1.
Ia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah, dan inilah
mengharuskannya untuk bersyukur. Syukur memiliki tiga rukun, yang bila
ketiganya diamalkan, berarti seorang hamba dianggap telah mewujudkan
hakikat syukur tersebut, meski kuantitasnya masih jauh dari ‘cukup’.
Ketiga rukun tersebut adalah:
a. Mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah.
b. Mengucapkannya dengan lisan.
c. Menggunakan kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah, karena Dia-lah yang memberikannya.
Inilah rukun-rukun syukur yang mesti dipenuhi…
2. Atau,
boleh jadi Allah mengujinya dengan berbagai ujian, dan kewajiban hamba
saat itu ialah bersabar. Definisi sabar itu sendiri meliputi tiga hal:
a. Menahan hati dari perasaan marah, kesal, dan dongkol terhadap ketentuan Allah.
b. Menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah.
c.
Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti menampar wajah, menyobek
pakaian, (atau membanting pintu, piring) dan perbuatan lain yang
menunjukkan sikap ‘tidak terima’ terhadap keputusan Allah.
Perlu kita fahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan si hamba, namun untuk mengetes sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya.
Kalaulah Allah mewajibkan sejumlah peribadatan (yaitu hal-hal yang
menjadikan kita sebagai abdi/budak-nya Allah) saat kita dalam kondisi
lapang; maka Allah juga mewajibkan sejumlah peribadatan kala kita dalam
kondisi sempit.
Banyak orang yang ringan untuk melakukan
peribadatan tipe pertama, karena biasanya hal tersebut selaras dengan
keinginannya. Akan tetapi yang lebih penting dan utama adalah
peribadatan tipe kedua, yang sering kali tidak selaras dengan keinginan
yang bersangkutan.
Ibnul Qayyim lantas mencontohkan bahwa
berwudhu di musim panas menggunakan air dingin; memperguli isteri
cantik yang dicintai, memberi nafkah kepada anak-isteri saat banyak
duit; adalah ibadah. Demikian pula berwudhu dengan sempurna dengan air
dingin di musim dingin dan menafkahi anak-isteri saat kondisi ekonomi
terjepit, juga termasuk ibadah; tapi nilainya begitu jauh antara ibadah
tipe pertama dengan ibadah tipe kedua. Yang kedua jauh lebih bernilai
dibandingkan yang pertama, karena itulah ibadah yang sesungguhnya, yang membuktikan penghambaan seorang hamba kepada Khaliqnya.
Tingkat kecukupan tersebut tentulah berbanding lurus dengan tingkat penghambaan masing-masing hamba. Makin tinggi ia memperbudak dirinya demi kesenangan Allah yang konsekuensinya harus mengorbankan kesenangan pribadinya, maka makin tinggi pula kadar pencukupan yang Allah berikan kepadanya. Akibatnya, sang hamba akan senantiasa dicukupi oleh Allah dan termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
“Inna ‘ibaadi laisa laka ‘alaihim sulthaanun wa kafaa birabbika wakiela” (Sesungguhnya, engkau (Iblis) tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, dan cukuplah Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong)” (Al Isra’: 65).
Hamba-hamba yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba yang mendapatkan pencukupan dari Allah dalam ayat sebelumnya, yaitu mereka yang benar-benar menghambakan dirinya kepada Allah, baik dalam kondisi menyenangkan maupun menyusahkan.
Inilah hamba-hamba yang terjaga dari gangguan syaithan, alias syaithan
tidak bisa menguasai mereka dan menyeret mereka kepada makarnya,
kecuali saat hamba tersebut lengah saja.
Sebab bagaimana
pun juga, setiap manusia tidak akan bebas 100% dari gangguan syaithan
selama dia adalah manusia. Ia pasti akan termakan bisikan syaithan
suatu ketika. Namun bedanya, orang yang benar-benar merealisasikan
‘ubudiyyah (peribadatan) kepada Allah hanya akan terganggu oleh
Syaithan di saat dirinya lengah saja, yakni saat dirinya tidak bisa
menolak gangguan tersebut… saat itulah dia termakan hasutan syaithan
dan melakukan pelanggaran.
dengan demikian, ia akan beralih ke kondisi berikutnya:
“Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk Neraka”.
Bagaimana
kok begitu? Bila Allah menghendaki kebaikan atas seseorang, Allah akan
menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal sebelumnya ia
seorang yang shalih dan gemar beramal shalih). Dosa tersebut akan
selalu terbayang di depan matanya, mengusik jiwanya, mengganggu
tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua
keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan
demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya,
mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah,
akibat dosa yang satu tadi, ia terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum)
terhadap keshalihannya selama ini, yang boleh jadi akan membinasakan
dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.
Namun
sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan
celaka akibat amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan
dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu. Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’.
Maka bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya
untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.
Demikian kurang lebih penuturan beliau dalam mukaddimah kitab tadi, semoga kita terinspirasi dengan tulisan yang bersahaja ini…
__________________
Artikel: http://faisalchoir.blogspot.com/
Satu
hal yang dibenci kadang mendatangkan kesenangan, satu hal yang disukai
kadang mendatangkan kesusahan. Janganlah merasa aman dengan
kesenangan, karena bisa saja ia menimbulkan kemudaratan. Janganlah
merasa putus asa karena kesulitan, karena bisa jadi akan mendatangkan
kesenangan. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal
ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
Artikel terkait:
- Hikmah Dibalik Musibah Sakit
- Janganlah Berburuk Sangka Kepada Allah
- Yakinlah Di Balik Kesulitan, Ada Kemudahan yang Begitu Dekat
- Hikmah Diluaskan dan Disempitkan Rizki
- Bersyukur Dengan yang Sedikit
- Bertahan Hidup Di Masa Sulit
- Tiga Pokok Kebahagiaan
- Aku Sering Lalai dari 3 Nikmat Ini
- Kaya Hati, Itulah Kaya Senyatanya
- Hakikat Sabar
- Renungan Mengenai Pemutus Kenikmatan
- Terkumpulnya Sifat Takut dan Harap
- Tawakal
- Obat Hati
- Bahaya Riya' dan Obatnya
- Pribadi Teladan, Tidak Ujub
0 komentar:
Posting Komentar