"Mas bid'ah itu tidak ada yang baik, semuanya adalah sesat. Tentu
jika itu baik maka bukanlah bid'ah namanya melainkan itu adalah sunnah
(petunjuk)."
(b) berkata,
"Wes jangan begitu, bid'ah hasanah itu ada lho..."
(a) berkata,
"Coba berikan contohnya?"
(b) berkata,
"Kui, hp, motor, mobil pesawat bid'ah hasanah, ayo..."
(a) berkata,
"Mas semoga Allahu Ta'ala membimbing anda dengan petunjuk.
Ketahuilah itu bukanlah bid'ah yang dimaksud, meskipun secara bahasa itu adalah bid'ah akan tetapi itu adalah bid'ah yang tidak terlarang sebab bid'ah secara bahasa dan istilah syar'i maka berbeda makna dan hukum sama seperti shalat, shalat secara bahasa adalah do'a, sedangan shalat secara istilah syar'iyah adalah suatu gerakan ibadah sebagai penghambaan kepada Allah 'Azza wa Jalla yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, tentu kedua definisi di atas sangat jauh berbeda.
Apakah orang yang berdo'a lima kali sehari sudah dikatakan shalat yang lima??!?
Tentu semua orang sepakat menjawab, "Tidak."
Karena itulah sudah menjadi kewajiban kita untuk mengetahui definisi bid'ah yang benar baik dari segi bahasa maupun istilah syar'iyah agar tidak salah dalam memahaminya.
Bid'ah secara bahasa ialah, "Segala sesuatu yang baru yang belum ada contoh sebelumnya."
Maka dalam hal ini, hape, mobil, motor dan yang lainnya termasuk kategori bid'ah namun ini bid'ah yang tidak terlarang sebab bid'ah secara bahasa berbeda dengan istilah syar'iyah seperti yang telah saya terangkan di atas.
Hape, mobil, motor atau yang lainnya itu juga sarana dunia bukan akhirat, artinya Allah Jalla Jalaaluh memberikan manusia akal untuk berfikir dan menciptakan sesuatu maka akal manusia itu selalu berkembang dari zaman ke zaman.
Allah 'Azza wa Jalla berfirman : "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu." (QS. Al-Baqarah [2] : 29)
Karena itu hape, motor dan mobil merupakan sarana dunia yang Allah berikan untuk manusia berdasarkan ayat al-Qur'an di atas.
Adapun bid'ah secara istilah syar'iyah adalah,
Maka perkara yang baru dalam agama seperti tahlilan, yasinan dan mauludan masuk dalam kategori ini dan perbuatan tersebut terlarang karena setiap perbuatan bid'ah di dalam agama adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Sebab Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam diutus untuk menyempurnakan agama bukan untuk menyempurnakan perkara dunia, oleh karena itu Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam juga menegaskan bahwa bid'ah yang dimaksud ialah bid'ah yang masuk dalam kategori ibadah (ubudiyyah), bukan sarana duniawiyyah, sebab perbuatan bid'ah secara tidak langsung mengingkari firman Allah Rabbul 'alamin akan kesempurnaan Islam, dan ia telah menuduh Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam telah mengkhianati risalah kenabian karena tidak memberitahukan kebaikan di antara kebaikan-kebaikan yang dimaksud ahlul bida' wal ahwa'.
Dan perbuatan bid'ah di dalam agama secara tidak langsung mengingkari firman Allah 'Azza wa Jalla di bawah ini.
Allah Jalla Jalaaluh berfirman : "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."
(QS. Al Ma'idaah [5] : 3)
Sehingga seolah-olah para pelaku bid'ah membuat catatan kaki dari firman Allah Tabaroka wa Ta'ala bahwa agama ini yaitu al-Islam bukan agama yang sempurna sebab begitu banyak "perkara-perkara yang baru di dalam agama" yang dianggap baik oleh pelaku kebid'ahan setelah agama ini sempurna.
Pelaku kebid'ahan secara tidak langsung mengingkari hadits-hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di bawah ini.
Dari Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami."
Berkata Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu, Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,
"Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian." (HR. Ahmad, IV/126 - 127, Abu Dawud, no. 4607, at-Tirmidzi, no. 2676)
Dari Abu Dzarr radhiyallahu 'anhu beliau berkata, "Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan tidaklah seekor burung pun yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan kami memiliki ilmunya." (HR. An-Nasa-i, III/189)
Perkataan Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu di atas diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya V/153, 162. Kemudian ada syawahidnya dari perkataan Abud Darda' radhiyallaahu 'anhu yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir sebagaimana dikatakan Imam al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaa'id, VIII/264.
