728x90 AdSpace

Pos Terbaru

Penjelasan Macam-macam Syirik

Penjelasan Macam-macam Syirik, Amalan pelaku kesyirikan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


Ringkasan Penjelasan Macam-macam Syirik

1. Berdoa kepada Selain Allah Ta’ala


Berdoa kepada selain Allah ta’ala termasuk syirik besar. Allah ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu seru (berdoa) kepada mereka, maka mereka tidak mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh (Allah) Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)

Orang yang berdoa kepada selain Allah ta’ala juga termasuk dalam golongan orang-orang yang zalim karena mereka telah melakukan kezaliman terbesar (syirik), sebagaimana firman-Nya,

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyembah (berdoa) kepada apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: 106)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab Tauhid menyebutkan ayat di atas pada bab, “Termasuk perbuatan syirik, seorang yang ber-istighotsah (meminta tolong ketika musibah) atau berdoa kepada selain Allah.” [Kitabut Tauhid, Bab ke-13]

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata,
“Dalam ayat ini terdapat nash bahwa berdoa dan istighotsah kepada selain Allah Ta’ala merupakan syirik besar. Oleh karenanya Allah ta’ala berfirman (pada ayat setelahnya): Apabila Allah menimpakan suatu bahaya kepadamu maka tidak ada yang mampu menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah ingin memberikan kebaikan kepadamu maka tidak ada yang sanggup menolak keutamaannya.” (Yunus: 107).” [Taysirul ‘Azizil Hamid, hal. 237]

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata,
“Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa setiap yang dipanjatkan doa kepadanya adalah sesembahan (ilah). Sedangkan penyembahan itu hanyalah hak Allah Ta’ala yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya sedikit pun.” [Fathul Majid, hal. 164]

Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata,
“Ayat ini menunjukkan larangan berdoa kepada selain Allah Ta’ala, baik doa permohonan maupun doa ibadah. Allah Ta’ala telah melarang Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berdoa kepada selain Allah Ta’ala dengan larangan yang keras, padahal beliau adalah pemimpin orang-orang yang bertakwa dan bertauhid.” [At-Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 249]

Dua Bentuk Doa:

Pertama: Doa ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Karena seorang yang melakukan ibadah-ibadah tersebut berarti ia memohon rahmat dan ampunan kepada Allah ta’ala dengan ibadah yang ia lakukan. Bentuk yang pertama ini apabila dipersembahkan kepada selain Allah ta’ala adalah termasuk perbuatan syirik besar (secara mutlak).

Kedua: Doa permohonan (tholab), seperti memohon suatu kemanfaatan atau terhindar dari suatu kemudharatan. Bentuk yang kedua ini apabila dipersembahkan atau diminta kepada selain Allah ta’ala maka termasuk syirik jika tidak terpenuhi padanya tiga syarat:
  1. Permohonan tersebut masih dalam batas kemampuannya untuk mengabulkan.
  2. Orang tersebut masih hidup.
  3. Orang tersebut hadir dan atau mampu mendengarkan permohonan kepadanya.
Maka meminta sesuatu yang hanya mampu dikabulkan oleh Allah, seperti memohon hidayah, keselamatan di akhirat, minta hujan, perlindungan dari setan dan lain-lain adalah termasuk syirik, demikian pula meminta kepada orang yang sudah mati atau orang yang tidak hadir sesuatu yang tidak mungkin dikabulkan kecuali oleh Allah, maka termasuk syirik.
(lihat Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syuruh Tsalatsatil Ushul, hal. 141-142).

Termasuk Kategori Syirik dalam Doa Permohonan:
  1. Isti’anah (meminta tolong) kepada selain Allah ta’ala
  2. Istighotsah (meminta tolong ketika musibah) kepada selain Allah ta’ala
  3. Isti’adzah (mohon perlindungan) kepada selain Allah ta’ala
Apabila seseorang ber-isti’anah, istighotsah dan isti’adzah kepada makhluk yang tidak terpenuhi padanya tiga syarat di atas maka termasuk kategori syirik.
  • Memohon syafa’at kepada selain Allah ta’ala
  • Berdoa kepada para wali yang sudah meninggal dengan dalih tawassul
Apabila seseorang menjadikan seorang wali, nabi atau malaikat sebagai perantara untuk berdoa kepada Allah ta’ala maka ini bukanlah tawassul yang dibolehkan, bahkan termasuk syirik menurut kesepakatan (ijma’) Ulama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Barangsiapa menjadikan makhluq sebagai perantara antara dirinya dengan Allah Ta’ala, sehingga ia berdoa kepada para perantara tersebut, memohon dan bertawakkal kepada mereka, maka ia kafir berdasarkan ijma’.” [Al-Mulakhkhosul Fiqhi, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, 2/450]

2. Syirik dalam Tabarruk


Tabarruk atau ngalap berkah dengan kuburan para wali atau pohon-pohon dan batu-batuan, termasuk syirik. Jika diyakini bahwa sesuatu tersebut dapat memberikan berkah dengan sendirinya, bukan dari Allah ta’ala maka termasuk syirik besar, dan apabila diyakini itu hanya sebab maka termasuk syirik kecil.

Sahabat yang Mulia Al-Harits bin ‘Auf Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu’anhu berkata,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما خرج إلى غزوة حنين مر بشجرة للمشركين كانوا يعلقون عليها أسلحتهم يقال لها : ذات أنواط فقالوا : يا رسول الله اجعل لنا ذات أنواط كما لهم ذات أنواط فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : سبحان الله هذا كما قال قوم موسى (اجعل لنا إلها كما لهم آلهة) والذي نفسي بيده لتركبن سنن من كان قبلكم

“Bahwa ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berangkat menuju perang Hunain, beliau melewati sebuah pohon yang dijadikan tempat menggantungkan senjata-senjata oleh kaum musyrikin (untuk meminta berkah dari pohon tersebut). Pohon tersebut dinamakan dzatu amwath, maka kaum muslimin pun berkata, “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami dzatu amwath sebagaimana milik mereka”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Subhanallah, perkataan kalian sama dengan perkataan kaumnya Musa, “Buatkanlah kami sesembahan sebagaimana sesembahan mereka”, demi (Allah) yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan kaum sebelum kalian”.” [HR. At-Tirmidzi, Al-Misykah: 5408]

3. Menyembelih untuk Selain Allah Ta’ala


Menyembelih untuk pengagungan atau persembahan kepada selain Allah Ta’ala termasuk syirik besar, karena menyembelih adalah ibadah yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya,

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Rabb semesta alam.” (Al-An’am: 162)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Makna ayat ini seperti firman Allah Ta’ala: “Maka dirikanlah shalat dan sembelihlah qurban karena Rabbmu.” (Al-Kautsar: 2) yakni, murnikan shalatmu dan sembelihanmu hanya untuk Allah semata.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/381]

Demikian pula termasuk syirik apabila seseorang ber-taqarrub kepada selain Allah ta’ala dengan mempersembahkan sesajen, apakah bentuk sesajen itu hewan qurban atau selainnya. Dan biasanya mereka lakukan hal tersebut untuk meminta pertolongan kepada jin. Seperti sesajen yang sering dipersembahkan kepada jin ratu laut selatan adalah termasuk syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.

4. Bernazar untuk Selain Allah Ta’ala


Nazar termasuk ibadah, sehingga tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah ta’ala. Bahkan Allah ta’ala telah memuji orang-orang yang beriman karena nazar yang mereka tunaikan, sebagaimana firman-Nya,

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ

“Mereka menunaikan nazar.” (Al-Insan: 7)

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang beriman karena telah menunaikan nazar mereka dan menjadikan hal tersebut sebagai sebab masuknya mereka ke dalam surga. Dan suatu amalan yang bisa menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam surga adalah ibadah, maka mempersembahkan ibadah tersebut kepada selain Allah Ta’ala adalah syirik.” [Al-Qoulul Mufid, 1/317]

5. Syirik dalam Cinta


Fenomena syirik dalam cinta telah dijelaskan oleh Allah ta’ala,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya, sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat kuat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
“Cinta kepada Allah Ta’ala ada empat tingkatan:
  • Pertama: Seseorang mencintai Allah melebihi selain-Nya. Inilah tauhid.
  • Kedua: Seseorang mencintai Allah seperti mencintai selain-Nya. Ini adalah syirik.
  • Ketiga: Seseorang mencintai selain Allah melebihi cintanya kepada Allah. Ini lebih besar dosa kesyirikannya daripada yang sebelumnya.
  • Keempat: Seseorang mencintai selain Allah ta’ala dan tidak ada sedikit pun kecintaannya kepada Allah dalam hatinya. Ini lebih besar lagi dosa kesyirikannya dan lebih jelek lagi.” [Al-Qaulul Mufid, 1/200-201]

6. Takut kepada Selain Allah Ta’ala


Takut kepada selain Allah ta’ala terbagi menjadi tiga bentuk:

Pertama: Takut yang tersembunyi (dalam hati manusia), yakni takut kepada makhluk karena meyakini makhluk tersebut memiliki kemampuan, padahal kemampuan tersebut hanya miliki Allah ta’ala. Seperti keyakinan para penyembah kubur bahwa wali-wali yang mereka sembah memiliki kemampuan untuk menimpakan bahaya kepada mereka atau menghilangkannya dari mereka.

Bahkan mereka berani bersumpah bohong atas nama Allah, tetapi tidak berani bersumpah bohong atas nama wali karena takut kepada wali tersebut. Maka takut seperti ini adalah termasuk syirik besar. Allah ta’ala berfirman,

فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” [Ali Imran: 175]

Kedua: Takut karena sebab-sebab yang dapat dirasakan atau dilihat oleh panca indera, seperti takut kepada pencuri atau musuh. Takut seperti ini tidaklah termasuk syirik, dengan syarat tidak mengantarkan seseorang untuk meninggalkan perintah Allah ta’ala atau menjerumuskannya kepada yang haram.

Ketiga: Takut yang sifatnya tabiat, seperti takut kepada binatang buas, takut terbakar, takut tenggelam dan lain-lain. Takut seperti mubah selama tidak menjerumuskan kepada perbuatan yang haram.
(lihat Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, dicetak bersama Jami’ Syuruh Tsalatsatil Ushul, hal. 129-130)

7. Harap kepada Selain Allah Ta’ala


Mengharap kepada Allah adalah ibadah, sebagaimana firman-Nya,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” [Al-Kahfi: 110]
  •  Apabila seseorang mengharap kepada selain Allah ta’ala sesuatu yang hanya mampu dikabulkan oleh Allah ta’ala, seperti mengharap hidayah, masuk surga, selamat dari neraka, karunia anak dan turunnya hujan, maka termasuk syirik besar.
  • Demikian pula harapan kepada makhluk disertai dengan merendahkan diri dan ketundukan atau kepasrahan maka termasuk syirik, sebab hal tersebut termasuk ibadah yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah ta’ala (lihat Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, dicetak bersama Jami’ Syuruh Tsalatsatil Ushul, hal. 143)

8. Tawakkal kepada Selain Allah Ta’ala


Allah ta’ala telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk selalu bertawakkal kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya,

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah rahimahullah berkata,
“Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa tawakkal kepada Allah adalah ibadah dan hukumnya wajib, maka mempersembahkannya kepada selain Allah Ta’ala adalah syirik.” [Taysirul ‘Azizil Hamid, hal. 497]

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata,
“Tawakkal kepada Allah, serta benarnya penyandaran dan ketergantungan hati kepada-Nya adalah puncak pengamalan tauhid.” [Fathul Majid, hal. 60]

9. Taat kepada Makhluk dalam Kemaksiatan Disertai Penghalalan yang Haram atau Pengharaman yang Halal


Allah Ta’ala berfirman,

اتخذُواْ أَحْبَـارَهُمْ وَرُهْبَـانَهُمْ أَرْبَاباً مّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً واحِداً لاَّ إله إِلاَّ هُوَ سُبْحَـانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan ulama dan ahli ibadah mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
“Tafsir ayat ini telah jelas, yaitu tentang ketaatan kepada ulama dan kepada ahli-ahli ibadah dalam perkara maksiat kepada Allah. Jadi, bukanlah maksud ayat ini mereka berdoa kepada ulama dan kepada ahli-ahli ibadah tersebut. Dan hal ini sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim.“ [Ad-Durarus Saniyyah, 2/70]

Maksud beliau adalah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu (seorang sahabat yang dahulunya beragama Kristen),

أما إنهم لم يكونوا يعبدونهم، ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئاً استحلوه، وإذا حرموا عليهم شيئاً حرموه

“Sesungguhnya orang-orang Kristen tidaklah beribadah kepada mereka (ulama dan ahli ibadah), akan tetapi mereka mentaati ulama dan ahli ibadah mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan (maka itulah yang dimaksud beribadah kepada mereka).” [HR. At-Tirmidzi, Ash-Shahihah: 3293]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
“Mereka yang menjadikan ulama dan ahli ibadah sebagai tandingan-tandingan selain Allah dengan mentaati mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan, dari dua sisi:

Pertama: Mereka tahu bahwa ulama dan ahli ibadah itu telah merubah agama Allah, lalu mereka ikuti agama yang telah dirubah tersebut. Sehingga mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan demi mengikuti pemimpin-pemimpin (agama) mereka, padahal mereka tahu bahwa pemimpin-pemimpin tersebut telah menyelisihi agama Rasul. Maka ini adalah kekafiran. Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan perbuatan ini termasuk syirik, meskipun mereka tidak shalat dan sujud kepada ulama dan ahli ibadah mereka.

Maka seseorang yang mengikuti orang lain dalam perkara yang bertentangan dengan agama padahal ia mengetahui bahwa perkara tersebut bertentangan dengan agama dan ia meyakini kebenaran perkataannya bukan perkataan Allah dan Rasul-Nya, ia pun musyrik seperti mereka.

Kedua: Mereka tetap meyakini dan mengimani bahwa yang diharamkan para ulama dan ahli ibadah tersebut adalah halal dan yang dihalalkannya adalah haram, namun mereka tetap menaati para ulama dan ahli ibadah itu dalam perkara maksiat kepada Allah, sebagaimana seorang muslim yang melakukan maksiat dan ia tetap meyakini bahwa perbuatannya itu adalah maksiat, maka yang seperti ini hukumnya sama dengan pelaku dosa besar (tidak sampai kafir).” [Majmu’ al-Fatawa, 7/70]

Bagaimana dengan seorang ulama mujtahid yang ijtihadnya salah dan bagaimana pula hukum orang yang mengikuti ijtihad tersebut?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
“Kemudian orang yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram apabila ia seorang mujtahid yang bertujuan untuk mengikuti Rasul namun ia belum mengetahui kebenaran dalam perkara tersebut, dan ia telah bertakwa kepada Allah sesuai kemampuannya, maka yang seperti ini tidaklah Allah mengazabnya karena kesalahannya, bahkan Allah akan membalas dengan kebaikan atas kesungguhannya dalam menaati Rabbnya.

Akan tetapi orang yang mengetahui bahwa sang ulama mujtahid tersebut telah salah, tidak sesuai dengan petunjuk Rasul, lalu kemudian ia tetap mengikuti kesalahan tersebut, dan berpaling dari perkataan Rasul, maka orang seperti ini telah melakukan satu bentuk syirik yang dicela oleh Allah ta’ala.
Terlebih lagi jika ia mengikuti ulama mujtahid tersebut hanya karena hawa nafsunya sendiri dan ia mendukung kesalahan tersebut dengan lisan dan tangannya, padahal ia tahu bahwa hal itu bertentangan dengan petunjuk Rasul, maka ini termasuk syirik yang mengharuskan pelakunya dihukum.” [Majmu’ al-Fatawa, 7/71]

10. Syirik dalam Niat: Riya’ dan Sum’ah


Riya’ adalah seorang yang memperlihatkan ibadahnya kepada orang lain demi mendapat pujian. Termasuk juga dalam makna ini adalah sum’ah, yakni seorang memperdengarkan atau menceritakan amalannya kepada orang lain demi mendapat pujian.

Dua Tingkatan Riya':

Pertama: Syirik besar
Apabila seseorang beribadah dengan niat semata-mata untuk mempertontonkan amalannya demi mendapat pujian, tidak ada sedikit pun dalam hatinya niat karena Allah. Hal ini seperti syiriknya orang-orang munafik yang disebutkan oleh Allah ta’ala,

وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa’: 142)

Kedua: Syirik kecil
Apabila seseorang beribadah karena Allah namun niatnya tercampuri dengan riya’, maka yang seperti ini termasuk syirik kecil yang menyebabkan ibadahnya tertolak. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا : وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : الرِّيَاءُ ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ : اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya: Apa syirik kecil itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda: (Syirik kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika amal-amal manusia telah dibalas, (maka Allah berkata kepada mereka): Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!” [HR. Ahmad dari Mahmud bin Labid radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 951]

Peringatan: Meninggalkan Amal Karena Takut Riya’ adalah Riya’

Seorang yang meninggalkan suatu amalan karena takut dibilang riya’ juga termasuk perbuatan riya’, sebab ia meninggalkan amalan karena manusia bukan karena Allah.

Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata,
“Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan beramal karena manusia adalah syirik. Sedang ikhlas, jika Allah Ta’ala menyelamatkanmu dari keduanya.” [Riwayat Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6879]

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Makna perkataan beliau, barangsiapa yang telah bertekad melakukan suatu amalan, kemudian ia meninggalkan amalan tersebut karena khawatir dilihat orang, maka ia telah melakukan riya’, sebab ia meninggalkan amalan karena manusia. Adapun jika ia meninggalkan shalat sunnah di keramaian untuk kemudian mengerjakannya saat tidak dilihat orang, maka yang seperti ini disunnahkan. Kecuali shalat wajib, atau zakat wajib, atau ia seorang ulama yang menjadi panutan, maka lebih afdhal dikerjakan secara terang-terangan.” [Syarhul Arba’in, Al-Imam An-Nawawi, hal. 11]

Apakah mendapat pujian manusia tanpa menginginkannya termasuk riya’?

Apabila seseorang telah berusaha untuk ikhlas dan senantiasa menjauhi riya’, lalu ia mendapat pujian manusia atas amal-amal shalih yang ia kerjakan, maka pujian tersebut tidak termasuk riya’, bahkan ia adalah kabar gembira yang dipercepat bagi seorang mukmin.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang melakukan kebaikan kemudian dipuji oleh manusia, maka beliau bersabda,

تلك عاجل بشرى المؤمن

“Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” [HR. Muslim]

Akan tetapi, janganlah sampai pujian-pujian manusia tersebut membawa seseorang kepada sifat ‘ujub (bangga diri, merasa lebih dari yang lain dan lupa bahwa keutamaan dari Allah ta’ala). Karena hakikat sifat ‘ujub adalah bentuk lain dari riya’.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Riya’ adalah seseorang menyekutukan Allah dengan makhluq, sedang ‘ujub adalah menyekutukan Allah dangan dirinya sendiri.” [Majmu’ Al-Fatawa, 10/277]

Bahaya sifat ‘ujub telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

ثلاث مهلكات : شح مطاع وهوى متبع وإعجاب المرء بنفسه

“Tiga perkara yang membinasakan; kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman seseorang terhadap dirinya (‘ujub).” [HR. Al-Baihaqi, Ash-Shahihah: 1802]
.

11. Syirik dalam Niat: Beramal Semata-mata karena Dunia


Termasuk dari syirik dalam niat adalah beribadah semata-mata karena dunia bukan karena Allah ta’ala, seperti karena harta, pangkat, status sosial, wanita, kehormatan, dan lain-lain.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan salah satu bab dalam Kitabut Tauhid, “Termasuk Kesyirikan, Orang yang Beramal karena Dunia”, kemudian beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala,

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَواةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Hud: 15, 16]

Adapun jika seseorang berniat ikhlas karena Allah ta’ala dan menyertakan niat untuk keuntungan dunia maka tidak apa-apa insya Allah ta’ala, namun apabila ia murnikan niatnya hanya karena Allah ta’ala semata-mata maka pahalanya lebih besar. Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Bahwa manusia, jika menginginkan dengan amalannya dua kebaikan, yaitu kebaikan dunia dan kebaikan akhirat, maka tidak ada dosa atasnya, karena Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka.” (Ath-Tholaq: 2-3)

Maka dalam ayat ini, Allah ta’ala memotivasi untuk bertakwa dengan menyebutkan jalan keluar dari kesempitan dan rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sanga.

Jika dikatakan: Barangsiapa yang menginginkan dunia (dan akhirat) dengan amalannya, bagaimana bisa dikatakan bahwa dia orang yang ikhlas, padahal dia menginginkan harta –misalkan-?

Aku jawab: Sesungguhnya ia telah mengikhlaskan ibadah dan tidak menginginginkan (pujian) makhluk secara mutlak, maka ia tidak bermaksud untuk mempertontonkan amalannya kepada manusia dan meraih pujian mereka, tetapi ia bermaksud mendapatkan sesuatu yang sifatnya materi, maka keikhlasannya tidak sempurna, karena padanya ada percampuran (tidak murni), akan tetapi tidak sama dengan syirik seperti riya’, yang menginginkan agar dipuji ketika mendekatkan diri kepada Allah. Adapun yang ini, tidak menginginkan pujian manusia ketika beribadah, namun ia menginginkan sesuatu yang rendah selain itu.
Dan tidak mengapa seseorang berdoa dalam sholatnya, meminta rezeki dari Allah, akan tetapi janganlah ia sholat karena hal ini, karena ini tingkatan yang rendah.

Adapun mengejar kebaikan dunia dengan amalan-amalan dunia, seperti jual beli dan pertanian, maka ini tidak ada dosa padanya. Dan hukum asal, kita tidak boleh menjadikan dalam ibadah-ibadah itu bagian untuk dunia, dan telah lewat pembahasan hukum ibadah apabila tercampur riya pada Bab Riya.” [Al-Qoulul Mufid, 2/138]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga memotivasi jihad dengan keuntungan dunia,

من قتل قتيلا فله سلبه

“Barangsiapa yang membunuh musuh (di medan jihad), maka harta orang tersebut menjadi miliknya.” [HR. Malik dalam Al-Muwattho’, no. 1656, tahqiq kitab Al-Ayat Al-Bayyinat karya Al-Alusi rahimahullah, hal. 56]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,

من سره أن يبسط له في رزقه وأن ينسأ له في أثره فليصل رحمه

“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung kekerabatan.” [HR. Al-Bukhari]

Bagaimana membedakan tauhid dengan syirik besar dan syirik kecil dalam niat?

Asy-Syaikh Hafiz Al-Hakami rahimahullah berkata,
  • “(Pertama): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan kehidupan akhirat (surga Allah), selamat dari riya’ dan sesuai dengan petunjuk syari’at maka itulah amal shalih yang diterima.
  • (Kedua): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat selain karena Allah maka termasuk kemunafikan besar (syirik besar), sama saja apakah seseorang beramal karena kedudukan, kepemimpinan dan mengejar dunia, maupun orang yang beramal demi menjaga keselamatan jiwa, hartanya, dan selainnya.” [Ma’arijul Qabul, 2/493]
  • (Ketiga): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan surga-Nya namun dimasuki oleh riya’ dalam menghiasi dan membaguskannya, maka inilah yang dinamakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagai syirik kecil.” [Ma’arijul Qabul, 2/494]

Bagaimana dengan orang-orang yang belajar di universitas atau di tempat lainnya untuk meraih ijazah atau gelar?

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
“Termasuk perbuatan syirik jika mereka tidak meniatkannya untuk meraih tujuan-tujuan yang syar’i. Maka kami katakan kepada mereka, “Jangan kalian niatkan hal tersebut untuk meraih kedudukan duniawi, tapi niatkan ijazah-ijazah tersebut sebagai sarana untuk bisa bekerja dalam bidang-bidang yang bisa memberi manfaat untuk sesama”, karena untuk bekerja di masa sekarang ini (pada umumnya) dipersyaratkan adanya ijazah, sedang mereka tidak bisa memberi manfaat kepada yang lainnya kecuali dengan sarana ini. Maka dengan itu niat menjadi selamat (dari syirik).” [Al-Qaulul Mufid, 2/91-92]

Bagaimana dengan seorang mujahid yang berperang dan mendapatkan ghanimah atau seorang ustadz yang mengajar dan mendapat gaji?

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata,
“Adapun orang yang beramal hanya karena Allah saja dan senantiasa menyempurnakan keikhlasannya, akan tetapi ia masih mengambil upah yang telah ditetapkan atas amalannya, yang dengan upah tersebut ia bekerja (untuk dunia) dan agama, seperti upah para pekerja sosial, mujahid yang mendapatkan ghanimah atau rezeki (gaji), pengelola masjid, pengajar sekolah dan berbagai macam kegiatan agama lainnya. Jika seseorang mengambil upah tersebut maka tidaklah berdampak pada iman dan tauhidnya, karena ia tidak bermaksud untuk mencari dunia dalam amalannya. Akan tetapi ia niatkan untuk agama, dan upah yang ia hasilkan pun diniatkan untuk tegaknya agama.” [Al-Qoulus Sadid, hal. 133]

12. Mengaku Tahu Perkara Ghaib atau Meyakini Ada Selain Allah yang Mengetahui Perkara Ghaib adalah Syirik


Allah ta’ala berfirman,

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ

“Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”.” [An-Naml: 65]

Ilmu tentang perkara ghaib adalah kekhususan bagi Allah ta’ala, barangsiapa yang mengaku-ngaku punya ilmu ghaib atau meyakini ada selain Allah yang mengetahui ilmu ghaib maka ia telah menyekutukan Allah ta’ala, yang menyebabkan ia murtad, keluar dari Islam. Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata.

يقول تعالى آمرًا رسوله صلى الله عليه وسلم أن يقول معلمًا لجميع الخلق: أنه لا يعلم أحد من أهل السموات والأرض الغيب. وقوله: { إِلا اللَّهَ } استثناء منقطع، أي: لا يعلم أحد ذلك إلا الله، عز وجل، فإنه المنفرد بذلك وحده، لا شريك له، كما قال: { وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ } الآية [الأنعام: 59]، وقال: { إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنزلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ } [لقمان: 34]، والآيات في هذا كثيرة

“Allah ta’ala berfirman seraya memerintahkan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengajarkan kepada seluruh makhluk, bahwasannya tidak ada satu pun penduduk langit dan bumi yang mengetahui perkara ghaib. Dan firman Allah ta’ala, “(Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib) kecuali Allah” adalah sebuah pengecualian yang terputus, yaitu bermakna: Tidak ada satu pun yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah ‘azza wa jalla, sesungguhnya Dia esa dalam perkara ilmu tentang yang ghaib, tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagaimana firman-Nya,

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (Al-An’am: 59)

Dan juga firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنزلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) Dan ayat-ayat tentang ini masih banyak.” [Tafsir Ibnu Katsir, 6/207]

Ilmu tentang sebagian perkara ghaib hanyalah Allah ta’ala beritahukan kepada para rasul ‘alaihimussalaam, sebagaimana firman-Nya,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ

“(Dia adalah Allah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridai-Nya” [Al-Jin: 26-27]

Jadi, sebagian ilmu ghaib yang diketahui oleh makhluk adalah kekhususan bagi sebagian makhluk saja, yaitu para Rasul, bukan manusia biasa. Itupun mereka dapatkan melalui wahyu, bukan karena suatu amalan khusus, seperti dzikir tertentu dengan jumlah tertentu dan cara tertentu sebagaimana diajarkan salah satu jama’ah yang sangat giat berdakwah dan tertera dalam kitab mereka.

Sehingga para Rasul tidak mengetahui perkara ghaib kecuali yang telah Allah ta’ala wahyukan kepada mereka, maka kita tidak boleh meyakini para Rasul mengetahui perkara ghaib sebagaimana Allah ta’ala mengetahuinya. Bahkan Rasul yang paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam secara khusus diperintahkan oleh Allah ta’ala untuk mengabarkan kepada manusia bahwa beliau tidak mengetahui perkara ghaib, sebagaimana firman-Nya,

قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” [Al-A’rof: 188]

13. Perdukunan, Peramalan dan Perbintangan adalah Syirik


Dari Sahabat yang Mulia Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu’anhu: “Aku berkata, wahai Rasulullah,

وَإِنَّ مِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ، قَالَ: فَلَا تَأْتِهِمْ

“Dan sesungguhnya diantara kami ada orang-orang yang mendatangi para dukun, maka beliau bersabda: Jangan mendatangi mereka (para dukun).” [HR. Muslim]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa mendatangi paranormal, lalu bertanya tetang sesuatu, maka tidak diterima sholatnya selama 40 malam.” [HR. Muslim dari Hafshoh radhiyallahu’anha]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّد

“Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal, lalu ia mempercayai ucapan dukun atau peramal tersebut maka ia telah kafir terhadap (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad -shallallahu’alaihi wa sallam-.” [HR. Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan Al-Bazzar dari Jabir radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 3387]

Dari mana para dukun mengetahui berita-berita ghaib? Tidak lain dari tuan-tuannya, yaitu setan-setan yang mencuri berita dari langit. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَضَى اللهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خضَعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ. فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعَ وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضَهُ فَوْقَ بَعْضٍ وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ فَحَرَّفَهَا وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِفَيَسْمَعُ الْكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ ثُمَّ يُلْقِيهَا الْآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ حَتَّى يُلْقِيهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الْكَاهِنِ فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كِذْبَةٍ فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذا كَذَا وَكَذَا؟ فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَ مِنَ السَّمَاءِ

“Apabila di langit Allah menetapkan sebuah perkara, para malaikat mengepakkan sayap-sayapnya karena tunduk dengan firman Allah Ta’ala, seakan-akan mereka mendengar suara rantai yang tergerus di atas batu. Ketika rasa takut telah dihilangkan dari hati-hati mereka, maka mereka berkata: “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?” Sebagian menjawab: “Kebenaran, dan dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Lalu berita tersebut dicuri oleh para pencuri berita (setan). Para pencuri berita itu sebagiannya berada di atas yang lain (sampai ke suatu tempat di bawah langit) –Sufyan (rawi hadits) menggambarkan tumpang tindihnya mereka dengan telapak tangan beliau lalu menjarakkan antara jari jemarinya–. Mereka mendengar kalimat yang disampaikan oleh Malaikat, lalu menyampaikannya kepada yang di bawahnya, yang di bawahnya menyampaikannya kepada yang di bawahnya lagi, sampai yang paling bawah menyampaikannya kepada tukang sihir atau dukun. Terkadang setan tersebut terkena lemparan bintang sebelum menyampaikannya dan terkadang dia bisa menyampaikannya sebelum terkena lemparan bintang. Namun setan ini telah menyisipkan 100 kedustaan bersama satu berita yang benar itu. Kemudian bualan dukun ini dikomentari orang: “Bukankah kejadiannya seperti yang dia katakan?” Akhirnya dukun ini dipercayai karena berita yang dicuri setan dari langit.” [HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairahradhiyallahu‘anhu]

14. Sihir


Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam risalah Nawaqidhul Islam,

السابع: السحر، ومنه الصرف والعطف، فمن فعله أو رضي به كفر

“Pembatal keislaman yang ketujuh adalah sihir, diantara bentuknya ialah membuat benci dan menjadikan cinta, barangsiapa yang melakukannya atau menyetujuinya maka ia kafir.”

Karena sihir adalah kesyirikan dan kekafiran berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantaranya:

Allah ta’ala berfirman,

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ, وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir); mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir (jangan mempelajari sihir)”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.Andaikan mereka beriman dan bertakwa (dengan tidak melakukan sihir), (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.” [Al-Baqoroh: 102-103]

Dalam dua ayat yang mulia ini terdapat penetapan hukum bahwa sihir adalah kekafiran pada lima lafaz:

Pertama:

وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ

“Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir).” Maknanya, beliau tidak mengerjakan sihir, karena sihir adalah kekafiran, tidak patut bagi seorang nabi Allah untuk mengerjakannya.

Kedua:

وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ

“Hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir); mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” Menunjukkan bahwa mengajarkan sihir adalah kekafiran yang berasal dari pengajaran setan-setan, bukan dari para nabi dan rasul ‘alaihimussalaam.

Ketiga:

وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

“Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir (jangan mempelajari sihir).” Kedua malaikat tersebut diutus oleh Allah ta’ala untuk menguji manusia, dan mereka berdua mengingatkan, “Jangan kamu mempelajari sihir karena kamu akan menjadi kafir”, maka mempelajari sihir adalah kekafiran.

Keempat:

وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ

“Dan sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat.” Tidak mendapat bagian di akhirat, yaitu tidak akan masuk surga sama sekali hanyalah orang kafir, maka menunjukkan bahwa sihir adalah kekafiran yang menghalangi masuk surga.

Kelima:

وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا

“Andaikan mereka beriman dan bertakwa (dengan tidak melakukan sihir).” Ini menunjukkan bahwa sihir menafikan iman dan takwa, yaitu termasuk pembatal keimanan dan keislaman.

Maka mempejari sihir, mengajarkannya, mengamalkannya dan menyetujuinya adalah kekafiran.
(lihat Durus fi Syarhi Nawaqidhil Islam, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan haizhahullah, hal. 148-149)

15. Ruqyah yang Mengandung Syirik, Seperti Mengandung Permohonan kepada Selain Allah dan Berbagai Bentuk Syirik yang Lainnya


Dari Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

«إِنَّ الرُّقَى، وَالتَّمَائِمَ، وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ» قَالَتْ: قُلْتُ: لِمَ تَقُولُ هَذَا؟ وَاللَّهِ لَقَدْ كَانَتْ عَيْنِي تَقْذِفُ وَكُنْتُ أَخْتَلِفُ إِلَى فُلَانٍ الْيَهُودِيِّ يَرْقِينِي فَإِذَا رَقَانِي سَكَنَتْ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: إِنَّمَا ذَاكَ عَمَلُ الشَّيْطَانِ كَانَ يَنْخُسُهَا بِيَدِهِ فَإِذَا رَقَاهَا كَفَّ عَنْهَا، إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكِ أَنْ تَقُولِي كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ، اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا»

“Sesungguhnya ruqyah, jimat dan pelet adalah syirik.”
Zainab berkata: Mengapa engkau berkata demikian? Demi Allah, dahulu mataku sakit dan aku sering mendatangi seorang Yahudi yang meruqyahku, maka jika ia meruqyahku rasa sakit pun mereda. Abdullah berkata: Sesungguhnya itu hanyalah perbuatan dan tipuan setan; ia menusuk matamu dengan tangannya, maka jika Yahudi itu meruqyahmu, setan itu melepas matamu, sungguh cukup bagi mu membaca seperti yang pernah dibaca oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:

أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ، اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

“Adzhibil ba’sa Robban Naasi, Isyfi wa Antasy Syaafiy laa syifaa-a illa syifaauka syifaa-an laa yughaadiru saqoman”

Hilangkanlah penyakit ini wahai Rabb manusia sembuhkanlah, dan Engkau adalah Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit.” [HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, Ash-Shahihah: 331]

Hadits di atas menunjukkan bahwa ruqyah yang mengandung keharaman maka haram, jika megandung syirik maka hukumnya syirik. Adapun jika tidak mengandung keharaman dan kesyirikan maka dibolehkan.
Sahabat yang Mulia ‘Auf bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,

كُنَّا نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِى ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

“Kami meruqyah di masa Jahiliyah, maka kami pun bertanya: Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang itu? Beliau bersabda: Tunjukkanlah kepadaku ruqyah kalian, tidak apa-apa melakukan ruqyah selama tidak mengandung syirik.” [HR. Muslim]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

وقد تمسك قوم بهذا العموم فأجازوا كل رقية جربت منفعتها ولو لم يعقل معناها لكن دل حديث عوف أنه مهما كان من الرقي يؤدي إلى الشرك يمنع وما لا يعقل معناه لا يؤمن أن يؤدي إلى الشرك فيمتنع احتياطا

“Sebagian orang berpegang dengan keumuman ini sehingga mereka membolehkan semua bentuk ruqyah yang telah terbukti bermanfaat walau tidak dipahami makna bacaannya, akan tetapi hadits ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i menunjukkan bahwa apabila ruqyah itu mengantarkan kepada syirik maka dilarang, dan ruqyah yang tidak dipahami bacaannya tidaklah aman dari mengantarkan kepada syirik, maka itu juga terlarang demi berhati-hati.” [Fathul Baari, 10/195]

Dapat disimpulkan bahwa ruqyah yang dibolehkan apabila terpenuhi tiga syarat, apabila tidak terpenuhi maka terlarang, yaitu:

Pertama: Meyakini bahwa ruqyah tersebut dapat bermanfaat hanyalah dengan izin Allah ta’ala semata.

Kedua: Tidak mengandung penyelisihan terhadap syari’at, yaitu syirik, bid’ah dan maksiat;
  • Contoh ruqyah yang mengandung syirik seperti memohon kepada selain Allah ta’ala, adanya penyembelihan untuk selain Allah, menggunakan jimat sebagai medianya, dan lain-lain.
  • Contoh ruqyah yang mengandung bid’ah seperti menciptakan bacaan-bacaan tertentu yang tidak berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, meruqyah secara berjama’ah (ruqyah massal), dan lain-lain.
  • Contoh ruqyah yang menganduk maksiat seperti adanya campur baur antara laki-laki dan wanita tanpa suatu alasan darurat, peruqyah menyentuh wanita yang diruqyah, berdua-duaan dengannya, dan lain-lain.

Ketiga: Menggunakan bahasa yang dipahami, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan mantra-mantra yang tidak dipahami maknanya. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/88 no. 16951, Al-Qoulul Mufid, 1/187)

Waspada Tipu Muslihat Dukun Berkedok Tokoh Agama (Kiai, Ustadz dan Da’i) yang Menyisipkan Mantra Syirik dan Bid’ah dalam Ruqyah

Ibnut Tin rahimahullah berkata,

الرُّقَى بِالْمُعَوِّذَاتِ وَغَيْرِهَا مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ هُوَ الطِّبُّ الرُّوحَانِيُّ إِذَا كَانَ عَلَى لِسَانِ الْأَبْرَارِ مِنَ الْخَلْقِ حَصَلَ الشِّفَاءُ بِإِذْنِ اللَّهِ تَعَالَى فَلَمَّا عَزَّ هَذَا النَّوْعُ فَزِعَ النَّاسُ إِلَى الطِّبِّ الْجُسْمَانِيِّ وَتِلْكَ الرُّقَى الْمَنْهِيُّ عَنْهَا الَّتِي يَسْتَعْمِلُهَا الْمُعَزِّمُ وَغَيْرُهُ مِمَّنْ يَدَّعِي تَسْخِيرَ الْجِنِّ لَهُ فَيَأْتِي بِأُمُورٍ مُشْتَبِهَةٍ مُرَكَّبَةٍ مِنْ حَقٍّ وَبَاطِلٍ يَجْمَعُ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَأَسْمَائِهِ مَا يَشُوبُهُ مِنْ ذِكْرِ الشَّيَاطِينِ وَالِاسْتِعَانَةِ بِهِمْ وَالتَّعَوُّذُ بِمَرَدَتِهِمْ

“Ruqyah dengan membaca al-mu’awwidzaat (bacaan-bacaan untuk meminta perlindungan kepada Allah) dan dengan selainnya dari nama-nama Allah adalah pengobatan ruhani, apabila diucapkan oleh orang-orang baik dari kalangan makhluk, akan menghasilkan kesembuhan dengan izin Allah ta’ala. Tatkala jenis ruqyah ini ditinggalkan, manusia berpaling kepada pengobatan jasmani dan ruqyah yang terlarang, yaitu yang dipergunakan oleh dukun dan selainnya yang mengaku-ngaku dapat mengendalikan jin untuk membantunya, maka ia pun mendatangkan perkara yang samar, yang mengandung kebenaran dan kebatilan, yaitu menyatukan kalimat dzikir kepada Allah dan nama-namaNya dengan kalimat sisipan berupa panggilan kepada setan-setan, memohon pertolongan kepada mereka dan meminta perlindungan kepada pembesar-pembesar setan.” [Fathul Baari, 10/196]

16. Takut Sial, Primbon, Feng Shui dan Keyakinan terhadap Hari Baik dan Hari Buruk untuk Menunaikan Suatu Hajat Seperti Pernikahan, Perjalanan dan Lain-lain adalah Syirik


Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلَّا، وَلَكِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

“Takut sial itu syirik.” (Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata): “Tidak ada seorang pun dari kami kecuali merasa takut sial, akan tetapi Allah ‘azza wa jalla menghilangkannya dengan tawakkal.” [HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 429, Shahihul Jaami’: 3960]

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

التصريح بأن الطيرة شرك

“Dalam hadits ini ada penegasan bahwa takut sial itu syirik.” [Kitab Tauhid, terbitan Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah, hal. 83]

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata,

قوله: “الطيرة شرك، صريح في تحريم الطيرة وأنها من الشرك لما فيها من تعلق القلب على غير الله.

“Ucapan beliau, “Takut sial itu syirik”, sangat tegas dalam pengharaman takut sial, dan bahwasannya itu termasuk syirik karena padanya ada ketergantungan hati kepada selain Allah ta’ala.” [Taysirul ‘Azizil Hamid, terbitan Al-Maktab Al-Islami Beirut, hal. 375]

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah juga berkata,

قوله: “ولكن الله يذهبه بالتوكلأي: ما منا إلا من يقع في قلبه ذلك، ولكن لما توكلنا على الله وآمنا به، واتبعنا ما جاء به الرسول صلى الله عليه وسلم واعتقدنا صدقه، أذهب الله ذلك عنا، وأقر قلوبنا على السنة واتباع الحق.

“Ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Akan tetapi Allah ‘azza wa jalla menghilangkan rasa takut sial tersebut dengan tawakkal”, maknanya: Tidak ada seorang pun dari kami kecuali merasa takut sial, akan tetapi ketika kami bertawakkal kepada Allah dan beriman kepada-Nya, serta meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan meyakini kebenaran beliau, maka Allah menghilangkan rasa takut sial itu dari kami dan mengokohkan hati kami di atas sunnah dan mengikuti kebenaran.” [Taysirul ‘Azizil Hamid, terbitan Al-Maktab Al-Islami Beirut, hal. 376]

Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

الطيرة شرك، لكن بتفصيل، فإن اعتقد تأثيرها بنفسها، فهو شرك أكبر، وإن اعتقد أنها سبب; فهو شرك أصغر

“Takut sial itu syirik, akan tetapi ada perincian, apabila seseorang meyakini pengaruhnya dengan sendirinya maka itu syirik besar, dan apabila ia meyakininya hanya sebagai sebab, maka itu syirik kecil.” [Al-Qoulul Mufid, Dar Ibnil Jauzi KSA, 1/583]

Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah juga berkata,

واعلم أن التطير ينافي التوحيد، ووجه منافاته له من وجهين:

الأول: أن المتطير قطع توكله على الله واعتمد على غير الله .

الثاني: أنه تعلق بأمر لا حقيقة له، بل هو وهم وتخييل؛ فأي رابطة بين هذا الأمر، وبين ما يحصل له، وهذا لا شك أنه يخل بالتوحيد؛ لأن التوحيد عبادة واستعانة، قال تعالى: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } (الفاتحة: 5)، وقال تعالى: { فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ } (هود: من الآية123).

“Ketahuilah, takut sial itu menghilangkan tauhid dari dua sisi:
Pertama: Orang yang takut sial telah memutus tawakkalnya kepada Allah ta’ala dan bergantung kepada selain Allah ta’ala.
Kedua:  Bahwa ia telah bersandar kepada perkara yang tidak memiliki hakikat, melainkan hanya persangkaan dan pengkhayalan, maka ada hubungan apakah antara perkara ini dan apa yang terjadi padanya?! Tidak diragukan lagi takut sial ini merusak tauhid, karena tauhid adalah ibadah dan isti’anah (memohon pertolongan Allah ta’ala). Allah ta’ala berfirman,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 4)

Dan firman Allah ta’ala,

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ

“Maka beribadahlah hanya kepada-Nya dan bertawakkallah hanya kepada-Nya.” (Hud: 123).” [Al-Qoulul Mufid, 1/560]

Dan orang yang takut sial itu ada dua bentuk:
  • Pertama: Tidak jadi melakukan hajatnya karena takut sial.
  • Kedua: Tetap melakukannya namun dalam keadaan takut dan gelisah.
Padahal yang seharusnya apabila telah bertekad melakukan suatu perkara, hendaklah bertawakkal kepada Allah ta’ala, memohon pertolongan-Nya dan berprasangka baik kepada-Nya. Apabila ternyata gagal, hendaklah bersabar dan tetap berprasangka baik kepada Allah ta’ala, memohon pertolongan-Nya dan bersandar hanya kepada-Nya, niscaya kegagalan itu akan menjadi sebuah kenikmatan.

17. Mengenakan atau Mempercayai Jimat


Mengenakan jimat atau mempercayainya walau tidak memakainya adalah syirik besar apabila diyakini bahwa jimat itu berpengaruh dengan sendirinya, dan syirik kecil apabila diyakini bahwa Allah ta’ala yang memberi manfaat dan mudarat, sedang jimat itu hanya sebab.

- Sahabat yang Mulia ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu’anhu menuturkan,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ إِلَيْهِ رَهْطٌ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ وَاحِدٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ بَايَعْتَ تِسْعَةً وَتَرَكْتَ هَذَا قَالَ إِنَّ عَلَيْهِ تَمِيمَةً فَأَدْخَلَ يَدَهُ فَقَطَعَهَافَبَايَعَهُ وَقَالَ مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Bahwasannya telah datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sepuluh orang (untuk melakukan bai’at), maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membai’at sembilan orang dan tidak membai’at satu orang. Mereka pun berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau membai’at sembilan dan meninggalkan satu orang ini?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya dia mengenakan jimat.” Maka orang itu memasukkan tangannya dan memotong jimat tersebut, barulah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membai’atnya dan beliau bersabda: Barangsiapa yang mengenakan jimat maka dia telah menyekutukan Allah.” [HR. Ahmad, Ash-Shahihah: 492]

- Dalam riwayat lain, Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu berkata, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ

“Barangsiapa yang mengenakan jimat maka Allah ta’ala tidak akan menyempurnakan hajatnya, dan barangsiapa yang mengenakan wada’ah (jimat batu pantai) maka Allah ta’ala tidak akan memberikan ketenangan kepadanya.” [HR. Ahmad, no. 17404. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Hadits hasan”]

- Sahabat yang Mulia Imron bin Al-Hushain radhiyallahu’anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ وَيْحَكَ مَا هَذِهِ قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْنًا انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا

“Bahwasannya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melihat di tangan seorang laki-laki terdapat gelang dari tembaga, maka beliau berkata, “Celaka engkau, apa ini?” Orang itu berkata, “Untuk menangkal penyakit yang dapat menimpa tangan.” Beliau bersabda: Ketahuilah, benda itu tidak menambah apapun kepadamu kecuali kelemahan, keluarkanlah benda itu darimu, karena sesungguhnya jika engkau mati dan benda itu masih bersamamu maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.” [HR. Ahmad]

- Sahabat yang Mulia Abu Basyir Al-Anshori radhiyallahu’anhu berkata,

أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ قَالَ عَبْدُ اللهِ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ وَالنَّاسُ فِي مَبِيتِهِمْ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَسُولاً أَنْ لاَ يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلاَدَةٌ إِلاَّ قُطِعَتْ

“Bahwasannya beliau pernah bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pada salah satu perjalanan beliau –berkata Abdullah (rawi): Aku mengira beliau mengatakan-, ketika itu manusia berada pada tempat bermalam mereka, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk menyampaikan, “Janganlah tertinggal di leher hewan tunggangan sebuah kalung dari busur panah atau kalung apa saja kecuali diputuskan”.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

- Sahabat yang mulia Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadaku,

يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِى فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوِ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًاصلى الله عليه وسلممِنْهُ بَرِىءٌ

“Wahai Ruwaifi’, bisa jadi engkau akan hidup lama sepeninggalku, maka kabarkanlah kepada manusia, bahwasannya siapa yang mengikat jenggotnya, atau menggunakan kalung (jimat) dari busur panah, atau beristinja dengan kotoran hewan atau tulang, maka Muhammad –shallallahu’alaihi wa sallam- berlepas diri darinya.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 27]

- Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya mantra-mantra, jimat-jimat dan pelet itu syirik.” [HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah, Shahih Ibni Majah: 2854]

- Sahabat yang mulia Abu Ma’bad Abdullah bin ‘Ukaim Al-Juhani radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

“Barangsiapa yang bergantung kepada sesuatu (makhluk seperti jimat dan yang lainnya) maka dia akan dibiarkan bersandar kepada makhluk tersebut (tidak ditolong oleh Allah ta’ala).” [HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, Ghayatul Marom: 297]

18. Syirik dalam Sebab


- Allah ta’ala berfirman,

قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ

“Ibrahim berkata: “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudarat kepada kamu?”  [Al-Anbiya’: 66]

- Juga firman-Nya,

قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً

“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap sesembahan selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya.” [Al-Isra’: 56]

- Juga firman-Nya,

أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya lah bertawakal orang-orang yang berserah diri.” [Az-Zumar: 38]

Ayat-ayat di atas semuanya menunjukan bahwa hanya Allah ta’ala yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan bahaya, maka hal itu merupakan sifat rububiyah Allah ta’ala yang harus diyakini oleh setiap hamba, sehingga apabila seseorang meyakini hal itu ada pada selain-Nya maka ia telah menyekutukan Allah tabaraka wa ta’ala.

Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,

فهذه الآية وأمثالها تبطل تعلق القلب بغير الله فى جلب أو دفع ضر وأن ذلك شرك بالله

“Ayat ini dan ayat-ayat yang semisalnya membatilkan ketergantungan hati kepada selain Allah ta’ala dalam meraih kemanfaatan atau menolak kemudaratan, dan bahwasannya hal itu termasuk syirik kepada Allah ta’ala.” [Fathul Majid, hal. 111]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

والشاهد من هذه الآية أن هذه الأصنام لا تنفع أصحابها لا بجلب نفع ولا بدفع ضر فليست أسبابا لذلك فيقاس عليها كل ما ليس بسبب شرعي أو قدري فيعتبر اتخاذه سببا إشراكا بالله

“Dan syahid dari ayat ini adalah bahwa patung-patung yang mereka sembah itu tidak sedikit pun bisa memberi manfaat kepada para penyembahnya; tidak bisa mendatangkan manfaat dan tidak pula bisa menolak mudarat. Jadi, patung-patung itu bukanlah sebab-sebab untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudarat, maka dikiaskan di atasnya semua yang bukan sebab syar’i dan qodari, menjadikannya sebagai sebab adalah perbuatan menyekutukan Allah ta’ala.” [Al-Qoulul Mufid, 1/168]

FAIDAH PENTING DALAM PERMASALAHAN “SEBAB”

Penjelasan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah di atas merupakan kaidah penting dalam memahami tauhid dan syirik dalam permasalahan sebab. Bahwa tauhid adalah bergantung sepenuhnya kepada Allah ta’ala, sedangkan mengambil sebab untuk meraih suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan tidak dilarang dalam Islam, bahkan dianjurkan. Tetapi dengan syarat, sebab tersebut adalah sebab syar’I atau sebab qodari.

- Sebab syar’i maksudnya adalah sebab yang dijelaskan oleh dalil syar’i. Contohnya, membaca surat Al-Fatihah untuk orang sakit adalah sebab kesembuhannya.

- Adapun yang dimaksud dengan sebab qodari adalah sebab yang Allah ta’ala ciptakan sebagai sebab di alam ini dan dapat diketahui dengan dua cara: Pertama, dengan dalil syar’i dan Kedua, dengan penelitian ilmiah dan percobaan.

Contoh yang dapat diketahui dengan dalil syar’i, seperti madu, habbatus sauda’, kencing unta untuk obat sakit perut, bekam dan lain-lain adalah sebab-sebab kesembuhan.

Contoh yang dapat diketahui dengan penelitian ilmiah dan percobaan, seperti umumnya obat-obat antibiotik kedokteran modern yang merupakan sebab untuk menekan atau menghentikan perkembangan bakteri atau mikroorganisme berbahaya yang berada di dalam tubuh.

Maka menjadikan sesuatu sebagai sebab, padahal ia bukanlah sebab syar’i dan bukan pula sebab qodari adalah perbuatan syirik. Contohnya sangat banyak sekali, seperti;

- Perbuatan sebagian orang yang mengambil batu-batuan di kuburan orang shalih, potongan kiswah penutup ka’bah dan benda-benda lainnya untuk dijadikan jimat adalah termasuk perbuatan menyekutukan Allah ta’ala, karena benda-benda tersebut bukanlah sebab syari’i maupun qodari.

- Meyakini sebuah cincin atau gelang dapat memberikan manfaat kesehatan, padahal tidak terbukti secara syar’i maupun qodari.

- Meyakini suatu benda mengandung berkah, padahal tidak terbukti secara syar’i maupun qodari.
Kesyirikan di sini pun bertingkat, bisa jadi syirik besar dan bisa jadi syirik kecil. Syirik besar jika seseorang meyakini bahwa jimat atau benda-benda tersebut dapat melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tersebut. Dan syirik kecil jika dia meyakini itu hanyalah sebab, sedang Allah ta’ala Dialah yang melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tersebut, karena apabila seseorang meyakini sesuatu sebagai sebab padahal Allah ta’ala tidak menetapkannya sebagai sebab, baik syar’i maupun qodari, maka seakan-akan dia telah menyamakan dirinya dengan Allah ta’ala dalam menentukan sesuatu sebagai sebab.

Tiga Macam Manusia dalam Permasalahan “Sebab”
  • Pertama: Mereka yang menafikan sebab, mereka adalah orang-orang yang menafikan sifat hikmah Allah ta’ala, seperti kelompok Al-Jabriyah dan Al-Asy’ariyah.
  • Kedua: Mereka yang berlebih-lebihan dalam menetapkan sebab sampai menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab, mereka adalah kebanyakan penganut khurafat dari kalangan Shufiyah dan yang semisalnya.
  • Ketiga: Mereka yang mempercayai adanya sebab-sebab yang memiliki pengaruh dengan izin Allah ta’ala, akan tetapi mereka tidak menetapkan sesuatu sebagai sebab kecuali jika ditetapkan oleh Allah ta’ala, apakah sebab syar’i atau qodari. Inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Lihat Al-Qoulul Mufid, 1/164-165).

19. Kesyirikan dan Kekufuran Nasrani dan Yahudi


- Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِين قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ

“Sungguh telah kafir orang orang (Kristen) yang mengatakan bahwa Allah adalah satu dari yang tiga, dan tidaklah sesembahan itu kecuali sesembahan yang satu (Allah subhaanahu wa ta’ala).” [Al-Maidah: 73]

- Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putra Maryam”, padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan atasnya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maidah: 72]

- Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا

“Dan mereka (orang-orang Kristen) berkata, “(Allah) Yang Maha Penyayang mempunyai anak.” Sesungguhnya (dengan perkataan itu) kamu telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, serta gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Penyayang mempunyai anak.” [Maryam: 88-91]

- Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” [At-Taubah: 30]

- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَزَعَمَ أَنِّي لاَ أَقْدِرُ أَنْ أُعِيدَهُ كَمَا كَانَ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ، فَقَوْلُهُ لِي وَلَدٌ، فَسُبْحَانِي أَنْ أَتَّخِذَ صَاحِبَةً أَوْ وَلَدًا

“Allah ta’ala berfirman: Anak Adam mendustakan Aku padahal itu tidak patut baginya, ia juga mencaciku padahal itu tidak patut baginya. Adapun pendustaannya kepada-Ku adalah ia menyangka bahwa Aku tidak mampu menghidupkannya kembali seperti sebelumnya, sedangkan caciannya kepada-Ku adalah ia berkata bahwa Aku memiliki anak, Maha Suci Aku dari memiliki istri dan anak.” [HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallaahu’anhuma]

- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

لَا أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى يَسْمَعُهُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، إِنَّهُ يُشْرَكُ بِهِ، وَيُجْعَلُ لَهُ الْوَلَدُ، ثُمَّ هُوَ يُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ

“Tidak ada satu pun yang lebih sabar dari Allah ‘azza wa jalla atas ucapan jelek yang ia dengarkan, sungguh Dia dipersekutukan dan dianggap memiliki anak, kemudian Dia senantiasa memberi nikmat dan rezeki kepada mereka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan ini lafaz Muslim, dari Abu Musa Al-‘Asy’ari radhiyallahu’anhu]

20. Kesyirikan dan Kekufuran Aliran Kebatinan atau Kejawen


Pertama: Sinkretisme, mencampurkan antara Hindu, Budha dan Islam

Aliran Kebatinan atau Kejawen tidak menganggap salah ajaran Hindu dan Budha, bahkan mereka mencampurnya dengan Islam hingga menjadi suatu ajaran tersendiri. Adapun dalam Islam, barangsiapa yang membenarkan agama selain Islam, berarti dia telah kafir kepada Allah ta’ala dan mendustakan Al-Qur’an. Allah jalla wa ‘ala berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلاَمُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

Juga firman Allah tabaraka wa ta’ala,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Kedua: Mereka tidak meyakini Allah Ta’ala sebagai Satu-satunya yang Patut Disembah

Keyakinan mereka tersebut mendustakan kalimat laa ilaaha illallaah. Allah ta’ala berfirman,

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“Yang demikian itu karena Allah Dialah yang haq (untuk disembah) dan apa saja yang mereka sembah selain Allah maka itu adalah sembahan yang batil, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62)

Ketiga: Kesyirikan dalam Rububiyyah

Keyakinan mereka bahwa setan-setan Merapi dan Pantai Selatan, seperti Kyai Sapu Jagat, Petruk dan Nyai Roro Kidul adalah pelindung-pelindung mereka, yang bisa memberikan manfaat dan menimpakan mudharat, ini adalah kesyirikan dalam rububiyyah.

Keempat: Kesyirikan dalam Uluhiyyah

Mereka juga mendekatkan diri (taqorrub) kepada setan-setan itu dengan berbagai upacara dan mempersembahkan berbagai macam bentuk ibadah, maka ini adalah kesyirikan dalam uluhiyyah.

Kelima: Tidak Melaksanakan Shalat
Aliran Kebatinan atau Kejawen tidak mementingkan shalat lima waktu, bagi mereka yang penting sudah eling maka itu cukup sebagai bentuk ibadah kepada Allah ta’ala. Ini termasuk kekafiran, Allah ta’ala berfirman,

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Apabila mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” [At-Taubah: 11]

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إن بين الرجل وبين الشرك، والكفر، ترك الصلاة

“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” [HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu‘anhuma]

Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر

“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah sholat, barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” [HR. At-Tirmidzi, Al-Misykah: 574]

Tabi’in yang Mulia Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata,

كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة

“Dahulu para sahabat Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam tidak melihat suatu amalan yang apabila ditinggalkan merupakan kekafiran, kecuali sholat.” [HR. At-Tirmidzi, Shohihut Targhib: 565]

21. Bersumpah dengan Selain Nama Allah Ta’ala adalah Syirik


Hanya Allah ta’ala yang boleh bersumpah dengan menyebut nama mahkhluk, adapun makhluk tidak boleh bersumpah kecuali dengan menyebut nama Allah ‘azza wa jalla saja. Bersumpah dengan selain Allah contohnya dengan mengatakan: Demi waktu, demi hidupmu, demi kakbah, demi nabi, demi wali fulan, demi syaikh fulan dan lain-lain adalah termasuk syirik kepada Allah ta’ala sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka ia kafir atau syirik.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Shahih At-Tirmidzi: 1590]

Ulama menjelaskan bahwa syirik yang dimaksud dalam hadits ini adalah syirik kecil, namun apabila disertai pengagungan sebagaimana pengagungan kepada Allah atau lebih dari pengagungan terhadap Allah maka tidak diragukan lagi termasuk syirik besar, bahkan sebagian orang tidak berani bersumpah palsu dengan menyebut nama wali yang ia agungkan, tetapi dengan entengnya ia bersumpah palsu dengan nama Allah ‘azza wa jalla, maka ini adalah syirik besar.

22. Ucapan “Sesuai Kehendak Allah dan Kehendakmu” adalah Syirik


Sahabat yang Mulia Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata,

قَالَ رجلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ قَالَ جعلتَ لِلَّهِ نِدًّا؟! مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ

“Seseorang berkata kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: Sesuai dengan kehendak Allah dan kehendakmu. Beliau bersabda: Apakah kamu menjadikan (aku) sebagai tandingan bagi Allah?! Katakanlah: Sesuai kehendak Allah saja.” [HR. Ahmad, An-Nasaai dan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod, Shahih Al-Adabil Mufrod: 605]

Ulama menjelaskan, ucapan “Sesuai dengan kehendak Allah dan kehendakmu” termasuk kategori syirik kecil, karena orang yang mengucapkannya tidak bermasud menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Allah ta’ala, namun jika ia bermaksud dengan hati maka tidak diragukan lagi termasuk syirik besar.


23. Ucapan “Kalau Bukan Karena Allah dan Karena Kamu” atau “Kalau Bukan Karena Dokter Saya Tidak Akan Sembuh” dan yang Semisalnya adalah Syirik


Allah ta’ala berfirman,

فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” [Al-Baqoroh: 22]

Sahabat yang Mulia Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata,

الأنداد هو: الشرك؛ أخفى من دبيب النمل على صفاة سوداء في ظلمة الليل، وهو أن تقول: والله وحياتك يا فلان وحياتي، وتقول: لولا كليبة هذا، لأتانا اللصوص، ولولا البط في الدار، لأتى اللصوص، وقول الرجل لصاحبه: ما شاء الله وشئت، وقول الرجل: لولا الله وفلان، لا تجعل فيها فلاناً؛ هذا كله به شرك

“Sekutu-sekutu adalah syirik yang lebih tersembunyi dari rayapan semut di atas batu hitam dalam kegelapan malam, yaitu jika engkau mengatakan:
  • Demi Allah, demi hidupmu dan demi hidupku wahai fulan,
  • Kalau bukan karena anjing kecil ini maka pencuri akan mendatangi kita,
  • Kalau bukan karena burung di rumah maka pencuri akan masuk,
  • Sesuai dengan kehendak Allah dan kehendakmu,
  • Kalau bukan karena Allah dan fulan.
Janganlah kamu jadikan fulan di dalamnya, ini semua adalah ucapan syirik.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Hatim, Al-Mulakhkhos fi Syarhi Kitab At-Tauhid, hal. 324]

Semua ucapan ini adalah syirik kecil apabila tidak dimaksudkan dengan hati, dan apabila dimaksudkan dengan hati maka termasuk syirik besar.

24. Menisbatkan Nikmat kepada Selain Allah ta’ala


Allah ta’ala berfirman,

يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ

“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” [An-Nahl: 83]

Al-Imam Mujahid rahimahullah berkata,

هو قول الرجل: هذا مالي ورثته عن آبائي

“Yaitu ucapan seseorang: Ini adalah hartaku yang aku wariskan dari orang tuaku.” [Al-Mulakhkhos fi Syarhi Kitab At-Tauhid, hal. 320]

Sebagian Salaf rahimahumullah berkata,

هو كقولهم: كانت الريح طيبة، والملاح حاذقاً

“Yaitu seperti ucapan mereka: Anginnya baik dan Nahkodanya mahir (maka kita selamat).” [Al-Mulakhkhos fi Syarhi Kitab At-Tauhid, hal. 322]

Penisbatan nikmat kepada selain Allah ta’ala ada tiga bentuk:

Pertama: Apabila dinisbatkan kepada sebab yang samar, yang sebetulnya tidak memberikan pengaruh sedikit pun, seperti ucapan: “Kalau bukan karena wali fulan di kubur keramat tersebut saya belum punya anak” dan ucapan yang semisalnya maka ini adalah syirik besar.

Kedua: Apabila dinisbatkan kepada sebab yang benar, yang benar-benar ada menurut syari’at dan kenyataan, seperti ucapan: “Ini adalah hartaku yang aku wariskan dari orang tuaku” dan yang semisalnya, maka ini boleh dengan dua syarat:
  1. Meyakini bahwa itu hanya sebab, tidak berpengaruh dengan sendirinya, melainkan Allah ta’ala Dialah yang menciptakan sebab tersebut.
  2. Tidak melupakan Allah sebagai Pemberi kenikmatan.
Apabila syarat pertama tidak terpenuhi maka termasuk syirik besar dan apabila syarat kedua tidak terpenuhi maka termasuk syirik kecil.

Ketiga: Apabila dinisbatkan kepada sebab yang nampak, tetapi bukan sebab yang hakiki yang dapat dibuktikan secara syari’at dan kenyataan, seperti ucapan: “Gelang ini atau kalung ini yang menyelamatkan saya” dan yang semisalnya, maka termasuk syirik, sama seperti hukum jimat;
  1. Apabila diyakini berpengaruh dengan sendirinya maka syirik besar,
  2. Apabila diyakini berpengaruh dengan izin Allah ‘azza wa jalla maka syirik kecil, karena seakan-akan ia bersekutu bersama Allah ta’ala dalam menentukan sesuatu sebagai sebab (lihat Al-Qoulul Mufid, 2/203-204).

25. Kesyirikan dan Kekufuran Syi’ah dan Shufiyyah / Tarekat / Tasawuf


Syi’ah dan Shufiyyah / Tarekat / Tasawuf adalah dua kelompok sesat yang mengajarkan kesyirikan dan kekafiran, berikut ringkasan beberapa bentuk kesyirikan dan kekafiran Syi’ah dan kesamaannya dengan Shufiyyah:

Pertama: Syi’ah meyakini bahwa imam-imam mereka adalah perantara dalam beribadah kepada Allah ta’ala (lihat Ushul Madzhab Syi’ah, 2/441). Demikian pula Shufiyyah meyakini bahwa wali-wali mereka adalah perantara dalam berdoa kepada Allah ta’ala yang mereka sebut dengan ‘tawassul’, padahal ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah seluruhnya sepakat bahwa itu adalah syirik (lihat pembahasan nomor 1 di atas).

Kedua: Syi’ah meyakini bahwa imam-imam mereka berhak menghalalkan dan mengharamkan sekehendak mereka (lihat Ushul Madzhab Syi’ah, 2/484). Demikian pula Shufiyyah meyakini bahwa wali-wali mereka apabila sudah mencapai derajat hakikat maka halal baginya melakukan yang haram secara syari’at atau meninggalkan kewajiban syari’at, ini adalah syirik karena hanya Allah ta’ala yang berhak menghalalkan dan mengharamkan (lihat pembahasan nomor 9 di atas).

Ketiga: Syi’ah meyakini bahwa batu di kuburan Al-Husain radhiyallahu’anhu dapat memberikan berkah yang menyembuhkan segala penyakit (lihat Ushul Madzhab Syi’ah, 2/489). Demikian pula Shufiyyah meyakini bahwa batu-batuan di kuburan para wali dan bangunan kuburan-kuburan itu sendiri dapat memberikan berkah kepada mereka, ini termasuk syirik karena hanya Allah ta’ala yang dapat memberikan berkah (lihat pembahasan nomor 2 di atas)

Keempat: Syi’ah meyakini bahwa imam-imam mereka mengetahui perkara ghaib (lihat Ushul Madzhab Syi’ah, 1/330). Demikian pula Shufiyyah meyakini bahwa wali-wali mereka mengetahui perkara ghaib, ini adalah syirik karena hanya Allah ta’ala yang mengetahui perkara ghaib (lihat pembahasan nomor 12 di atas).

Kelima: Syi’ah meyakini bahwa bagian dari diri Allah ta’ala menyatu dengan imam-imam mereka (lihat Ushul Madzhab Syi’ah, 2/519). Demikian pula Shufiyyah meyakini wihdatul wujud, yaitu menyatunya wali-wali mereka dengan Allah tabaraka wa ta’ala, tidak diragukan lagi ini adalah keyakinan syirik dan kufur serta pelecehan terhadap Allah ta’ala, karena bagaimana mungkin Allah jalla wa ‘ala yang Maha Suci, Maha Besar, Maha Agung, Pemilik segala kebaikan dan semua pujian, menyatu dengan makhluk yang hina, kotor, lemah, kecil dan penuh dosa.

 وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

__________

Sumber: SofyanRuray.Info

Syirik menghapus amalan

Allah tidak mengampuni dosa syirik

Tauhid lawan syirik, Tauhid adalah benteng yang aman

Faisal Choir Blog :

Blog ini merupakan kumpulan Artikel dan Ebook Islami dari berbagai sumber. Silahkan jika ingin menyalin atau menyebarkan isi dari Blog ini dengan mencantumkan sumbernya, semoga bermanfaat. “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR. Muslim). Twitter | Facebook | Google Plus

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Penjelasan Macam-macam Syirik Description: Rating: 5 Reviewed By: samudera ilmu
Scroll to Top