Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Hukum Adzan, Keutamaan Adzan Dan Tata Cara Adzan
A. Hukum Adzan
Adzan adalah pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan lafazh yang khusus [1]. Hukumnya adalah wajib.
Dari Malik bin al-Huwairits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ.
"Jika telah tiba (waktu) shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Dan hendak-lah yang paling tua di antara kalian mengimami kalian."[2]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan adzan, dan perintah mengandung pewajiban sebagaimana yang telah diketahui.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama kami untuk memerangi sebuah kaum, tidaklah beliau berperang hingga datangnya pagi. Beliau menunggu, jika mendengar adzan, beliau tidak memerangi mereka. Sebaliknya, jika tidak mendengar adzan, maka beliau menyerang mereka." [3]
B. Keutamaan Adzan
Dari Mu'awiyah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُؤَذِّنِيْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Sesungguhnya para mu-adzin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari Kiamat.” [4]
Dari 'Abdurrahman bin 'Abdillah bin 'Abdirrahman bin Abi Sha'sha'ah al-Anshari kemudian al-Mazini dari ayahnya, dia mengabarkan bahwa Abu Sa'id al-Khudri berkata kepadanya, “Sungguh aku melihat engkau menyukai kambing dan gurun (pedalaman). Jika engkau berada di antara kambingmu atau di gurunmu, maka adzanlah untuk shalat dan keraskanlah suaramu dengan seruan itu. Karena sesungguhnya tidaklah jin, manusia, dan lain-lain mendengar suara mu-adzin melainkan mereka akan memberikan kesaksian baginya di hari Kiamat." Abu Sa'id melanjutkan, "Aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." [5]
C. Tata Cara Adzan
Dari 'Abdullah bin Zaid bin 'Abdi Rabbih, dia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah sepakat untuk menabuh lonceng, padahal beliau membencinya karena menyerupai kaum Nasrani, aku bermimpi berpapasan dengan seorang pria di malam hari. Ia mengenakan dua pakaian hijau sambil membawa lonceng. 'Aku berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng?” Ia bertanya, “Apakah yang kau perbuat dengannya?" Aku menjawab, "Kami menggunakannya untuk menyeru shalat." Dia berkata, "Maukah kau kutunjuki (cara) yang lebih baik dari itu?" Aku berkata: "Tentu." Dia berkata, "Katakanlah:
Adzan adalah pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan lafazh yang khusus [1]. Hukumnya adalah wajib.
Dari Malik bin al-Huwairits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ.
"Jika telah tiba (waktu) shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Dan hendak-lah yang paling tua di antara kalian mengimami kalian."[2]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan adzan, dan perintah mengandung pewajiban sebagaimana yang telah diketahui.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama kami untuk memerangi sebuah kaum, tidaklah beliau berperang hingga datangnya pagi. Beliau menunggu, jika mendengar adzan, beliau tidak memerangi mereka. Sebaliknya, jika tidak mendengar adzan, maka beliau menyerang mereka." [3]
B. Keutamaan Adzan
Dari Mu'awiyah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُؤَذِّنِيْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Sesungguhnya para mu-adzin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari Kiamat.” [4]
Dari 'Abdurrahman bin 'Abdillah bin 'Abdirrahman bin Abi Sha'sha'ah al-Anshari kemudian al-Mazini dari ayahnya, dia mengabarkan bahwa Abu Sa'id al-Khudri berkata kepadanya, “Sungguh aku melihat engkau menyukai kambing dan gurun (pedalaman). Jika engkau berada di antara kambingmu atau di gurunmu, maka adzanlah untuk shalat dan keraskanlah suaramu dengan seruan itu. Karena sesungguhnya tidaklah jin, manusia, dan lain-lain mendengar suara mu-adzin melainkan mereka akan memberikan kesaksian baginya di hari Kiamat." Abu Sa'id melanjutkan, "Aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." [5]
C. Tata Cara Adzan
Dari 'Abdullah bin Zaid bin 'Abdi Rabbih, dia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah sepakat untuk menabuh lonceng, padahal beliau membencinya karena menyerupai kaum Nasrani, aku bermimpi berpapasan dengan seorang pria di malam hari. Ia mengenakan dua pakaian hijau sambil membawa lonceng. 'Aku berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng?” Ia bertanya, “Apakah yang kau perbuat dengannya?" Aku menjawab, "Kami menggunakannya untuk menyeru shalat." Dia berkata, "Maukah kau kutunjuki (cara) yang lebih baik dari itu?" Aku berkata: "Tentu." Dia berkata, "Katakanlah:
أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ، أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.
أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ.
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ.
أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ. لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.
Agak lama kemudian dia melanjutkan, "Kemudian jika engkau hendak mendirikan shalat (mengumandangkan iqamat) engkau mengucapkan
أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.
أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ.
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ.
أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ. لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.
Agak lama kemudian dia melanjutkan, "Kemudian jika engkau hendak mendirikan shalat (mengumandangkan iqamat) engkau mengucapkan
أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ الله، أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ.
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ.
أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ، لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.
Ketika pagi tiba, aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kuberitahukan kepada beliau tentang apa yang telah kulihat (dalam mimpi). Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ini adalah mimpi yang benar insya Allah.” Kemudian beliau menyuruh adzan. Dan Bilal budak yang dimerdekakan oleh Abu Bakar mengumandangkan adzan dengan (lafazh tersebut).[6]
Disunnahkan agar mu'adzin menggabungkan dua takbir dalam satu nafas.
Dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika mu'adzin mengatakan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Maka hendaklah seorang di antara kalian mengatakan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Kemudian jika mengatakan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Maka dia mengatakan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ ..." [7] Di sini terdapat isyarat yang jelas bahwa muadzin menggabungkan setiap dua takbir dalam satu nafas. Dan pendengar juga menjawab seperti itu. [8]
Disunnahkannya at-Tarjiil (Pengulangan).
At-tarjiil adalah mengucapkan kembali dua kalimat syahadat dengan suara keras sebanyak dua kali, setelah pengucapan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali dengan suara yang pelan. [9]
Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarinya adzan (dengan cara) ini, “Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Asyhadu allaa ilaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.” Kemudian mengulang dan mengucapkan, “Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Asyhadu allaa ilaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah. Hayya 'alash Shalaah. dua kali. Hayya 'alal Falaah. dua kali. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Laa ilaaha illallaah.” [10]
At-Tatswib (*) Pada Adzan Shubuh Pertama.
Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarinya adzan, di dalamnya terdapat lafazh, “Hayya 'alal falaah, hayya 'alal falaah. Ash-shalatu khairun minan nauum, Ash shalatu khairun minan nauum.” Pada (adzan) awal Shubuh. (Lalu dilanjutkan dengan) “Allaahu akbar, Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaah.” [11]
Al-Amir ash-Shan'ani berkata dalam Subulus Salaam (I/120): Ibnu Ruslan berkata, “At-Tatswib hanya disyari'atkan pada adzan Shubuh pertama. Karena ia berfungsi membangunkan orang tidur. Adapun adzan kedua berfungsi memberitahukan masuknya waktu dan seruan untuk shalat."
Disunnahkan adzan pada awal waktu dan mendahulukan khusus untuk shalat Shubuh.
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata, “Bilal adzan jika matahari telah tergelincir, dan dia tidak mengurangi (sedikit pun dari lafazh adzan). Dan dia tidak iqamat hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar. Jika beliau keluar, maka dia mengumandangkan iqamat ketika melihatnya." [12]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan.” [13]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah mendahulukan adzan Shubuh dari waktunya dengan sabdanya, “Janganlah adzan Bilal menghalangi salah seorang dari kalian dari sahur. Karena sesungguhnya dia adzan -atau beliau bersabda: menyeru di malam hari agar orang yang shalat malam di antara kalian kembali (istirahat) dan juga untuk membangunkan orang yang tidur di antara kalian.” [14]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Fiqhus Sunnah (I/94).
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/111 no. 631)], Shahiih Muslim (I/465 no. 674).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/89/610)], ini adalah lafazhnya, dan Shahiih Muslim (I/288 no. 382), dengan makna serupa.
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6645)], Shahiih Muslim (I/290 no. 387).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 625)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/87 no. 609), dan Sunan an-Nasa-i (II/12).
[6]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 469)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (III/14 no. 244), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/169 no. 495), Sunan at-Tirmidzi (I/122 no. 189), secara ringkas, dan Sunan Ibni Majah (I/232 no. 706).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 527)], Shahiih Muslim (I/289 no. 385), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/228 no. 523).
[8]. Syarh Muslim karya an-Nawawi (III/79).
[9]. Ibid.
(*). Tatswib adalah mengucapkan "Ash-Shalaatu khairun minan naum" ed
[10]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 191)], Shahiih Muslim (I/287 no. 379).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 628)], Sunan an-Nasa-i (II/7).
