Oleh: al-Ustadz Abu Ubaidah Al-Atsari
:: KAIDAH PENTING ::
Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Mengingkari kemungkaran memiliki empat tingkatan:
Pertama: Apabila kemungkaran tersebut hilang dan berganti sebaliknya
Kedua: Apabila mengecil sekalipun tidak hilang seluruhnya,.
Ketiga: Apabila berganti dengan kemungkaran semisalnya.
Keempat: Apabila berganti kepada yang lebih parah darinya.
Kedua: Apabila mengecil sekalipun tidak hilang seluruhnya,.
Ketiga: Apabila berganti dengan kemungkaran semisalnya.
Keempat: Apabila berganti kepada yang lebih parah darinya.
Tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan, tingkatan ketiga perlu pertimbangan, dan tingkatan keempat hukumnya haram.”
Lanjut beliau: “Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga
Allah menerangi kuburnya- berkata: Pada zaman pasukan Tatar, aku bersama
para kawanku pernah melewati orang-orang lagi asyik minum khamr,
seorang kawan mengingkari mereka namun aku menegurnya seraya kukatakan
padanya: “Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr karena menghalangi
manusia dari mengingat Allah dan mengingat shalat, dan mereka apabila
minum khamr maka mereka tidak membunuh, menawan anak-anak dan merampok
harta, jadi biarkan saja mereka”.(I’lam Muwaqqi’in, 4/339-340)
:: ADAB BERDIALOG ::
Pernah dikatakan kepada Hatim al-Asham[1]: “Engkau adalah orang ‘ajami
(bukan Arab), kamu juga tidak fashih, namun kamu selalu menang dalam
berdebat, apa rahasianya?!” Dia menjawab: “Saya memiliki tiga kunci
dalam berdebat, aku bergembira apabila lawanku benar, aku sedih bila dia
salah, dan aku menjaga diriku untuk tidak menyakitinya”. Tatkala ucapan
ini sampai kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, beliau berkomentar: “Subhanallah! Alangkah cerdasnya orang ini!!”. (al-Muntadham fi Tarikhi Muluk wal Umam, Ibnul Jauzi 11/254)
:: PUJIAN DAN CELAAN ::
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Sebuah cara yang
paling manjur untuk mendapatkan ketenangan adalah mengabaikan omongan
orang dan memperhatikan ucapan Sang Pencipta alam. Barangsiapa yang
menyangka bahwa dirinya bisa selamat dari celaan manusia, maka dia telah
gila.
Seorang yang mencermati secara seksama -sekalipun ini pahit rasanya-
niscaya akan mengetahui bahwa celaan manusia kepadanya justru lebih baik
daripada pujian mereka, sebab pujian kalau memang benar maka bisa
menyeretnya lupa daratan dan menimbulkan penyakit ‘ujub (bangga
diri) yang akan merusak keutamaannya, namun apabila pujian itu tidak
benar dan dia bergembira dengannya, maka berarti dia gembira dengan
kedustaan. Sungguh ini kekurangan yang sangat.
Adapun celaan manusia, kalau memang benar maka hal itu dapat
mengeremnya dari perbutan yang tercela, dan ini sangat bagus sekali,
semuanya pasti menginginkannya kecuali orang yang kurang akalnya. Namun
apabila celaannya tidak benar dan dia sabar, berarti dia mendapatkan
keutamaan sabar, dan akan mengambil pahala kebajikan orang yang
mencelanya sehingga dia akan menuai pahala kelak di hari kiamat hanya
dengan perbuatan yang tidak memberatkan. Sungguh ini adalah kesempatan
berharga, semuanya pasti menginginkannya kecuali orang yang gila ”.(Mudawah Nufus hal. 80-81)
:: INDAHNYA COBAAN ::
Imam adz-Dzahabi rahimahullah menceritakan dalam Siyar A’lam Nubala’ 8/80-81 tentang cobaan yang menimpa Imam Malik bin Anas rahimahullah
karena suatu fatwanya, dimana beliau dipanggil oleh pemimpin saat itu,
lalu dilepasi bajunya, dicambuki, dan ditarik tangannya hingga terlepas
tulang pundaknya, tetapi semua itu malah menjadikan beliau setelah itu
dalam ketinggian derajat. Imam adz-Dzahabi berkomentar: “Demikianlah
buah cobaan yang terpuji, dia mengangkat derajat seorang hamba dalam
hati orang-orang yang beriman!!”.