Dari Abu Darda' radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Sungguh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan tidaklah seekor burung yang terbang di langit melainkan beliau telah menerangkan kepada kami ilmunya." (Diriwayatkan oleh al-Laalika'i dalam Syarah Ushuul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah, no. 126, Ibnu Baththah al-'Ukbary dalam al-Ibaanah, no. 205 dan Ilmu Ushulil Bida' hal. 92)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari perintah-perintah Allah kepada kalian, melainkan telah aku perintahkan kepada kalian. Begitu pula tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari larangan-larangan Allah kepada kalian melainkan telah aku larang kalian darinya." (HR. asy-Syafi'i dalam kitab ar-Risalah, hal. 87 - 93, no. 289, tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullahu, al-Baihaqi, VII/76. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahihah, no. 1803)
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya kedudukanku terhadap kalian seperti kedudukan seorang ayah, aku mengajari kalian semua." (HR. Abu Dawud, no. 8)
Dari 'Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sungguh, aku tinggalkan kalian di atas Islam yang putih bersih (lengkap / sempurna / tidak ada yang tertinggal satu pun), malamnya seperti siangnya (begitu jelas dan gamblang). Tidaklah berpaling dari Islam yang putih bersih ini sepeninggalku, melainkan akan binasa." (HR. Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnah, no. 48 - 49, dan Ibnu Majah, no. 43)
Perbuatan bid'ah pun secara tidak langsung mengingkari kesempurnaan Islam yang telah diakui sendiri oleh ummat-ummat sebelum kita dari kalangan ahlul kitab dari golongan Yahudi.
Dari 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu berkata,
"Sesungguhnya datang orang Yahudi kepada saya dan berkata,
'Wahai Amirul Mu'min, ada satu ayat di dalam kitabmu (al-Qur'anul Karim), yang jika ayat itu turun kepada kami yakni kepada bangsa Yahudi, niscaya kami menjadikan hari itu perayaan.'
'Umar bin al-Khaththab bertanya,
'Ayat apa itu?'
Lantas orang Yahudi itu berkata,
'Aku sempurnakan untukmu agamamu.'
(QS. Al-Ma'idaah [5] : 3)
Kemudian 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu berkata,
'Sesungguhnya aku tau hari diturunkan ayat ini, dan tempat turunnya. Ayat ini turun sedangkan Rasulullah berada di 'Arafah pada hari Jum'at."
(HR. Al-Bukhari, no. 45, Muslim, no. 3017)
Bahkan perbuatan bid'ah mengingkari hadits yang mulia ini, yaitu seolah-olah menuduh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengkhianati risalah kenabian untuk memberitahukan segala kebaikan untuk ummatnya. Jika adab-adab buang air kecil saja beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ajarkan apalagi perkara ibadah yang dianggap baik oleh para pelaku bid'ah seperti maulid, tahlilan, yasinan, isra mi'raj dan perkara penting lainnya, mustahil beliau "lupa" untuk tidak mengajarkan kepada ummatnya.
Dari Salman radhiyallaahu 'anhu, beliau berkata, "Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami,
'Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!' Maka, Salman radhiyallaahu 'anhu menjawab, 'Ya !.' (HR. Muslim, no. 262 (57), Abu Dawud, no. 7, at-Tirmidzi, no. 16 dan Ibnu Majah, no. 316)
Nabi yang mulia Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam mengajarkan segala sesuatu hingga adab-adab buang air kecil beliau ajarkan namun mungkinkah beliau "lupa" mengajarkan kebaikan pada perayaan-perayaan ibadah bid'ah seperti tahlilan, yasinan, dan maulid?
Padahal Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka." (HR. Muslim, no. 1844)
Perhatikan hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di atas, menjadi bantahan bagi para pelaku kebid'ahan yang mereka anggap perbuatan bid'ah mereka baik namun pada hakikatnya mengingkari firman Allah Jalla wa 'Ala dan hadits-hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Sampai-sampai guru dari Imam asy-Syafi'i, yaitu Imam Malik rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Barangsiapa yang melakukan suatu bid'ah dalam Islam yang dia menganggap baik bid'ah tersebut, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allah ta'ala berfirman : "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i Islam sebagai agamamu." (QS. Al-Ma'idaah [5] : 3)
"Oleh sebab itu apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu (yaitu pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya), maka ia bukan termasuk agama pula pada hari ini." (Al-I'tisham, I/64)
Dan bahkan Ummul Mukminin, 'Aisyah radhiyallaahu 'anha berkata, "Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman : "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya." (QS. Al-Ma'idaah [5] : 67) [HR. Al-Bukhari, no. 7380 dan Muslim, no. 177]
Dan yang terakhir, bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta'ala mewafatkan Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam jika Islam belum sempurna???
