamparan peristiwa yang terjadi sepanjang sejarah
adalah samudera pelajaran bagi umat manusia.
Tulisan ini adalah kumpulan kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa yang ajaib,
aneh, dan langka agar kita memikirkannya dan mengambil pelajaran darinya. Dan
bila itu adalah kisah-kisah lucu maka tujuannya adalah untuk menghibur jiwa dan
menyenangkannya. Semoga Allah membimbing kami kepada tujuan yang baik.
1. Cinta Itu Buta
Pada tahun 589 H, ada sebuah kejadian aneh bahwa ada seorang putri
seorang pengusaha jatuh cinta dengan budak milik ayahnya. Tatkala sang ayah
mengetahui hubungan asmara antara keduanya maka dia mengusir sang budak dari
rumahnya. Setelah itu mereka berdua membuat janji bertemu di sebuah tempat
untuk merencanakan sesuatu. Ternyata mereka mengadakan sebuah rencana yang
mengerikan: saat malam telah hening, ketika manusia lelap dalam tidur, putri
itu memerintahkan kepada sang budak untuk membunuh ayahnya dan ibunya yang
tengah hamil tua. Tak cukup dengan membunuh, budak itu juga diberi oleh putri
durhaka tersebut perhiasan emas senilai 2.000 dinar. Akan tetapi, keadilan
Allah datang, budak tersebut akhirnya tertangkap dan dihukum qishash.[1]
Kisah serupa ternyata terulang di Prancis pada tahun 1933 M, di mana
ada seorang gadis yang tega meracuni kedua orang tuanya guna mengeruk seluruh
kekayaannya untuk berfoya-foya dengan pacar/kekasihnya, karena sang pacar ingin
punya mobil mewah.[2]
Islam tidak melarang manusia untuk bercinta, tetapi mengarahkan agar cinta
tersebut menuai ridha Allah bukan malah mendatangkan kemurkaan-Nya.
2. Beradablah Kepada Gurumu
Al-‘Abdari menceritakan dalam Rihlah-nya hlm. 110 tentang sebab
mengapa al-Qa’nabi tidak mendengar dari Syu’bah kecuali hanya satu hadits saja.
Alkisah, suatu saat al-Qa’nabi pergi menuju kota Bashrah untuk mendengar hadits
dari Syu’bah, tetapi ternyata majelis kajiannya telah selesai dan Syu’bah telah
pulang ke rumahnya. Karena dorongan semangat menggelora yang tinggi, dia
bertanya alamat rumah Syu’bah, dia pun menuju ke rumah (Syu’bah) yang kebetulan
pintunya tengah terbuka. Tanpa permisi, dia pun langsung masuk dan berkata
kepada Syu’bah yang sedang buang hajat, “Assalamu’alaikum. Saya orang asing,
datang dari jauh untuk mendapatkan hadits dari Anda.”
Mendengar hal itu, Syu’bah kaget dan geram seraya mengatakan, “Wahai orang
ini, Anda masuk rumahku tanpa permisi, lalu mengajak bicara denganku padahal
kondisiku sekarang seperti ini, tolong menjauhlah dariku sehingga aku selesai
buang hajat!!” Dia mengatakan, “Saya khawatir ketinggalan lagi dan luput hadits
dariku.” Dia terus mengulang kata-kata tersebut. Karena terdesak, maka Syu’bah
berkata, “Ya sudah, tulislah hadits Manshur bin Mu’tamir dari Rib’i dari Abu
Mas’ud al-Badri dari Nabi bahwa beliau bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
“Termasuk ucapan peninggalan para nabi dahulu adalah: ‘Jika engkau tidak
malu maka berbuatlah sesukamu.’ ” (HR. Bukhari no. 3483)
Setelah itu, Syu’bah tidak menceritakan hadits lainnya kepadanya. Itulah
sebabnya dia (al-Qa’nabi) meriwayatkan dari Syu’bah hanya satu hadits saja.[3]
Di antara faedah berharga dari kisah ini adalah agar kita menjaga adab
kepada guru ketika kita bertanya atau bertemu dengannya, maka carilah situasi
dan kondisi yang tepat.
3. Anjing pun Membenci Syi’ah
Abdul Mukmin az-Zahid menuturkan, “Di daerah kami ada seorang beraliran
Syi’ah Rafidhah. Di jalan menuju rumahnya ada seekor anjing yang dilewati
oleh setiap orang baik tua maupun anak kecil tetapi anjing itu tidak
mengganggunya. Namun, anehnya, jika yang lewat di jalan itu adalah orang Syi’ah
Rafidhah tersebut, maka seketika anjing itu akan bangun, menyerang, dan merobek
bajunya. Kejadian itu berulang-ulang sehingga dia mengadu kepada pemerintah
saat itu yang sealiran dengannya, lalu diutuslah beberapa orang untuk memukul
dan mengusir anjing tersebut dari desa.
Suatu hari, ketika orang Syi’ah itu sedang duduk di tokonya yang berada di
pasar, ternyata anjing itu datang lagi dan naik di loteng pasar lalu menyerangnya.
