Jangan Lupakan Tauhid
Masalah
tauhid adalah masalah yang sangat penting. Ia merupakan asas tegaknya
agama. Muatan utama ayat-ayat al-Qur'an dan misi pokok dakwah seluruh
para nabi dan rasul.
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya),
“Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Sebuah
materi dakwah yang tidak akan lekang oleh zaman dan terus dibutuhkan
oleh siapa saja; orang miskin maupun orang kaya, orang tua maupun anak
muda, penduduk kota maupun penduduk desa, pejabat maupun rakyat jelata.
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Luqman memberikan
nasehat kepada anaknya: Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS.
Luqman: 13)
Dari
'Itban bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada
orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin
mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab ash-Sholah [425] dan
Muslim dalam Kitab al-Iman [33])
Dalam
suatu kesempatan ceramah, Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah
-salah seorang murid Syaikh al-Albani rahimahullah- menasehatkan kepada
kita untuk selalu memperhatikan masalah tauhid dan tidak
menyepelekannya.
Beliau berkata:
Masalah
paling besar yang diperhatikan ulama salaf apa? Bukan amalan anggota
badan, akan tetapi [amalan] hati dan ikhlas dalam beramal...
Oleh
sebab itu, Yusuf bin al-Husain -salah seorang salaf- berkata, “Sesuatu
yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas...Betapa sering aku
berusaha menyingkirkan riya' dari dalam hatiku, tetapi seolah-olah ia
muncul kembali di dalamnya dengan warna yang berbeda.”
Demikianlah, ia mempermainkan hati, terkadang ia berpaling ke kanan atau ke kiri. Sehingga sulit menggapai keikhlasan.
Sahl
bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi jiwa
(nafsu) daripada ikhlas. Sebab di dalamnya hawa nafsu tidak mendapat
jatah sedikitpun.” Senang dipuji, suka disanjung... Hawa nafsu memang
menyimpan banyak keinginan (ambisi)...
Oleh sebab itu, Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Syarat -memurnikan- niat itu sangatlah berat." Semoga Allah merahmati beliau.
Sufyan
ats-Tsauri berkata, "Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih susah
daripada niatku... Karena ia sering berbolak-balik."
Oleh
sebab itu semestinya bagi saudara-saudara kami, saya menasehati diri
saya sendiri dan juga mereka untuk terus melazimi tauhid, bersemangat di
dalamnya, dan terus-menerus berdoa kepada Allah agar mereka tetap
istiqomah di atasnya.
Hendaknya
mereka memohon kepada Allah jalla wa 'ala supaya Allah membantu mereka
untuk bisa teguh di atas tauhid, dan memberikan taufik kepada mereka
untuk itu...
Masalah ini bukan masalah sepele, saudara-saudara sekalian...
Beliau juga menjelaskan:
Manusia,
bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid -secara global
maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk
mempelajarinya...
Atau
bisa jadi mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tapi
tidak secara rinci... maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya...
Atau
bisa jadi mereka adalah orang yang telah mengetahui tauhid secara
global dan terperinci... maka mereka pun tetap butuh untuk senantiasa
diingatkan tentang tauhid...serta terus mempelajarinya dan tidak
berhenti darinya...
Jangan
berdalih dengan perkataan, "Saya 'kan sudah menyelesaikan Kitab
Tauhid." atau mengatakan, "Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah
tauhid." atau berkata, "Isu seputar tauhid sudah habis. Sehingga kita
pindah saja kepada isu yang lain."
Tidak demikian...
Sebab,
tauhid tidaklah ditinggalkan menuju selainnya...tetapi tauhid harus
senantiasa dibawa beserta yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid
lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara...
Beliau juga menegaskan:
Jadi,
tauhid adalah misi dakwah seluruh rasul dan nabi. Ini adalah manhaj
dakwah yang tidak berubah.. Dan kita pun tidak boleh merubahnya, dengan
alasan apapun. Semisal, kita katakan, "Demi menyesuaikan dengan tuntutan
zaman, dsb." yang dengan alasan semacam itu kita merubah titik tolak
dakwah dan mengganti manhaj dakwah.
Atau
mengatakan bahwa semestinya sekarang dakwah kita mulai dengan masalah
akhlak, atau sebaiknya kita mulai dengan masalah ini atau itu...
Tidaklah demikian. Tidaklah kita memulai dakwah kecuali dengan apa yang
dimulai oleh para rasul...
Inilah
dakwah para rasul dan para nabi yang semestinya kita -semua- menunaikan
tugas [dakwah] ini dengan baik; yang seharusnya kita tetap hidup di
atasnya dan mati di atasnya pula. Baarakallahu fiikum.
(Sumber: Video al-I'tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net)
Perkataan Ulama Tentang Ikhlas
Ibnu
'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, “Sesungguhnya seseorang akan
mendapatkan anugerah -balasan dari Allah- sebatas apa yang dia niatkan.”
(lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 7 oleh Imam an-Nawawi)
Sahl
bin Abdullah at-Tasturi rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang
cerdas memandang tentang hakikat ikhlas ternyata mereka tidak menemukan
kesimpulan kecuali hal ini; yaitu hendaklah gerakan dan diam yang
dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak, semuanya dipersembahkan
untuk Allah ta'ala semata. Tidak dicampuri apa pun; apakah itu
kepentingan pribadi, hawa nafsu, maupun perkara dunia.” (lihat Adab
al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 7-8)
Sufyan
ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah aku mengobati suatu
penyakit yang lebih sulit daripada masalah niatku. Karena ia sering
berbolak-balik.” (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)
Abul
Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan, “Ikhlas adalah menunggalkan
al-Haq (Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan, yaitu dia berniat
dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta'ala.
Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal mencari kedudukan di hadapan
manusia, mengejar pujian orang-orang, gandrung terhadap sanjungan, atau
tujuan apapun selain mendekatkan diri kepada Allah ta'ala.” (lihat Adab
al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)
Abu
Ya'qub as-Susi rahimahullah mengatakan, “Apabila orang-orang telah
berani mempersaksikan keikhlasan telah melekat pada dirinya maka
sesungguhnya keikhlasan mereka itu masih butuh pada keikhlasan.” (lihat
Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)
Abu
'Utsman rahimahullah mengatakan, “Ikhlas adalah melupakan pandangan
orang dengan senantiasa memperhatikan bagaimana pandangan (penilaian)
al-Khaliq.” (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)
al-Fudhail
bin 'Iyadh rahimahullah mengatakan, “Meninggalkan amal karena manusia
adalah riya' sedangkan beramal untuk dipersembahkan kepada manusia
merupakan kemusyrikan. Adapun ikhlas itu adalah tatkala Allah
menyelamatkan dirimu dari keduanya.” (lihat Adab al-'Alim wa
al-Muta'allim, hal. 8)
Yusuf
bin al-Husain rahimahullah berkata, “Sesuatu yang paling sulit di dunia
ini adalah ikhlas.” (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)
Muhammad
bin Wasi' rahimahullah berkata, “Sungguh aku telah bertemu dengan
orang-orang, yang mana seorang lelaki di antara mereka kepalanya berada
satu bantal dengan kepala istrinya dan basahlah apa yang berada di bawah
pipinya karena tangisannya akan tetapi istrinya tidak menyadari hal
itu. Dan sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang yang salah seorang
di antara mereka berdiri di shaf [sholat] hingga air matanya mengaliri
pipinya sedangkan orang di sampingnya tidak mengetahui.” (lihat
Ta'thirul Anfas, hal. 249)
Kerendahan Hati Para Ulama
Ibnu
Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi'in- mengatakan, “Aku telah
berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam. Mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak
ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa imannya
sebagaimana iman Jibril dan Mika'il.” (HR. Bukhari secara mu'allaq dan
dimaushulkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah di dalam Tarikh-nya, lihat Fath
al-Bari [1/136-137])
Ayyub
as-Sakhtiyani rahimahullah berkata, “Apabila disebutkan tentang
orang-orang salih maka aku merasa diriku teramat jauh dari kedudukan
mereka.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra' 'alaiha, hal. 76 oleh Imam
Ibnu Abid Dun-ya)
Yunus
bin 'Ubaid rahimahullah berkata, “Sungguh aku pernah menghitung-hitung
seratus sifat kebaikan dan aku merasa bahwa pada diriku tidak ada satu
pun darinya.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra' 'alaiha, hal. 80)
Muhammad
bin Wasi' rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa-dosa itu
mengeluarkan bau busuk niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk
duduk bersamaku.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra' 'alaiha, hal. 82)
Hisyam
ad-Dastuwa'i rahimahullah berkata, “Demi Allah, aku tidak mampu untuk
berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadits
dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah 'azza wa jalla.”