Berkata Imam asy-Syaukaniy rahimahullahu ta'ala, "Maka jika Allah telah menyempurnakan agama-Nya sebelum Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat, maka apa artinya pendapat bid'ah yang dibuat-buat oleh kalangan ahli bid'ah tersebut? Kalau memang hal tersebut merupakan agama menurut keyakinan mereka, maka berarti mereka telah beranggapan bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan tambahan pemikiran mereka, dan itu berarti pembangkangan terhadap al-Qur'an." (Al-Qaulul Mufiid Fii Adillatil Ijtihaad Wattaqliid, hal. 38)
Kewajiban kita sebagai seorang muslim tunduk dan patuh dengan apa yang telah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sampaikan, apabila kita telah mengetahui bahwa setiap bid'ah itu sesat mengapa kita "ngeyel" dengan mengatakan ada bid'ah hasanah. Seolah-olah kita yang lebih paham dari Nabi yang mulia Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama dan setiap yang diada-adakan dalam agama adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. Al-Bukhari, no. 86, 184, 922, Muslim, no. 867 - 868, Ahmad, I/392 - 393, 432, II/310 - 311, Abu Dawud, no. 1097, 2118, an-Nasa-i, III/104 - 105, At-Tirmidzi, no. 1105, Ibnu Majah, no. 1892, al-Hakim, II/182 - 183, 'Abdurrazzaq, no. 10449, Ath-Thayalisi, no. 336 - 338, Abu Ya'la, no. 5211, ad-Darimi, II/142, al-Baihaqi, III/214, III/215, VII/146)
Diriwayatkan Dari al-'Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata,
"Suatu hari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata,
"Wahai Rasulullah! Nasehat ini seakan-akan ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?"
Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. Ahmad dalam Musnadnya, IV/126 - 127, Abu Dawud, no. 4607, Tirmidzi, no. 2676, Ibnu Majah, no. 42, 43, ad-Darimi, I/44, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, no. 5, at-Taliiqaatul Hisan, no. 102, al-Mawaarid, Hakim, I/95 - 96, Baihaqi, X/114, Imam Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah, no. 54 - 59, Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, I/205, no. 102, Imam al-Laalika'i dalam Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah, I/83, no. 81. Derajat hadits ini Shahiih lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 937 dan 2735 dan Irwaa-ul Ghaliil VIII/107 - 109, no. 2455)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka." (HR. An-Nasa-i, III/188 - 1899, dan al-Baihaqi dalam al-Asma' was Shifat, I/310)
Hadits-hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di atas sangat jelas menegaskan bahwa setiap bid'ah itu sesat maka jangan kita "ngeyel" atau sok-sok-an berkata tanpa ilmu ada bid'ah hasanah.
Kewajiban kita hanya tunduk dan patuh dengan apa yang beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam sampaikan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr : 7)
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari Kiamat." (QS. Al-Ahzaab : 21)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengada-adakan (membuat-buat bid'ah) suatu perkara amalan dalam agama ini yang tidak ada perintah atau contoh) dari kami maka perbuatan tersebut tertolak." (HR. Bukhari, III/222 no. 2697, Muslim, III/1343 no. 1718)
Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam melanjutkan, "Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan." Para Shahabat bertanya, "Siapakah yang enggan, wahai Rasulullah?" Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Barangsiapa yang taat kepadaku maka dia masuk Surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka dialah yang enggan." (HR. Al-Bukhari, no. 7280)
(b) berkata,
"Tapi Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala berpendapat bid'ah ada dua macam, bagaimana ini?"
(a) berkata,
"Ketahuilah, bahwasanya beliau rahimahullaahu ta'ala adalah seorang manusia yang tidak ma'shum maka kita tidak boleh taklid kepada siapa pun orangnya selain mengikuti dalil, hatta Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala sendiri melarang taklid buta terhadap pendapatnya jika pendapatnya menyelisihi al-Qur'an dan As-Sunnah.
Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Setiap orang pasti terlewat dan luput darinya salah satu Sunnah (baca : hadits) Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Apa pun pendapat yang aku katakan atau prinsip yang aku tetapkan (baca : katakan) kemudian ada hadits dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, yang ternyata bertentangan dengan pendapatku, maka apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam itulah yang diambil. Dan itulah yang menjadi pendapatku." (Manaaqib al-Imam asy-Syafi'i, I/475, dan I'laamul Muwaqqi'iin, IV/46 - 47)
Beliau rahimahullaahu ta'ala juga berkata,
"Setiap yang aku ucapkan, namun ada hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam yang shahih menyelisihi pendapatku, maka hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam itulah yang lebih patut diikuti. Maka janganlah kalian taklid kepadaku." (Manaaqib al-Imam asy-Syafi'i, I/473, dan I'laamul Muwaqqi'iin, IV/45 - 46)
Lihat penyataan beliau, kita diperintahkan untuk ittiba' kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bukan taklid kepada orang lain.
Anggaplah bid'ah hasanah itu memang ada dengan pernyataan Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala maka bid'ah hasanah yang dimaksud disini ialah bermakna sunnah karena mengikuti atau selaras dengan al-Qur'an dan As-Sunnah, sebab perbuatan bid'ah pada hakikatnya ialah menyelisihi al-Qur'an dan As-Sunnah.
Mari kita dudukkan pernyataan beliau rahimahullaahu ta'ala tentang bid'ah.
Beliau rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Perkara yang baru itu ada dua macam : Yaitu perkara baru yang menyelisihi al-Qur'an, Sunnah, Atsar, dan Ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Adapun perkara baru yang tidak menyelisihi pakai satu dari hal di atas maka tidak tercela.