:: JANGAN TERGESA-GESA ::
Hendaknya bagi setiap juru dakwah untuk saling menyayangi dan saling
memaafkan antara sesama. Bila ada suatu kabar miring tentang saudaranya,
maka janganlah dia tergesa-gesa menanggapinya. Hendaknya dia mengecek
kebenarannya terlebih dahulu, karena betapa banyak kabar yang ternyata
hanya sekedar gosip semata, yang justru kerapkali meretakkan hubungan
antara para juru dakwah!!!. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seorang dianggap berdusta apabila dia menceritakan setiap yang dia dengar”.(HR. Muslim: 5.)
Dahulu dikatakan:
وَمَا آفَةُ الأَخْبَارِ إِلاَّ رُوَاتُهَا
Tidaklah kecacatan sebuah kabar kecuali dari penukilnya [2].
Dan apabila berita tersebut memang benar, maka kedepankanlah husnu zhan (baik sangka) kepada saudaramu dalam memahami ucapan atau perbuatannya.
Amirul mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Janganlah engkau menyangka jelek suatu kalimat yang keluar dari
saudaramu muslim sedangkan engkau masih bisa mendapatkan ruang kebaikan
dalam memahaminya”.(Dikeluarkan al-Mahamili dalam Al-Amali: 460)
:: JANGAN SEDIH ::
Saudaraku, janganlah engkau sedih hati dengan sedikitnya orang yang
menghadiri pengajianmu atau mendengarkan ceramahmu! Ingatlah selalu
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ, فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ, وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ, وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
Dinampakkan kepadaku semua umat, lalu saya melihat ada seorang
Nabi bersama tiga hingga sembilan pengikutnya, ada seorang nabi bersama
satu atau dua pengikut, dan ada seorang nabi yang tidak memiliki
pengikut satupun[3]. (HR. Bukhari: 5704, Muslim: 220)
Mahmud bin Syukri al-Alusi berkata: “Seorang alim tidaklah berkurang
kedudukannya hanya dikarenakan sedikitnya murid sebagaimana Nabi
tidaklah berkurang kedudukannya dikarenakan sedikitnya pengikut”.(al-Misku wal Idzhir hal. 198.)
Sekalipun hanya beberapa orang yang ingin belajar kepadamu, maka
ajarilah mereka ilmu yang Allah anugerahkan kepadamu, semoga Allah
melipatgandakan pahala bagimu. Ingatlah selalu kisah-kisah para ulama
sebelum kita yang jauh lebih alim daripada kita.
Imam Malik rahimahullah berkata: “Aku mendatangi Nafi’
ketika usiaku masih kecil bersama seorang temanku, beliaupun turun untuk
mengajariku. Beliau duduk setelah shubuh di masjid, namun tidak ada
seorangpun yang datang kepadanya”. (Siyar A’lam Nubala’ 8/107)
Imam Atha’ bin Robah rahimahullah, dia adalah seorang yang paling dicintai manusia, namun yang hadir di majlisnya hanyalah delapan atau sembilan orang saja”.(Siyar A’lam Nubala’ 5/84, lihat Ma’alim fi Thalabil Ilmi, Abdul Aziz as-Sadhan hal. 310.)
