Oleh Ustadz Aris Munandar hafidzahullah
Faedah Pertama
RAKYAT MENIRU PENGUASA?
RAKYAT MENIRU PENGUASA?
Ibnu Jarir mengutip perkataan Ali bin Muhammad al-Madaini yang
mengatakan, “Al-Walid bin Abdul Malik menurut pandangan penduduk Syam
adalah penguasa mereka yang terbaik. Beliaulah yang membangun berbagai
masjid di kota Damaskus, membangun berbagai menara, memberi rakyat yang
perlu bantuan finansial, dan menggaji bulanan para penyandang lepra dan
berkata kepada mereka, para penyandang lepra, “Janganlah kalian
megemis.” Beliau memberikan kepada setiap orang yang lumpuh pelayan dan
kepada setiap orang yang buta penuntun. Ketika berkuasa, beliau
menaklukkan banyak negeri-negeri kafir. Beliau kirimkan semua anak
laki-lakinya dalam setiap peperangan dengan Romawi. Beliau berhasil
menaklukkan India, Spanyol, dan berbagai negeri non-Arab. Pasukan beliau
bahkan sudah memasuki Cina dan selainnya.
Meski demikian, suatu ketika beliau melewati penjual sayur-mayur,
lantas beliau mengambil satu ikat sayuran dengan tangannya lalu bertanya
kepada penjual, “Berapa harganya?” “Satu fulus”, jawab sang penjual
sayur. Beliau kemudian mengatakan, “Tambahi sayurannya karena engkau
terlalu untung dengan harga tersebut.”
Para pakar sejarah mengatakan bahwa obsesi al-Walid bin Abdul Malik
adalah membangun. Rakyatnya pun demikian. Jika ada seseorang bertemu
kawannya, maka pertanyaan yang terlontar, “Apa yang telah engkau bangun
saat ini? Kau makmurkan dengan bangunan apa tanah yang kau miliki?”
Sedangkan obsesi saudaranya, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik adalah
perempuan, sehingga rakyatnya pun demikian. Jika ada seseorang bertemu
dengan kawannya, yang pertama kali ditanyakan, “Berapa kali engkau
menikah? Berapa budak perempuan yang kau gauli?”
Sedangkan obsesi Umar bin Abdul Aziz adalah membaca al-Qur’an,
shalat, dan ibadah. Kondisi rakyat di masa beliau (pun, -ed.) seperti
itu. Jika ada seorang bersua dengan kawannya, maka pertanyaan yang
pertama kali terlontar adalah, “Berapa raka’at shalat malam yang kau
rutinkan? Berapa lembar mushaf al-Qur’an yang kau baca setiap harinya?
Shalat apa yang kau kerjakan semalam?”
Banyak orang mengatakan, “Rakyat itu mengikuti agama atau ketaatan
penguasanya. Jika sang penguasa hobi menenggak khamer, maka akan banyak
khamer yang beredar di masyarakat.”
Jika penguasa memiliki penyimpangan seksual berupa homoseksual, maka
kondisi rakyat juga demikian. Jika penguasa itu pelit dan rakus dengan
dengan harta, maka kondisi rakyat juga demikian. Namun, jika penguasa
dermawan dan berjiwa sosial tinggi, maka kondisi rakyat juga serupa.
Jika penguasanya rakus dan suka bertindak kedzaliman, maka kondisi
rakyat juga demikian. Jika penguasa adalah seorang yang bagus agamanya,
bertakwa, suka berbuat baik dan menolong. Maka kondisi rakyat juga
demikian. Pengaruh penguasa semacam ini dijumpai pada sebagian masa pada
sebagian person penguasa tertentu. (Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir 9/186)
Faedah Kedua
MURJI’AH DAN PENGUASA
MURJI’AH DAN PENGUASA
Berbagai aliran sesat disampaikan kepada Raqbah bin Mashqalah. Beliau lantas berkomentar,
“Rafidhah adalah orang-orang yang menjadikan kebohongan sebagai dalil.
Sedangkan Murji’ah itu mengikuti agama (mayoritas) para penguasa. Kukira
Zaidiyyah adalah aliran sesat buatan perempuan (karena begitu rusaknya,
Pent.). tentang Mu’tazilah, demi Allah, dalam pandanganku tidaklah aku
pergi ke kebunku lalu pulang ke rumah melainkan mereka, orang-orang
Mu’tazilah, telah bertaubat dari keyakinan sesat mereka (karena demikian
jelas kesesatannya, Pent.)”[1]
Faedah Ketiga
MENCEGAH MUNCULNYA HAJJAJ DENGAN TAKWA
MENCEGAH MUNCULNYA HAJJAJ DENGAN TAKWA
Diriwayatkan oleh ad-Dainawari dalam kitabnya, al-Mujalasah no. 2433 dari al-Hasan al-Bashri, beliau berkata saat Hajjaj bin Yusuf masih berkuasa, “Bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah memiliki banyak Hajjaj (baca: penguasa yang zhalim seperti Hajjaj).”[2]
Faedah Keempat
MASUK SURGA KARENA TAAT PENGUASA
MASUK SURGA KARENA TAAT PENGUASA
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Barangsiapa
yang menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun,
lantas menegakkan shalat, membayar zakat, dan mendengar dan taat kepada
penguasa (selama tidak dalam kemaksiatan, Pent.) maka Allah akan
memasukkannya ke dalam surga dari pintu mana saja yang dia inginkan dan
surga itu memiliki delapan pintu. Namun, siapa saja yang beribadah
kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan menegakkan
shalat, membayar zakat, mendengarkan aturan penguasa tetapi
mendurhakainya, maka urusannya terserah Allah antara menyayanginya
ataukah menyiksanya.” (HR. Ahmad no. 22820, sanadnya dinilai hasan oleh Syu’aib al-Arnauth)
Faedah Kelima
MEMINTA JABATAN
MEMINTA JABATAN
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Sebagian ulama merinci hukum meminta jabatan. Mereka mengatakan, ‘Jika
seorang itu meminta jabatan untuk memperbaiki kondisi yang rusak, maka
hukumnya boleh, jika dia yakin bahwa dirinya mampu melakukannya. Jika
dia tidak yakin, maka tidak boleh. Karena yang paling selamat bagi
seseorang adalah menyelamatkan diri sendiri sebelum yang lain.’
Pendapat yang merinci inilah pendapat yang benar. Dengan pendapat
ini, semua dalil yang ada bisa dikompromikan. Jika seseorang –misalnya-
melihat bahwa pemegang suatu jabatan adalah orang yang tidak kapabel
untuk memegangnya, boleh jadi yang bermasalah pada diri orang tersebut
adalah kualitas agamanya, tidak amanah dalam menjalankan tugas, atau
berbagai kebijakannya ternyata tidak bijak, dan dia yakin memiliki
kemampuan untuk memegang jabatan tersebut dengan lebih baik atau minimal
lebih baik daripada sebelumnya, maka tidak mengapa hukumnya meminta
jabatan, karena tendensinya adalah bekerja dan memperbaiki kondisi,
bukan memuaskan kepentingan pribadi.
Namun, jika alasan untuk meminta jabatan atau seorang itu mengetahui
bahwa dirinya itu tidak mampu menjalankan jabatan tersebut dengan baik,
maka dia tidak boleh meminta jabatan.”[3]
Faedah Keenam
KERABAT PENGUASA LEBIH BERAT HUKUMANNYA
KERABAT PENGUASA LEBIH BERAT HUKUMANNYA
Dari Salim bin Abdullah bin Umar rahimahullah dari ayahnya, Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhu bercerita bahwa jika Khalifah Umar bin al-Khaththab
radhiyallahu ‘anhu melarang rakyatnya melakukan suatu hal, maka beliau
menemui keluarganya atau mengumpulkan keluarganya. Di depan keluarganya
beliau mengatakan, “Aku mengeluarkan larangan demikian dan demikian,
dan rakyat itu memandang kalian sebagaimana burung memandang daging
(baca: mencari-cari kesempatan). Jika kalian menerjang larangan
penguasa, maka mereka juga akan menerjangnya. Jika kalian takut untuk
melanggar larangan, maka mereka pun akan takut. Demi Allah, tidaklah ada
di antara kalian yang dibawa ke hadapanku karena melanggar salah satu
laranganku yang telah kuumumkan kepada masyarakat, kecuali aku akan
melipatgandakan hukuman untuknya karena mengingat kedekatannya dengan
diriku. Siapa yang mau mendapatkan hukuman tersebut maka silakan, dan
siapa yang tidak maka juga silakan.” (Mushannaf Abdurrazaq 20713)
Faedah Ketujuh
URGENSI DEKAT DENGAN PENGUASA
URGENSI DEKAT DENGAN PENGUASA
Dr. Sa’id bin Musfir al-Qahthani mengatakan, “Kendali aliran
Mu’tazilah lantas berada di tangan Bisyr bin Ghiyats al-Marisi dan Ahmad
bin Abi Duad. Melalui keduanya, aliran Mu’tazilah memiliki dimensi
politik. Keduanya bisa meyakinkan Khalifah al-Ma>mun –yang sebenarnya
juga sudah sangat terpengaruh dengan pemikiran Mu’tazilah-. Sang
Khalifah lantas mengadopsi aqidah bahwa al-Qur’an itu makhluk dan dia
paksa kaum muslimin untuk menganut keyakinan ini. Sang Khalifah pun
membuat permusuhan sengit terhadap para ulama Ahlis Sunnah dengan
memaksa mereka untuk meyakini bahwa al-Qur’an itu makhluk. Sehingga para
ulama Ahlis Sunnah mendapatkan gangguan keras dan intimidasi berupa
dipukul, dipenjara, dan dibunuh. Suatu kejadian yang tiada bandingnya
dalam sejarah umat Islam.
Kejadian ini tidak akan terjadi seandainya para ulama Ahlis Sunnah
yang terlebih dahulu mengambil hati sang Khalifah dengan meyakinkannya
untuk menerima kebenaran dan mendorongnya untuk menghadang aliran sesat,
memeranginya, dan menumpas orang-orang yang memeluknya sebagaimana yang
terjadi pada Ja>d bin Dirham dan al-Jahm bin Sofyan. Namun,
kecerdikan Bisyr al-Marisi dan Ibnu Adi Duad dan upaya mereka untuk
mengambil simpati Khalifah al-Ma>mun dan memanfaatkan kekuasaannya
untuk menyebarkan aliran sesat yang dia peluk dan memaksa banyak orang
untuk memeluknya, menyebabkan terjadinya bencana yang menimpa umat Islam
dan para ulamanya.
Kejadian ini hendaknya diambil pelajarannya oleh para da’i di zaman
ini dan di sepanjang zaman dengan membangun hubungan komunikasi dan
saling menasihati yang baik serta menghilangkan jurang pemisah antara
para da’i dengan penguasa yang sengaja dibuat oleh para musuh agama
ini.”[4]
Sumber: majalah AL FURQON no. 122, edisi 8 Th. Ke-11, Robi’ul Awal 1433 H, hal. 37-39
[1] Asy-Syarh wal Ibanah ‘ala Ushul as-Sunnah wad Diyanah atau Ibanah Sughra
karya Ibnu Bathah, tahqiq Dr. Ridha bin Nas’an Mu’thi, hlm. 180
terbitan Maktabah al-Ulum wal Hikam, Madinah, KSA, cet. Pertama , 1423 H
[2] Kama Takunu Yuwalla ‘Alaikum karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani hlm. 54, terbitan Manarus Sabil, 1429 H
[3] Tafsir Surat Shad karya Ibnu Utsaimin hlm. 176-177 terbitan Dar Tsuraya, Riyadh, cet. Pertama, 1425 H
[4] Syarh Abdul Qodir al-Jilani wa Ara’uhu al-I’tiqodiyah wa Shufiyyah cet. Pertama, 1418 H, tanpa penerbit, hlm. 212-213
Sumber: http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/04/06/7-faedah-seputar-penguasa/
Sumber: http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/04/06/7-faedah-seputar-penguasa/
0 komentar:
Posting Komentar