Akhirnya, karena merasa malu, orang Syi’ah tersebut keluar dan pindah dari desa
tersebut.” [4]
Kisah ini bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi, karena Syi’ah adalah
kelompok yang mencela sahabat, para istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
dan penyimpangan-penyimpangan lainnya.
4. Orang Gila yang Pintar
Mungkin jarang di antara kita yang tahu tentang sosok seorang ajaib dari
Mesir yang digelari dengan “Sibawaih Mesir”. Dia terkenal sebagai orang gila
yang pintar sekali sehingga dikenal luas di kalangan pemerintah, menteri, dan
ulama Mesir. Kisah kehidupannya telah dibukukan oleh Ibnu Zulaq dalam sebuah
kitab berjudul Akhbar Sibawaih al-Mishri.
Termasuk keajaibannya, dia tergolong ulama dan ahli bahasa yang ternama, dia
juga hafal al-Qur’an dan mengetahui tafsirnya, dia juga ahli di bidang hadits
secara sanad dan matannya, hanya sayangnya dia berpaham Mu’tazilah.[5]
5. Lanjut Usia Nikahi Gadis Muda
Ashim bin Kulaib menuturkan, “Suwaid bin Ghaflah menikahi seorang gadis muda
padahal umurnya sudah mencapai 116 tahun.” [6]
Abu Bakar al-Isma’ili mengisahkan, “Tatkala Muhammad bin Uqbah asy-Syaibani
(salah seorang ulama Kufah) menginjak usia lanjut, (dalam kondisi) lemah dan
hanya bisa tinggal di rumah saja, dia mengatakan kepada anak-anaknya pada suatu
malam, ‘Aku menginginkan seorang istri malam ini!’ Anak-anaknya mengatakan,
‘Kalau begitu, besok kita akan menikahkan ayahanda.’ Namun, sang ayah mendesak
untuk menikah secepatnya. Sebagian anaknya mengatakan kepada lainnya, ‘Ayah
kita sudah lanjut usia, akalnya seperti sudah tidak beres lagi, tidak ada
pilihan bagi kita kecuali mewujudkan keinginannya.’
Akhirnya kami pun menikahkannya dengan gadis dari kabilah kami. Si istri
kemudian mandi, berdandan, mengenakan minyak wangi, dan memakai gaun baru lalu
tidur bersama Muhammad bin Uqbah. Tiba-tiba ketika tengah malam, istrinya
berteriak keras seraya mengatakan, ‘Ambilah ayah kalian.’ Anak-anaknya langsung
berkumpul dan ternyata ayah mereka telah meninggal dunia di atas istrinya.
Ternyata wanita itu hamil dan melahirkan anak hanya dengan hubungan malam itu.
Lihatlah bagaimana Allah memanjangkan umur seorang ulama Kufah tersebut dan
anugerah malam yang menakjubkan tersebut sehingga lahirlah seorang anak yang
bermanfaat bagi umat manusia. [7]
6. Meninggal Dunia Ketika Berkhotbah di Atas Mimbar
Ibnu Khallikan menceritakan dalam biografi Abdullah bin Abi Jamrah, seorang
khatib dari Gharnath dan bermadzhab Maliki, suatu saat berkhotbah pada hari
Jum’at lalu jatuh dari atas mimbar dan meninggal dunia, sehingga kematiannya
dijadikan sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Kejadian itu terjadi sekitar
pada tahun 710 H.
Yaqut al-Hamawi menceritakan dalam Mu’jamul Udaba’ dari Abu
Zakariya bahwa dia pernah menyaksikan di salah satu masjid jami’ kota
Andalusia, ada seorang khatib yang naik mimbar pada hari Jum’at. Baru sesaat
dia berkhotbah lalu dia meninggal dunia di atas mimbar sehingga diturunkan dan
diganti oleh orang lain yang berkhotbah dan (mengimami) shalat Jum’at.”
Anehnya, Jamaluddin asy-Syibi mengatakan dalam muqaddimah kitabya asy-Syaraful
A’la fi Dzikri Qubur Maqbarah Ma’la hlm 48, “Ketahuilah bahwa kondisi apa
pun pasti ada cerita seorang meninggal dalam kondisi tersebut sampai dalam
kondisi jima’ sekalipun sebagaimana terjadi di Yaman dan Mesir dan
cerita-cerita orang terpercaya kepadaku kecuali di atas mimbar, saya belum tahu
ada seorang yang meninggal dunia di atas mimbar.” [8]
Semoga Allah memberikan anugerah kepada kita husnul khatimah dan
menjauhkan kita semua dari su’ul khatimah.
7. Alangkah Berharganya Wajah Wanita
Muhammad bin Musa al-Qadhi berkata, “Pada tahun 286 H, saya pernah
menghadiri sidang Musa bin Ishaq al-Qadhi dalam kasus yang diajukan oleh
orangtua wanita yang menggugat menantunya karena masih hutang mahar senilai 500
dinar yang dia ingkari. Hakim kemudian mengatakan, ‘Datangkanlah para saksimu.’
Orangtua itu mengatakan, ‘Saya telah menghadirkan mereka dalam sidang ini.’
