Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah akan pahamkan dirinya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu'anhu)
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu [agama] maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu)“Umat manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.” (Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah)
Daftar Isi
• Kebutuhan Umat Terhadap Dakwah Tauhid
• Ciri Orang Yang Beriman
• Bagaikan Debu Yang Beterbangan
• Hari Ini Engkau Dilupakan!
• Kalian Fakir dan Allah Maha Kaya
• Hakikat dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan
• Menghapus Dosa, Mengangkat Derajat
• Untaian Hikmah Imam Sufyan ats-Tsauri
• Kafirkah Berhukum Dengan Selain Hukum Allah
• Jangan Lupakan Tauhid
• Perkataan Ulama Tentang Ikhlas
• Menunaikan Kebutuhan Sesama Muslim
• Kepada-Mu Semata Kami Beribadah
• Karena Seekor Kucing
• Makna Kata Fitnah
• Memahami Ucapan Salaf Tentang Hakikat Iman
• Kematian Yang Kalian Berusaha Lari Darinya
• Mengapa Kita Harus Belajar Aqidah?
• Nasehat Imam Syafi'i
• Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah Terhadap Perilaku Seorang Hamba
• Orang Yang Mendapatkan Syafa'at
• Pelajaran Berharga dari Perjalanan Hidup Imam Bukhari
Kebutuhan Umat Terhadap Dakwah Tauhid
Salah satu diantara keistimewaan para pengikut manhaj salaf adalah memiliki semangat yang sangat besar dalam menyebarkan aqidah sahihah, memberikan pengajaran dan nasehat bagi umat manusia, memberikan peringatan kepada mereka dari segala bentuk bid'ah dan ajaran-ajaran baru, serta berupaya keras untuk membantah orang-orang yang menyimpang dan kaum ahli bid'ah (lihat Khasha'ish al-Manhaj as-Salafi oleh Prof. Dr. Abdul 'Aziz bin Abdullah al-Halil, hal. 13)
Setiap perilaku maksiat dan penyimpangan yang dilakukan seorang hamba, pasti akan menghasilkan dampak buruk yang membahayakan, minimal kepada diri mereka para pelakunya sendiri. Apalagi jika kemaksiatan dan penyimpangan itu merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Allah, yakni mempersekutukan-Nya dengan segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Tentunya kemurkaan Allah melebihi kemurkaan yang disebabkan kemaksiatan dan kezhaliman lain dari seorang manusia yang masih mungkin dimaklumi dan diampuni-Nya (lihat Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar Kita karya H. Willyuddin A.R. Dhani, S.Pd. Hal. 13 penerbit Abu Hanifah Publishing cet. I, 2007)
Tauhid adalah sebuah ungkapan yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin. Pada umumnya, kita sebagai kaum muslimin pasti menginginkan atau bahkan telah mengaku sebagai orang yang bertauhid. Akan tetapi, pada kenyataannya bisa jadi masih banyak di antara kita yang belum memahami hakikat dan kedudukan tauhid ini. Bahkan orang-orang yang merasa dirinya telah bertauhid sekalipun, bisa jadi belum mengenal seluk-beluk tauhid dengan jelas (lihat Mutiara Faidah Kitab Tauhid karya guru kami al-Ustadz Abu 'Isa hafizhahullah, hal. 12 penerbit Pustaka Muslim cet. IV, 1430 H)
Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah memaparkan, bahwa manusia itu bermacam-macam. Bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid -secara global maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya. Atau mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tetapi tidak secara rinci maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya. Atau mereka adalah orang yang telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci maka mereka tetap butuh senantiasa diingatkan tentang tauhid serta terus mempelajari dan tidak berhenti darinya. Jangan berdalih dengan perkataan, "Saya 'kan sudah menyelesaikan Kitab Tauhid." atau, "Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah tauhid." atau, "Isu seputar tauhid sudah habis, jadi kita pindah saja kepada isu yang lain." Tidak demikian! Sebab, tauhid tidak bisa ditinggalkan menuju selainnya. Akan tetapi tauhid harus senantiasa dibawa bersama yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara (lihat dalam video ceramah beliau al-I'tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Diantara perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam bidang ilmu tauhid dari kalangan belakangan (muta'akhirin) lebih memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb [Allah] -walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb [Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta]- akan tetapi bukankah betapa banyak umat Islam yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!” (lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [1/8])
Imam Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Nuh -'alaihis salam- telah menetap di tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan sebagian besar perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian, ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang diterangkan Allah 'azza wa jalla di dalam Muhkam at-Tanzil (baca: al-Qur'an) dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka -kaum Nuh- berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian; jangan tinggalkan Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23). Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan oleh para da'i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah tabaraka wa ta'ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19). Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan apa yang beliau ajarkan.” (lihat Ma'alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, oleh Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, bahwa kedudukan aqidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa aqidah yang lurus. Oleh sebab itu perhatian kepada masalah aqidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena aqidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah 'azza wa jalla (lihat mukadimah Tadzkiratul Mu'tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8 cet. I, 1424 H)
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah juga menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia'nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu'assasah ar-Risalah)
Salah satu alasan yang semakin memperjelas betapa pentingnya memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb jalla wa 'ala (lihat Qawa'id wa Dhawabith Fiqh ad-Da'wah 'inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh 'Abid bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428 H)
Ciri Orang Yang Beriman
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Anfal: 2)
az-Zajaj mengatakan, “Maksudnya, apabila disebutkan tentang kebesaran dan kekuasaan-Nya dan ancaman hukuman yang akan ditimpakan kepada orang-orang yang durhaka kepada-Nya maka hati mereka pun merasa takut.” (lihat Zaadul Masir, hal. 540)
'Umair bin Habib radhiyallahu'anhu berkata, “Iman mengalami penambahan dan pengurangan.” Ada yang bertanya, “Dengan apa penambahannya?” Beliau menjawab, “Apabila kita mengingat Allah 'azza wa jalla dan memuji-Nya maka itulah penambahannya. Apabila kita lupa dan lalai maka itulah pengurangannya.” (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 511)
Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, “Orang-orang munafik itu tidak pernah sedikit pun meresap dzikir kepada Allah ke dalam hatinya pada saat mereka melakukan amal-amal yang diwajibkan-Nya. Mereka sama sekali tidak mengimani ayat-ayat Allah. Mereka juga tidak bertawakal [kepada Allah]. Mereka tidak mengerjakan sholat apabila dalam keadaan tidak bersama orang. Mereka pun tidak menunaikan zakat dari harta-harta mereka. Oleh sebab itulah Allah mengabarkan bahwasanya mereka itu memang bukan termasuk golongan orang-orang yang beriman.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [4/11])
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud dari ungkapan 'bergetarlah hati mereka', kata beliau, “Yaitu mereka merasa takut kepada-Nya sehingga mereka pun melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [4/11])
Ketika menjelaskan makna dari 'apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah imannya' Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung dalil bahwasanya seringkali seorang lebih banyak mendapatkan faidah karena bacaan [al-Qur'an] oleh orang lain daripada bacaan oleh dirinya sendiri...” (lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [2/30])
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa dari ayat di atas bisa disimpulkan bahwa ciri-ciri orang beriman itu antara lain:
- Merasa takut kepada-Nya ketika mengingat-Nya, yang dengan sebab itulah maka dia akan melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya
- Bertambahnya keimanan mereka tatkala mendengar dibacakannya al-Qur'an
- Menyerahkan segala urusan dan bersandar kepada Allah semata (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 269)
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa salah satu ciri utama orang beriman adalah bertawakal kepada Allah saja. Hatinya tidak bergantung kepada selain-Nya. Karena hanya Allah saja yang menguasai segala manfaat dan madharat. Dan tawakal inilah yang menentukan kuat lemahnya iman seorang hamba. Semakin kuat tawakalnya, semakin kuat pula imannya (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 101)
Bagaikan Debu Yang Beterbangan
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Tentang maksud “bagaikan debu yang beterbangan” Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan, “Artinya sia-sia, tidak mendapat pahala. Karena mereka tidak melakukannya [ikhlas] karena Allah 'azza wa jalla.” (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal. 924)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa'dul Masir, hal. 1014)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari'at yang diridhai [Allah] maka itu adalah batil/sia-sia.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [6/103])
Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan, “Sebab amalan yang diterima adalah amalan yang dilakukan oleh orang yang beriman lagi ikhlas, yang membenarkan para rasul dan mengikuti tuntunan mereka di dalam hal itu.” (lihat al-Majmu'ah al-Kamilah [5/472])
Di dalam ayat lain, Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu -Muhammad- dan juga kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan pastilah kamu termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, “Ini adalah pendidikan dari Allah ta'ala kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dan ancaman bagi selainnya, karena Allah 'azza wa jallah telah menjaga beliau dari perbuatan syirik.” (lihat Zaadul Masir, hal. 1235)
ar-Rabi' bin Anas rahimahullah berkata, “Tanda agama [amalan yang benar] adalah ikhlas karena Allah, sedangkan tanda ilmu [yang sejati] adalah perasaan takut kepada Allah.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah karya Ibnu Abi Dun-ya, hal. 33)
Diriwayatkan bahwa 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu berkata, “Amal yang salih adalah amalan yang kamu tidak menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali dari Allah.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 35)
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, “Malaikat membawa naik amalan seorang hamba dengan penuh gembira. Tatkala dia telah bertemu dengan Rabbnya, maka Allah pun berkata: Masukkanlah amalan itu ke dalam Sijjin [catatan keburukan], karena amalan tu tidak dipersembahkan untuk-Ku.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 45)
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Ada seseorang yang menceritakan kepadaku mengenai Abus Salil. Bahwasanya suatu saat dia menyampaikan hadits atau sedang membacakannya kemudian dia menangis, tiba-tiba dia pun mengubah dirinya menjadi tertawa.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 64)
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Benar-benar ada dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan sholat dan menasehati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa 'dia sedang ada keperluan'.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal.65)
Mutharrif rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sejelek-jelek alat untuk mencari kesenangan dunia adalah amal akhirat.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 572)
Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya tercampuri riya' walaupun hanya sekecil biji tanaman.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 572)
Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang sangat menggandrungi pujian kepada dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga daripada sayap seekor nyamuk.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 573)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencintai orang lain bukan karena Allah niscaya bahaya yang muncul dari teman-temannya jauh lebih besar daripada bahaya yang timbul dari musuh-musuhnya.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 575)
al-Harits bin Qais an-Nakha'i rahimahullah berkata, “Jika kamu berniat untuk melakukan suatu amal kebaikan janganlah ditunda-tunda. Apabila setan datang ketika kamu sedang mengerjakan sholat lalu dia membisikkan, “Kamu sedang riya'.” maka buatlah sholat itu semakin bertambah lama.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 576)
Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata, “Bukanlah tangisan hakiki tangisan dengan mata. Akan tetapi tangisan yang hakiki adalah tangisan hati.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 579)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: Dahulu ibuku berpesan kepadaku, “Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 579)
Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Seandainya seorang yang riya' dengan ilmu dan amalnya mengutarakan isi hatinya kepada manusia niscaya mereka akan marah kepadanya dan mengatakan bahwa akalnya benar-benar dungu.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 580)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Riya' adalah mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun 'ujub adalah mempersekutukan Allah dengan diri sendiri.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 583)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya pun menjadi terhapus.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 584)
Setelah membaca ini semuanya, sudah selayaknya kita berdoa kepada Allah sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh salah seorang ulama salaf, “Ya Allah, ampunilah riya' dan sum'ahku.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 577)
Hari Ini Engkau Dilupakan!
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat didatangkan seorang hamba. Kemudian dikatakan kepadanya: “Bukankah telah Aku berikan kepadamu pendengaran, penglihatan, harta, dan anak? Aku tundukkan untukmu binatang ternak, tanam-tanaman. Aku tinggalkan kamu dalam keadaan menjadi pemimpin dan mendapatkan seperempat hasil rampasan perang. Apakah dulu kamu mengira akan bertemu dengan-Ku pada hari ini?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Allah pun berkata, “Kalau begitu pada hari ini Aku pun melupakanmu.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata: hadits sahih gharib, lihat al-Ba'ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 36-37)
Faidah Hadits
Hadits ini mengingatkan kita tentang dahsyatnya hari kiamat. Betapa butuhnya seorang hamba terhadap pertolongan Allah ketika itu. Akan tetapi pertolongan Allah itu hanya akan diberikan kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul dan mengamalkan ajarannya.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata: “Wahai Rabbku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dulu aku bisa melihat?”. [Allah menjawab] Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami tetapi kamu justru melupakannya. Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan.” (QS. Thaha: 124-126)
Imam al-Qurthubi menjelaskan makna 'peringatan-Ku' di dalam ayat di atas. Beliau berkata, “Artinya [barangsiapa yang berpaling] dari agama-Ku, tidak membaca Kitab-Ku, dan tidak mengamalkan isi ajarannya. Ada juga yang menafsirkan bahwa maksudnya adalah keterangan-keterangan yang telah Aku turunkan. Namun, bisa juga ditafsirkan bahwa yang dimaksud peringatan ini adalah [keberadaan] Rasul, karena peringatan itu datang melalui perantara beliau.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [14/157])
Sebagian ulama berkata, “Tidaklah seorang pun yang berpaling dari peringatan Rabbnya kecuali waktu yang dilaluinya semakin menambah gelap (buruk) keadaan dirinya, mencerai-beraikan urusan rizkinya, dan membuatnya selalu mengalami kesempitan di dalam hidupnya.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [14/157]). Adapun maksud dari “Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan” Imam al-Qurthubi berkata, “Maksudnya adalah dibiarkan dalam keadaan tersiksa, yaitu di dalam neraka Jahannam.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [14/158])
Di dalam ayat lain, Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan dikatakan: Pada hari ini Kami melupakan kalian sebagaimana halnya dahulu kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini, tempat tinggal untuk kalian adalah neraka, sama sekali tidak ada bagi kalian seorang penolong.” (QS. Al-Jatsiyah: 34). Imam al-Qurthubi menjelaskan, bahwa maksud dari 'kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini' adalah: 'kalian meninggalkan amal untuk akhirat' (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [19/173])
Kalian Fakir dan Allah Maha Kaya
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Wahai umat manusia! Kalian adalah fakir kepada Allah. Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menerangkan: “Kalian fakir kepada Allah” artinya kalian membutuhkan kepada-Nya. “Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya” artinya tidak membutuhkan ibadah kalian. “lagi Maha Terpuji” yaitu senantiasa terpuji di hadapan makhluk-Nya karena segala bentuk ihsan/kebaikan yang dicurahkan-Nya untuk mereka (lihat Zaadul Masir, hal. 1160)
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menerangkan: Kebutuhan setiap hamba untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun (baca: kebutuhan terhadap tauhid) adalah kebutuhan yang tidak bisa diserupakan dengan sesuatu apapun. Walaupun hal itu bisa saja diserupakan dari sebagian sisi dengan kebutuhan badan terhadap makanan, minuman, dan nafas (udara). Akan tetapi sebenarnya antara kedua hal ini terdapat perbedaan yang sangat banyak. Karena sesungguhnya jati diri seorang hamba tersimpan di dalam hati dan ruhnya. Sementara tidak akan baik hal itu tanpa pertolongan dari [Allah] sesembahannya yang sejati; yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali Dia. Hatinya tidak akan pernah merasa tenang kecuali dengan dzikir kepada-Nya. Tidak merasakan tentram kecuali dengan mengenal dan mencintai-Nya.
Seorang hamba akan terus senantiasa berjuang, karena kelak dia akan berjumpa dengan-Nya. Perjumpaan dengan-Nya adalah sesuatu yang sudah pasti. Tidak akan baik dirinya kecuali dengan mengesakan Allah dalam hal kecintaan, ibadah, rasa takut, dan harapan. Seandainya seorang hamba bisa merasakan kelezatan dan kesenangan dengan bergantung kepada selain-Nya maka hal itu tidak akan terjadi secara terus-menerus. Akan tetapi kesenangan itu akan berpindah dari suatu perkara kepada perkara yang lain, dari seorang individu kepada individu yang lain. Sehingga dia hanya akan bisa merasakan kenikmatan dengan satu individu dalam satu keadaan dan dengan individu lain dalam keadaan yang lainnya. Dan kebanyakan perkara yang memberikan kesenangan untuknya justru merupakan sebab utama berlabuhnya kepedihan (kesusahan) dan bahaya yang akan menimpanya.
Adapun ilah/sesembahannya yang benar (yaitu Allah), maka dirinya pasti senantiasa membutuhkan-Nya; dalam setiap waktu dan keadaan. Dimana pun dia berada, maka iman kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, ibadah kepada-Nya, pengagungan, dan dzikir kepada-Nya adalah konsumsi bagi hati, sumber kekuatan, jalan kebaikan dan penentu kesehatan jiwanya... (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [5/96-97])
Beliau juga menegaskan, “Bahkan, ibadah kepada Allah, ma'rifat, tauhid, dan syukur kepada-Nya itulah sumber kebahagiaan hati setiap insan. Itulah kelezatan tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah yang hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang layak untuk mendapatkannya...” (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [5/97])
Benar sekali apa yang diucapkan oleh beliau -rahimahullah-; tauhid itulah kebutuhan terbesar umat manusia. Kebutuhan yang jauh lebih penting untuk dipenuhi daripada kebutuhan tubuh manusia terhadap makanan, minuman, dan udara. Namun, betapa sedikit orang yang menyadarinya. Wallahul musta'aan.
Hakikat dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan
Dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebagian kaum dengan Kitab ini, dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengannya pula.” (HR. Muslim dalam Kitab Sholat al-Musafirin [817])
Shofwan bin 'Asal al-Muradi berkata: Aku pernah datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.” Beliau pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka (malaikat, pent) menaiki sebagian yang lain sampai ke langit dunia karena mencintai apa yang mereka lakukan.” (lihat Akhlaq al-'Ulama, hal. 37)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-'Ilm [80] dan Muslim dalam Kitab al-'Ilm [2671]). Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang yang mengemban ilmu tersebut (lihat Fath al-Bari [1/237]).
Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu'anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-'Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-'Ilm [2673])
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “... Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-'Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata, “Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihat al-'Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227).
Imam al-Auza'i rahimahullah berkata, “Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.” (lihat Da'a'im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391)
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 39)
Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya amat sedikit.” (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 40)
Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan, bahwa ahli ilmu yang sejati adalah orang-orang yang ilmunya telah sampai ke dalam hatinya, oleh sebab itu mereka bisa memahami berbagai perumpamaan yang diberikan oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 50).
Imam Ibnul A'rabi rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang yang -benar-benar- berilmu, mengajarkan ilmunya, dan juga mengamalkannya.” (lihat Fath al-Bari [1/197])
Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang selalu merasa takut kepada Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada Allah, maka para ulama menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan dalam kacamata syari'at Islam (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 52).