(lihat Ta'thirul Anfas, hal. 254)
Nasehat Para Ulama
Fudhail
bin 'Iyadh rahimahullah berkata, “Dahulu dikatakan: Bahwa seorang hamba
akan senantiasa berada dalam kebaikan, selama jika dia berkata maka dia
berkata karena Allah, dan apabila dia beramal maka dia pun beramal
karena Allah.” (lihat Ta'thir al-Anfas min Hadits al-Ikhlas, hal. 592)
Seorang
lelaki berkata kepada Muhammad bin Nadhr rahimahullah, “Dimanakah aku
bisa beribadah kepada Allah?” Maka beliau menjawab, “Perbaikilah hatimu,
dan beribadahlah kepada-Nya di mana pun kamu berada.” (lihat Ta'thir
al-Anfas, hal. 594)
Abu
Turab rahimahullah mengatakan, “Apabila seorang hamba bersikap
tulus/jujur dalam amalannya niscaya dia akan bisa merasakan kelezatan
amal itu sebelum melakukannya. Dan apabila seorang hamba ikhlas dalam
beramal, niscaya dia akan merasakan kelezatan amal itu di saat sedang
melakukannya.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 594)
Sufyan
bin Uyainah berkata: Abu Hazim rahimahullah berkata, “Sembunyikanlah
kebaikan-kebaikanmu lebih daripada kesungguhanmu dalam menyembunyikan
kejelekan-kejelekanmu.” (lihat Ta'thirul Anfas, hal. 231).
Ibnul
Qoyyim menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan
kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu: Untuk siapa?
dan Bagaimana? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan.
Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan
Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima jika
tidak memenuhi kedua-duanya (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 113).
Menunaikan Kebutuhan Sesama Muslim
Imam
al-Hasan bin Sufyan an-Nasawi (wafat 303 H) meriwayatkan dengan
sanadnya dari Ibnu 'Umar radhiyallahu'anhuma, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh mencacinya. Barangsiapa yang menunaikan kebutuhan saudaranya maka Allah senantiasa memperhatikan kebutuhan dirinya. Barangsiapa yang memberikan jalan keluar bagi kesusahan seorang muslim [di dunia] niscaya Allah akan memberikan jalan keluar baginya dari kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi [aib] seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” (lihat Kitab al-Arba'in, hal. 48. Bab Dorongan Menunaikan Kebutuhan Sesama Muslim)
Kandungan Hadits
Hadits
yang agung ini berisi ajaran Islam yang sangat luhur. Di dalamnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya
untuk menjaga hubungan baik dengan sesama muslim. Karena sesama muslim
adalah saudara. Sehingga tidak boleh melakukan perkara-perkara yang
merusak ukhuwah diantara mereka, apakah dengan berbuat aniaya, mengejek,
dan lain sebagainya.
Selain
itu, hadits ini juga mengajarkan kepada kita untuk memiliki kepekaan
sosial dan kepedulian terhadap sesama muslim. Apabila mereka memiliki
kebutuhan hendaklah kita juga memikirkannya. Demikian pula seandainya
mereka tertimpa kesusahan maka semestinya seorang muslim yang
berkemampuan untuk meringankan beban saudaranya. Sebagaimana dia senang
apabila mendapatkan kemudahan, hendaknya dia pun senang apabila
saudaranya mendapatkan kemudahan dalam urusannya.
Selain
itu, hadits yang agung ini mengajarkan kepada kita untuk berusaha
menutupi aib sesama muslim yang kita ketahui baik secara sengaja ataupun
tidak sengaja. Sebab membeberkan aib sesama muslim adalah tindakan yang
mencemarkan nama baiknya. Sebagaimana dirinya tidak suka jika
aib-aibnya diketahui orang lain, maka sudah selayaknya dia menjaga aib
saudaranya sesama muslim.
Hadits
ini menunjukkan kepada kita bahwa Islam tidak hanya mengatur
masalah-masalah yang berkaitan dengan ubudiyah/ritual atau hubungan
vertikal antara hamba dengan Allah. Bahkan, Islam juga mengatur hubungan
horizontal antara sesama manusia. Sebagaimana kita wajib mengikuti
aturan Allah dalam masalah ritual, maka wajib pula bagi kita untuk
mematuhi aturan-Nya dalam masalah sosial. Oleh sebab itu para ulama
mengatakan, bahwa yang dimaksud orang salih adalah yang menunaikan hak
Allah (baca: tauhid) dengan baik dan menunaikan hak-hak sesama dengan
baik pula.
Demikianlah,
betapa Islam sangat memperhatikan kemaslahatan hidup umat manusia di
atas muka bumi ini. Sehingga segala perkara yang bisa merusak
kebahagiaan hidup mereka pun dibendung sedemikian rupa. Dan janganlah
dikira bahwa Islam hanya menghargai sesama muslim saja, bahkan orang
kafir sekalipun memiliki hak yang tidak boleh dilanggar dan tidak boleh
dizalimi. Islam mengajarkan keadilan dan mengajak manusia kepada
keselamatan dunia dan akhirat. Hanya di bawah naungan Islam lah
kehidupan dunia ini menjadi tentram dan berkeadilan. Allahul musta'aan.
Kepada Mu Semata Kami Beribadah
Saudara-saudara
seakidah yang dirahmati Allah. Setiap hari dalam sholat kita
mengikrarkan bahwa kita beribadah hanya kepada-Nya dan memohon
pertolongan hanya kepada-Nya. Ini merupakan perkara yang sangat penting
untuk kita pahami.
Ibadah
adalah tujuan penciptaan jin dan manusia. Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Allah
memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya. Allah ta'ala berfirman
(yang artinya), “Wahai umat manusia! Sembahlah Rabb kalian; yaitu yang
telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan
kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)
Allah
memerintahkan kita beribadah kepada-Nya dan meninggalkan segala
sesembahan selain-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah
Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”
(QS. An-Nisaa': 36)
Barangsiapa
yang beribadah kepada Allah namun juga beribadah kepada selain Allah,
maka Allah tidak akan menerima amal-amal mereka. Allah ta'ala berfirman
(yang artinya), “Sungguh, jika kamu berbuat syirik pastilah lenyap
seluruh amalmu dan kamu pasti termasuk golongan orang-orang yang
merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
Bahkan,
orang yang mempersekutukan Allah tidak akan diampuni apabila dia
meninggal dalam keadaan belum bertaubat dari kesyirikannya tersebut.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan Dia akan mengampuni dosa apa saja
yang di bawah dosa itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisaa':
48)
Oleh
sebab itu segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan
kecuali supaya memurnikan ibadah kepada Allah semata dan menjalankan
agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan surga atasnya dan tempat
tinggalnya adalah neraka. Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan
surga atasnya dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi
orang-orang zalim itu seorang pun pemberi pertolongan.” (QS. Al-Ma'idah:
72)
Perbuatan
mempersekutukan Allah adalah sebuah kejahatan dan kezaliman yang sangat
besar. Allah ta'ala berfirman menceritakan nasehat Luqman kepada
anaknya (yang artinya), “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah! Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS.
Luqman: 13)
Syirik
adalah sebab yang menghalangi seorang hamba mendapatkan keamanan dan
hidayah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka
itulah orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang yang
mendapatkan hidayah.” (QS. Al-An'am: 82)
Dari
Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan bahwa tatkala turun
ayat tersebut para sahabat pun bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah!
Siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya sendiri (baca:
berbuat maksiat)?”. Maka Nabi menjawab, “Bukan seperti yang kalian
ucapkan. “Tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman” yaitu
dengan kesyirikan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada
anaknya, “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah!
Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman:
13)?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh
sebab itu wajib bagi setiap hamba untuk mempersembahkan ibadahnya
kepada Allah saja, apakah itu sholat, sembelihan, doa, isti'anah,
istighotsah, dan lain sebagainya. Tidak boleh menujukan ibadah kepada
selain Allah, apakah itu malaikat, nabi, wali, matahari, pohon, batu,
dan lain sebagainya. Semua ibadah adalah hak Allah, tidak berhak
mendapatkan ibadah kecuali Dia.
Janganlah
kita seperti orang-orang musyrik yang menujukan ibadahnya kepada selain
Allah di samping ibadah mereka kepada Allah. Allah ta'ala berfirman
(yang artinya), “Apabila mereka sedang naik di atas kapal -dan terancam
badai, pent- maka mereka pun berdoa kepada Allah dengan ikhlas, tetapi
ketika Allah selamatkan mereka ke daratan tiba-tiba mereka pun kembali
berbuat syirik.” (QS. al-'Ankabut: 65)
Janganlah
kita seperti orang-orang musyrik yang mencintai sesembahan mereka
sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), “Diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai
sekutu-sekutu, mereka mencintainya sebagaimana cintanya kepada Allah.
Adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS.
Al-Baqarah: 165)
Tauhid
inilah yang menjadi bekal terbaik kita untuk menghadap Allah. Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang berharap
perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak
mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.”