Sang hakim lalu meminta kepada sebagian saksi untuk melihat kepada istri,
lalu dia pun berdiri dan hakim juga memerintahkan kepada si wanita untuk
berdiri. Mendengar hal itu, suaminya berkata, ‘Apa yang hendak kalian lakukan?’
Pengacaranya mengatakan, ‘Mereka akan melihat wajah istrimu untuk mengecek
kebenarannya.’ Maka sang suami mengatakan, ‘Saya bersaksi kepada hakim bahwa
saya mengakui punya hutang mahar pada istri saya asalkan dia tidak membuka
wajahnya kepada orang lain.’ Sang istri kemudian membalas, ‘Saya juga bersaksi
kepada hakim bahwa saya telah merelakan mahar saya dan memberikannya kepada
suami saya dan dia telah lepas beban dunia dan akhirat.’ Maka hakim
berkomentar, ‘Sungguh, ini pantas dicatat dalam keindahan akhlak.’ ” [9]
Dalam kisah ini terdapat faedah tentang kecemburuan suami terhadap istrinya,
bagaimana dia tidak rela jika wajah istrinya dipandang oleh orang lain
sekalipun dalam persaksian. Mana kecemburuanmu wahai saudaraku?!!
8. Seorang Ulama Menutupi Aib Wanita Pezina
Dahulu ada seorang ulama dan ahli hadits yang bernama Ahmad bin Mahdi bin
Rustam. Selain banyak meriwayatkan hadits lagi terpercaya, dia juga memiliki
banyak harta. Dia menafkahi para ulama pada zamannya sebanyak 300 ribu dirham.
Suatu saat pernah ada seorang wanita datang kepadanya seraya mengatakan, “Demi
Allah, tutupilah aibku. Aku telah diperkosa. Kini aku mengandung, dan aku
bilang pada orang-orang bahwa Anda adalah suamiku. Maka tolong janganlah
bongkar aibku.” Sang alim terdiam mendengar penuturannya.
Setelah beberapa hari, kepala desa dan para tetangga datang untuk
mengucapkan selamat akan lahirnya anak, sang alim pun menampakkan kegembiraan
dan mengirimkan dua dinar sebagai nafkah untuk wanita tersebut. Demikian setiap
bulannya, dia memberinya dua dinar sehingga bayinya berumur dua tahun. Setelah
itu bayinya meninggal dunia. Orang-orang pun bertakziah kepadanya dan dia
menampakkan kesedihan dan kepasrahan kepada Allah.
Beberapa hari kemudian, wanita itu datang kepadanya dengan membawa emas
seraya berkata, “Semoga Allah menutupi aib Anda, ambilah emas Anda.” Maka sang
alim mengatakan kepadanya, “Dinar-dinar ini adalah pemberianku untuk si kecil,
dan sekarang engkaulah yang berhak mewarisinya.” [10]
Lihatlah akhlak ulama tersebut yang menutupi aib wanita pezina tersebut yang
justru telah mencoreng nama baiknya. Dia tidak malah membongkar aib si wanita.
Lantas, bagaimana pendapat Anda dengan sikap sebagian kalangan yang hobi
menyebarkan aib manusia yang aktif dalam dakwah dan ilmu?!!
9. Keajaiban Do’a Seorang Ibu
Imam Dzahabi menceritakan dalam biografi Imam Sulaim bin Ayyub ar-Razi,
bahwa ketika masih kecil sekitar umur sepuluh tahun, dia belajar mengaji kepada
sebagian ustadz di kampungnya.
Sang ustadz mengatakan, “Maju dan cobalah membaca al-Qur’an.”
Dia (Sulaim bin Ayyub) pun berusaha semaksimal mungkin untuk membaca
al-Fātihah, tetapi tidak bisa karena ada sesuatu pada lidahnya.
Sang ustadz lalu bertanya, “Apakah engkau punya seorang ibu?”
“Ya,” jawab Sulaim.
“Kalau begitu, mintalah kepada ibumu agar dia berdo’a supaya Allah
memudahkan engkau untuk bisa membaca al-Qur’an dan meraih ilmu agama,” tutur
sang ustadz selanjutnya.
Sulaim menjawab, “Ya, akan saya sampaikan pada ibuku.”
Maka setelah pulang ke rumah, dia menyampaikannya kepada ibunya, dan sang
ibu lalu bermunajat dan berdo’a kepada Allah. Setelah itu, Sulaim menginjak
masa dewasa dan berkelana ke Baghdad untuk menuntut ilmu bahasa Arab, fiqih,
dan lain-lain.
Ketika dia pulang kembali ke kampungnya di Ray sedang menyalin kitab Mukhtashar
al-Muzani di sebuah masjid, ternyata ustadznya yang dahulu datang seraya mengucapkan
salam kepadanya. Namun, sang ustadz sudah tidak mengenal Sulaim lagi. Tatkala
ustadznya mendengar salinan kitab tersebut dan dia tidak paham apa yang sedang
dibaca, dia berkomentar, “Kapankah ilmu seperti ini bisa dipelajari?” Kata
Sulaim, “Ingin sekali rasanya saya mengatakan padanya: ‘Jika Anda punya seorang
ibu maka mintalah kepada ibu Anda agar mendoakan untuk Anda’, tetapi saya malu
mengatakan hal itu.” [11]
Doa orang tua —terutama seorang ibu— adalah mustajab (pasti
terkabul). Sebab itu, wahai saudaraku penuntut ilmu, janganlah pernah engkau
hanya bergantung pada dirimu. Tetaplah engkau memohon pertolongan kepada Allah
dan mintalah kepada orang tuamu agar mendo’akan untukmu. Semoga Allah
menganugerahkan ilmu yang bermanfaat bagimu. Amin.