[12]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 503)] Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (III/35 no. 283) ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (I/423 no. 606), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/241 no. 533), dengan lafazh serupa. Dan makna "tidak mengurangi" adalah "Tidak meninggalkan lafazhnya sedikit pun." Demikianlah pendapat asy-Syaukani dalam Nailul Authaar (II/31).
[13]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/104 no. 622)], dan Shahiih Muslim (II/768 no. 1092 (38)).
[14]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/103 no. 621)], Shahiih Muslim (II/768 no. 1093), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VI/472 no. 2330).
أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ الله، أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ.
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ.
أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ، لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.
Ketika pagi tiba, aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kuberitahukan kepada beliau tentang apa yang telah kulihat (dalam mimpi). Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ini adalah mimpi yang benar insya Allah.” Kemudian beliau menyuruh adzan. Dan Bilal budak yang dimerdekakan oleh Abu Bakar mengumandangkan adzan dengan (lafazh tersebut).[6]
Disunnahkan agar mu'adzin menggabungkan dua takbir dalam satu nafas.
Dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika mu'adzin mengatakan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Maka hendaklah seorang di antara kalian mengatakan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Kemudian jika mengatakan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Maka dia mengatakan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ ..." [7] Di sini terdapat isyarat yang jelas bahwa muadzin menggabungkan setiap dua takbir dalam satu nafas. Dan pendengar juga menjawab seperti itu. [8]
Disunnahkannya at-Tarjiil (Pengulangan).
At-tarjiil adalah mengucapkan kembali dua kalimat syahadat dengan suara keras sebanyak dua kali, setelah pengucapan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali dengan suara yang pelan. [9]
Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarinya adzan (dengan cara) ini, “Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Asyhadu allaa ilaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.” Kemudian mengulang dan mengucapkan, “Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Asyhadu allaa ilaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah. Hayya 'alash Shalaah. dua kali. Hayya 'alal Falaah. dua kali. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Laa ilaaha illallaah.” [10]
At-Tatswib (*) Pada Adzan Shubuh Pertama.
Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarinya adzan, di dalamnya terdapat lafazh, “Hayya 'alal falaah, hayya 'alal falaah. Ash-shalatu khairun minan nauum, Ash shalatu khairun minan nauum.” Pada (adzan) awal Shubuh. (Lalu dilanjutkan dengan) “Allaahu akbar, Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaah.” [11]
Al-Amir ash-Shan'ani berkata dalam Subulus Salaam (I/120): Ibnu Ruslan berkata, “At-Tatswib hanya disyari'atkan pada adzan Shubuh pertama. Karena ia berfungsi membangunkan orang tidur. Adapun adzan kedua berfungsi memberitahukan masuknya waktu dan seruan untuk shalat."
Disunnahkan adzan pada awal waktu dan mendahulukan khusus untuk shalat Shubuh.
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata, “Bilal adzan jika matahari telah tergelincir, dan dia tidak mengurangi (sedikit pun dari lafazh adzan). Dan dia tidak iqamat hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar. Jika beliau keluar, maka dia mengumandangkan iqamat ketika melihatnya." [12]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan.” [13]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah mendahulukan adzan Shubuh dari waktunya dengan sabdanya, “Janganlah adzan Bilal menghalangi salah seorang dari kalian dari sahur. Karena sesungguhnya dia adzan -atau beliau bersabda: menyeru di malam hari agar orang yang shalat malam di antara kalian kembali (istirahat) dan juga untuk membangunkan orang yang tidur di antara kalian.” [14]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Fiqhus Sunnah (I/94).
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/111 no. 631)], Shahiih Muslim (I/465 no. 674).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/89/610)], ini adalah lafazhnya, dan Shahiih Muslim (I/288 no. 382), dengan makna serupa.
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6645)], Shahiih Muslim (I/290 no. 387).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 625)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/87 no. 609), dan Sunan an-Nasa-i (II/12).
[6]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 469)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (III/14 no. 244), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/169 no. 495), Sunan at-Tirmidzi (I/122 no. 189), secara ringkas, dan Sunan Ibni Majah (I/232 no. 706).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 527)], Shahiih Muslim (I/289 no. 385), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/228 no. 523).
[8]. Syarh Muslim karya an-Nawawi (III/79).
[9]. Ibid.
(*). Tatswib adalah mengucapkan "Ash-Shalaatu khairun minan naum" ed
[10]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 191)], Shahiih Muslim (I/287 no. 379).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 628)], Sunan an-Nasa-i (II/7).
[12]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 503)] Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (III/35 no. 283) ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (I/423 no. 606), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/241 no. 533), dengan lafazh serupa. Dan makna "tidak mengurangi" adalah "Tidak meninggalkan lafazhnya sedikit pun." Demikianlah pendapat asy-Syaukani dalam Nailul Authaar (II/31).
[13]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/104 no. 622)], dan Shahiih Muslim (II/768 no. 1092 (38)).
[14]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/103 no. 621)], Shahiih Muslim (II/768 no. 1093), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VI/472 no. 2330).
Apa Yang Harus Diucapkan Ketika Mendengar Adzan Dan Iqamat
D. Apa Yang Harus Diucapkan Ketika Mendengar Adzan dan Iqamat.
Disunnahkan bagi yang mendengar adzan dan iqamat untuk mengucapkan sebagaimana yang diucapkan muadzin.
Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan muadzin." [1]
Dari 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika muadzin mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Maka hendaklah salah seorang di antara kalian (juga) mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Hayya 'alash shalaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Laa haula walaa quwwata illaa billaah.’ Kemudian jika mu-adzin mengucapkan, ‘Hayya 'alal falaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Laa haula walaa quwwata illaa billaah.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Maka ia mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah,’ dengan hati yang tulus, maka dia akan masuk Surga."[2]
Barangsiapa mengucapkan sebagaimana ucapan mu-adzin, atau ketika muadzin mengucapkan hayya 'alatain ("Hayya 'alash shalaah" dan "hayya 'alal falaah"), ia mengucapkan, "Laa haula walaa quwwata illaa billaah," atau menggabungkan antara apa yang diucapkan oleh muadzin dan hauqalah ("Laa haula walaa quwwata illaa billaah."), maka dia telah berbuat benar insya Allah.
Jika muadzin selesai adzan dan iqamat serta pendengar telah menjawabnya, maka hendaklah mengucapkan apa yang ada dalam dua hadits berikut ini:
Dari 'Abdullah bin 'Amr, dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّـى عَلَيَّ صَلَّى اللهُ بِهَا عَلَيْهِ عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوْا اللهَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ اللهَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَّفَاعَةِ.
"Jika kalian mendengar mu-adzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah untukku. Karena barangsiapa yang bershalawat untukku sekali, maka dengannya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintalah al-wasilah kepada Allah untukku. Ia adalah sebuah tempat di Surga yang tak diraih kecuali oleh seorang hamba di antara hamba-hamba Allah. Dan aku berharap ia adalah aku. Barangsiapa memintakan untukku wasilah kepada Allah, maka dia layak mendapat syafa'atku." [3]
Dari Jabir, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَالَ عِنْدَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: "اَللّهُمَّ رَبَّ هذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَـائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا اَلْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ،" حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa yang ketika mendengar adzan mengucapkan, ‘Ya Allah, Rabb seruan yang sempurna ini serta shalat yang didirikan hammad wasilah dan keutamaan. Tempatkanlah ia pada kedudukan yang mulia sebagaimana Kau janjikan.’ Maka dia layak mendapat syafa'atku pada hari Kiamat.” [4]
Catatan:
Disunnahkan bagi seorang muslim agar memperbanyak do’a antara adzan dan iqamat. Karena do’a pada waktu itu dikabulkan.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلدُّعَاءُ لاَيُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ.
"Do’a antara adzan dan iqamat tidak ditolak." [5]
E. Hal yang Disunnahkan Bagi Mu-adzin [6]
Disunnahkan bagi mu-adzin untuk mengikuti hal-hal berikut:
D. Apa Yang Harus Diucapkan Ketika Mendengar Adzan dan Iqamat.
Disunnahkan bagi yang mendengar adzan dan iqamat untuk mengucapkan sebagaimana yang diucapkan muadzin.
Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan muadzin." [1]
Dari 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika muadzin mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Maka hendaklah salah seorang di antara kalian (juga) mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Hayya 'alash shalaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Laa haula walaa quwwata illaa billaah.’ Kemudian jika mu-adzin mengucapkan, ‘Hayya 'alal falaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Laa haula walaa quwwata illaa billaah.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Maka ia mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah,’ dengan hati yang tulus, maka dia akan masuk Surga."[2]
Barangsiapa mengucapkan sebagaimana ucapan mu-adzin, atau ketika muadzin mengucapkan hayya 'alatain ("Hayya 'alash shalaah" dan "hayya 'alal falaah"), ia mengucapkan, "Laa haula walaa quwwata illaa billaah," atau menggabungkan antara apa yang diucapkan oleh muadzin dan hauqalah ("Laa haula walaa quwwata illaa billaah."), maka dia telah berbuat benar insya Allah.
Jika muadzin selesai adzan dan iqamat serta pendengar telah menjawabnya, maka hendaklah mengucapkan apa yang ada dalam dua hadits berikut ini:
Dari 'Abdullah bin 'Amr, dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّـى عَلَيَّ صَلَّى اللهُ بِهَا عَلَيْهِ عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوْا اللهَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ اللهَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَّفَاعَةِ.
"Jika kalian mendengar mu-adzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah untukku. Karena barangsiapa yang bershalawat untukku sekali, maka dengannya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintalah al-wasilah kepada Allah untukku. Ia adalah sebuah tempat di Surga yang tak diraih kecuali oleh seorang hamba di antara hamba-hamba Allah. Dan aku berharap ia adalah aku. Barangsiapa memintakan untukku wasilah kepada Allah, maka dia layak mendapat syafa'atku." [3]
Dari Jabir, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَالَ عِنْدَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: "اَللّهُمَّ رَبَّ هذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَـائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا اَلْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ،" حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa yang ketika mendengar adzan mengucapkan, ‘Ya Allah, Rabb seruan yang sempurna ini serta shalat yang didirikan hammad wasilah dan keutamaan. Tempatkanlah ia pada kedudukan yang mulia sebagaimana Kau janjikan.’ Maka dia layak mendapat syafa'atku pada hari Kiamat.” [4]
Catatan:
Disunnahkan bagi seorang muslim agar memperbanyak do’a antara adzan dan iqamat. Karena do’a pada waktu itu dikabulkan.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلدُّعَاءُ لاَيُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ.
"Do’a antara adzan dan iqamat tidak ditolak." [5]
E. Hal yang Disunnahkan Bagi Mu-adzin [6]
Disunnahkan bagi mu-adzin untuk mengikuti hal-hal berikut:
1. Mengharap wajah Allah dengan adzannya, maka janganlah ia mengambil upah.
Dari 'Utsman bin Abi al-'Ash Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, jadikanlah aku imam bagi kaumku'. Beliau bersabda, 'Engkau adalah imam mereka. Ikutilah orang yang terlemah di antara mereka (jadikan ia sebagai patokan-ed.), dan angkatlah seorang mu-adzin yang tidak mengambil upah dari adzannya." [7]
2. Suci dari hadats besar dan kecil
Sebagaimana yang telah diulas dalam pembahasan "hal-hal yang disunnahkan wudhu' di dalamnya."
3. Berdiri menghadap Kiblat
Ibnul Mundzir berkata, “Telah disepakati bahwa berdiri saat mengumandangkan adzan termasuk sunnah. Karena adzan tersebut menjadi lebih terdengar. Dan termasuk sunnah adalah menghadap kiblat saat mengumandangkan adzan. Karena para mu-adzin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dulu adzan sambil menghadap Kiblat."
4. Menolehkan kepala dan lehernya ke kanan saat mengucapkan, "Hayya 'alash shalaah," dan ke kiri saat mengucapkan: "Hayya 'alal falaah."
Dari Abu Juhaifah, dia melihat Bilal sedang adzan. Dia berkata, “Aku mengikuti mulutnya ke sana kemari saat adzan.”[8]
5. Memasukkan dua jarinya ke telinga
Berdasarkan perkataan Abu Juhaifah Radhiyallahu anhu, “Aku melihat Bilal sedang adzan sambil memutar dan mengikuti mulutnya ke sana kemari. Sedangkan kedua jarinya ada di dalam kedua telinganya." [9]
6. Mengeraskan suaranya ketika menyeru
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tidaklah jin, manusia, dan yang lainnya mendengar suara mu-adzin melainkan akan memberikan kesaksian baginya di hari Kiamat.” [10]
F. Berapa Lamakah Jarak Antara Adzan dan Iqamat?
Antara adzan dan iqamat sebaiknya dipisahkan waktu yang cukup untuk persiapan menghadiri shalat. Itulah tujuan disyari'atkannya adzan. Jika tidak demikian, hilanglah hikmahnya.
Ibnu Baththal berkata [11], “Tidak ada batasan dalam hal ini kecuali kepastian tentang masuknya waktu dan berkumpulnya orang-orang yang hendak shalat.”
G. Dilarang Keluar dari Masjid setelah Adzan
Dari Abu Sya'tsa', dia berkata, “Kami pernah duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah Radhiyallahu anhu maka mu-adzin pun mengumandangkan adzan. Lantas ada seorang laki-laki yang bangkit dan berjalan keluar masjid. Kemudian Abu Hurairah mengikutinya dengan pandangannya hingga ia keluar masjid. Lalu Abu Hurairah berkata, 'Orang ini telah mendurhakai Abul Qasim (Nabi Muhammad). Shallallahu 'alaihi wa sallam'”[12]
H. Adzan dan Iqamat Untuk Shalat yang Terlewatkan
Barangsiapa tertidur dari shalatnya atau lupa, maka disyari'atkan baginya untuk adzan dan iqamat.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kisah tertidurnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya pada suatu perjalanan hingga shalat Shubuh terlewatkan. Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Bilal (untuk adzan dan iqamat), lalu Bilal pun adzan dan iqamat."[13]
Jika shalat yang terlewatkan lebih dari satu, maka adzan sekali dan iqamat untuk setiap shalat.
Berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari mengerjakan empat shalat pada hari berlangsungnya perang Khandaq. Hingga berlalulah malam menurut kehendak Allah. Maka beliau menyuruh Bilal untuk adzan kemudian iqamat lalu shalat Zhuhur. Kemudian iqamat lalu shalat ‘Ashar. Kemudian iqamat lalu shalat Maghrib. Kemudian iqamat lalu shalat ‘Isya'."[14]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/90 no. 661)], Shahiih Muslim (I/288 no. 383), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/224 no. 518), Sunan at-Tirmidzi (I/134 no. 208), Sunan Ibni Majah (I/238 no. 720), dan Sunan an-Nasa-i (II/23).
[2]. Telah berlalu takhrijnya.
Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (II/169 no. 495), Shahiih Muslim (I/289 no. 385) dan Sunan Abi Dawud (Aunul Ma’buud (II/228 no. 523)].
[3]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 198)], Shahiih Muslim (I/288 no. 384), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/225 no. 519), Sunan at-Tirmidzi (V/ 247 no. 3694) dan Sunan an-Nasa-i (II no. 25).
[4]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 243)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/94 no. 614), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/231 no. 525), Sunan at-Tirmidzi (I/136 no. 211), Sunan an-Nasa-i (II/27) dan Sunan Ibni Majah (I/239 no. 722).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 489)], Sunan at-Tirmidzi (I/137 no. 212) dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/224 no. 517).
[6]. Fiqhus Sunnah (I/99).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 497)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/234 no. 527), Sunan an-Nasa-i (II/23) dan Sunan Ibni Majah (I/ 236 no. 714), kalimat terakhir berasal darinya.
[8]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/114 no. 634)], Shahiih Muslim (I/360 no. 503), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/219 no. 516), Sunan at-Tirmidzi (I/126 no. 197) dan Sunan an-Nasa-i (II/12). Adapun menggerakkan dada, maka tidak ada dasarnya sama sekali dalam Sunnah. Tidak pula disebutkan dalam hadits-hadits tentang menggerakkan leher. Sebagaimana disebutkan dalam Tamaamul Minnah hal. 150.
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 264)] dan Sunan at-Tirmidzi (I/126 no. 197), dia berkata: "Hadits Hasan Shahiih." Hal ini diamalkan oleh ahlul ilmi. Mereka menyunnahkan mu-adzin memasukkan kedua jarinya ke dalam kedua telinganya saat adzan.
[10]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 625)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/87 no. 609) dan Sunan an-Nasa-i (II/12).
[11]. Al-Hafizh menyebutkannya dalam Fat-hul Baari (II/106).
[12]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 249)], Shahiih Muslim (I453 no. 655), Sunan an-Nasa-i (II/29), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/240 no. 532) dan Sunan at-Tirmidzi (I/131 no. 204). Menurut dua riwayat terakhir, ditegas-kan bahwa peristiwa itu terjadi di waktu ‘Ashar.
[13]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 420)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/106 no. 432).
[14].Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 638)], Sunan at-Tirmidzi (I/115 no. 179), Sunan an-Nasa-i (I/279).
Sumber: http://almanhaj.or.id/
0 komentar:
Posting Komentar