:: DAKWAH DENGAN TULISAN ::
:: CITA-CITA KITA ::
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
“Saya memandang bahwa manfaat menulis lebih banyak daripada manfaat
mengajar, karena kalau mengajar mungkin hanya kepada beberapa orang
tertentu saja, sedangkan tulisan dibaca dan diambil manfaat oleh sekian
banyak orang yang tak terhitung jumlahnya, bahkan mungkin oleh mereka
yang kini belum lahir ke dunia. Bukti akan hal ini bahwa manusia lebih
banyak mengambil manfaat dari kitab-kitab para ulama pendahulu daripada
dari penjelasan guru-guru mereka.
Oleh karena itu, hendaklah orang yang
dikaruniai Allah ilmu, meluangkan waktunya dalam menulis karya yang
bermanfaat, sebab tidak semua orang yang membuat karya berarti
bermanfaat, karena tujuan tulisan bukan hanya sekedar mengumpulkan
sana-sini, tetapi itu adalah anugerah yang Allah berikan kepada hamba
pilihan-Nya sehingga dia mengumpulkan masalah yang berserakan dan
menjelaskan masalah yang masih rumit. Inilah tulisan yang bermanfaat.
Hendaknya menulis dilakukan di tengah-tengah umur, karena awal umur
untuk menuntut ilmu dan akhir umur sudah mengalami keletihan.” (Shaidul Khothir hal. 386)
:: CITA-CITA KITA ::
مُنَايَ مِنَ الدُّنْيَا عُلُوْمٌ أَبُثُّهَا وَأَنْشُرُهَا فِيْ كُلِّ بَادٍ وَحَاضِرِ
دُعَاءٌ إِلَى الْقُرْآنِ وَ السُّنَنِ الَّتِيْ تَنَاسَى رِجَالٌ ذِكْرَهَا فِي الْمَحَاضِرِ
وَقَدْ أَبْدَلُوْهَا بِالْجَرَائِدِ تَارَةْ وَتِلْفَازُهُمْ رَأْسُ الشُّرُوْرِ وَالْمَنَاكِرِ
وَبِالرَّادِيُوْ فَلاَ تَنْسَ شَرَّهُ فَكَمْ ضَاعَ الْوَقْتُ بِهَا مِنْ خَسَائِرِ
Cita-citaku di dunia adalah menyebarkan ilmu
Ke pelosok desa dan kota
Mengajak menusia kepada Al-Qur’an dan
Sunnah
Yang kini banyak dilalaikan
manusia.[4]
Mereka menggantinya dengan koran dan televisi
Mereka sumber kerusakan dan kemunkaran
Dan siaran juga, jangan kamu lupakan
kejelekannya
Betapa banyak waktu hilang sia-sia karenanya. [5].
:: PERAN DAKWAH WANITA ::
Dakwah bukan hanya tugas kaum lelaki saja,
para saudari kita dari kaum wanita juga memikul beban dakwah di pundak
mereka dan hendaknya mereka berperan dalam penyebaran dakwah sesuai
medan dan kemampuannya. Hal ini telah disadari dan diamalkan oleh para
wanita salaf terdahulu [6]. Kisah berikut bisa dijadikan sebagai renungan:
:: DAKWAH KEPADA JIN ::
Allah berfirman:
وَلۡتَكُن
مِّنكُمۡ أُمَّةٌ۬ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ
بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ
ٱلۡمُفۡلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imron[3]: 104)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata: “FirmanNya: ‘Mereka menyerukan kebaikan‘
mencakup kepada semua yang bisa ditujukan dakwah kepadanya baik dari
jenis manusia maupun jin. Oleh karena itu, objek dalam ayat ini tidak
disebutkan agar cakupannya umum.” (Tafsir Surat Ali Imran: 2/6)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa
(19/40-43): “Kesimpulannya, apabila jin mengganggu manusia, maka
hendaknya dikabarkan pada mereka tentang hukum Allah dan rasul-Nya, dan
ditegakkan hujjah dan amar ma’ruf nahi munkar pada mereka sebagaimana
halnya ditegakkan kepada manusia[9], karena Allah berfirman:
يَـٰمَعۡشَرَ
ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ رُسُلٌ۬ مِّنكُمۡ يَقُصُّونَ
عَلَيۡڪُمۡ ءَايَـٰتِى وَيُنذِرُونَكُمۡ لِقَآءَ يَوۡمِكُمۡ هَـٰذَاۚ
Hai golongan jin dan manusia, apakah
belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang
menyampaikan kepadamu ayat-ayat Ku dan memberi peringatan kepadamu
terhadap pertemuanmu dengan hari ini? (QS. al-An’am [6]: 130)”
Sumber:
Sumber:
Diketik dari Majalah AL FURQON edisi 8 Tahun
ke-6, Rabi’ul Awwal 1428 H, hlm. 61-64, dengan bantuan teks yang
sebagiannya kami salin dari situs penulis -hafidzahullah- www.abiubaidah.com
CATATAN KAKI:
[1] Al-Asham adalah gelar yang artinya tuli. Konon ceritanya,
ada seorang wanita bertanya kepadanya tentang suatu permasalahan, namun
dengan tidak sengaja wanita itu kentut bersuara, sehingga si wanita
merasa malu. Untuk menjaga perasaannya, Hatim berpura-pura tidak
mendengar seraya berkata: “Keraskanlah suaramu”. Wanita itupun merasa
senang karena dia menduga Hatim tidak mendengar suara kentutnya. Setelah
itu Hatim terus menjadi tuli. (al-Muntadham 11/253)
[2] Ghoyah Nihayah 1/263, sebagaimana dalam An-Nadhair Bakr Abu Zaid hal. 301
[3] Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas bahwa banyak dan sedikitnya pengikut bukanlah timbangan benar atau salahnya seorang dai”. Lanjutnya: “Dalam hadits ini juga terdapat pelajaran bagi para dai dan mad’u (yang didakwahi), seorang dai hendaknya terus maju dalam kancah dakwah tanpa menghiraukan sedikitnya orang yang menerima dakwahnya, karena kewajibannya hanyalah menyampaikan. Demikian pula bagi orang yang didakwahi hendaknya tidak sedih karena sedikitnya orang yang menerima dakwah, atau meragukan dakwah yang benar, apalagi menolaknya hanya dengan alasan sedikitnya pengikut (diiringi anggapan) “seandainya dakwah yang benar tentu akan diikuti banyak orang!!”. (Lihat Silsilah ash-Shahihah 1/2/755-756).
[4] Siyar A’lam Nubala’ 18/206. Adz-Dzahabi berkomentar: “Syair Ibnu Hazm ini sangat indah sekali sebagaimana engkau lihat sendiri.”
[5] Mawarid Zhom’an (3/4), dari Madarik Nadhar Abdul Malik al-Jazairi
[6] Lihat buku al-Ijabah li Irodi Ma Istadrokathu Sayyidah Aisyah ‘ala Shohabah oleh az-Zarkasyi dan buku Mas’uliyah Nisa’ fil Amri bil Ma’ruf wa Nahyi ‘anil Munkar oleh DR. Fadhl Ilahi. Dalam dua buku ini banyak sekali disebutkan potret kisah-kisah para wanita salaf dalam berdakwah dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
[7] Demikian judul kitab ini tercetak pada tahun 1403 H, namun penelitian menunjukkan bahwa judul ini hanyalah dari penerbit, bukan dari penulis aslinya. Judul kitab ini yang benar adalah Akhbar Madinah sebagaimana disebutkan oleh para ulama yang menukilnya, seperti adz-Dzahabi dalam Siyar 12/371, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/571, dll. (Lihat pula Juz’ fi Ziyaroh Nisa’ lil Qubur oleh Syaikh Bakr Abu Zaid hal. 9)
[8] Demikian tanda harokatnya, dengan mem-fathah syin dan mentasydid ba‘, sebagaimana dalam Tahdzib Asma’ wa Lughot 2/335 oleh Imam Nawawi
[9] Ibnu Muflih rahimahullah berkata dalam al-Furu’ (1/607): “Syaikhuna (Ibnu Taimiyah rahimahullah) apabila didatangkan kepada beliau seorang yang kesurupan, maka beliau menasihati jin yang mengganggunya, memerintah dan melarangnya. Apabila jin tersebut mau meninggalkan orang yang kesurupan, maka beliau mengikat janji dengannya agar tidak kembali lagi. Dan apabila jin bersikukuh tidak mau meninggalkannya, maka beliau memukulnya hingga keluar.” (Lihat pula Fathul Mannan fi Jam’i Kalami Syaikhil Islam ‘anil Jan, Masyhur bin Hasan Salman 2/482)
________[2] Ghoyah Nihayah 1/263, sebagaimana dalam An-Nadhair Bakr Abu Zaid hal. 301
[3] Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas bahwa banyak dan sedikitnya pengikut bukanlah timbangan benar atau salahnya seorang dai”. Lanjutnya: “Dalam hadits ini juga terdapat pelajaran bagi para dai dan mad’u (yang didakwahi), seorang dai hendaknya terus maju dalam kancah dakwah tanpa menghiraukan sedikitnya orang yang menerima dakwahnya, karena kewajibannya hanyalah menyampaikan. Demikian pula bagi orang yang didakwahi hendaknya tidak sedih karena sedikitnya orang yang menerima dakwah, atau meragukan dakwah yang benar, apalagi menolaknya hanya dengan alasan sedikitnya pengikut (diiringi anggapan) “seandainya dakwah yang benar tentu akan diikuti banyak orang!!”. (Lihat Silsilah ash-Shahihah 1/2/755-756).
[4] Siyar A’lam Nubala’ 18/206. Adz-Dzahabi berkomentar: “Syair Ibnu Hazm ini sangat indah sekali sebagaimana engkau lihat sendiri.”
[5] Mawarid Zhom’an (3/4), dari Madarik Nadhar Abdul Malik al-Jazairi
[6] Lihat buku al-Ijabah li Irodi Ma Istadrokathu Sayyidah Aisyah ‘ala Shohabah oleh az-Zarkasyi dan buku Mas’uliyah Nisa’ fil Amri bil Ma’ruf wa Nahyi ‘anil Munkar oleh DR. Fadhl Ilahi. Dalam dua buku ini banyak sekali disebutkan potret kisah-kisah para wanita salaf dalam berdakwah dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
[7] Demikian judul kitab ini tercetak pada tahun 1403 H, namun penelitian menunjukkan bahwa judul ini hanyalah dari penerbit, bukan dari penulis aslinya. Judul kitab ini yang benar adalah Akhbar Madinah sebagaimana disebutkan oleh para ulama yang menukilnya, seperti adz-Dzahabi dalam Siyar 12/371, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/571, dll. (Lihat pula Juz’ fi Ziyaroh Nisa’ lil Qubur oleh Syaikh Bakr Abu Zaid hal. 9)
[8] Demikian tanda harokatnya, dengan mem-fathah syin dan mentasydid ba‘, sebagaimana dalam Tahdzib Asma’ wa Lughot 2/335 oleh Imam Nawawi
[9] Ibnu Muflih rahimahullah berkata dalam al-Furu’ (1/607): “Syaikhuna (Ibnu Taimiyah rahimahullah) apabila didatangkan kepada beliau seorang yang kesurupan, maka beliau menasihati jin yang mengganggunya, memerintah dan melarangnya. Apabila jin tersebut mau meninggalkan orang yang kesurupan, maka beliau mengikat janji dengannya agar tidak kembali lagi. Dan apabila jin bersikukuh tidak mau meninggalkannya, maka beliau memukulnya hingga keluar.” (Lihat pula Fathul Mannan fi Jam’i Kalami Syaikhil Islam ‘anil Jan, Masyhur bin Hasan Salman 2/482)
Sumber: http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/03/29/10-faedah-seputar-dakwah/
0 komentar:
Posting Komentar