Kemudian beliau rahimahullaahu ta'ala menukil perkataan Shahabat yang mulia 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu yang berkata, 'Sebaik-baik bid'ah adalah ini.'" (Hilyatul Auliya' IX/113)
Padahal jika kita teliti baik-baik dengan seksama maka akan kita dapati yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala adalah bid'ah secara bahasa yang maknanya ialah mengikuti al-Qur'an, As-Sunnah, Atsar dan Ijma' Salafush Shalih.
Hal itu dapat diketahui dari perkataan Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala sendiri yang berdalil tentang perkataan Shahabat yang mulia 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu ketika mengumpulkan jama'ah shalat Tarawih dan berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini."
Padahal telah mahsyur bahwasanya shalat Tarawih itu sendiri adalah Sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan bukan perkara bid'ah yang dibuat-buat oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa melakukan shalat malam (tarawih) bersama imam di bulan Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. Al-Bukhari, no. 37 dan Muslim, no. 759)
Maka istilah bid'ah hasanah dengan dalih shalat tarawih adalah istilah yang keliru lagi bathil.
Justru sebaliknya Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala mengingkari perbuatan bid'ah.
Beliau berkata, "Barangsiapa yang beristihsan (menganggap baik suatu perbuatan tanpa dalil yang sharih lagi shahih) maka ia telah membuat syari'at (agama) baru." (al-Mankhul, hal. 374)
(b) berkata,
"Bukankah pembukuan al-Qur'an adalah bid'ah?"
(a) berkata,
"Bukan, dan tidak mungkin para Shahabat berbuat bid'ah yang telah diancam Neraka oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Pembukuan al-Qur'an itu pada hakikatnya adalah Sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sebab al-Qur'an di zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah ditulis di atas batu, tulang, pelepah kurma dan yang lainnya.
Namun karena al-Qur'an dan wahyu pada saat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam masih hidup masih turun maka pembukuan al-Qur'an tidak dilakukan, setelah Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat dan wahyu telah terputus karena telah sempurna maka baru pembukuan al-Qur'an dilakukan.
Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
"Berkatalah orang-orang yang kafir : 'Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?' Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya." (QS. Al-Furqan : 32 - 33)
dan
"Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian." (QS. Al-Isra' : 106)
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur'an kepadamu (hai Muhammad) secara berangsur-angsur." (QS. Al-Insan : 23)
Ayat-ayat diatas menegaskan bahwa ayat al-Qur'an turun dengan berangsur-angsur selama 23 tahun, maka selama wahyu itu masih turun dan hukum di dalam al-Qur'an terkadang masih ada yang di naskh dan mansukh, maka al-Qur'an tidak dibukukan namun setelah Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat dan wahyu telah terputus karena telah sempurna maka baru pembukuan al-Qur'an dilakukan.
Pembukuan al-Qur'an ini adalah ijma' (kesepakatan) para Shahabat radhiyallaahu 'anhum jami'an dan ijma' merupakan salah satu dasar dalam Islam.
Dan ijma' serta sunnah Shahabat (Khulafa' ar-Rasyidin) adalah hujjah atau dalil dalam agama ini sebagaimana hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa diantara kalian yang mengalami hidup lama setelah (aku meninggal) maka dia akan melihat banyak perselisihan. Maka, setelah aku meninggal nanti, hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah al-Khufala' ar-rasyidin." (HR. Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42 - 44)
Dan telah kita ketahui bersama bahwa Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan Ali radhiyallaahu 'anhum adalah seorang Khalifah atau Khulafa' ar-Rasyidin disamping itu para sahabat pun telah ijma' tentangnya maka itu adalah setegas-tegas dalil bahwa pembukuan al-Qur'an bukanlah bid'ah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Alif Lam Mim. Kitab tersebut tidak ada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah : 1 - 2)
"Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur'an) untk menjelaskan sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (QS. An-Nahl : 89)
dan
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr : 9)
Apa definisi kitab???
Kitab adalah kumpulan dari beberapa mushaf atau lembaran-lembaran yang dikumpulkan menjadi satu itulah disebut kitab.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berulang-ulang memakai kata "kitab" bukan mushaf atau lembaran-lembaran yang maknanya bahwa mushaf tersebut akan disatukan menjadi satu dan karena itulah Allah Jalla wa 'Ala berfirman :
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr : 9)
Dan sebagai bentuk dari penjagaan al-Qur'anul Karim adalah dengan mengumpulkannya, maka keliru besar anda mengatakan bahwa pengumpulan al-Qur'an adalah perbuatan bid'ah.
(b) berkata,
"Penjelasan yang sempurna, sangat ilmiyyah. Pun saya pribadi tidak meyakini bid'ah hasanah.
Sebab apabila ada istilah bid'ah hasanah, maka saya bingung hasanah menurut siapa...
Hmm... Tentu hasanah sifatnya relatif dan berbeda, hasanah menurut anda belum tentu hasanah menurut saya.
Dan alhamdulillah kini saya lebih paham, semoga Allah Tabaroka wa Ta'ala menjaga anda dan membimbing saya kepada petunjuk."
________
Oleh Pentingnya Menuntut Ilmu Syar'i Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com
(b) berkata,
"Wes jangan begitu, bid'ah hasanah itu ada lho..."
(a) berkata,
"Coba berikan contohnya?"
(b) berkata,
"Kui, hp, motor, mobil pesawat bid'ah hasanah, ayo..."
(a) berkata,
"Mas semoga Allahu Ta'ala membimbing anda dengan petunjuk.
Ketahuilah itu bukanlah bid'ah yang dimaksud, meskipun secara bahasa itu adalah bid'ah akan tetapi itu adalah bid'ah yang tidak terlarang sebab bid'ah secara bahasa dan istilah syar'i maka berbeda makna dan hukum sama seperti shalat, shalat secara bahasa adalah do'a, sedangan shalat secara istilah syar'iyah adalah suatu gerakan ibadah sebagai penghambaan kepada Allah 'Azza wa Jalla yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, tentu kedua definisi di atas sangat jauh berbeda.
Apakah orang yang berdo'a lima kali sehari sudah dikatakan shalat yang lima??!?
Tentu semua orang sepakat menjawab, "Tidak."
Karena itulah sudah menjadi kewajiban kita untuk mengetahui definisi bid'ah yang benar baik dari segi bahasa maupun istilah syar'iyah agar tidak salah dalam memahaminya.
Bid'ah secara bahasa ialah, "Segala sesuatu yang baru yang belum ada contoh sebelumnya."
Maka dalam hal ini, hape, mobil, motor dan yang lainnya termasuk kategori bid'ah namun ini bid'ah yang tidak terlarang sebab bid'ah secara bahasa berbeda dengan istilah syar'iyah seperti yang telah saya terangkan di atas.
Hape, mobil, motor atau yang lainnya itu juga sarana dunia bukan akhirat, artinya Allah Jalla Jalaaluh memberikan manusia akal untuk berfikir dan menciptakan sesuatu maka akal manusia itu selalu berkembang dari zaman ke zaman.
Allah 'Azza wa Jalla berfirman : "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu." (QS. Al-Baqarah [2] : 29)
Karena itu hape, motor dan mobil merupakan sarana dunia yang Allah berikan untuk manusia berdasarkan ayat al-Qur'an di atas.
Adapun bid'ah secara istilah syar'iyah adalah,
"Sesuatu atau cara baru di dalam agama yang dibuat menyerupai syari'at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah 'Azza wa Jalla."
Maka perkara yang baru dalam agama seperti tahlilan, yasinan dan mauludan masuk dalam kategori ini dan perbuatan tersebut terlarang karena setiap perbuatan bid'ah di dalam agama adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Sebab Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam diutus untuk menyempurnakan agama bukan untuk menyempurnakan perkara dunia, oleh karena itu Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam juga menegaskan bahwa bid'ah yang dimaksud ialah bid'ah yang masuk dalam kategori ibadah (ubudiyyah), bukan sarana duniawiyyah, sebab perbuatan bid'ah secara tidak langsung mengingkari firman Allah Rabbul 'alamin akan kesempurnaan Islam, dan ia telah menuduh Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam telah mengkhianati risalah kenabian karena tidak memberitahukan kebaikan di antara kebaikan-kebaikan yang dimaksud ahlul bida' wal ahwa'.
Dan perbuatan bid'ah di dalam agama secara tidak langsung mengingkari firman Allah 'Azza wa Jalla di bawah ini.
Allah Jalla Jalaaluh berfirman : "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."
(QS. Al Ma'idaah [5] : 3)
Sehingga seolah-olah para pelaku bid'ah membuat catatan kaki dari firman Allah Tabaroka wa Ta'ala bahwa agama ini yaitu al-Islam bukan agama yang sempurna sebab begitu banyak "perkara-perkara yang baru di dalam agama" yang dianggap baik oleh pelaku kebid'ahan setelah agama ini sempurna.
Pelaku kebid'ahan secara tidak langsung mengingkari hadits-hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di bawah ini.
Dari Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami."
Berkata Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu, Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,
"Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian." (HR. Ahmad, IV/126 - 127, Abu Dawud, no. 4607, at-Tirmidzi, no. 2676)
Dari Abu Dzarr radhiyallahu 'anhu beliau berkata, "Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan tidaklah seekor burung pun yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan kami memiliki ilmunya." (HR. An-Nasa-i, III/189)
Perkataan Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu di atas diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya V/153, 162. Kemudian ada syawahidnya dari perkataan Abud Darda' radhiyallaahu 'anhu yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir sebagaimana dikatakan Imam al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaa'id, VIII/264.
Dari Abu Darda' radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Sungguh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan tidaklah seekor burung yang terbang di langit melainkan beliau telah menerangkan kepada kami ilmunya." (Diriwayatkan oleh al-Laalika'i dalam Syarah Ushuul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah, no. 126, Ibnu Baththah al-'Ukbary dalam al-Ibaanah, no. 205 dan Ilmu Ushulil Bida' hal. 92)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari perintah-perintah Allah kepada kalian, melainkan telah aku perintahkan kepada kalian. Begitu pula tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari larangan-larangan Allah kepada kalian melainkan telah aku larang kalian darinya." (HR. asy-Syafi'i dalam kitab ar-Risalah, hal. 87 - 93, no. 289, tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullahu, al-Baihaqi, VII/76. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahihah, no. 1803)
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya kedudukanku terhadap kalian seperti kedudukan seorang ayah, aku mengajari kalian semua." (HR. Abu Dawud, no. 8)
Dari 'Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sungguh, aku tinggalkan kalian di atas Islam yang putih bersih (lengkap / sempurna / tidak ada yang tertinggal satu pun), malamnya seperti siangnya (begitu jelas dan gamblang). Tidaklah berpaling dari Islam yang putih bersih ini sepeninggalku, melainkan akan binasa." (HR. Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnah, no. 48 - 49, dan Ibnu Majah, no. 43)
Perbuatan bid'ah pun secara tidak langsung mengingkari kesempurnaan Islam yang telah diakui sendiri oleh ummat-ummat sebelum kita dari kalangan ahlul kitab dari golongan Yahudi.
Dari 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu berkata,
"Sesungguhnya datang orang Yahudi kepada saya dan berkata,
'Wahai Amirul Mu'min, ada satu ayat di dalam kitabmu (al-Qur'anul Karim), yang jika ayat itu turun kepada kami yakni kepada bangsa Yahudi, niscaya kami menjadikan hari itu perayaan.'
'Umar bin al-Khaththab bertanya,
'Ayat apa itu?'
Lantas orang Yahudi itu berkata,
'Aku sempurnakan untukmu agamamu.'
(QS. Al-Ma'idaah [5] : 3)
Kemudian 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu berkata,
'Sesungguhnya aku tau hari diturunkan ayat ini, dan tempat turunnya. Ayat ini turun sedangkan Rasulullah berada di 'Arafah pada hari Jum'at."
(HR. Al-Bukhari, no. 45, Muslim, no. 3017)
Bahkan perbuatan bid'ah mengingkari hadits yang mulia ini, yaitu seolah-olah menuduh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengkhianati risalah kenabian untuk memberitahukan segala kebaikan untuk ummatnya. Jika adab-adab buang air kecil saja beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ajarkan apalagi perkara ibadah yang dianggap baik oleh para pelaku bid'ah seperti maulid, tahlilan, yasinan, isra mi'raj dan perkara penting lainnya, mustahil beliau "lupa" untuk tidak mengajarkan kepada ummatnya.
Dari Salman radhiyallaahu 'anhu, beliau berkata, "Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami,
'Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!' Maka, Salman radhiyallaahu 'anhu menjawab, 'Ya !.' (HR. Muslim, no. 262 (57), Abu Dawud, no. 7, at-Tirmidzi, no. 16 dan Ibnu Majah, no. 316)
Nabi yang mulia Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam mengajarkan segala sesuatu hingga adab-adab buang air kecil beliau ajarkan namun mungkinkah beliau "lupa" mengajarkan kebaikan pada perayaan-perayaan ibadah bid'ah seperti tahlilan, yasinan, dan maulid?
Padahal Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka." (HR. Muslim, no. 1844)
Perhatikan hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di atas, menjadi bantahan bagi para pelaku kebid'ahan yang mereka anggap perbuatan bid'ah mereka baik namun pada hakikatnya mengingkari firman Allah Jalla wa 'Ala dan hadits-hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Sampai-sampai guru dari Imam asy-Syafi'i, yaitu Imam Malik rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Barangsiapa yang melakukan suatu bid'ah dalam Islam yang dia menganggap baik bid'ah tersebut, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allah ta'ala berfirman : "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i Islam sebagai agamamu." (QS. Al-Ma'idaah [5] : 3)
"Oleh sebab itu apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu (yaitu pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya), maka ia bukan termasuk agama pula pada hari ini." (Al-I'tisham, I/64)
Dan bahkan Ummul Mukminin, 'Aisyah radhiyallaahu 'anha berkata, "Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman : "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya." (QS. Al-Ma'idaah [5] : 67) [HR. Al-Bukhari, no. 7380 dan Muslim, no. 177]
Dan yang terakhir, bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta'ala mewafatkan Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam jika Islam belum sempurna???
Berkata Imam asy-Syaukaniy rahimahullahu ta'ala, "Maka jika Allah telah menyempurnakan agama-Nya sebelum Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat, maka apa artinya pendapat bid'ah yang dibuat-buat oleh kalangan ahli bid'ah tersebut? Kalau memang hal tersebut merupakan agama menurut keyakinan mereka, maka berarti mereka telah beranggapan bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan tambahan pemikiran mereka, dan itu berarti pembangkangan terhadap al-Qur'an." (Al-Qaulul Mufiid Fii Adillatil Ijtihaad Wattaqliid, hal. 38)
Kewajiban kita sebagai seorang muslim tunduk dan patuh dengan apa yang telah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sampaikan, apabila kita telah mengetahui bahwa setiap bid'ah itu sesat mengapa kita "ngeyel" dengan mengatakan ada bid'ah hasanah. Seolah-olah kita yang lebih paham dari Nabi yang mulia Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama dan setiap yang diada-adakan dalam agama adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. Al-Bukhari, no. 86, 184, 922, Muslim, no. 867 - 868, Ahmad, I/392 - 393, 432, II/310 - 311, Abu Dawud, no. 1097, 2118, an-Nasa-i, III/104 - 105, At-Tirmidzi, no. 1105, Ibnu Majah, no. 1892, al-Hakim, II/182 - 183, 'Abdurrazzaq, no. 10449, Ath-Thayalisi, no. 336 - 338, Abu Ya'la, no. 5211, ad-Darimi, II/142, al-Baihaqi, III/214, III/215, VII/146)
Diriwayatkan Dari al-'Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata,
"Suatu hari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata,
"Wahai Rasulullah! Nasehat ini seakan-akan ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?"
Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. Ahmad dalam Musnadnya, IV/126 - 127, Abu Dawud, no. 4607, Tirmidzi, no. 2676, Ibnu Majah, no. 42, 43, ad-Darimi, I/44, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, no. 5, at-Taliiqaatul Hisan, no. 102, al-Mawaarid, Hakim, I/95 - 96, Baihaqi, X/114, Imam Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah, no. 54 - 59, Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, I/205, no. 102, Imam al-Laalika'i dalam Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah, I/83, no. 81. Derajat hadits ini Shahiih lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 937 dan 2735 dan Irwaa-ul Ghaliil VIII/107 - 109, no. 2455)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka." (HR. An-Nasa-i, III/188 - 1899, dan al-Baihaqi dalam al-Asma' was Shifat, I/310)
Hadits-hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di atas sangat jelas menegaskan bahwa setiap bid'ah itu sesat maka jangan kita "ngeyel" atau sok-sok-an berkata tanpa ilmu ada bid'ah hasanah.
Kewajiban kita hanya tunduk dan patuh dengan apa yang beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam sampaikan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr : 7)
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari Kiamat." (QS. Al-Ahzaab : 21)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengada-adakan (membuat-buat bid'ah) suatu perkara amalan dalam agama ini yang tidak ada perintah atau contoh) dari kami maka perbuatan tersebut tertolak." (HR. Bukhari, III/222 no. 2697, Muslim, III/1343 no. 1718)
Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam melanjutkan, "Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan." Para Shahabat bertanya, "Siapakah yang enggan, wahai Rasulullah?" Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Barangsiapa yang taat kepadaku maka dia masuk Surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka dialah yang enggan." (HR. Al-Bukhari, no. 7280)
(b) berkata,
"Tapi Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala berpendapat bid'ah ada dua macam, bagaimana ini?"
(a) berkata,
"Ketahuilah, bahwasanya beliau rahimahullaahu ta'ala adalah seorang manusia yang tidak ma'shum maka kita tidak boleh taklid kepada siapa pun orangnya selain mengikuti dalil, hatta Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala sendiri melarang taklid buta terhadap pendapatnya jika pendapatnya menyelisihi al-Qur'an dan As-Sunnah.
Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Setiap orang pasti terlewat dan luput darinya salah satu Sunnah (baca : hadits) Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Apa pun pendapat yang aku katakan atau prinsip yang aku tetapkan (baca : katakan) kemudian ada hadits dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, yang ternyata bertentangan dengan pendapatku, maka apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam itulah yang diambil. Dan itulah yang menjadi pendapatku." (Manaaqib al-Imam asy-Syafi'i, I/475, dan I'laamul Muwaqqi'iin, IV/46 - 47)
Beliau rahimahullaahu ta'ala juga berkata,
"Setiap yang aku ucapkan, namun ada hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam yang shahih menyelisihi pendapatku, maka hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam itulah yang lebih patut diikuti. Maka janganlah kalian taklid kepadaku." (Manaaqib al-Imam asy-Syafi'i, I/473, dan I'laamul Muwaqqi'iin, IV/45 - 46)
Lihat penyataan beliau, kita diperintahkan untuk ittiba' kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bukan taklid kepada orang lain.
Anggaplah bid'ah hasanah itu memang ada dengan pernyataan Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala maka bid'ah hasanah yang dimaksud disini ialah bermakna sunnah karena mengikuti atau selaras dengan al-Qur'an dan As-Sunnah, sebab perbuatan bid'ah pada hakikatnya ialah menyelisihi al-Qur'an dan As-Sunnah.
Mari kita dudukkan pernyataan beliau rahimahullaahu ta'ala tentang bid'ah.
Beliau rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Perkara yang baru itu ada dua macam : Yaitu perkara baru yang menyelisihi al-Qur'an, Sunnah, Atsar, dan Ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Adapun perkara baru yang tidak menyelisihi pakai satu dari hal di atas maka tidak tercela.
Kemudian beliau rahimahullaahu ta'ala menukil perkataan Shahabat yang mulia 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu yang berkata, 'Sebaik-baik bid'ah adalah ini.'" (Hilyatul Auliya' IX/113)
Padahal jika kita teliti baik-baik dengan seksama maka akan kita dapati yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala adalah bid'ah secara bahasa yang maknanya ialah mengikuti al-Qur'an, As-Sunnah, Atsar dan Ijma' Salafush Shalih.
Hal itu dapat diketahui dari perkataan Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala sendiri yang berdalil tentang perkataan Shahabat yang mulia 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu ketika mengumpulkan jama'ah shalat Tarawih dan berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini."
Padahal telah mahsyur bahwasanya shalat Tarawih itu sendiri adalah Sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan bukan perkara bid'ah yang dibuat-buat oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa melakukan shalat malam (tarawih) bersama imam di bulan Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. Al-Bukhari, no. 37 dan Muslim, no. 759)
Maka istilah bid'ah hasanah dengan dalih shalat tarawih adalah istilah yang keliru lagi bathil.
Justru sebaliknya Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala mengingkari perbuatan bid'ah.
Beliau berkata, "Barangsiapa yang beristihsan (menganggap baik suatu perbuatan tanpa dalil yang sharih lagi shahih) maka ia telah membuat syari'at (agama) baru." (al-Mankhul, hal. 374)
(b) berkata,
"Bukankah pembukuan al-Qur'an adalah bid'ah?"
(a) berkata,
"Bukan, dan tidak mungkin para Shahabat berbuat bid'ah yang telah diancam Neraka oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Pembukuan al-Qur'an itu pada hakikatnya adalah Sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sebab al-Qur'an di zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah ditulis di atas batu, tulang, pelepah kurma dan yang lainnya.
Namun karena al-Qur'an dan wahyu pada saat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam masih hidup masih turun maka pembukuan al-Qur'an tidak dilakukan, setelah Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat dan wahyu telah terputus karena telah sempurna maka baru pembukuan al-Qur'an dilakukan.
Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
"Berkatalah orang-orang yang kafir : 'Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?' Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya." (QS. Al-Furqan : 32 - 33)
dan
"Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian." (QS. Al-Isra' : 106)
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur'an kepadamu (hai Muhammad) secara berangsur-angsur." (QS. Al-Insan : 23)
Ayat-ayat diatas menegaskan bahwa ayat al-Qur'an turun dengan berangsur-angsur selama 23 tahun, maka selama wahyu itu masih turun dan hukum di dalam al-Qur'an terkadang masih ada yang di naskh dan mansukh, maka al-Qur'an tidak dibukukan namun setelah Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat dan wahyu telah terputus karena telah sempurna maka baru pembukuan al-Qur'an dilakukan.
Pembukuan al-Qur'an ini adalah ijma' (kesepakatan) para Shahabat radhiyallaahu 'anhum jami'an dan ijma' merupakan salah satu dasar dalam Islam.
Dan ijma' serta sunnah Shahabat (Khulafa' ar-Rasyidin) adalah hujjah atau dalil dalam agama ini sebagaimana hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa diantara kalian yang mengalami hidup lama setelah (aku meninggal) maka dia akan melihat banyak perselisihan. Maka, setelah aku meninggal nanti, hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah al-Khufala' ar-rasyidin." (HR. Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42 - 44)
Dan telah kita ketahui bersama bahwa Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan Ali radhiyallaahu 'anhum adalah seorang Khalifah atau Khulafa' ar-Rasyidin disamping itu para sahabat pun telah ijma' tentangnya maka itu adalah setegas-tegas dalil bahwa pembukuan al-Qur'an bukanlah bid'ah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Alif Lam Mim. Kitab tersebut tidak ada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah : 1 - 2)
"Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur'an) untk menjelaskan sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (QS. An-Nahl : 89)
dan
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr : 9)
Apa definisi kitab???
Kitab adalah kumpulan dari beberapa mushaf atau lembaran-lembaran yang dikumpulkan menjadi satu itulah disebut kitab.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berulang-ulang memakai kata "kitab" bukan mushaf atau lembaran-lembaran yang maknanya bahwa mushaf tersebut akan disatukan menjadi satu dan karena itulah Allah Jalla wa 'Ala berfirman :
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr : 9)
Dan sebagai bentuk dari penjagaan al-Qur'anul Karim adalah dengan mengumpulkannya, maka keliru besar anda mengatakan bahwa pengumpulan al-Qur'an adalah perbuatan bid'ah.
(b) berkata,
"Penjelasan yang sempurna, sangat ilmiyyah. Pun saya pribadi tidak meyakini bid'ah hasanah.
Sebab apabila ada istilah bid'ah hasanah, maka saya bingung hasanah menurut siapa...
Hmm... Tentu hasanah sifatnya relatif dan berbeda, hasanah menurut anda belum tentu hasanah menurut saya.
Dan alhamdulillah kini saya lebih paham, semoga Allah Tabaroka wa Ta'ala menjaga anda dan membimbing saya kepada petunjuk."
________
Oleh Pentingnya Menuntut Ilmu Syar'i Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar