Sesungguhnya kedudukan kitab Shohih Bukhori dan Muslim sangat tinggi dalam pandangan para ulama. Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Para ulama —semoga Alloh merahmati mereka— bersepakat bahwa kitab yang paling shohih setelah al-Qur‘an adalah Shohih Bukhori dan Muslim.”[1]. Beliau juga berkata: “Umat telah bersepakat tentang keshohihan dua kitab ini dan wajibnya beramal dengan hadits-haditsnya.” [2]
Namun anehnya, sebagian kalangan telah gegabah dalam melemahkan
hadits-hadits Bukhori-Muslim dengan penuh kelancangan tanpa hujjah yang
ilmiah. Sikap semacam itu, sembarangan tanpa hujjah dalam melemahkan
hadits yang terdapat di dalamnya, adalah kebiasaan ahli bid’ah. Banyak
sekali contoh-contohnya, namun pembahasan kali ini adalah salah satu di
antaranya. Semoga Alloh menjadikan kita pejuang-pejuang sunnah dan
pembela hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Teks Hadits
قَالَ الإِمَامُ الْبُخَارِيُّ :
حَدَّثَنَا نُعَيْمُ بْنُ حَمَّادٍ ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ حُصَيْنٍ ،
عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ قَالَ : رَأَيْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
قِرْدَةً اجْتَمَعَ عَلَيْهَا قِرَدَةٌ قَدْ زَنَتْ فَرَجَمُوهَا
فَرَجَمْتُهَا مَعَهُم.
Imam Bukhori berkata: Menceritakan
kepada kami Nu’aim bin Hammad, menceritakan kepada kami Husyaim dari
Hushoin dari ’Amr bin Maimun, dia berkata: “Saya pernah melihat pada
masa jahiliah ada seekor kera yang berzina, lalu beberapa kera berkumpul
untuk merajamnya, lalu saya ikut merajam bersama mereka.”
Takhrij Hadits
SHOHIH. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya: 3849 dan Tarikh Kabir 6/367 dari Nu’aim bin Hammad: Menceritakan kepada kami Husyaim dari Hushoin dari ’Amr bin Maimun. Dan Ibnu Abdil Barr dalam al-Isti’ab 1/374 dari jalur Abbad bin Awwam dari Hushoin. Dan juga al-Isma’ili sebagaimana dalam Fathul Bari
7/201 dari jalur Isa bin Khithon dari ’Amr bin Maimun dalam kisah yang
panjang. Dengan demikian maka hadits ini adalah shohih dan kuat.
Syubhat dan Bantahan
- Sebagian kalangan mempermasalahkan hadits ini dari segi sanad dan matan-nya. Sebagai pembelaan terhadap hadits Bukhori ini, kita berusaha untuk menjelaskan duduk permasalahannya:
Syubhat Pertama: Dari segi sanad
Dipermasalahkan rowi Nu’aim bin Hammad dan Husyaim seorang yang mudallis, sedangkan dia meriwayatkan dengan lafazh ’an.
Jawab:
- Nu’aim bin Hammad tidaklah sendirian, dia dikuatkan oleh Abbad bin Awwam —seorang rowi yang terpercaya— juga Isa bin Khithon sebagaimana dalam penjelasan takhrij di atas.
- Sekalipun Husyaim meriwayatkan dengan lafazh ’an (dari) dalam riwayat ini, tetapi dalam Tarikh Kabir dia meriwayatkan dengan lafazh haddatsana (menceritakan kepada kami) sehingga kekhawatiran tersebut hilang, bahkan Imam Bukhori mengiringkan bersama Hushoin rowi lain yang bernama Abu Malih.[3]
- Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa kisah ini bukanlah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sahabat, melainkan dari ’Amr bin Maimun rahimahullah dan beliau adalah seorang mukhodhrom yaitu tabi’in yang mendapati masa jahiliah dan memeluk agama Islam pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi tidak bertemu dengan beliau.[4]
- Tujuan inti Imam Bukhori menyebutkan kisah ini adalah untuk menjelaskan bahwa ’Amr bin Maimun mendapati masa jahiliah. Oleh karena itu, beliau mencantumkannya dalam Bab al-Qosamah fil Jahiliyyah.
- ’Amr bin Maimun menceritakan kisah tersebut karena adanya indikasi-indikasi kuat bahwa kera tersebut melakukan perzinaan. Ini hanyalah sekadar cerita yang diungkapkan berdasarkan praduga kuat, bukan berarti memastikan zina atau rajam betulan atau menganggap bahwa binatang adalah makhluk yang mukallaf. Namun, beliau menyebut demikian karena menyerupai perbuatan zina.
Syubhat Kedua: Dari segi Matan
Ada baiknya bila kami kutip kisah lengkap dan panjang yang
diriwayatkan oleh al-Ismaili agar kita mengetahui jalur kisah ini secara
lengkap. Kata ’Amr bin Maimun rahimahullah:
“Suatu saat ketika saya berada di Yaman menggembala
kambing milik keluarga saya dan saya berada di tempat yang tinggi. Saya
melihat ada seekor kera jantan bersama kera betina berdua-duan lalu
mereka berdua tidur berpelukan. Tiba-tiba datang kera betina lain lebih
kecil (muda) lalu menggoda kera betina. Kemudian kera betina secara
pelan-pelan keluar dari pelukan jantannya kemudian pergi bersama kera
muda tadi lalu keduanya berjima’ lalu dia kembali ke kepala jantannya
dengan pelan-pelan. Tak lama, jantannya bangun kaget kemudian mencium
dubur betina lalu berteriak sehingga berkumpullah kera-kera yang cukup
banyak. Sang betina terus berteriak sembari mengisyaratkan tangannya ke
betina. Kera-kera itu akhirnya pergi ke kanan dan ke kiri lalu mereka
datang membawa kera muda yang aku kenal tadi. Setelah itu mereka membawa
keduanya ke lubang kecil kemudian merajam keduanya. Sungguh aku telah
melihat rajam pada selain anak adam.” [5]
Atsar ini mengandung beberapa pelajaran berharga, di antaranya:
1. Kejinya perbuatan zina
Zina adalah perbuatan seorang lelaki menggauli wanita di luar pernikahan yang sah atau perbudakan[6]. Zina termasuk dosa besar setelah syirik dan pembunuhan[7], sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur‘an, hadits, ijma’, dan akal. Perhatikanlah firman Alloh:
وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَـٰحِشَةًۭ وَسَآءَ سَبِيلًۭا ﴿٣٢﴾
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. al-Isro‘ [17]: 32)
Perhatikanlah bagaimana Alloh menyifati perzinaan dengan perbuatan keji dan buruk karena memang dalam perzinaan terdapat beberapa dampak negatif yang banyak sekali seperti hancurnya keutuhan keluarga, bercampurnya nasab, merebaknya penyakit-penyakit berbahaya, menimbulkan permusuhan, kehinaan, keruwetan hati, dan sebagainya.[8]
Jika binatang saja merasa jijik dan mengutuk perbuatan zina dan pelakunya padahal mereka tiada berakal, lantas bagaimana dengan dirimu wahai manusia?! Sungguh menyedihkan hati kita maraknya perzinaan, pencabulan, perselingkuhan di negeri ini, banyaknya pos-pos perzinaan yang terlindungi, dan mesin-mesin pengantar menuju perzinaan dari gambar-gambar porno dan seronok yang meruyak di internet dan majalah, bahkan televisi!!
Maka melalui tulisan ini, kami menghimbau kepada pemerintah untuk menyikapi masalah ini secara tegas. Alangkah bagusnya ucapan Imam al-Mawardi rahimahullah: “Adapun mu’amalat yang mungkar seperti zina dan transaksi jual beli haram yang dilarang syari’at —sekalipun kedua belah pihak saling setuju— apabila hal itu telah disepakati keharamannya maka merupakan kewajiban bagi pemimpin untuk mengingkari dan melarangnya serta menghardiknya dengan hukuman yang sesuai dengan keadaan dan pelanggaran.” [9]
Lebih parah lagi dari semua tadi, apa yang dilakukan oleh kelompok Syi’ah tatkala menjadikan praktik perzinaan yang keji atas nama ibadah di balik kedok “nikah mut’ah”. Sungguh, ini adalah perzinaan yang lebih besar dosanya karena menjadikan kemaksiatan sebagai ibadah. Hanya kepada Alloh kita mengadukan kebodohan mereka.
2. Penegakan hukum rajam bagi pezina adalah haq
Perhatikanlah bagaimana Alloh menyifati perzinaan dengan perbuatan keji dan buruk karena memang dalam perzinaan terdapat beberapa dampak negatif yang banyak sekali seperti hancurnya keutuhan keluarga, bercampurnya nasab, merebaknya penyakit-penyakit berbahaya, menimbulkan permusuhan, kehinaan, keruwetan hati, dan sebagainya.[8]
Jika binatang saja merasa jijik dan mengutuk perbuatan zina dan pelakunya padahal mereka tiada berakal, lantas bagaimana dengan dirimu wahai manusia?! Sungguh menyedihkan hati kita maraknya perzinaan, pencabulan, perselingkuhan di negeri ini, banyaknya pos-pos perzinaan yang terlindungi, dan mesin-mesin pengantar menuju perzinaan dari gambar-gambar porno dan seronok yang meruyak di internet dan majalah, bahkan televisi!!
Maka melalui tulisan ini, kami menghimbau kepada pemerintah untuk menyikapi masalah ini secara tegas. Alangkah bagusnya ucapan Imam al-Mawardi rahimahullah: “Adapun mu’amalat yang mungkar seperti zina dan transaksi jual beli haram yang dilarang syari’at —sekalipun kedua belah pihak saling setuju— apabila hal itu telah disepakati keharamannya maka merupakan kewajiban bagi pemimpin untuk mengingkari dan melarangnya serta menghardiknya dengan hukuman yang sesuai dengan keadaan dan pelanggaran.” [9]
Lebih parah lagi dari semua tadi, apa yang dilakukan oleh kelompok Syi’ah tatkala menjadikan praktik perzinaan yang keji atas nama ibadah di balik kedok “nikah mut’ah”. Sungguh, ini adalah perzinaan yang lebih besar dosanya karena menjadikan kemaksiatan sebagai ibadah. Hanya kepada Alloh kita mengadukan kebodohan mereka.
2. Penegakan hukum rajam bagi pezina adalah haq
Kebenaran hukum rajam bagi pezina yang muhshon (sudah menikah) dalam syari’at ini ditetapkan berdasarkan Kitabulloh dan mutawatir sunnah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam
serta kesepakatan kaum muslimin semenjak dahulu hingga sekarang. Tidak
ada yang menyelisihinya kecuali Khowarij yang ucapan mereka tidak perlu
dilirik.[10]
Sekalipun demikian jelasnya hukum rajam dalam Islam[11], anehnya masih ada sekelompok orang dari para pemikir dan penulis masa kini[12]
yang menggugat hukum ini hanya karena mengikuti arus hawa nafsu mereka,
dan mengikuti langkah nenek moyang mereka dari kalangan Khowarij. Hanya
kepada Alloh kita mengadukan semua ini.[13]
Tidakkah orang-orang tersebut mengambil pelajaran dari kera-kera yang
menegakkan hukum Alloh ketika anak adam tidak menegakkannya?!![14]
Mirip dengan kisah ini, apa yang diceritakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau berkata: “Sebagian syaikh terpercaya bercerita kepadaku bahwa dia
melihat di masjid suatu jenis burung bertelur, lalu ada seorang
mengambil telurnya dan menggantinya dengan telur jenis burung lainnya.