10. Akibat Salah Pilih Akhwat
Imran bin Khiththan dahulunya adalah seorang tokoh ulama Sunnah, namun
akhirnya berubah menjadi gembong Khawarij tulen. Kisahnya, dia punya saudari
sepupu berpemahaman Khawarij bernama Hamnah. Karena kecantikannya, Imran jatuh
cinta kepadanya dan hendak menikahinya.
Tatkala ditegur oleh sebagian temannya, Imran menjawab, “Saya ingin
menikahinya untuk mengentaskannya dari cengkeraman paham Khawarij!” Namun,
ternyata bukannya dia yang mengubah istrinya, malah dia yang diubah oleh
istrinya sehingga menjadi Khawarij tulen!!
Diceritakan oleh al-Madaini bahwa Hamnah adalah wanita yang berparas cantik,
sedangkan Imran memiliki rupa yang jelek. Suatu hari tatkala kecantikan
istrinya membuat Imran kagum, maka sang istri berkomentar, “Saya dan kamu akan
masuk surga, sebab engkau dapat nikmat lalu bersyukur (karena dapat istri
cantik), dan saya terkena musibah lalu saya sabar (karena dapat suami jelek).” [12]
Di antara faedah kisah ini adalah apa yang disebutkan oleh Syaikh Bakr Abu
Zaid Rahimahullahu Ta’ala tatkala berkomentar tentang kisah ini, “Dengan
demikian Anda mengetahui bahaya bergaul dan menikah dengan para ahli bid’ah dan
aliran-aliran sesat. Tidaklah perubahan drastis Iraq dari mayoritas Ahli Sunnah
menjadi mayoritas Syi’ah melainkan karena Ahli Sunnah menikah dengan Syi’ah,
sebagaimana dalam al-Khuthūth al-’Arīdhah oleh Muhibbuddin al-Khathib.” [13]
[13] (an-Nazhā’ir hlm. 90–91)
___________
___________
[1] (al-Bidayah wan Nihayah oleh Imam Ibnu Katsir 13/6)
[2] (Jaulah fi Riyadhil ’Ulama wa Ahdatsil Hayah oleh Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar hlm. 80)
[3] (Dinukil oleh Syaikh Masyhur bin Hasan alu Salman dalam al-Bayan wal Idhah Syarh Nazhmil al-Iraqi lil Iqtirah hlm. 124 dan ta’liq al-Kafi fi ’Ulumil Hadits hlm. 658 oleh at-Tibrizi.)
[4] (al-Mantsur minal Hikayat wa Sualat oleh al-Hafizh Abul Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi hlm. 141)
[5] (Nawadirul Kutub hlm. 5 Muhammad Khair Ramadhan)
[6] (Siyar A’lamin Nubala’ oleh adz-Dzahabi 4/72)
[7] (Sualat Hamzah bin Yusuf as-Sahmi lid Daruquthni hlm. 79 no. 13, dinukil dari Min Buthunil Kutub hlm 160 karya Yusuf al-’Atiq)
[8] (asy-Syamil fi Fiqhil Khathib wal Khutbah hlm. 449-450 oleh Syaikh Su’ud asy-Syuraim)
[9] (Tarikh Baghdad 13/53 oleh al-Khathib al-Baghdadi)
[10] (Tadzkiratul Huffāzh 2/598 oleh adz-Dzahabi, Dzikru Akhabri Ashbahan 2/85 oleh Abu Nua’im al-Ashbahani)
[11] (Siyar A’lāmin Nubalā’ 34/156–157 oleh adz-Dzahabi)
[12] (Siyar A’lāmin Nubalā’ adz-Dzahabi 4/214, Mīzānul I’tidāl adz-Dzahabi 5/286, Tahdzībut Tahdzīb Ibnu Hajar 8/127–129)
11. Kisah di Balik Sebuah Gelar
Pernahkah Anda mendengar seorang ulama yang bernama Hatim al-Asham? Tahukah Anda apa makna gelar (al-Asham) tersebut dan kenapa sang alim mendapat gelar tersebut? Al-Asham adalah gelar yang artinya tuli.
Konon ceritanya, ada seorang wanita bertanya kepadanya tentang suatu permasalahan, namun dengan tidak sengaja dia (wanita itu) kentut yang bersuara sehingga dia merasa malu. Untuk menjaga perasaannya, Hatim berpura-pura tidak mendengar seraya berkata, “Keraskanlah suaramu.” Wanita itu pun merasa senang karena dia menduga Hatim tidak mendengar suara kentutnya. Setelah itu, Hatim terus menjadi tuli.” [1]
Dalam kisah ini terdapat pelajaran pentingnya kita menutupi aib dan menjaga perasaan orang lain, agar hubungan pergaulan kita tetap langgeng baik dalam keluarga atau persahabatan atau masyarakat.
12. Orang Arab Badui Suka Syair
Diceritakan, bahwa ada seorang Arab badui masuk Islam pada zaman Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu. Umar Radhiallahu’anhu lalu mengajarinya shalat seraya mengatakan; “Shalat Zhuhur empat, shalat Asar empat raka’at, Maghrib tiga raka’at, Isya’ empat raka’at, dan Subuh dua raka’at.” Namun, orang badui itu belum juga hafal. Umar Radhiallahu’anhu mengulanginya lagi, tetapi tetap saja badui itu tidak hafal bahkan terbalik-balik, yang empat dibilang tiga dan yang tiga dibilang empat. Akhirnya, Umar membentaknya seraya mengatakan, “Orang Arab badui biasanya cepat hafal syair, coba ulangi ucapan saya:
إِنَّ الصَّلَاةَ أَرْبَعٌ أَرْبَعٌ ثُمَّ ثَلَاثٌ بَعْدَهُنَّ أَرْبَعٌ
ثُمَّ صَلَاةُ الْفَجْرِ لَا تُضَيِّعْ
Sesungguhnya shalat itu empat kemudian empat
Lalu tiga kemudian setelahnya empat raka’at
Kemudian shalat Subuh dua jangan engkau lalaikan.
Kata Umar Radhiallahu’anhu kepadanya, “Sudahkah kamu menghafalnya?” Orang badui itu menjawab, “Sudah.” Kata Umar Radhiallahu’anhu, “Kalau begitu, pulanglah ke rumahmu sekarang.” [2]
Kisah ini memberikan faedah kepada kita akan pentingnya menghimpun ilmu dalam bentuk syair atau manzhumah agar lebih mudah dihafal dan diulang-ulang sebagaimana dilakukan oleh sebagian para ulama dalam berbagai disiplin ilmu syar’i.
13. Manusia Disandera Jin
Alkisah, dahulu ada seorang sahabat Anshar pergi untuk shalat Isya’ lalu disandera oleh jin sehingga tidak diketahui kabarnya. Kemudian istrinya datang kepada Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu seraya menceritakan kejadiannya. Umar Radhiallahu’anhu lalu keluar bertanya kepada kaumnya dan mereka menjawab, “Benar, dia keluar untuk shalat Isya’ kemudian menghilang.” Umar Radhiallahu’anhu kemudian memerintahkan kepada sang istri agar menunggu selama empat tahun. Tatkala empat tahun telah berlalu, si istri datang kepada Umar Radhiallahu’anhu lagi, lalu Umar membolehkannya untuk menikah dengan lelaki lain setelah menjalani masa ’iddah.
Setelah menikah dengan pria lain, suami pertamanya datang dan menuntut Umar Radhiallahu’anhu, maka Umar Radhiallahu’anhu mengatakan kepadanya, “Seorang di antara kalian pergi menghilang dalam waktu yang sangat lama sehingga istrinya tidak tahu apakah dia masih hidup ataukah tidak.” Pria itu menjawab, “Saya memiliki udzur, wahai Amirulmukminin.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya, “Lantas apa udzurmu?” Dia menjawab, “Ketika saya keluar rumah untuk menunaikan shalat Isya’, tiba-tiba para jin menyandera saya sehingga saya pun tinggal bersama mereka, kemudian mereka diserang oleh para jin muslim dan menawan beberapa tawanan termasuk saya, lalu mereka mengatakan, ‘Kami melihatmu adalah seorang muslim sehingga tidak boleh bagi kami untuk menawanmu.’ Lalu mereka memberi saya pilihan antara tetap tinggal di sana atau pulang ke keluarga saya, saya pun memilih pulang ke keluarga saya di Madinah dan tadi pagi saya telah sampai di kota ini. Begitu ceritanya.”
Setelah mendengarkan kisahnya maka Umar memberikan pilihan kepadanya antara kembali kepada istrinya lagi dan antara mengambil maharnya. Pria itu mengatakan, “Saya tidak butuh lagi kepada istri saya karena dia sekarang sudah hamil dari suaminya.” [3]
Di antara fiqih (pemahaman) atsar ini adalah bahwa jika ada seorang istri ditinggal pergi oleh suaminya sehingga tidak ada berita tentangnya —apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia— maka dia menunggu selama empat tahun kemudian memulai masa ’iddah empat bulan sepuluh hari, lalu boleh setelah itu untuk menikah dengan pria lain.[4]
14. Memaafkan, Akhlak Mulia Salaf
Suatu saat ada seorang budak yang hendak menuangkan air kepada Ja’far ash-Shadiq, ternyata bejana yang berisi air tersebut jatuh sehingga mengenai wajahnya, maka Ja’far melihat kepada budaknya dengan amarah. Budaknya lalu membacakan ayat seraya mengatakan, “Tuanku, Allah berfirman:
وَٱلْكَـٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ
‘Dan orang-orang yang menahan amarahnya.’ (QS. Āli ’Imrān [3]: 134)
Dia berkata, “Aku tahan amarahku.”
“Allah berfirman selanjutnya:
وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ
‘Dan suka memaafkan manusia.’”
Dia berkata, “Ya sudah, aku maafkan kamu.”
“Allah berfirman selanjutnya juga:
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
‘Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.’”
Dia berkata, “Pergilah, engkau sekarang merdeka. Aku bebaskan engkau karena mengharapkan ridha Allah.” [5]
Kisah ini menunjukkan keindahan akhlak ulama salaf yang suka memaafkan dan berhenti pada ayat-ayat al-Qur’an, tidak menerjang kandungan isinya. Alangkah indahnya akhlak mereka dan alangkah kuatnya aqidah mereka.
15. Pembantaian Terhadap Hajar Aswad
Ahli sejarah Umar bin Fahd mengatakan, “Pada tahun 363 H, ketika manusia tengah istirahat siang hari, sedang matahari panas terik —terasa sangat menyengat— dan tidak ada yang melakukan thawaf kecuali hanya satu atau dua orang saja, tiba-tiba ada seorang yang menutupi kepalanya dengan kain berjalan pelan-pelan sehingga tatkala sudah mendekati Hajar Aswad dia mengambil palu dan memukulkannya beberapa kali ke Hajar Aswad. Ada seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf melihat perbuatannya berusaha untuk mencegahnya, namun dia ditusuk beberapa kali sehingga jatuh mati.
Melihat hal itu, maka orang-orang yang berada di Masjidil Haram langsung berhamburan menghampiri dan menangkap orang tersebut. Ternyata dia adalah orang Romawi yang diutus untuk merampas Hajar Aswad dengan mendapatkan imbalan harta yang melimpah. Akhirnya orang itu pun dibunuh dan dikeluarkan dari Masjidil Haram.” [6]
Kisah ini menunjukkan kepada kita kedengkian musuh-musuh Allah dan usaha mereka untuk menghancurkan syi’ar-syi’ar Allah salah satunya dengan menjarah Hajar Aswad. Oleh karenanya, tercatat dalam sejarah bahwa Hajar Aswad pernah dijarah oleh kaum Qaramithah dan dirampas oleh mereka selama kurang lebih 22 tahun lamanya sejak bulan Dzulhijjah tahun 317 H hingga Dzulqa’dah tahun 339 H.[7]
16. Anak Muda yang Mengalahkan Mughirah bin Syu’bah
Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu mengatakan, “Tidak pernah ada seorang pun yang mengalahkan saya kecuali seorang pemuda dari Bani Harits bin Ka’ab yaitu ketika saya melamar seorang wanita Bani Harits lalu ada seorang pemuda dari mereka yang menyimak pembicaraan saya. Pemuda itu lalu mengatakan kepada saya, ‘Tuan, wanita itu tidak cocok dengan Anda.’ Saya bertanya kepadanya, ‘Memangnya kenapa, ada apa dengannya?’ Dia menjawab, ‘Sebab saya pernah melihat seorang lelaki menciumnya.’” Akhirnya, Mughirah membatalkan niatnya dan melepas wanita tersebut.
Setelah itu, sampailah kabar kepadanya bahwa wanita itu menikah dengan pemuda tersebut. Kata Mughirah, “Maka aku pun mengutus seorang untuk menanyakan kepada pemuda tersebut, ‘Bukankah kamu yang mengabarkan kepadaku bahwa kamu melihat seorang lelaki pernah menciumnya, lantas kenapa sekarang kamu malah menikah dengannya?’ Pemuda itu menjawab, ‘Ya benar saya melihat lelaki menciumnya, tetapi lelaki itu adalah bapaknya sendiri!!!’” [8]
Di antara faedah kisah ini adalah anjuran untuk menikah dengan wanita yang baik. Lihatlah Sahabat Mughirah Radhiallahu’anhu. Beliau mengurungkan niatnya untuk menikah dengan wanita tersebut lantaran ada berita bahwa dia pernah dicium oleh lelaki yang menurut prasangkanya bahwa lelaki itu bukan mahramnya, sekalipun ternyata terbukti setelah itu bahwa yang mencium adalah ayahnya.
17. Wafatnya Abu Zur’ah ar-Razi
Muhammad bin Muslim bin Warah berkata, “Saya datang dengan Abu Hatim ar-Razi ketika Abu Zur’ah dalam sakratulmaut. Saya katakan kepada Abu Hatim, ‘Mari kita talqin beliau dengan syahadat.’ Abu Hatim menjawab, ‘Saya malu untuk menalqin Abu Zur’ah dengan syahadat, namun mari kita mengulang hadits, barangkali jika dia mendengar maka dia akan bisa menjawab.’”
Muhammad bin Muslim berkata, “Saya pun memulai, saya katakan, ‘Menceritakan kepada kami Abu Ashim an-Nabil: Menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Ja’far,’ lalu tiba-tiba saya tidak ingat hadits tersebut seakan-akan saya belum pernah mendengar atau membacanya.
Abu Hatim lalu memulai juga, ‘Menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar: Menceritakan kepada kami Ashim an-Nabil dari Abdul Hamid bin Ja’far,’ ternyata dia pun lupa sanad hadits tersebut seakan-akan belum pernah membaca atau mendengarnya.
Tiba-tiba Abu Zur’ah membuka matanya seraya mengatakan, “Menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar: Menceritakan kepada kami Abu Ashim an-Nabil: Menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih bin Abi ’Arib dari Katsir bin Murrah dari Mu’adz bin Jabal Radhiallahu’anhu berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّة
‘Barangsiapa yang akhir ucapannya di dunia Lā ilāha illa Allāh (tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) maka dia akan masuk surga.’
Setelah menyampaikan hadits, Abu Zur’ah langsung menghembuskan napas terakhirnya. Rumah pun setelah itu langsung ramai dengan isak tangis orang-orang di sekitarnya. Semoga Allah merahmatinya dan menjadikannya termasuk penduduk surga.” [9]
Dalam kisah ini terdapat ibrah bahwa seorang yang menyibukkan diri semasa hidupnya dengan suatu amalan, maka dia akan ditutup dengannya. Sebagaimana Imam Abu Zur’ah yang semasa hidupnya selalu menyibukkan diri dengan hadits maka Allah menjadikan akhir kehidupannya dengan hadits yang agung ini. Semoga hal itu merupakan tanda husnul khatimah. Semoga Allah meneguhkan kita di atas ketaatan dan memberi kita husnul khatimah. Amin.
18. Awas, Jangan Mendahului Imam Dalam Gerakan Shalat
Ibnu Hajar pernah bercerita tentang salah seorang ahli hadits bahwa dia pernah pergi ke Damaskus untuk menimba ilmu dari seorang syaikh yang masyhur di sana. Dia pun belajar beberapa hadits darinya. Namun, sang guru membuat hijab (penghalang) antara dirinya dan murid sehingga murid tidak pernah melihat wajah sang guru. Tatkala sudah lama belajar hadits dan melihat semangat murid dalam belajar hadits, maka sang guru membuka penutup wajahnya, ternyata wajahnya adalah wajah keledai, lantas mengatakan, “Wahai anakku, janganlah sekali-kali engkau mendahului imam, karena tatkala saya mendapati hadits tentang larangannya, saya menganggap mustahil kejadian tersebut, saya pun mendahului imam, maka wajah saya seperti yang engkau lihat sekarang.” [10]
Kisah ini dipopulerkan oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam kitabnya, al-Qaulul Mubīn fī Akhthā’il Mushallīn hlm. 261. Namun, jangan tergesa-tergesa dahulu mempercayainya, karena penulisnya telah meralat dalam kitabnya yang lain Qashashun Lā Tatsbut 8/263–267 setelah mendapatkan manuskrip asli kitab al-Ijazah fī Ilmi Hadīts karya Ibnu Hajar al-Haitami dan ternyata sang pencerita adalah Ibnu Hajar al-Haitami bukan Ibnu Hajar al-Asqalani!!!
Sebagai gantinya, berikut ini saya bawakan kisah Imam Ibnu Katsir, “Suatu saat, Hajjaj bin Yusuf pernah shalat di samping Sa’id bin Musayyib sebelum menjabat sebagai pemimpin, lalu dia berdiri sebelum imam dan turun sujud sebelum imam. Tatkala selesai shalat, maka Sa’id sembari berdzikir menarik bajunya dan Hajjaj pun menarik juga tak mau kalah. Setelah selesai berdzikir maka Sa’id mengatakan kepadanya, ‘Wahai pencuri! Wahai pengkhianat! Kamu shalat seperti ini modelnya?!! Sungguh, ingin sekali aku menampar wajahmu dengan sandalku ini.’
Hajjaj tidak membalas sedikit pun lalu pergi haji kemudian kembali ke Syam, lalu menjadi gubernur kota Hijaz. Tatkala usai membunuh Ibnu Zubair, dia pulang ke Madinah. Tatkala dia masuk masjid, dia mendapati majelis Sa’id bin Musayyib, dia pun lalu menuju majelis Sa’id. Orang-orang ketakutan karena khawatir terjadi apa-apa pada Sa’id. Dia datang ke majelis sampai dekat dengannya lalu bertanya, ‘Anda guru di majelis ini?’ Jawab Sa’id dengan tegas, ‘Benar saya.’ Hajjaj mengatakan, ‘Semoga Allah membalas kebaikan kepada Guru, karena saya tidak shalat setelah itu kecuali teringat dengan ucapan Anda.’ Setelah itu Hajjaj pergi.” [11]
Kisah ini menunjukkan betapa semangatnya ulama salaf untuk tidak mendahului gerakan imam dalam shalat dan mereka menilai orang yang mendahului imam adalah pencuri danpengkhianat. Maka waspadalah!!!
19. Bumi Tidak Menerima Mayat Penghina Nabi
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Anas Radhiallahu’anhu bahwa beliau mengatakan, “Dahulu ada seorang Nasrani yang masuk Islam dan membaca al-Baqarah dan Aali Imraan dan menulis untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm, lalu dia murtad kembali ke agama Nasrani dan menghina Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seraya mengatakan, ‘Muhammad itu tidak tahu kecuali apa yang dituliskan untuknya saja.’ Allah lalu mematikannya dan mereka pun menguburnya, namun esok harinya ternyata dia tergeletak di atas bumi. Mereka pun mengatakan, ‘Ini pasti perbuatan Muhammad dan para sahabatnya, mereka menggali kuburan kawan kita ini lalu membuangnya begitu saja.’ Akhirnya mereka menggali lagi kuburan sedalam mungkin yang mereka mampu, namun esok harinya ternyata mayatnya tergeletak lagi di atas bumi.’ Maka mereka pun menyadari bahwa ini bukan perbuatan manusia, sehingga mereka akhirnya membuang mayatnya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala berkomentar, “Lihatlah orang terlaknat ini, ketika dia berdusta tentang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm dengan ucapannya bahwa beliau tidak mengerti kecuali apa yang dituliskan untuknya, maka Allah membinasakannya dan membongkar kedoknya dengan memuntahkan mayatnya dari kuburannya setelah beberapa kali dikubur. Sungguh ini di luar kebiasaan! Hal ini menunjukkan bagi setiap orang bahwa ini adalah hukuman dari kedustaannya, sebab kebanyakan mayat tidak tertimpa kejadian seperti ini. Dan dosa ini lebih keji daripada kemurtadan, sebab kebanyakan orang yang murtad juga tidak tertimpa hal serupa.” [12]
20. Anjing dan Penghina Nabi
Para ahli fiqih Qairawan dan para sahabat Suhnun memfatwakan untuk menghukum mati Ibrahim al-Fazari, dia adalah seorang penyair dan ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Ungkapan-ungkapan penghinaannya kepada Allah dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm dilaporkan kepada al-Qadhi Abul Abbas bin Thalib, maka beliau lalu menghadirkan al-Qadhi Yahya bin Umar dan para ahli fiqih lainnya lalu memutuskan untuk menghukumnya dengan hukuman mati. Akhirnya, dia pun dihukum mati dan disalib terbalik lalu diturunkan untuk dibakar[13].
Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa tatkala kayunya ditancapkan, bisa berputar sendiri dan membelakangi kiblat sehingga menjadi tanda menakjubkan bagi manusia yang membuat mereka bertakbir. Lalu ada seekor anjing yang menjilat darahnya. Melihat hal itu al-Qadhi Yahya bin Umar berkata dan dia menyebutnya sebagai hadits Nabi[14] Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm, “Anjing itu menjilat darah seorang muslim.”[15]
___________
[1] (al-Muntazham 11/253 oleh Ibnul Jauzi)
[2] (al-Muntaqa min Akhbaril Ashma’i hlm. 7 oleh Dhiya’ al-Maqdisi)
[3] (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan Kubra 7/445, Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf 7/86 dan Abdullah bin Ahmad dalam Masā’il-nya no. 346. Atsar ini dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwā’ul Ghalīl 6/150. Lihat pula Fathul Mannan hlm. 312 oleh Syaikh Masyhur Hasan dan Mā Shahha min Atsar Shahābah 3/1078 oleh Zakaria al-Bakistani)
[4] Dan ada pendapat lain yang cukup kuat bahwa masa menunggu wanita yang ditinggal hilang suaminya diserahkan kepada keputusan pemimpin (baca: pengadilan agama) dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam asy-Syarh al-Mumti’ 13/373–374.
[5] (al-Mustathraf 1/260, al-Absyihi)
[6] (Ithaf Wara 2/410–411)
[7] Lihat kisah tragedi berdarah tentangnya dalam al-Kamil 6/203–335 oleh Ibnul Atsir dan al-Bidāyah 11/160–223 oleh Ibnu Katsir. Lihat pula risalah Asrar wa Fadha’il Hajar Aswad oleh Majdi Fathi Sayyid.
[8] (al-Iqdul Farid 6/102 oleh Ibnu Abdi Rabbihi)
[9] (Lihat Fadhlu Tahlil hlm. 80–81 oleh Ibnul Banna, Taqdimatul Jarh wa Ta’dil hlm. 345 oleh Ibnu Abi Hatim, Tarikh Baghdad 10/335 oleh al-Khathib al-Baghdadi.)
[10] (Fathul Mulhim Syarh Shahih Muslim 2/64)
[11] (al-Bidāyah wan Nihāyah 9/119–120)
[12] (ash-Sharimul Maslul ’ala Syatimir Rasul hlm. 123 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[13] Ini tidak benar, sebab tidak boleh menghukum dengan api kecuali Allah, sebagaimana dalam hadits. Wallahu A’lam.
[14] Kami belum mendapati ulama yang meriwayatkan hadits ini. Wallahu A’lam tentang keshahihan haditsnya.
[15] (asy-Syifa’ bi Ta’rif Huquqil Musthafa 2/135 oleh al-Qadhi Iyadh, Hayatul Hayawan al-Kubra 2/422 oleh ad-Damiri)
Sumber: AbiUbaidah.Com
0 komentar:
Posting Komentar