Masruq berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Sa'id bin Jubair rahimahullah berkata, “Sesungguhnya rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga menghalangi dirimu dari berbuat maksiat. Itulah rasa takut. Adapun dzikir adalah sikap taat kepada Allah. Siapa pun yang taat kepada Allah maka dia telah berdzikir kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak taat kepada-Nya maka dia bukanlah orang yang -benar-benar- berdzikir kepada-Nya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah al-Qur'an.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31)
Ibnu Wahb menceritakan, suatu saat Abud Darda' radhiyallahu'anhu berkata: Aku tidak takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, “Hai Uwaimir, apa yang sudah kamu ilmui?”. Namun, aku khawatir jika ditanyakan kepadaku, “Apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang sudah kamu ketahui?”. Karena Allah tidak memberikan ilmu kepada seseorang selama dia hidup di dunia melainkan pasti menanyainya pada hari kiamat (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Ibnu Baththal berkata, “Barangsiapa yang mempelajari hadits demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya maka kelak di akherat Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Waki' bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya, pen) maka dia adalah pembela Sunnah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk memperkuat pendapatnya semata maka dia adalah pembela bid'ah.” (lihat Mukadimah Tahqiq Kitab az-Zuhd karya Imam Waki', hal. 69)
Hisyam ad-Dastuwa'i rahimahullah berkata, “Demi Allah, aku tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah 'azza wa jalla.” (lihat Ta'thirul Anfas, hal. 254)
Sa'ad bin Ibrahim rahimahullah pernah ditanya; Siapakah yang paling fakih (paham agama, pent) di antara ulama di Madinah? Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa di antara mereka.” (lihat Ta'liqat Risalah Lathifah, hal. 44).
Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah. Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang membaca Kitab Allah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat Allah. Wassalam.” (lihat Ta'thirul Anfas, hal. 570)
Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “... Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa'id, hal. 34)
Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk fokus menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-'Ilmi al-'Amal, hal. 44-45)
Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa'iq, hal. 71)
Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa'iq, hal. 71-72)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak tua yang rajin beribadah di suatu masjid tempat dia biasa mengerjakan sholat. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama'ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-'Ilmi al-'Amal, hal. 36-37)
Bertakwalah, Wahai Para Penimba Ilmu!
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan untuk kalian furqan, menghapuskan dosa-dosa kalian dan mengampuninya untuk kalian. Allah lah pemilik keutamaan yang sangat besar.” (QS. Al-Anfal: 29)
Tatkala seorang hamba menunaikan ketakwaan kepada Rabb-nya maka itu merupakan tanda kebahagiaan dan alamat kemenangan baginya. Allah telah menyiapkan balasan yang melimpah berupa kebaikan di dunia dan di akhirat bagi orang yang bertakwa. Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan memetik empat keutamaan:
- Furqan; yaitu berupa ilmu dan hidayah yang dengannya ia bisa membedakan antara petunjuk dengan kesesatan, antara kebenaran dengan kebatilan, antara halal dengan haram, antara golongan orang yang berbahagia dengan golongan orang yang celaka
- Dihapuskannya dosa
- Pengampunan atas dosa. Kedua istilah ini sama maksudnya jika disebutkan dalam keadaan terpisah dari yang satunya. Adapun jika disebutkan secara beriringan, maka yang dimaksud dengan penghapusan dosa adalah untuk dosa-dosa kecil sedangkan yang dimaksud dengan pengampunan dosa ialah untuk dosa-dosa besar
- Pahala dan ganjaran yang melimpah ruah bagi orang-orang yang bertakwa kepada-Nya dan lebih mengutamakan keridhoan-Nya di atas hawa nafsu mereka (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 319 cet. Ar-Risalah)
Ciri orang yang bertakwa itu adalah orang-orang yang menghiasi dirinya dengan aqidah sahihah dan amal salih; baik amal batin maupun amal lahiriyah. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Yaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara gaib, mendirikan sholat, dan menyisihkan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman terhadap apa yang diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang diwahyukan -kepada nabi-nabi- sebelummu. Dan terhadap akhirat mereka pun meyakininya.” (QS. Al-Baqarah: 3-4)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ciri utama orang yang bertakwa adalah mengimani perkara yang gaib. Hakikat iman itu sendiri adalah membenarkan secara pasti terhadap segala yang diberitakan oleh para rasul, yang di dalam pembenaran itu telah terkandung ketundukan anggota badan terhadap ajaran mereka. Memang, yang menjadi ukuran utama keimanan bukanlah keyakinan terhadap perkara yang terjangkau oleh indera. Sebab hal itu tidaklah membedakan antara orang yang muslim dengan yang kafir. Sesungguhnya yang menjadi karakter ketakwaan yang paling utama adalah iman terhadap perkara gaib; sesuatu yang tidak bisa kita lihat secara langsung dan tidak kita saksikan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 40 cet. Ar-Risalah)
Wallahu a'lam. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.
Menghapus Dosa, Mengangkat Derajat
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang bersuci di rumahnya kemudian dia berjalan menuju salah satu rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu kewajiban yang ditetapkan Allah (sholat) maka langkah-langkahnya; salah satunya menghapuskan dosa, sedangkan langkah yang lain mengangkat derajat.” (HR. Muslim di Kitab al-Masajid wa Mawadhi' ash-Sholah [666])
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sebuah sungai di depan pintu rumah kalian yang dia mandi darinya setiap hari lima kali, apakah masih tersisa kotoran yang melekat pada tubuhnya?” Para Sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikit pun.” Lalu Nabi bersabda, “Demikian itulah perumpamaan sholat lima waktu yang dengan sebab itu Allah berkenan mengampuni dosa-dosa.” (HR. Bukhari di Kitab Mawaqit ash-Sholah [528] dan Muslim di Kitab al-Masajid wa Mawadhi' ash-Sholah [667])
Faidah Hadits
Hadits pertama menunjukkan kepada kita keutamaan bersuci di rumah lalu berjalan menuju masjid untuk menunaikan sholat wajib berjama'ah; yaitu menjadi sebab terhapusnya dosa dan terangkatnya derajat. Hadits berikutnya juga menunjukkan kepada kita bahwa sholat lima waktu merupakan sebab terhapusnya dosa seorang hamba.
Dosa-dosa yang terhapus dengan sebab amal-amal di atas adalah dosa-dosa kecil, sebagaimana yang dipahami oleh para ulama. Ibnu Hajar berkata, “...al-Qurthubi berkata: Zahir hadits ini menunjukkan bahwa sholat lima waktu secara mandiri menjadi sebab terhapusnya segala dosa, tetapi ini adalah sesuatu yang musykil/janggal. Namun, Muslim telah meriwayatkan sebelumnya hadits al-'Ala' dari Abu Hurairah secara marfu', “Sholat lima waktu adalah kaffarah/penebus atas dosa-dosa yang terjadi diantara sholat-sholat tersebut selama dosa-dosa besar dijauhi.” Berdasarkan dalil yang membatasi ini maka dalil lain yang bersifat tidak terikat dikembalikan kepadanya.” (lihat Fath al-Bari [2/15])
Kebaikan Menghapus Kejelekan
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghilangkan kejelekan-kejelekan.” (QS. Hud: 114)
Imam Ibnul Jauzi membawakan dua penafsiran ulama salaf tentang makna al-hasanat (kebaikan) yang dimaksud dalam ayat di atas:
- Maksudnya adalah sholat lima waktu. Ini adalah penafsiran Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Ibnul Musayyab, Masruq, Mujahid, al-Qarzhi, adh-Dhahhak, Muqatil bin Sulaiman, dan Muqatil bin Hayan.
- Maksudnya adalah ucapan 'Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaha illallah, wallahu akbar'. Manshur meriwayatkan tafsiran ini dari Mujahid. Imam Ibnul Jauzi sendiri lebih menguatkan penafsiran pertama. Adapun maksud as-sayyi'at (kejelekan) di sini adalah dosa-dosa kecil sebagaimana penjelasan para ulama ahli tafsir (lihat Zaadul Masir, hal. 675-676)
Untaian Hikmah Imam Sufyan ats-Tsauri
Tsabit bin Muhammad berkata: Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata, “Jika kamu mampu untuk tidak menggaruk kepala kecuali apabila dilandasi dengan atsar/riwayat maka lakukanlah.”
Beliau adalah Sufyan bin Sa'id bin Masruq ats-Tsauri. Imam Yahya bin Ma'in mengatakan bahwa Sufyan ats-Tsauri dilahirkan pada tahun 97 H. Beliau mulai menimba ilmu sejak kecil. Yazid bin Harun berkata, “Orang-orang telah mengambil ilmu dari Sufyan ats-Tsauri pada saat beliau berumur 30 tahun.”
Dikatakan bahwa beliau bertemu dengan 130 orang tabi'in dan berguru/mengambil riwayat dari 600 orang lebih. Adapun ulama yang mengambil riwayat dari beliau diantaranya Ibnu Juraij, al-Auza'i, Abu Hanifah, Ibnul Mubarak, Waki', Abdurrahman bin Mahdi, dan lain-lain.
Berikut ini sebagian diantara nasehat dan pelajaran yang bisa kita petik dari ucapan dan kisah perjalanan hidup beliau. Semoga bermanfaat.
Beliau berkata, “Pada awalnya, aku menuntut ilmu dalam keadaan belum memiliki niat, kemudian Allah pun memberikan rizki kepadaku niat tersebut.”
Apa yang beliau ucapkan senada dengan perkataan Imam ad-Daruquthni. Imam ad-Daruquthni berkata, “Kami dahulu menimba ilmu bukan karena Allah, namun ia enggan kecuali harus dituntut karena Allah.” (lihat Ma'alim fi Thariq Thalab al-'Ilmi)
Sufyan bin 'Uyainah berkata tentang Sufyan ats-Tsauri, “Adalah Sufyan ats-Tsauri sosok ulama yang ilmu seolah-olah senantiasa terpampang di hadapannya, sehingga dia bisa mengambil apa pun yang dia kehendaki dan meninggalkan apa yang tidak dia kehendaki.”
Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Tidaklah aku melihat seorang ahli hadits yang lebih kuat hafalannya daripada Sufyan ats-Tsauri.”
Sufyan ats-Tsauri pernah ditanya, “Dengan apa kamu bisa mengenal Rabbmu?”. Maka beliau menjawab, “Dengan tekad yang memudar dan cita-cita yang gagal tercapai.”
Abu Nu'aim berkata: Aku mendengar Sufyan mengatakan, “Iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.”
Ibnul Mubarak berkata: Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa yang meyakini Qul huwallahu ahad adalah makhluk, maka dia telah kafir kepada Allah.”
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa 'Ali -bin Abi Thalib- lebih berhak memegang kekuasaan (khalifah setelah nabi, pent) daripada Abu Bakar dan 'Umar maka dia telah menyalahkan Abu Bakar dan 'Umar bahkan segenap kaum Muhajirin dan Anshar. Aku pun tidak tahu apakah ada amalnya yang terangkat ke langit ataukah tidak.”
Sufyan ats-Tsauri juga berpesan, “Hendaklah kalian saling berpesan kepada Ahlus Sunnah dengan kebaikan, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang asing.”
Tsabit bin Muhammad berkata: Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata, “Jika kamu mampu untuk tidak menggaruk kepala kecuali apabila dilandasi dengan atsar/riwayat maka lakukanlah.”
Waki' berkata: Aku mendengar Sufyan mengatakan, “Tidaklah aku mengetahui suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu; yaitu bagi orang yang lurus niatnya.”
Sufyan juga mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dimuliakan di atas selainnya karena dia menjadi sarana untuk bertakwa.”
Beliau juga mengatakan, “Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba hadits, yaitu apabila lurus niatnya.”
Beliau juga mengatakan, “Tahapan awal menimba ilmu adalah diam. Yang kedua adalah mendengarkan dan menghafalkannya. Yang ketiga adalah mengamalkannya. Yang keempat yaitu menyebarkan dan mengajarkannya.”
Sufyan juga berkata, “Sudah semestinya seorang ayah untuk memaksa anaknya menimba ilmu dan belajar hadits, karena kelak dia harus mempertanggungjawabkan hal itu.”
Sufyan berkata, “Para malaikat adalah penjaga langit, sedangkan as-habul hadits adalah penjaga bumi.”
Beliau berkata, “Seandainya as-habul hadits tidak mendatangiku niscaya akulah yang akan mendatangi rumah-rumah mereka.”
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa yang pelit dengan ilmunya pasti akan tertimpa tiga bentuk musibah; bisa jadi dia lupa terhadapnya, atau dia mati dalam keadaan ilmunya tidak bermanfaat bagi orang lain, atau hilang buku-bukunya.”
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat manusia daripada hadits.”
Beliau juga berkata, “Fitnah/cobaan yang ditimbulkan oleh hadits lebih dahsyat daripada fitnah akibat emas dan perak.”
Sufyan berkata, “Sungguh kenikmatan Allah atas diriku akibat perkara dunia yang aku dipalingkan darinya itu lebih utama daripada kenikmatan yang ada pada apa-apa yang diberikan Allah kepadaku.”
Beliau juga berkata, “Kalian bisa mempercayaiku menjaga Baitul Mal, tetapi jangan mempercayakan kepadaku untuk menjaga budak perempuan berkulit hitam.”
Khalaf bin Tamim berkata: Aku melihat Sufyan ats-Tsauri di Mekah dan pada saat itu banyak sekali penimba ilmu hadits yang berkumpul untuk belajar kepadanya. Maka dia berkata, “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raji'uun. Aku khawatir Allah telah menyia-nyiakan umat ini; sampai-sampai umat manusia membutuhkan orang seperti diriku.”
'Ali bin Tsabit berkata, “Aku sama sekali tidak pernah melihat Sufyan berada di bagian depan majelis. Akan tetapi dia sering duduk di pinggir tembok seraya memeluk kedua lututnya.”
Ahmad bin Hanbal berkata: Dahulu apabila dilaporkan kepada Sufyan ats-Tsauri bahwa ada yang bermimpi melihat beliau -dalam keadaan mendapatkan kemuliaan- maka beliau berkata, “Aku lebih mengenali diriku daripada para pemilik mimpi itu.”
Abu Usamah menceritakan: Orang yang senantiasa memperhatikan keadaan Sufyan niscaya dia akan melihat seolah-olah Sufyan sedang berada di atas kapal yang dia khawatir kapal itu akan tenggelam. Betapa seringnya kami mendengar belliau berkata, “Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah.”
Qobishoh berkata tentang Sufyan, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih banyak mengingat kematian daripada beliau.”
Abu Nu'aim berkata, “Adalah Sufyan apabila telah mengingat kematian, maka orang-orang pun tidak bisa belajar darinya selama berhari-hari.”
Muzahim bin Zufar berkata, “Suatu saat Sufyan mengimami kami sholat maghrib. Tatkala beliau sampai pada ayat Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, maka beliau pun menangis, kemudian beliau mengulangi bacaannya dari Alhamdulillah, dst.”
al-Firyabi berkata, “Suatu ketika Sufyan sedang sholat, lalu dia berpaling kepada seorang pemuda. Kemudian beliau berkata kepadanya, “Jika kamu tidak sholat sekarang -di dunia- lantas kapan lagi?”.”
Sufyan juga mengatakan, “Aku terhalang dari sholat malam selama lima bulan gara-gara sebuah dosa yang pernah aku lakukan.”
Ibnu Rahawaih berkata: Aku mendengar Abdurrahman bin Mahdi menyebut nama Sufyan, Syu'bah, Malik dan Ibnul Mubarak. Lalu beliau berkata, “Orang yang paling berilmu diantara mereka adalah Sufyan.”
Yahya bin Ma'in berkata, “Sufyan ats-Tsauri adalah amirul mukminin fil hadits.”
Abu 'Ashim berkata: Aku pernah bertanya kepada Sufyan, “Siapakah manusia yang sejati?” Beliau menjawab, “Para ulama.” Aku berkata, “Siapakah raja yang sebenarnya?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang zuhud.” Aku berkata, “Siapakah orang-orang yang rendah?”. Beliau menjawab, “Orang yang tidak peduli dengan apa pun yang dia ucapkan dan tidak peduli dengan kritikan orang kepada dirinya.”
Abdurrahman bin Mahdi berkata: Sufyan mengatakan, “Tidak boleh taat kepada kedua orang tua dalam perkara-perkara syubhat.”
Sufyan juga mengatakan, “Barangsiapa yang kelaparan lalu tidak mau meminta -kepada orang- sampai akhirnya mati, maka dia masuk neraka.”
(Sumber: Manaqib al-Imam al-A'zham, karya Imam adz-Dzahabi yang merupakan ringkasan karya Imam Ibnul Jauzi rahimahumallah. Penerbit Dar ash-Shahabah, Thantha.)
Kafirkah Berhukum Dengan Selain Hukum Allah?
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah. Amma ba'du.
Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Bukankah Dia (Allah) Dzat yang paling bijaksana dalam menetapkan hukum, yang tidak pernah berbuat aniaya dan tidak menzalimi siapapun...” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [8/435] cet. Dar Thaibah)
Oleh sebab itu ciri orang yang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan (baca: hukum) Allah dan Rasul-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini bersifat umum mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini, tidak ada lagi pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [6/423] cet. Dar Thaibah)
Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa': 65)
Tunduk kepada hukum Allah, ridha dengan syari'at-Nya, dan kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika terjadi perselisihan merupakan konsekuensi keimanan dan penghambaan kepada Allah subhanahu wa ta'ala (lihat at-Tauhid li ash-Shaff ats-Tsalits al-'Ali, hal. 37)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Demikianlah, memang sudah seharusnya seorang hamba menerima hukum Allah, sama saja apakah hal itu menguntungkan dirinya atau merugikannya, sama saja apakah hal itu sesuai dengan hawa nafsunya ataukah tidak.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I'tiqad, hal. 103 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)
Ridha terhadap hukum Allah merupakan bagian dari sikap ridha terhadap rububiyah Allah dan ridha Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Dari al-'Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim no. 34)
Imam Nawawi rahimahullah menafsirkan hadits di atas, “Arti hadits ini, bahwasanya dia tidak mau mencari (berharap) kepada selain Allah ta'ala, tidak mau berusaha kecuali di atas jalan Islam, dan tidak mau menempuh kecuali apa-apa yang sesuai dengan syari'at Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.” (lihat Syarh Muslim [2/86] cet. Dar Ibnul Haitsam)
Hukum Allah adalah hukum yang tegak di atas keadilan. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Ma'idah: 50)
Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma menafsirkan, “Siapakah yang lebih adil [hukumnya]?!” selain daripada hukum Allah. Adapun maksud “Bagi orang-orang yang yakin” adalah “orang-orang yang meyakini [kebenaran] al-Qur'an.” (lihat Zaadul Masir, hal. 390)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menerangkan, bahwa yang dimaksud hukum jahiliyah adalah segala ketetapan hukum yang bertentangan dengan syari'at. Ia disebut hukum jahiliyah disebabkan hukum tersebut dibangun di atas kebodohan dan kesesatan (lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [2/82])
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan apabila kalian memutuskan hukum diantara manusia hendaklah kalian memberikan keputusan hukum dengan adil.” (QS. An-Nisaa': 58)
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum menyeret kalian sehingga berbuat tidak adil. Berbuat adillah! Sesungguhnya hal itu (keadilan) lebih dekat kepada ketakwaan.” (QS. Al-Ma'idah: 8)
Imam al-Baghawi menafsirkan, “Yaitu berbuat adillah, baik kepada teman kalian maupun kepada musuh kalian.” (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal. 364)
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan jika kamu memutuskan hukum maka berikanlah keputusan hukum diantara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang menegakkan keadilan.” (QS. Al-Ma'idah: 42)
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan (kebaikan), memberikan santunan kepada sanak kerabat, melarang dari perkara yang keji dan munkar serta melanggar hak orang lain.” (QS. An-Nahl: 90)
Abu Sulaiman berkata, “Adil dalam bahasa arab artinya adalah bersikap inshof/objektif. Sedangkan sikap inshof yang paling agung adalah pengakuan terhadap Sang Pemberi nikmat (al-Mun'im) atas segala nikmat yang dicurahkan-Nya (yaitu dengan bertauhid, pent).” (lihat Zaadul Masir, hal. 791)
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Ibnul Qoyyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 145)
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 145)
Allah ta'ala berfirman tentang isi wasiat Luqman kepada putranya (yang artinya), “Wahai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)
Demikian pula, orang yang berpaling dari hukum Allah kepada hukum jahiliyah adalah orang yang telah melakukan kezaliman dan terjerumus dalam kesesatan, bahkan hal itu bisa menjatuhkan dirinya ke dalam kekafiran.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berbuat zalim itu.” (QS. Al-Qashash: 50)
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” (QS. Al-Ma'idah: 44)
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kezaliman.” (QS. Al-Ma'idah: 45)
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kefasikan.” (QS. Al-Ma'idah: 47)
Imam Ibnul Jauzi berkata, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena menentang hukum itu dalam keadaan dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya sebagaimana halnya keadaan kaum Yahudi, maka dia adalah kafir. Adapun barangsiapa yang tidak berhukum dengannya karena kecondongan hawa nafsunya tanpa ada sikap penentangan -terhadap hukum Allah, pent- maka dia adalah orang yang zalim lagi fasik.” (lihat Zaadul Masir, hal. 386)
Abu 'Ali berkata, “Sesungguhnya orang yang mencari selain hukum Allah karena dia tidak ridha dengan hukum Allah itu maka dia adalah kafir. Inilah keadaan kaum Yahudi.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/494])
Thawus menjelaskan maksud “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” Beliau berkata, “Hal itu bukanlah kekafiran yang -secara otomatis- menyebabkan keluar dari agama.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [3/120] cet. Dar Thaibah)
Thawus juga meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas tentang makna ayat di atas. Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, “Itu bukan kekafiran sebagaimana yang mereka sangka.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak) (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [3/120] cet. Dar Thaibah)
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Thawus dari Ibnu 'Abbas mengenai maksud ayat di atas. Ibnu 'Abbas berkata, “Hal itu adalah penyebab kekafiran. Ia bukanlah kekafiran seperti halnya orang yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (lihat al-Qaul al-Ma'mun, hal. 17)
Dalam riwayat yang lain, Ibnu 'Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka dia telah melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang kafir.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/497])
Ibnu Mas'ud dan al-Hasan menafsirkan, “Ayat itu berlaku umum bagi siapapun yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, baik dari kalangan umat Islam, Yahudi, dan orang-orang kafir. Artinya, apabila dia meyakini dan menghalalkan perbuatannya itu. Adapun orang yang melakukannya sementara dia berkeyakinan dirinya melakukan perbuatan yang haram, maka dia tergolong orang muslim yang berbuat fasik...” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/497])
Imam al-Qurthubi berkata, “Apabila orang tersebut berhukum dengannya -yaitu bukan dengan hukum yang diturunkan Allah- karena dorongan hawa nafsu atau kemaksiatan, maka itu adalah dosa yang masih bisa mendapatkan ampunan berdasarkan kaidah Ahlus Sunnah yang menetapkan [terbukanya] ampunan bagi para pelaku dosa besar.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/498-499])
al-Qusyairi berkata, “Adapun madzhab Khawarij adalah barangsiapa yang melakukan tindak suap atau berhukum bukan dengan hukum Allah maka orang itu adalah kafir. Pendapat ini disandarkan orang kepada al-Hasan dan as-Suddi (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/499]). Namun penyandaran ini telah terbantahkan dengan nukilan di atas.
Ibnul Qoyyim berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan akbar, tergantung keadaan orang yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia meyakini bahwa dia wajib menerapkan hukum Allah atas kejadian ini namun dia berpaling darinya karena maksiat dan di saat yang sama dia mengakui bahwa dirinya layak untuk menerima hukuman maka ini adalah kufur ashghar. Namun, apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib, atau dia bebas [untuk mengikutinya atau tidak, pent], sementara dia yakin bahwa itu adalah hukum Allah; maka ini adalah kufur akbar. Adapun apabila dia tidak tahu atau tersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan -yang tidak disengaja- sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja berbuat kesalahan.” (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [2/400])
Syaikh Ibnu 'Utsaimin menyimpulkan, bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah dikatakan kafir pada 3 keadaan: [1] Apabila dia meyakini bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah. Karena segala hukum yang bertentangan dengan hukum Allah adalah hukum jahiliyah. Keadaan orang ini seperti keadaan orang yang menghalalkan zina dan khamr. [2] Apabila dia meyakini bahwa hukum selain Allah sejajar dengan hukum Allah. [3] Apabila dia meyakini hukum selain Allah lebih baik daripada hukum Allah(lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [2/69] cet. Maktabah al-'Ilmu)
Syaikh Shalih bin Sa'ad as-Suhaimi menambahkan, “Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok untuk diterapkan pada masa kini sehingga kita hanya wajib menerapkan undang-undang rekayasa [manusia] dengan dalih hukum Allah habis masa berlakunya, telah lewat, dan sirna (tidak cocok, pent). Maka ini kekafirannya lebih parah daripada yang lainnya...” (lihat Transkrip Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 66)
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengganti hukum syari'at dengan undang-undang buatan manusia yang diberlakukan secara umum sehingga hukum selain Islam yang lebih dominan adalah kufur akbar yang dapat mengeluarkan dari agama (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul oleh Abdullah bin Sa'ad Aba Husain hal. 297-301, lihat juga Fitnatu at-Takfir, hal. 98)
Meskipun demikian, tidaklah setiap orang yang mengganti hukum syari'at dengan undang-undang buatan manusia dapat dengan serta-merta dikafirkan begitu saja. Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata, “Ketika kami katakan bahwa pelakunya adalah kafir, maka yang kami maksud adalah perbuatannya itu mengantarkan dirinya kepada kekafiran. Namun, bisa jadi orang yang menetapkan aturan tersebut mendapat udzur (sehingga tidak bisa dikafirkan, pent). Semisal dia terkecoh dengan pernyataan, “Hal ini tidak bertentangan dengan Islam.” “Hal ini termasuk maslahat mursalah.” “Masalah ini diserahkan Islam kepada manusia [terserah bagaimana mereka mengaturnya, pent].” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/69])
Sungguh tepat ucapan Syaikh Ibnu 'Utsaimin! Bukankah pada jaman sekarang ini tidak sedikit kalangan 'intelektual muslim' di negeri kita atau di negeri-negeri lain yang telah tertipu dan terpesona oleh pertunjukan demokrasi? Beredarlah 'keyakinan' bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Berkembanglah bibit-bibit kekafiran dan kemunafikan yang berjubah keadilan dan perdamaian. Allahul musta'an.
Perlu ditambahkan pula, bahwa para ulama masa kini yang memfatwakan bahwa tasyri' aam (penetapan aturan yang diberlakukan secara umum) dengan hukum selain Islam adalah kekafiran [akbar] tidaklah menjadikan masalah ini sebagai suatu perkara yang telah disepakati dan tidak boleh ada perselisihan padanya; sebagaimana diklaim oleh sebagian orang. Para ulama yang menganut pendapat itu tidak menghukumi pihak lain yang menyelisihi pendapat mereka sebagai Murji'ah dan semacamnya. Akan tetapi mereka menetapkan hukum dalam hal ini dengan pemahaman bahwa hal itu termasuk masalah kekafiran yang diperselisihkan, sebagaimana halnya hukum orang yang meninggalkan sholat dan zakat (lihat Haqiqat al-Khawarij oleh Faishal bin Qazar al-Jasim, hal. 67)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin kembali menasehati kita, “Bahkan, seandainya ada seseorang yang memiliki keyakinan antara dirinya dengan Rabbnya, bahwa diantara penguasa tersebut (pemerintah muslim) ada orang yang benar-benar kafir keluar dari agama lantas apa faidah menampakkan sikap itu dan menyebarluaskannya kecuali justru membangkitkan kekacauan?” (lihat Fitnatu at-Takfir, hal. 35)
Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz menjelaskan, “Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan aib-aib pemerintah dan menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Karena hal itu akan mengantarkan kepada kekacauan [di tengah masyarakat] sehingga tidak ada lagi sikap mendengar dan taat dalam perkara yang ma'ruf, dan menjerumuskan kepada pembicaraan yang membahayakan serta tidak bermanfaat. Akan tetapi cara yang harus diikuti menurut salaf adalah dengan menasehatinya secara langsung antara dirinya dengan penguasa tersebut. Atau mengirim surat kepadanya. Atau berhubungan dengannya melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya, sehingga dia bisa diarahkan menuju kebaikan.” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 271)
Hendaklah kita mengambil ibrah/pelajaran dari kejadian yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan jelas dan tegas mengeluarkan pernyataan tentang kafirnya orang yang berkeyakinan al-Qur'an adalah makhluk (keyakinan Jahmiyah). Meskipun demikian, kita dapati beliau dan para ulama yang lain tidak mengkafirkan pemerintah dan para dedengkot Jahmiyah yang menyerukan kekafiran itu. Mereka tidak memberontak kepada penguasa dan tidak pula memprovokasi rakyat untuk memberontak kepada penguasa yang memaksa umat -bahkan sampai menyiksa, memenjara, dan membunuh para ulama- agar meyakini al-Qur'an adalah makhluk!! (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 263)
Beliau berkata kepada ulama dan hakim yang menganut paham Jahmiyah ketika itu, “Adapun aku, seandainya aku mengucapkan seperti apa yang kalian ucapkan niscaya aku sudah kafir. Meskipun demikian, aku tidak mengkafirkan kalian. Karena dalam pandanganku, kalian ini adalah orang-orang yang bodoh (tidak tahu).” (lihat Fitnatu at-Takfir, hal. 63)
Ketika mendengar ada sebagian orang yang hendak melakukan pemberontakan kepada penguasa pada waktu itu, Imam Ahmad mengatakan, “Subhanallah! Subhanallah! Pertumpahan darah! Pertumpahan darah! Aku tidak sepakat dengannya dan aku tidak memerintahkan hal itu. Bersabar di atas keadaan kita sekarang ini lebih baik daripada terjerumus ke dalam fitnah. Karena terjadinya fitnah [pemberontakan] akan membuat darah tertumpah di mana-mana, harta-harta dirampas, dan kehormatan diinjak-injak...” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 264)
Pemberontakan tidak hanya dengan senjata, bahkan ia bermula dari ucapan lisan. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan masyarakat dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini artinya, pemberontakan juga bisa terjadi dalam bentuk ucapan/provokasi.” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 272)
Di masa seorang pemimpin yang kejam dan bengis al-Hajjaj berkuasa, Hasan al-Bashri memberikan nasehat kepada kaum muslimin, “Wahai umat manusia! Demi Allah, tidaklah al-Hajjaj dijadikan Allah berkuasa atas kalian kecuali sebagai bentuk hukuman [atas dosa-dosa kita]. Maka janganlah kalian menghadapi [ketetapan] Allah ini dengan pedang (memberontak). Akan tetapi wajib atas kalian untuk menghadapinya dengan sikap tenang dan penuh ketundukan.” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 275)
Hasan al-Bashri juga mengatakan, “Demi Allah! Tidaklah tegak urusan agama ini kecuali dengan adanya pemerintah, walaupun mereka berbuat aniaya dan bertindak zalim. Demi Allah! Apa-apa yang Allah perbaiki dengan sebab keberadaan mereka itu jauh lebih banyak daripada apa-apa yang mereka rusak.” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 279)
Oleh sebab itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, “Bersabar dalam menghadapi ketidakadilan penguasa adalah salah satu prinsip pokok yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah.” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 280)
Bersambung, insyaAllah..
_________
Sumber e-book: http://terjemahkitabsalaf.wordpress.com/
Membumikan Dakwah Ahlus SunnahFacebook: Terjemah Kitab SalafEmail: tholib1981@gmail.com
Boleh disebarluaskan!
0 komentar:
Posting Komentar