Tatkala telur burung itu menetas, maka yang keluar adalah jenis lain.
Serta merta mengetahui hal itu, maka sang jantan langsung memanggil
kawan-kawannya sehingga mereka semua mengeroyok si betina sampai mati.
Seperti ini sangatlah populer dalam kebiasaan binatang.” [15]
3. Belajar dari kecerdikan sebagian hewan[16]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Banyak manusia
berakal yang belajar dari binatang beberapa perkara yang bermanfaat
dalam mencari rezeki, akhlak, produksi, peperangan, kesabaran, dan
sebagainya.” [17]
Terlebih lagi kera, ia adalah binatang yang cukup cerdas. Oleh karenanya, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata: “Disebut secara khusus kera dalam hadits ini karena ia
memiliki kecerdasan lebih dibandingkan dengan hewan lainnya dan cepat
belajar menirukan, hal yang jarang dijumpai pada kebanyakan hewan
lainnya.” [18]
Di antara kecerdasan kera adalah apa yang diceritakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dahulu ada seorang yang menjual khomer di kapal bersama
kera. Apabila dia menjual khomer maka dia campuri dengan air. Maka kera
mengambil kantong uang lalu naik di kayu (tiang) layar kapal seraya
membagi uang, sebagian dinar ia lempar ke laut dan sebagian dinar ia
lempar ke kapal.” (HR. Ahmad 2/306, an-Naqqosy dalam Funun Ajaib 78–79, Abu Syaikh dalam Thobaqot Muhadditsin 2/104, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan 2/28 dengan sanad shohih)
- Hadits ini menunjukkan kecerdikan sebagian hewan. Al-Munawi rahimahullah berkata dalam Faidhul Qodir 1/491: “Telah shohih bahwa sekelompok orang pernah melihat kera bisa menjahit dan kera yang digaji untuk menjaga sawah.” Lalu beliau berkata: “Cerita seperti ini banyak sekali.”
- Adakah manusia yang dapat mengambil pelajaran dari semua ini?! Apakah mereka akan sombong dari menuntut ilmu sehingga kalah dengan hewan?!!
Cemburu merupakan sifat yang mulia. Dengannya terjaga kehormatan
seorang dan keluarganya. Adapun bila sifat cemburu telah hilang maka
akan terkoyak pula kehormatan seorang dan keluarganya. Anehnya, sifat
yang mulia ini sangat jarang kita jumpai pada zaman sekarang dengan
alasan kebebasan dan perkembangan zaman. Orang yang cemburu dianggap
kampungan, kolot, dan ketinggalan zaman!! Oleh karenanya, sering kita
dengan dengar ucapan sebagian orang: “Ini zaman modern, bukan zaman Siti
Nurbaya lagi”!!!
Subhanalloh, apakah kita tidak mengambil pelajaran dari binatang yang masih memiliki kecemburuan?!! Imam Abu Ubaidah Ma’mar bin Mutsanna rahimahullah menyebutkan dalam Kitabul Khoil
dari jalur al-Auza’i bahwa ada seekor kuda diperintah untuk menggauli
ibunya maka dia enggan. Akhirnya, ibu kuda tadi dimasukkan ke rumah dan
ditutupi kain lalu perintahkan kepada anaknya untuk menggaulinya. Karena
dia tidak tahu, maka ia pun menggaulinya. Tatkala ia mencium aroma
ibunya serta-merta ia menggigit dzakarnya sendiri dengan giginya sampai
putus.” [20]
Kisah yang mirip juga adalah kisah kecemburuan seekor sapi yang bunuh
diri karena dia telah menggauli ibunya sendiri. Alkisah, sapi tersebut
ditutup matanya lalu diseret ke ibunya agar menggaulinya. Setelah proses
pengawinan selesai, dibukalah mata sapi tadi, dan ketika dia tahu bahwa
yang ia gauli adalah ibunya sendiri maka serta-merta sapi tersebut
langsung lari terbirit-birit menghantamkan kepalanya ke tembok sehingga
berlumuran darah, lalu lari dengan gila menuju sungai kemudian
menenggelamkan dirinya hingga mati!! Subhanalloh, jika binatang saja memiliki cemburu seperti itu, lantas bagaimana dengan dirimu wahai manusia?!!![21]
5. Inilah Makna “Jahiliyyah”
Jahiliyyah (jahiliah) adalah masa sebelum datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh dengan kejahilan dan kesesatan. Jahiliah secara mutlak adalah masa sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Maka termasuk kesalahan apabila menyifati masa diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jahiliah secara mutlak.[22] Dari sini pula dapat kita ketahui kesalahan sebagian tokoh pergerakan yang mencuatkan sebuah istilah “Jahiliah Abad 20”.[23]
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
[1] Syarh Shohih Muslim 1/14
[2] Tahdzib al-Asma‘ wa Lughot 1/73
[3] Fathul Bari 7/201
[4] Lihat al-Ishobah 3/118, Siyar 4/158, Kasyful Musykil 4/175 Ibnul Jauzi, dan Tafsir al-Qurthubi 1/442.
[5] Lihat Fathul Bari 7/201–202, Ta‘wil Mukhtalifil Hadits hlm. 473–474 Ibnu Qutaibah.
[6] Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 2/324
[7] Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Saya tidak mengetahui dosa yang lebih besar setelah pembunuhan daripada dosa zina.” (ad-Da‘ wa Dawa‘ oleh Ibnul Qoyyim hlm. 230)
[8] Lihat ad-Da‘ wa Dawa‘ Ibnul Qoyyim hlm. 250–251 dan at-Tadabir al-Waqiyah Mina Zina oleh Dr. Fadhl Ilahi.
[9] Al-Ahkam as-Sulthoniyyah hlm. 406
[10] Sailul Jarror 4/328 oleh asy-Syaukani
[11] Lihat masalah rajam secara luas dalam al-Maqoshid Syar’iyyah lil Uqubat Syar’iyyah oleh Dr. Rowiyah Ahmad Abdul Karim dan al-Hudud wa Ta’zirot oleh Syaikh Bakr Abu Zaid.
[12] Seperti Hasan at-Turabi sebagaimana dalam Riyadhul Jannah fir Roddi ’ala Madrosah Aqliyah
Dr. Sayyid Husain hlm. 74. Kalau di Indonesia, pengingkaran ini
dimotori oleh JIL yang dikenal banyak menyebarkan pemikiran-pemikiran
beracun. Maka waspadailah!!
[13] Al-Mulakhosh al-Fiqhi 2/445 Sholih al-Fauzan
[14] Syifa‘ul Alil 1/250 Ibnul Qoyyim
[15] Majmu’ Fatawa 15/147
[16] Lihat lebih lengkap dalam Kitab al-Hayawan oleh ad-Damiri dan Ghoroib wa Ajaib Makhluqotillah yang disusun oleh Abul Mundzir Kholil Amin.
[17] Syifa‘ul Alil 1/252
[18] Fathul Bari 7/202
[19] Al-Muru‘ah wa Khowarimuha hlm. 263 oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan Alu Salman
[20] Fathul Bari 7/203
[21] Hal Ataka Hadits Rofidhoh hlm. 125 — Maktabah Syamilah
[22] Lihat al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 149–150 oleh Syaikh Sholih bin Fauzan
[23] Lihat bantahannya dalam Hayah Albani 1/391–394 dan Mu’jam Manahi Lafzhiyyah hlm. 212–214 oleh Syaikh Bakr Abu Zaid.
0 komentar:
Posting Komentar