(QS. Al-Kahfi: 110)
Oleh
sebab itu Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya
dan tidak mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang muslim; yaitu di
atas tauhid. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang
yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa
kepada-Nya, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan beragama
Islam.” (QS. Ali 'Imran: 102)
Dari
'Itban bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang
mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari
Jabir bin 'Abdillah radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, “Barangsiapa bertemu Allah dalam keadaan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun pasti masuk surga. Dan
barangsiapa yang bertemu Allah dalam keadaan mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun pasti masuk neraka.” (HR. Muslim)
Inilah
tugas kita sepanjang hayat di kandung badan. Beribadah kepada Allah
semata dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Inilah kunci
kebahagiaan yang sesungguhnya.
Karena Seekor Kucing
Dari
Ibnu 'Umar radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,
“Seorang perempuan disiksa gara-gara seekor kucing. Dia mengurung kucing itu sampai mati. Karena itulah dia masuk neraka. Perempuan itu tidak memberi makan dan minum kepadanya -tatkala dia kurung-. Dan dia pun tidak melepaskannya supaya bisa memakan serangga atau binatang tanah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Faidah Hadits
Kaum
muslimin yang dirahmati Allah, hadits yang mulia ini menunjukkan kepada
kita betapa Islam sangat menjunjung tinggi kasih sayang. Tidak hanya
kepada sesama manusia, bahkan kepada seekor binatang sekalipun. Akibat
tidak menaruh kasih sayang kepada seekor kucing, perempuan tersebut
harus merasakan pedihnya siksa neraka.
Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan diharamkannya
membunuh kucing dan diharamkan mengurungnya tanpa diberi makanan dan
minuman. Adapun dimasukkannya dia ke dalam neraka adalah karena
perbuatan itu. Zahir hadits menunjukkan bahwa perempuan tersebut
beragama Islam, meskipun demikian dia masuk neraka gara-gara menyiksa
seekor kucing.” (lihat Syarh Muslim [7/347])
Beliau
juga menegaskan, “Maksiat ini bukanlah dosa kecil, bahkan dia bisa
berubah menjadi dosa besar apabila dilakukan secara terus-menerus.”
(lihat Syarh Muslim [7/348])
Dari
Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiyallahu'anhuma, Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Sayangilah [sesama] niscaya kalian pun akan
disayangi. Berikanlah ampun/maaf maka niscaya kalian pun akan diampuni
oleh Allah...” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Tidaklah dicabut rasa kasih sayang kecuali dari orang
yang celaka.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)
Dari
Jarir radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang tidak menyayangi manusia maka Allah 'azza wa jalla
tidak akan menyayanginya.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)
Imam
Ibnu Baththal rahimahullah berkata mengomentari hadits ini, “Di
dalamnya terkandung dorongan untuk menaruh kasih sayang kepada segenap
makhluk, tercakup di dalamnya orang beriman dan orang kafir, serta
binatang yang dimilikinya maupun binatang yang bukan miliknya.” (lihat
Syarh Shahih al-Adab al-Mufrad [1/490])
Sebagian
tabi'in mengatakan, “Barangsiapa yang banyak dosanya hendaklah dia suka
memberikan minum. Apabila dosa-dosa orang yang memberikan minum kepada
seekor anjing bisa terampuni, maka bagaimana menurut kalian mengenai
orang yang memberikan minum kepada seorang beriman lagi bertauhid
sehingga hal itu membuatnya tetap bertahan hidup!” (lihat Syarh Shahih
al-Adab al-Mufrad [1/500])
Semoga Allah menanamkan jiwa kasih sayang ke dalam diri kita.
Makna Kata Fitnah
Kata fitnah di dalam al-Qur'an memiliki banyak makna, diantaranya:
Fitnah
dengan makna syirik. Seperti dalam firman Allah (yang artinya), “Dan
perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah.” (QS. al-Baqarah: 193).
Demikian pula dalam ayat (yang artinya), “Fitnah itu lebih besar
daripada pembunuhan.” (QS. al-Baqarah: 217)
Fitnah
dengan makna kekafiran. Seperti dalam firman Allah (yang artinya),
“Adapun orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyimpangan, maka
mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabih itu demi mencari fitnah.” (QS. Ali
'Imran: 7)
Fitnah
dengan makna ujian dan cobaan. Misalnya dalam ayat (yang artinya),
“Sungguh Kami telah memfitnah orang-orang sebelum mereka.” (QS.
al-'Ankabut: 3).
Fitnah
dengan makna siksaan. Seperti dalam ayat (yang artinya), “Rasakanlah
fitnah untuk kalian.” (QS. Adz-Dzariyat: 14). Dan juga ayat (yang
artinya), “Apabila dia diganggu di jalan Allah, maka dia menganggap
fitnah manusia seperti azab dari Allah.” (QS. al-'Ankabut: 10)
Fitnah
dengan makna dosa. Misalnya dalam ayat (yang artinya), “Ketahuilah,
sesungguhnya di dalam fitnah itulah mereka terjatuh.” (QS. at-Taubah:
49). Demikian pula firman Allah (yang artinya), “Hendaklah merasa takut
orang-orang yang menyelisihi perintahnya bahwa mereka akan tertimpa
fitnah.” (QS. an-Nur: 63)
Fitnah
dengan makna pembunuhan. Seperti dalam ayat (yang artinya), “Jika
kalian khawatir orang-orang kafir itu akan memfitnah kalian.” (QS.
an-Nisaa': 101)
Fitnah
dengan makna kesesatan dan kebingungan. Seperti dalam ayat (yang
artinya), “Dan barangsiapa yang Allah kehendaki ia terfitnah.” (QS.
al-Ma'idah: 41)
Fitnah
dengan makna sesuatu yang menyebabkan lalai. Seperti dalam firman Allah
(yang artinya), “Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah
fitnah.” (QS. at-Taghabun: 15)
(Sumber: Mauqif al-Muslim minal Fitan fi Dhau'il Kitab was Sunnah, hal. 45-50)
Memahami Ucapan Salaf Tentang Hakikat Iman
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan maksud beberapa ungkapan
yang diriwayatkan dari para ulama salaf tentang makna iman.
Pertama:
Sebagian salaf mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan amalan. Maka
yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah ucapan hati dan ucapan
lisan. Sedangkan yang mereka maksud dengan amalan adalah amal hati dan
amal anggota badan.
Kedua:
Sebagian salaf mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan dan
keyakinan. Maka yang mereka maksud dengan ucapan adalah ucapan lisan
-sebagaimana yang banyak dipahami orang- oleh sebab itu keyakinan
disebutkan secara khusus. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa yang
mereka maksud dengan amalan adalah amalan hati dan amal anggota badan.
Ketiga:
Sebagian salaf mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan niat.
Maka yang mereka maksudkan dengan ucapan adalah ucapan hati (keyakinan)
dan ucapan lisan. Adapun maksud dari amalan terkadang hanya dipahami
oleh banyak orang sebagai amalan lahiriyah. Oleh sebab itu mereka
menambahkan niat pada pengertian iman.
Keempat:
Sebagian salaf menambahkan pada pengertian iman selain apa yang sudah
disebutkan di atas dengan kata-kata 'ittiba' kepada sunnah'. Karena
perkara-perkara tersebut -ucapan, amalan, keyakinan, dan niat- tidaklah
menjadi suatu hal yang dicintai Allah kecuali dengan mengikuti/ittiba'
kepada Sunnah.
Perlu
diperhatikan pula, bahwa yang mereka maksudkan dengan ucapan dan amalan
bukanlah semua ucapan dan amalan manusia, akan tetapi yang mereka
maksud adalah ucapan dan amalan yang disyari'atkan. Lantas mengapa para
salaf memakai ungkapan-ungkapan semacam itu? Jawabnya adalah dalam
rangka membantah sekte Murji'ah yang hanya menjadikan iman sebagai
ucapan. Oleh sebab itu Ahlus Sunnah menegaskan, bahwa iman itu ucapan
dan amalan.
Adapun
para ulama yang membagi hakikat iman menjadi empat, maka maksud mereka
adalah seperti jawaban Sahl bin Abdullah at-Tasturi rahimahullah ketika
ditanya tentang iman. Beliau mengatakan bahwa iman itu adalah, “Ucapan,
amalan, niat (ikhlas), dan sunnah. Karena iman apabila hanya berupa
ucapan tanpa amalan adalah kekafiran. Apabila ia hanya berupa ucapan dan
amalan tanpa niat (ikhlas) maka itu adalah kemunafikan. Apabila ia
berupa ucapan, amalan, dan niat (ikhlas) namun tidak disertai dengan
Sunnah, maka itu adalah bid'ah.”
(Sumber:
al-Muntakhab min Kutub Syaikhil Islam Ibni Taimiyah hal. 39 karya
Syaikh 'Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf hafizhahullah. Penerbit: Darul
Hijrah lin Nasyr wat Tauzi' cet. 1419 H)
Kematian Yang Kalian Berusaha Lari Darinya
Tsabit
al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang senantiasa
mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak
mengingat kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal
perbuatannya.”
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya kematian
yang kalian senantiasa berusaha lari darinya, maka dia pasti menemui
kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada Dzat yang mengetahui
perkara gaib dan perkara yang tampak, lalu Allah akan memberitakan
kepada kalian apa-apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Jumu'ah: 8)
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Setiap jiwa pasti merasakan kematian.” (QS. Ali 'Imran: 185)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan
kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik
amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kematian.” (QS' al-Hijr: 99)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah sekali-kali kalian mati
kecuali dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali 'Imran: 102)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa
yang telah dipersiapkan olehnya untuk hari esok...” (QS. Al-Hasyr: 18)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Berbekallah kalian, sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kalian kepada-Ku wahai
orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 198)
Ibnu
Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata, “Tidak ada waktu bagi seorang mukmin
untuk bersantai-santai kecuali ketika dia sudah berjumpa dengan Allah.”
Suatu
ketika ada yang berkata kepada Hasan al-Bashri rahimahullah, “Wahai Abu
Sa'id, apa yang harus kami perbuat? Kami berteman dengan orang-orang
yang senantiasa menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami hendak
melayang.” Maka beliau menjawab, “Demi Allah! Sesungguhnya jika kamu
berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti dirimu hingga
mengantarkan dirimu kepada keamanan, maka itu lebih baik daripada kamu
bergaul dengan teman-teman yang senantiasa menanamkan rasa aman hingga
menyeretmu kepada situasi yang menakutkan.”
Seorang penyair mengatakan:
Wahai anak Adam, engkau terlahir dari ibumu seraya melempar tangisan
Sedangkan orang-orang di sekelilingmu tertawa gembira
Maka, beramallah untuk menyambut suatu hari tatkala mereka melempar tangisan
Yaitu hari kematianmu, ketika itu engkaulah yang tertawa gembira
Tsabit
al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang senantiasa
mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak
mengingat kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal
perbuatannya.”
Syaikh
Abdul Malik al-Qasim berkata, “Betapa seringnya, di sepanjang hari yang
kita lalui kita membawa [jenazah] orang-orang yang kita cintai dan
teman-teman menuju tempat tinggal tersebut [alam kubur]. Akan tetapi
seolah-olah kematian itu tidak mengetuk kecuali pintu mereka, dan tidak
menggoncangkan kecuali tempat tidur mereka. Adapun kita; seolah-olah
kita tak terjamah sedikit pun olehnya!!”
'Amar
bin Yasir radhiyallahu'anhu berkata, “Cukuplah kematian sebagai pemberi
nasehat dan pelajaran. Cukuplah keyakinan sebagai kekayaan. Dan
cukuplah ibadah sebagai kegiatan yang menyibukkan.”
al-Harits
bin Idris berkata: Aku pernah berkata kepada Dawud ath-Tha'i,
“Berikanlah nasehat untukku.” Maka dia menjawab, “Tentara kematian
senantiasa menunggu kedatanganmu.”
Abud
Darda' radhiyallahu'anhu berkata, “Barangsiapa yang banyak mengingat
kematian niscaya akan menjadi sedikit kegembiraannya dan sedikit
kedengkiannya.”
Abud
Darda' radhiyallahu'anhu berkata, “Aku senang dengan kemiskinan, karena
hal itu semakin membuatku merendah kepada Rabbku. Aku senang dengan
kematian, karena kerinduanku kepada Rabbku. Dan aku menyukai sakit,
karena hal itu akan menghapuskan dosa-dosaku.”
Hasan
al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah aku melihat sebuah perkara
yang meyakinkan yang lebih mirip dengan perkara yang meragukan daripada
keyakinan manusia terhadap kematian sementara mereka lalai darinya. Dan
tidaklah aku melihat sebuah kejujuran yang lebih mirip dengan kedustaan
daripada ucapan mereka, 'Kami mencari surga' padahal mereka tidak mampu
menggapainya dan tidak serius dalam mencarinya.”
Salah
seorang yang bijak menasehati saudaranya, “Wahai saudaraku, waspadalah
engkau dari kematian di negeri [dunia] ini sebelum engkau berpindah ke
suatu negeri yang engkau mengangan-angankan kematian akan tetapi engkau
tidak akan menemukannya.”
Ibnu
Abdi Rabbihi berkata kepada Mak-hul, “Apakah engkau mencintai surga?”
Mak-hul menjawab, “Siapa yang tidak cinta dengan surga.” Lalu Ibnu Abdi
Rabbihi pun berkata, “Kalau begitu, cintailah kematian; karena engkau
tidak akan bisa melihat surga kecuali setelah mengalami kematian.”
(Sumber: Aina Nahnu min Ha'ula'i, Jilid 1. Karya Abdul Malik al-Qasim)
Mengapa Kita Harus Belajar Aqidah?
Kaum
muslimin yang dirahmati Allah, aqidah merupakan ilmu terpenting yang
harus diketahui oleh setiap muslim. Mengapa demikian? Karena aqidah
merupakan pondasi tegaknya amal ibadah dan syarat diterimanya amalan.
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang menghendaki
perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak
mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS.
Al-Kahfi: 110)
Allah
ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh, telah diwahyukan
kepadamu dan nabi-nabi sebelummu: Jika kamu berbuat syirik niscaya
lenyaplah seluruh amalmu, dan kamu pasti akan termasuk golongan
orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
Ibadah
kepada Allah tidak akan diterima jika tidak dilandasi dengan tauhid.
Oleh sebab itu Allah berfirman mengenai amal-amal orang musyrik dalam
firman-Nya (yang artinya), “Dan Kami tampakkan segala amal yang dahulu
mereka kerjakan, lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.”
(QS. Al-Furqan: 23)
Oleh
karenanya, wajib bagi setiap muslim untuk memahami tauhid berdasarkan
al-Qur'an dan as-Sunnah sebagaimana yang telah dipahami oleh para
Sahabat radhiyallahu'anhum. Memahami ilmu aqidah adalah kunci
keselamatan seorang hamba di dunia dan di akhirat. Inilah kunci utama
untuk membebaskan diri dari kerugian.
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia
benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman,
beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati
dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-'Ashr: 1-3)
Keimanan
yang benar adalah keimanan yang tidak dicampuri dengan syirik dan
kekafiran. Itulah sebab pokok untuk meraih keamanan dan petunjuk dari
Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman
dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itulah orang-orang
yang diberikan petunjuk.” (QS. Al-An'am: 82)
Syirik
adalah sebuah kezaliman, bahkan ia merupakan kezaliman yang paling
besar. Allah ta'ala mengisahkan nasihat Luqman kepada putranya (yang
artinya), “Wahai anakku! Janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS.
Luqman: 13)
Karena
hanya Allah yang menciptakan dan memelihara kita, maka sudah semestinya
kita hanya beribadah kepada-Nya dan berlepas diri dari segala
sesembahan selain-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai
umat manusia! Sembahlah Rabb kalian; yaitu yang telah menciptakan kalian
dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS.
Al-Baqarah: 21)
Aqidah
inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah fiqih akbar. Imam
Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi mengatakan, bahwa kebutuhan hamba kepada ilmu
ini adalah di atas kebutuhan mereka terhadap perkara-perkara yang lain
(lihat Syarh ath-Thahawiyah, hal. 69)
Oleh
sebab itu pula, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala
mengutus Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu untuk berdakwah di negeri
Yaman, maka beliau berpesan, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan
kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan
Muslim, lafal Bukhari)
Hal
ini tentu saja menunjukkan betapa pentingnya ilmu tauhid dan betapa
besar kebutuhan umat manusia terhadapnya. Sehingga, tidaklah
mengherankan jika seluruh dakwah para rasul tegak di atas misi yang
sama. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus
kepada setiap umat seorang rasul -yang berseru- : Sembahlah Allah dan
jauhilah thaghut itu.” (QS. An-Nahl: 36)
Dari
sinilah, kita dapat menyimpulkan bahwa berbagai seruan yang
mengatasnamakan kebangkitan Islam atau melanjutkan kembali kehidupan
Islam akan tetapi tidak dibarengi dengan tarbiyah tauhid dengan benar
adalah omong kosong belaka! Bukankah tidak jarang kita dengar
sayup-sayup ucapan mereka, “Dakwah tauhid memecah-belah umat” [?!]
“Dakwah tauhid mencerai-beraikan barisan” [?!] “Dakwah tauhid sudah
ketinggalan jaman” [?!] “Dakwah tauhid membuat orang lari” [?!] “Dakwah
tauhid tidak digemari orang” [?!]
Maha
suci Allah dari apa yang mereka ucapkan! Akankah kita katakan dakwah
para rasul ini dakwah yang memecah-belah umat, mencerai-beraikan barisan
mereka, sudah ketinggalan jaman, membuat orang lari, dan -lebih parah
lagi jika dikatakan bahwa dakwah tauhid mesti disingkirkan gara-gara-
tidak digemari orang?! Allahul musta'an.
Bagaimana
mungkin kita bisa sepakat membuat orang untuk bersama-sama memerangi
riba dan zina sementara kita lalai dari mengajak mereka untuk
memberantas syirik dan pemujaan berhala?! Ataukah kita telah menganggap
berhala masa kini sudah tiada? Karena manusia sudah berpindah ke masa
kecanggihan teknologi sehingga jauh dari klenik dan ritual-ritual
kemusyrikan? Benarkah demikian?!
Bagaimana
mungkin kita bersemangat tatkala menghasung umat untuk mencabut riba
sampai akar-akarnya namun di saat yang sama pemurnian aqidah seolah
menjadi agenda dan tema pembahasan yang terlupa?! Padahal, Allah telah
berfirman tentang besarnya dosa yang satu ini dalam ayat-Nya (yang
artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik
kepada-Nya, dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah
tingkatan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa': 48)
Dan
lebih ajaib lagi jika kita mengangankan tegaknya sebuah daulah Islam di
atas negeri yang syirik dan bid'ah merajalela bak jamur di musim hujan
bahkan seolah telah mendarah daging dalam hidup dan kehidupan mereka?!
Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: Sungguh membuatku
kagum ucapan salah seorang penggerak ishlah/perbaikan pada masa kini.
Beliau mengatakan: “Tegakkanlah daulah/pemerintahan Islam di dalam hati
kalian, niscaya ia akan tegak di atas bumi kalian.” (lihat Ma'alim
al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, hal. 24)
Sungguh
benar firman Allah ta'ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak
akan merubah nasib suatu kaum sampai mereka mau merubah apa-apa yang ada
pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra'd: 11). Kepada Allah semata kita
memohon taufik dan bimbingan.
Nasehat Imam Syafi'i
ar-Rabi'
mengatakan: Aku mendengar Syafi'i mengatakan, “Apabila kalian mendapati
di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ikutilah hal itu dan tinggalkan
pendapatku.” (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal. 55)
ar-Rabi'
berkata: Aku mendengar beliau -Imam Syafi'i- mengatakan, “Langit
manakah yang akan menaungiku. Bumi manakah yang akan menjadi tempat
berpijak bagiku. Jika aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian aku tidak berpendapat sebagaimana
kandungan hadits tersebut.” (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal.
56)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka
tidaklah beriman, hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai
hakim/pemutus perkara atas segala perselisihan yang terjadi diantara
mereka, kemudian mereka tidak mendapati kesempitan di dalam hati mereka,
dan mereka pasrah kepadanya secara sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa': 65)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang beriman,
lelaki atau perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan
suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan
mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia
telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
al-Buwaithi
berkata: Aku mendengar Syafi'i mengatakan, “Hendaklah kalian berpegang
kepada para ulama hadits, sesungguhnya mereka adalah manusia yang paling
banyak kebenarannya.” (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal. 63)
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok
orang diantara umatku ini yang menang -di atas kebenaran- tidaklah
membahayakan mereka orang yang menelantarkan mereka hingga tegak hari
kiamat.” (Muttafaq 'alaih)
Para
imam; Imam Abdullah bin al-Mubarak (wafat 181 H), Yazid bin Harun
(wafat 206 H), Ali bin al-Madini (wafat 234 H), Ahmad bin Hanbal (wafat
241), dan Imam Bukhari (wafat 256 H) mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan 'kelompok' di dalam hadits tersebut adalah as-habul hadits
(pengikut hadits). Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Seandainya mereka
bukan as-habul hadits maka aku tidak tahu lagi siapakah mereka itu?”
(lihat Nasha'ih Manhajiyah Li Thalib 'Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal.
18)
Wallahu a'lam. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.
Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah Di Dalam Perilaku Seorang Hamba
Kaum
muslimin yang dirahmati Allah, mengimani sifat-sifat Allah adalah
kewajiban kita sebagai seorang muslim. Salah satu sifat Allah yang wajib
untuk kita yakini adalah sifat rahmat/kasih sayang. Allah ta'ala
memiliki sifat rahmat. Sifat ini telah ditetapkan di dalam al-Kitab
maupun as-Sunnah.
Misalnya,
Allah ta'ala berfirman dalam surat al-Fatihah (yang artinya), “Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Allah ta'ala juga berfirman (yang
artinya), “Dan adalah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An-Nisaa': 96)
Di
dalam as-Sunnah, misalnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin
al-Khaththab radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika
ada serombongan tawanan perang yang dihadapkan kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Di tengah-tengah mereka ada seorang ibu
yang kebingungan mencari bayinya. Setiap kali menemukan seorang bayi
maka dia pun mendekap dan menyusuinya. Maka, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Apakah menurut kalian
perempuan ini tega untuk melemparkan bayinya ke dalam kobaran api?”.
Para sahabat menjawab, “Tidak, demi Allah! Padahal dia sanggup untuk
tidak melemparkannya.” Lalu Nabi bersabda, “Sungguh Allah lebih
penyayang daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun,
perlu dicermati bahwa rahmat Allah itu terbagi menjadi dua; rahmat yang
umum dan rahmat yang khusus. Rahmat yang umum diperoleh siapa pun,
orang beriman maupun orang kafir, orang yang taat maupun yang maksiat.
Yang dimaksud adalah rahmat di dunia semata. Sebagaimana firman Allah
yang menceritakan ucapan para malaikat (yang artinya), “Wahai Rabb kami,
maha luas rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu.” (QS. Ghafir: 7)
Adapun
rahmat yang khusus adalah yang diperuntukkan bagi orang yang beriman
dan bertakwa. Hal ini diperoleh tidak hanya di dunia, bahkan juga di
akhirat. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan rahmat-Ku maha luas
mecakup segala sesuatu. Akan tetapi akan Aku tetapkan hanya untuk
orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang
beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A'raaf: 156)
Rahmat
Allah yang bersifat umum dapat kita saksikan bukti-buktinya berupa
segala macam nikmat dunia yang dirasakan oleh manusia. Air, udara,
cahaya, matahari, makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain
sebagainya. Semua orang bisa mendapatkannya tanpa membeda-bedakan agama
dan keyakinan mereka.
Adapun
rahmat Allah yang bersifat khusus dapat kita lihat di dunia dengan
nikmat hidayah yang Allah berikan kepada umat manusia dan diyakini oleh
kaum muslimin yaitu dengan turunnya al-Qur'an, diutusnya para rasul dan
diturunkannya kitab-kitab. Inilah rahmat yang khusus dan menjamin
kebahagiaan yang sesungguhnya.
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada
setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah
thaghut. Maka diantara mereka ada yang Allah berikan hidayah dan ada
yang tetap padanya kesesatan.” (QS. An-Nahl: 36)
Allah
ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Alif lam lim. Inilah Kitab
(al-Qur'an). Tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa; yaitu orang-orang yang mengimani yang gaib
dan mendirikan sholat, serta memberikan infak dari sebagian rizki yang
Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang mengimani apa yang
diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan sebelummu, dan mereka
meyakini hari akhirat. Mereka itulah yang berada di atas petunjuk dari
Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS.
Al-Baqarah: 1-5)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan binasa.” (QS.
Thaha: 123)
Keimanan
terhadap sifat rahmat Allah ini memiliki banyak dampak positif dan
pengaruh kuat terhadap jiwa dan perilaku seorang hamba. Diantaranya
adalah:
Pertama:
Menumbuhkan kecintaan kepada Allah. Dimana Allah telah menganugerahkan
berbagai macam nikmat kepada hamba-hamba-Nya. Termasuk di dalam cakupan
nikmat ini adalah apa yang disyari'atkan oleh-Nya. Misalnya, Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Hanya saja Allah mengharamkan kepada
kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk
selain Allah. Barangsiapa yang terpaksa, tanpa melampaui batas dan tidak
berlebihan [sehingga memakannya] maka tidak ada dosa atasnya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah:
173)
Maka,
apabila seseorang tidak mendapatkan makanan pada keadaan dia sangat
lapar dan hampir mati kecuali bangkai, maka ketika itu diperbolehkan
baginya untuk memakan bangkai. Tidak ada dosa atasnya. Maka keringanan
ini adalah bukti kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab
itu hal ini akan menumbuhkan rasa cinta pada diri seorang hamba kepada
Rabbnya.
Allah
ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh
diri-diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah sangat penyayang kepada
kalian.” (QS. An-Nisaa': 29)
Oleh
sebab itu segala perkara yang menjerumuskan manusia kepada kebinasaan
dilarang oleh Allah. Perbuatan bunuh diri dengan segala macam bentuk dan
sebabnya. Hal ini menunjukkan besarnya kasih sayang Allah kepada
seorang hamba. Dan tentu saja hal itu akan membuahkan rasa cinta di
dalam hati seorang hamba kepada Rabbnya.
Kedua:
Iman kepada rahmat Allah akan membukakan pintu roja'/harapan terhadap
ampunan dan kasih sayang-Nya. Sehingga seorang hamba akan terbebas dari
sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Dan dengan keyakinan semacam ini
seorang hamba akan mau bertaubat sebesar apapun dosa yang pernah
dilakukannya.
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang bertaubat
setelah kezaliman yang dilakukannya dan melakukan perbaikan, maka Allah
akan menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Ma'idah: 39)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang
melampaui batas terhadap dirinya; Janganlah kalian berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala bentuk dosa.
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Ketiga:
Iman kepada rahmat Allah akan membuahkan pengaruh pada diri seorang
hamba untuk menempuh sebab-sebab yang mengantarkan dirinya untuk
menggapai rahmat-Nya yang sesungguhnya. Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang
berbuat ihsan.” (QS. Al-A'raaf: 56)
Sementara
makna dari berbuat ihsan tidak hanya terbatas berbuat baik kepada
makhluk, bahkan termasuk makna ihsan yang tertinggi adalah ihsan dalam
beribadah kepada Allah. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang sangat masyhur,
“[Ihsan] adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dan
apabila kamu tidak sanggup beribadah seolah melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia Melihat dirimu.” (HR. Muslim dari 'Umar bin Khaththab
radhiyallahu'anhu)
Maka
siapa saja yang ingin menggapai rahmat Allah hendaklah dia berbuat
ihsan dalam beribadah, yaitu dengan mentauhidkan-Nya dan menjauhi
syirik, ikhlas dan tidak riya', memurnikan ibadah untuk Allah semata,
bukan untuk mencari kesenangan dunia atau popularitas di kalangan
manusia. Selain itu, hendaklah dia juga bergaul dengan manusia dengan
akhlak yang utama. Inilah sebab untuk meraih rahmat dan ridha-Nya.
Dengan
merenungkan manfaat dan pengaruh yang timbul dengan beriman terhadap
sifat rahmat Allah inilah, kita bisa menyadari betapa dalam hikmah yang
terkandung di dalam ayat ar-Rahmanir Rahim yang senantiasa kita baca di
dalam sholat kita, yaitu yang tercantum dalam surat al-Fatihah; surat
yang paling agung di dalam Kitab-Nya.
Sebab,
dengan mengimani sifat rahmat Allah itulah seorang hamba akan mencintai
Allah di atas kecintaannya kepada apa pun juga. Dengan mengimani sifat
rahmat Allah pula seorang hamba akan terdorong untuk keluar dari
kegelapan dosa menuju luasnya ampunan Allah dan rahmat-Nya. Karena
keimanan kepada sifat rahmat Allah ini juga, seorang hamba akan berjuang
untuk menggapai kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya.
Wallaahu
ta'ala a'lam bish shawaab. Wa shallallaahu 'ala Nabiyyir rahmah, wa
'ala aalihi wa man tabi'ahum bi ihsanin ila yaumil qiyaamah.
Walhamdulillaahilladzii laa ilaaha illa huwa, wahdahu laa syariika lah.
Laa na'budu illa iyyah. Wa laa haula wa laa quwwata illa billaah.
(Referensi: Atsar al-Iman bi Shifatillahi fi Sulukil 'Abdi cet. 1433 H karya Syaikh Ahmad bin Muhammad an-Najjar, hal. 13-20)
Orang Yang Mendapatkan Syafa'at
Orang Yang Mendapatkan Syafa'at
Dari
Ibnu Darah -bekas budak yang dimerdekakan oleh 'Utsman bin 'Affan- dia
berkata: Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata,
“Aku adalah orang yang paling mengetahui tentang syafa'at Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari kiamat.” Orang-orang pun berpaling kepada beliau. Mereka berkata, “Beritahukanlah kepada kami, semoga Allah merahmatimu.” Abu Hurairah berkata: Yaitu beliau berdoa, “Ya Allah, ampunilah setiap muslim yang beriman kepada-Mu dan tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu apapun.” (HR. Ahmad, sanadnya dinilai hasan, lihat al-Ba'ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 49)
Faidah Hadits
Hadits
yang agung ini menunjukkan kepada kita bahwa hakikat syafa'at adalah
doa. Salah satunya adalah doa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
Allah supaya mengampuni dosa-dosa setiap orang yang bertauhid. Dan yang
dimaksud di sini adalah para pelaku dosa besar dari kalangan ahli
tauhid. Mereka yang dihukum di neraka kemudian dimasukkan ke surga.
Sebagaimana semakin jelas dengan hadits-hadits berikut.
Dari
Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, “Aku diberikan pilihan -oleh Allah- antara syafa'at
atau setengah umatku dimasukkan ke dalam surga. Maka aku pun memilih
syafa'at, karena ia lebih luas [manfaatnya] dan lebih mencukupi. Apakah
menurut kalian ia diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan
sempurna imannya? Tidak, akan tetapi ia diberikan kepada orang-orang
yang berdosa, pemilik kesalahan-kesalahan, orang yang bergelimang dengan
dosa.” (HR. Ibnu Majah, dinilai sahih sanadnya oleh al-Bushiri, lihat
al-Ba'ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 46)
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Suatu kaum yang masuk ke dalam neraka Jahannam
kemudian mereka dikeluarkan darinya, maka mereka pun masuk ke dalam
surga. Mereka dikenal di surga dengan sebutan khusus untuk mereka.
Mereka disebut dengan al-Jahanamiyun.” (HR. Ibnu Abi 'Ashim, dinilai
sahih oleh al-Albani, lihat al-Ba'ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 51-52)
Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Terdapat riwayat-riwayat yang secara
keseluruhan mencapai derajat mutawatir yang menetapkan kebenaran
syafa'at di akhirat bagi para pelaku dosa diantara kaum beriman. Telah
sepakat salaf dan kholaf serta para ulama sesudahnya dari kalangan Ahlus
Sunnah atas hal itu. Akan tetapi Khawarij dan sebagian Mu'tazilah tidak
mempercayai hal itu [syafa'at]. Mereka berpegang dengan madzhab mereka
bahwa para pelaku dosa [besar] kekal di dalam neraka.” (lihat Syarh
Muslim [2/311])
Dengan
demikian, bisa kita simpulkan bahwa hadits-hadits di atas adalah
hujjah/dalil yang sangat kuat untuk membantah pemahaman sekte Khawarij
dan Mu'tazilah yang menolak keberadaan syafa'at bagi pelaku dosa besar
di kalangan ahli tauhid. Sebagaimana sudah dimaklumi, bahwa Khawarij dan
Mu'tazilah menyatakan pelaku dosa besar di akhirat kekal di neraka,
walaupun mereka berbeda pandangan dalam hal hukum dunia. Khawarij
mengkafirkan, sedangkan Mu'tazilah menyatakan 'manzilah baina
manzilatain' (berada diantara dua kedudukan) alias tidak beriman tapi
juga tidak kafir. Padahal, dalil al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma' telah
menetapkan adanya syafa'at bagi pelaku dosa besar diantara ahli tauhid
(lihat Ta'liq Risalah Qawa'id Arba' oleh Syaikh 'Ubaid al-Jabiri, hal.
13)
Pelajaran Berharga Dari Perjalanan Hidup Imam Bukhari
Nama
Imam Bukhari bukanlah nama yang asing bagi kita. Seorang ulama ahli
hadits yang mendapat julukan Amirul Mukminin fil Hadits. Para ulama pun
menyatakan bahwa kitabnya Shahih Bukhari adalah kitab yang paling sahih
setelah al-Qur'an. Kemudian, setelah itu diikuti oleh kitab muridnya,
yaitu kitab Shahih karya Imam Muslim. Semoga Allah merahmati mereka
berdua.
Meskipun
demikian, itu bukan berarti perjalanan hidup Sang Imam mulus begitu
saja. Ada saja terpaan fitnah yang melanda beliau, bersama dengan
kemuliaan dan kebesaran yang beliau miliki. Tatkala fitnah tentang
aqidah/keyakinan bahwa al-Qur'an makhluk telah disalah-alamatkan kepada
beliau oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab. Padahal,
keyakinan al-Qur'an makhluk merupakan keyakinan sekte sesat yang amat
terkenal di masa itu, yaitu Jahmiyah!
Pengantar Sebelum Menyimak Kisah Beliau
al-Qur'an
adalah kalam/ucapan Allah. Ini sudah jelas. Akan tetapi, bolehkah kita
katakan bahwa pelafalan al-Qur'an itu makhluk, atau bukan makhluk, atau
harus diam dalam persoalan ini?!
Jawaban
yang lebih tepat, memberikan hukum umum dalam permasalahan ini, yaitu
dengan serta merta menolak atau menerima pernyataan 'pelafalan al-Qur'an
adalah makhluk' adalah tidak tepat. Sebab hal ini harus dirinci
terlebih dahulu. Jika yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah
perbuatan (fi'il) mengucapkannya yang hal itu termasuk perbuatan hamba
maka jelas ini adalah makhluk. Karena hamba beserta perbuatannya adalah
makhluk. Namun, apabila yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah ucapan
yang dilafalkan (maf'ul) maka itu adalah kalam/ucapan Allah dan bukan
makhluk. Karena kalam Allah merupakan salah satu sifat-Nya, sedangkan
sifat-Nya bukan makhluk.
Perincian
semacam ini telah diisyaratkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan,
“Barangsiapa yang berpendapat bahwa lafalku dalam membaca al-Qur'an
adalah makhluk dan yang dia maksud dengannya adalah al-Qur'an maka dia
adalah penganut paham Jahmiyah.” Perkataan Imam Ahmad 'dan yang dia
maksud adalah al-Qur'an' menunjukkan bahwa apabila yang dia maksudkan
bukanlah al-Qur'an akan tetapi perbuatan melafalkan yang ini merupakan
perbuatan manusia, maka orang yang mengucapkannya tidak bisa dicap
sebagai penganut paham Jahmiyah.
(Diambil dari Fathu Rabbil Bariyyah hal. 70 cet. Dar Ibnul Jauzi).
Fitnah Yang Menimpa Sang Imam
Pada
tahun 205 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana
selama beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits.
Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga salah
satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah
kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar
ilmu darinya.” Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi
majelis Imam Bukhari untuk mendengar hadits darinya. Sampai, suatu
ketika muncul 'masalah' di majelis Muhammad bin Yahya, dimana
orang-orang yang semula mendengar hadits di majelisnya berpindah ke
majelisnya Imam Bukhari.
Sebenarnya,
sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah antara
dirinya dengan Imam Bukhari, semoga Allah merahmati mereka berdua.
Beliau pernah berpesan kepada murid-muridnya, “Janganlah kalian tanyakan
kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur'an
kalamullah, pent). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda
dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami
dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi
(pencela ahli bait), Rafidhi (syi'ah), Jahmi, dan penganut Murji'ah di
Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.”
Ahmad
bin 'Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam
Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa
hasad/dengki terhadap beliau. Mereka menuduh Bukhari berpendapat bahwa
al-Qur'an yang dilafalkan adalah makhluk. Suatu ketika muncullah orang
yang menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur'an.
Orang itu berkata, “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai
melafalkan al-Qur'an; apakah ia makhluk atau bukan makhluk?”. Setelah
mendengar pertanyaan itu, Bukhari berpaling dan tidak mau menjawab
sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun memaksa, dan pada akhirnya
Bukhari menjawab, “al-Qur'an adalah Kalam Allah, bukan makhluk.
Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan
pertanyaan semacam ini adalah bid'ah.” Yang menjadi sumber masalah
adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan, “Kalau begitu, dia
-Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur'an yang aku lafalkan adalah
makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab, “Perbuatan kita adalah
makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Hal itu
menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan,
“Kalau begitu al-Qur'an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian
yang lain membantah, “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya,
timbullah kesimpang-siuran dan kesalahpahaman di antara para hadirin.
Tatkala
kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun
berkata, “al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang
menganggap bahwa al-Qur'an yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal
Imam Bukhari tidak menyatakan demikian, pent- maka dia adalah
mubtadi'/ahli bid'ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh
berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin
Isma'il -yaitu Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut
menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Semenjak
munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka
orang-orang pun bubar meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim
bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya
permasalahan ini sampai-sampai Imam adz-Dzuhli menyatakan, “Ketahuilah,
barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari,
pent- maka tidak halal hadir dalam majelis kami.” Mendengar hal itu,
Imam Muslim mengambil selendangnya dan meletakkannya di atas
imamah/penutup kepala yang dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan
orang banyak meninggalkan beliau dan dikirimkannya semua catatan riwayat
yang ditulisnya dari Imam adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta. Ada
sebuah pelajaran berharga dari Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan
yang terjadi diantara kedua imam ini. al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata, “Muslim telah bersikap adil tatkala dia tidak menuturkan
hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak dari yang ini -Bukhari-
maupun yang itu -adz-Dzuhli-.”
Pada
akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi
menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau
menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha
mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan
ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas
diri dari tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad
kepadanya. Suatu saat, Muhammad bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku
mendengar dia -Bukhari- mengatakan, “Barangsiapa yang mendakwakan aku
berpandangan bahwa al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk,
sesungguhnya dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak berpendapat
seperti itu.”
Abu
Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam
Bukhari. Dia berkata, “Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang
membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur'an yang
aku lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam Bukhari menjawab, “Wahai Abu
Amr, hafalkanlah ucapanku ini; Siapa pun diantara penduduk Naisabur dan
negeri-negeri yang lain yang mendakwakan bahwa aku berpendapat al-Qur'an
yang aku lafalkan adalah makhluk maka dia adalah pendusta. Sesungguhnya
aku tidak pernah mengatakan hal itu. Yang aku katakan adalah perbuatan
hamba adalah makhluk.”
(Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659)
(Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659)
Abdullah
anak Imam Ahmad berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku
rahimahullah. Aku berkata, “Apa pendapatmu mengenai orang yang
mengatakan bahwa tilawah adalah makhluk dan lafal kita dengan al-Qur'an
adalah makhluk, sedangkan al-Qur'an adalah kalamullah dan bukan makhluk?
Apa pendapatmu tentang sikap menjauhi orang seperti ini? Apakah dia
layak disebut sebagai ahli bid'ah?”. Beliau menjawab, “Orang semacam ini
semestinya dijauhi. Itu adalah ucapan ahli bid'ah. Dan itu merupakan
perkataan kaum Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no.
178). Abdullah juga mengatakan, “Aku mendengar ayahku rahimahullah
berkata: Barangsiapa yang mengatakan bahwa lafalku dengan al-Qur'an
adalah makhluk maka dia adalah penganut Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah
karya Abdullah bin Ahmad, no. 180)
Ketika
membahas tentang biografi sekilas Imam Bukhari di dalam kitabnya Jarh
wa Ta'dil Abdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah berkata, “Ayahku -Abu
Hatim- dan Abu Zur'ah mendengar hadits darinya. Kemudian mereka berdua
meninggalkan haditsnya, yaitu ketika Muhammad bin Yahya an-Naisaburi
mengirimkan surat kepada mereka berdua yang menceritakan bahwasanya di
daerah mereka -Naisabur- dia menampakkan pemahaman bahwa lafalnya dengan
al-Qur'an adalah makhluk.” (lihat al-Jarh wa at-Ta'dil VII/191).
Imam
adz-Dzahabi rahimahullah telah membantah perkataan ini dalam kitabnya
Siyar A'lam an-Nubala'. Beliau berkata, “Apabila mereka berdua
meninggalkan haditsnya, ataupun tidak meninggalkannya, maka Bukhari
tetap saja seorang yang tsiqah/terpercaya, kredibel, dan riwayatnya
dijadikan hujjah di seluruh penjuru dunia.” (lihat Dhawabith al-Jarh wa
at-Ta'dil 'inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/633 karya Abu Abdirrahman
Muhammad ats-Tsani)
Hal
ini menunjukkan bahwa jarh/celaan dari sebagian ulama yang ditujukan
kepada Imam Bukhari tidak bisa diterima. Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Setiap orang yang telah terbukti kuat keadilan/kredibilitasnya
maka tidak boleh diterima tajrih/celaan kepada dirinya dari siapa pun
hingga perkara itu diterangkan kepadanya sampai pada suatu keadaan yang
tidak ada lagi kemungkinan yang lain kecuali memang harus menjatuhkan
jarh/celaan kepadanya.” (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta'dil 'inda
al-Hafizh adz-Dzahabi II/634)
Pelajaran Yang Bisa Dipetik
Kisah
di atas mengandung banyak pelajaran berharga bagi kita kaum muslimin,
terlebih lagi bagi para penimba ilmu dan para da'i. Pelajaran terpenting
dari kisah ini adalah pentingnya setiap muslim maupun muslimah untuk
mempelajari aqidah Islam dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari
berbagai penyimpangan pemahaman dan kesesatan. Karena aqidah inilah yang
menjadi landasan agama kita. Hendaknya setiap muslim memahami hakikat
keimanan dan tauhid yang menjadi intisari aqidah Islam. Jangan sampai
seorang muslim -apalagi penimba ilmu atau bahkan da'i- meremehkan
masalah aqidah ini. Masalah aqidah adalah masalah yang sangat penting
dan mendasar.
Selain
itu, kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk menjadi
seorang penimba ilmu dan da'i yang ikhlas berjuang di jalan Allah. Bukan
menjadi orang yang memburu popularitas atau beramal karena ingin
mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hendaklah kita menjadi orang
yang berusaha untuk senantiasa mencari ridha Allah, bukan mengejar ridha
manusia. Orang arab mengatakan, “Ridha manusia adalah cita-cita yang
tak akan pernah tercapai.” Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf
bahwa ikhlas itu adalah melupakan pandangan manusia dengan senantiasa
melihat kepada penilaian al-Khaliq, yaitu Allah.
Kisah
ini memberikan pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dalam menerima
dan menyampaikan berita. Karena bisa jadi berita yang kita terima tidak
benar atau tidak sempurna sehingga akan menimbulkan kesalahpahaman bagi
orang yang mendengarnya. Apalagi jika berita itu terkait dengan orang
yang memiliki kedudukan di masyarakat, baik dari kalangan ulama ataupun
penguasa. Kewajiban kita sebagai sesama muslim adalah menjaga kehormatan
dan harga diri saudara kita, apalagi mereka adalah orang yang memiliki
kedudukan dan keutamaan di mata publik.
Kisah
ini juga memberikan pelajaran kepada kita -terutama para da'i dan tokoh
masyarakat- untuk menjaga lisan dan cermat dalam berkata-kata. Terlebih
lagi jika kita berada di depan orang banyak, karena penggunaan
kata-kata yang kurang tepat atau menimbulkan kerancuan bisa menimbulkan
suasana yang kurang harmonis, kekacauan, dan bahkan permusuhan yang
tidak pada tempatnya.
Kisah
ini juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita,
bahwasanya terkadang permasalahan atau perselisihan yang timbul diantara
sesama guru atau da'i itu timbul dan semakin bertambah parah akibat
ulah sebagian murid-murid mereka yang suka membuat masalah. Oleh sebab
itu seorang guru harus objektif dan berhati-hati dalam menerima berita
dari muridnya. Demikian pula, seorang murid juga tidak boleh sembarangan
dalam menafsirkan perkataan gurunya tanpa meminta kejelasan terhadap
ungkapan yang diduga bisa memicu permasalahan. Apalagi di dalam situasi
fitnah (kekacauan), hendaknya seorang murid fokus kepada tugasnya yaitu
belajar dan tidak disibukkan dengan qila wa qola (kabar burung) dan
pembicaraan yang kurang bermanfaat baginya.
Kisah
ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya pembicaraan jarh wa
ta'dil (kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok) bukanlah
perkara sepele. Jarh wa ta'dil tidak seperti kacang goreng yang bisa
dibeli dengan harga murah oleh siapa saja. Jarh wa ta'dil adalah ilmu
yang sangat mulia. Ilmu yang membutuhkan pemahaman yang mendalam,
ketelitian, dan kehati-hatian. Tidak semua orang boleh berbicara
tentangnya dengan seenaknya, bahkan tidak setiap ulama ahli dan mapan di
bidang ini. Jarh wa ta'dil juga memiliki kaidah dan batasan-batasan
yang harus diperhatikan. Memang, memperingatkan dari kemungkaran adalah
suatu kebaikan yang sangat besar. Akan tetapi mengingkari kemungkaran
pun ada kaidahnya, tidak boleh secara serampangan.
Kisah
ini juga memberikan pelajaran kepada para penimba ilmu dan para da'i
untuk membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau dengki. Karena
banyak permasalahan yang terjadi diantara mereka diantara penyebabnya
adalah karena sifat yang tercela ini. Oleh sebab itu ada suatu ungkapan
yang populer di kalangan para ulama Jarh wa Ta'dil : Kalamul aqraan
yuthwa wa laa yurwa, artinya: “Kritikan antara orang-orang yang sejajar
kedudukannya cukup dilipat -tidak diperhatikan- dan tidak diriwayatkan.”
Karena terkadang kritikan yang muncul diantara sesama mereka adalah
karena faktor hasad. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang
demikian itu.
Kisah
ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap
husnuzhan/berprasangka baik kepada saudara kita. Karena perasaan
su'uzhan/buruk sangka yang tidak dilandasi dengan fakta-fakta yang kuat
adalah termasuk perbuatan dosa. Selain itu, kisah ini juga memberikan
pelajaran kepada kita untuk tidak suka mencari-cari kesalahan orang
lain. Memang meluruskan kesalahan orang lain adalah termasuk nasehat,
akan tetapi hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahannya. Dan yang
tidak kalah pentingnya adalah semestinya kita lebih sibuk untuk
memperbaiki kesalahan-kesalahan diri kita sendiri, yang bisa jadi
kesalahan kita itu tidak kecil dan tidak sedikit. Allahul musta'aan.
Kisah
ini juga menunjukkan kepada kita, bahwasanya seorang da'i harus siap
menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di tengah-tengah perjalanan
dakwahnya. Seorang da'i harus senantiasa sabar dan tawakal kepada Allah
dalam menyikapi berbagai masalah yang dijumpainya. Begitu pula seorang
penimba ilmu. Bahkan, setiap orang yang beriman pasti mendapatkan ujian
dari Allah yang menuntut mereka untuk bersabar tatkala mendapatkan
musibah dan bersyukur tatkala mendapatkan kenikmatan.
Kisah
ini juga memberikan pelajaran kepada kita mengenai kebesaran hati dan
kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi fitnah yang menimpa
mereka serta menempuh sikap yang bijak demi menjaga keutuhan umat.
Mereka menyadari bahwasanya tugas mereka sebagai ulama adalah
mendakwahkan ilmu dan membimbing umat menuju kebaikan. Mereka sama
sekali tidak menyimpan ambisi-ambisi politik atau mengejar target-target
duniawi. Ulama sejati tidak takut celaan para pencela dan tidak
khawatir apabila ditinggalkan jama'ah, selama dia tegak di atas
kebenaran.
Kisah
ini juga memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya bahaya
kebid'ahan; yaitu ajaran-ajaran baru yang tidak ada tuntunannya di dalam
agama Islam. Bid'ah ini tidak hanya berkutat dalam masalah amalan,
tetapi ia juga terjadi dalam masalah aqidah atau keyakinan. Bahkan,
diantara keyakinan yang bid'ah itu ada yang bisa menyebabkan kafir bagi
orang yang meyakininya. Oleh sebab itu para ulama salaf sangat keras
dalam mengingkari para pelaku kebid'ahan. Sebagian diantara mereka
mengatakan, “Bid'ah itu lebih dicintai Iblis daripada maksiat. Karena
pelaku maksiat masih mungkin untuk bertaubat, sedangkan bid'ah hampir
tidak mungkin pelakunya bertaubat.” Sebab pelaku kebid'ahan menganggap
dirinya tidak melakukan kesalahan. Berbeda dengan pelaku maksiat yang
masih mengakui bahwa dirinya memang telah berbuat maksiat.
Kisah
ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap teguh dalam
membela kebenaran dan memerangi kebatilan walaupun harus menyelisihi
banyak orang, bahkan meskipun mereka itu adalah orang-orang yang
memiliki kedudukan di dalam pandangan kita. Sesungguhnya kebenaran itu
diukur dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bukan dengan si fulan atau 'allan.
Sebagian
ulama salaf berpesan, “Hendaknya kamu mengikuti jalan kebenaran.
Janganlah kamu merasa sedih karena sedikitnya orang yang menempuhnya.
Dan jauhilah jalan-jalan kebatilan. Dan janganlah kamu merasa gentar
karena banyaknya orang yang binasa.”
Dan
yang terakhir, kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa
perselisihan yang terjadi diantara sebagian ulama -dalam sebagian
permasalahan- adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai
penuntut ilmu kita dituntut untuk bersikap bijak dan menempatkan diri
sebagaimana mestinya.
Ulama
adalah pewaris para Nabi. Kita harus memuliakan dan menghormati mereka
dengan tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Di sisi lain, kita juga harus
ingat bahwa ulama bukanlah Nabi yang semua ucapannya harus diikuti.
Meskipun demikian, kita tidak boleh meremehkan, melecehkan, atau bahkan
menjelek-jelekkan mereka. Apabila kebenaran yang mereka sampaikan -yaitu
berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah- maka wajib untuk diikuti. Namun,
apabila sebaliknya maka tidak kita ikuti dengan tetap bersangka baik dan
memberikan udzur/toleransi terhadap mereka.
***
Demikianlah,
sekelumit catatan dan nasehat sederhana yang bisa kami sajikan. Semoga
Allah memberikan taufik kepada kita menuju kebaikan dunia dan akhirat.
Rabbana taqabbal minnaa, innaka antas sami'ul 'aliim
wa tub 'alainaa, innaka anttat tawwaabur rahiim
Sumber e-book: http://terjemahkitabsalaf.wordpress.com/
Membumikan Dakwah Ahlus SunnahFacebook: Terjemah Kitab SalafEmail: tholib1981@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar