PENDAHULUAN
Segala puji bagai Allah. Kita memuji, meminta ampunan dan petunjuk-Nya. Juga meminta perlindungan-Nya dari keburukan jiwa serta amal-amal kita. Siapa yang Allah beri petunjuk, tidak ada yang dapat menyesatkannya dan siapa yang disesatkan-Nya, tidak ada yang dapat menunjukinya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, yang tidak memiliki sekutu. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.
قال تعالى : â يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ
وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٠٢) á آل
عمران:102(
"Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali
Imrân:102)
قال تعالى : â يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ
وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَارِجَالاً كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١ á )النساء:1(
"Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu." (QS.an-Nisa:1)
قال تعالى : â يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠ يُصۡلِحۡ لَكُمۡ
أَعۡمَٰلَكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ
فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا ٧١ á )الأحزاب :70،
71 (
"Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya
Allah memperbaiki untukmu amalan-amalanmu dan mengampuni untukmu dosa-dosamu.
dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar." (QS.al-Ahzab:70,71)
Adapun
selanjutnya:
Fenomena
lemah iman telah menjadi sesuatu yang menyebar dan merata di tengah kaum
muslimin. Sebagian mengeluhkan kerasnya hati mereka dengan berujar, "Aku
merasa hatiku keras", "Aku tidak dapat merasakan nikmatnya
ibadah", "Aku merasa imanku berada di titik nadir", "Aku
tidak dapat merasakan pengaruh bacaan al-Quran", "Aku mudah
terjerumus dalam maksiat".
Pada
sebagian orang nampak sekali pengaruh penyakit ini. Penyakit lemah iman
merupakan dasar dari segala kemaksiatan, segala aib dan bencana.
Tema
hati merupakan tema yang sensitif dan urgen. Ia dinamakan "القلب" (hati) karena cepatnya berubah. Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam- bersabda:
إنما القلب من تقلبه إنما مثل القلب كمثل ريشة معلقة في أصل شجرة يقلبها الريح ظهراً
لبطن ) رواه أحمد 4/408 وهو في صحيح
الجامع 2364(
"Sungguh dia dinamakan القلب [al-qolb=hati[1]]
karena تقلبه 'taqollubihi' (perubahannya).
Perumpamaan hati adalah seperti bulu
yang tersangkut di pangkal pohon, kemudian angin menelungkupkan bagian atas
menjadi bawahnya.[2]
Dalam
riwayat lain:
مثل القلب كمثل ريشة بأرض فلاة الريح ظهراً لبطن) أخرجه ابن أبي عاصم في
كتاب السنة رقم 227 وإسناده صحيح: ظلال الجنة في تخريج السنة للألباني 1/102(
"Perumpamaan hati seperti bulu
di tengah padang pasir yang di bolak-balikan angin." [3]
Kalbu
cepat berbolak-balik, sebagaimana yang telah disifati oleh Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam- dengan sabdanya:
لقلب ابن آدم أسرع تقلباً من القدر إذا استجمعت غليانا (المرجع السابق رقم
226 وإسناده صحيح: ظلال الجنة 1/102)
"Sungguh kalbu anak Adam lebih cepat terbolak-balik dari pada bejana
yang direbus." [4]
Dalam
riwayat lain:
أشد تقلباً من القدر إذا اجتمعت غلياناً (رواه أحمد 6/4 وهو في صحيح الجامع رقم 5147)
"Lebih amat terbolak-balik dari
pada bejana yang di rebus."[5]
Allah
-subhanahu wata'âla- yang membolak-balikkan hati dan merubahnya
sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abdullah Ibn Amr Ibn al-Ash bahwa dia
mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda,
إن قلوب بني آدم كلها بين أصبعين من أصابع الرحمن كقلب واحد يصرفه حيث
يشاء
"Sesungguhnya hati/kalbu anak keturunan Adam seluruhnya berada di
antara jari jemari Zat yang Maha Pengasih, seperti satu kalbu, dibolak-balikkan
sekehendak-Nya."
Kemudian
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- berdoa:
اللهم مصرف القلوب صرف قلوبنا على طاعتك (رواه مسلم رقم 2654)
[Allahumma mushorriful quluub,
shorrif quluubana 'alaa thoo'atika]
"Ya Allah, pembolak-balik kalbu, palingkanlah kalbu kami kepada
ketaatan-Mu."[6]
Allah-lah
yang memisahkan antara seseorang dengan kalbunya. Seseorang tidak akan selamat
kecuali datang kepada Allah dengan hati/kalbu yang selamat. Kedukaanlah bagi
pemilik kalbu yang sulit untuk zikrullah (mengingat Allah). Surga
dijanjikan bagi siapa yang merasa takut kepada Allah yang Maha Pengasih,
padahal tidak terlihat olehnya dan datang dengan hati yang bertobat.
Seorang
mukmin hatinya haruslah sensitif, menyadari penyakit yang menyusup dan faktor penyebabnya,
untuk kemudian bersegera mengobatinya sebelum menjangkit dan membinasakannya.
Perkaranya besar dan serius. Allah -subhanahu wata'âla- telah
memperingatkan kita mengenai hati yang keras, terkunci, sakit, buta, buntung,
terbalik, ternoda dan dicap.
Tulisan
ini merupakan upaya mengenal fenomena penyakit lemah iman, faktor penyebab dan
terapinya. Saya meminta kepada Allah semoga menjadikan amal ini bermanfaat bagi
diri saya dan saudara-saudaraku kaum muslim. Membalas siapa saja yang berandil
dalam penerbitannya dengan ganjaran yang setimpal.
Allah
-subhanahu wata'âla- kuasa melembutkan hati-hati kita karena
sesungguhnya Dia-lah sebaik-baik pelindung. Cukuplah Dia sebagai penolong dan
tempat bergantung.
Pertama: Fenomena lemah iman
Sesungguhnya
penyakit lemah iman memiliki gejala dan tanda-tanda, di antaranya:
1. Terjerumus dalam kemaksiatan dan melakukan perbuatan haram.
Sebagian
orang intens melakukan maksiat. Sebagian lagi hanya melakukan maksiat-maksiat tertentu
saja. Ke-sering-an melakukan maksiat akan merubahnya menjadi gaya hidup,
sehingga hilang pandangan buruk maksiat dari hatinya secara bertahap, yang pada
akhirnya sanggup menampakkan kemaksiatan itu, sebagaimana yang terdapat dalam
hadits:
كل أمتي معافى إلا المجاهرين وإن من المجاهرة أن يعمل الرجل بالليل عملاً ثم يصبح
وقد ستره الله فيقول: يا فلان عملت البارحة كذا وكذا وقد
بات يستره ربه ويصبح يكشف ستر الله عنه ( رواه البخاري: فتح
10/486)
"Setiap umatku diampuni
dosa-dosanya kecuali yang melakukannya
terang-terangan. Di antara bentuknya; seseorang melakukan maksiat di malam
hari, paginya Allah telah menutupi dosanya, namun dia berkata, 'Wahai Fulan,
tadi malam aku melakukan begini dan begitu.' Padahal dia telah bermalam dengan
dosa yang tertutupi, namun paginya dia sendiri yang menyingkap apa yang telah
Allah tutupi."[7]
2. Merasakan kalbu yang kaku dan keras. Sampai-sampai merasakan hatinya
telah berubah menjadi batu keras yang tak dapat menyerap dan tidak terpengaruh
oleh apapun.
Allah -azzawajalla- berfirman:
Allah -azzawajalla- berfirman:
قال تعالى : â ثُمَّ قَسَتۡ قُلُوبُكُم مِّنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَٱلۡحِجَارَةِ
أَوۡ أَشَدُّ قَسۡوَةٗ á (البقرة :74)
"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih
keras lagi." (QS.al-Baqarah:74)
Pemilik
hati yang kaku tidak terpengaruh oleh nasihat-nasihat kematian ataupun melihat
orang mati dan jenazahnya. Bahkan meskipun dia termasuk yang mengusung jenazah
dan menguruk kubur dengan tanah. Langkahnya di antara perkuburan seolah hanya di
antara bebatuan.
3. Tidak dapat sempurna dalam melakukan beribadah.
Pikirannya
selalu melayang-layang saat melaksanakan shalat, membaca al-Quran, membaca doa
maupun ibadah lainnya. Tidak dapat menadaburi dan merenungi makna-makna zikir.
Membacanya sambil lalu dan dengan cara
yang menjemukan jika telah dihafalnya. Sekalipun telah membiasakan diri berdoa
dengan doa-doa tertentu pada waktu yang telah ditentukan oleh sunah, tetap saja
dia tidak dapat khusyuk memahami makna-makna doa tersebut. Allah -subhanahu
wata'âla- berfirman (dalam hadits qudsi):
…
لا يقبل دعاء من قلب غافل (رواه الترمذي رقم
3479 وهو في السلسة الصحيحة 594)
"...tidak diterima doa dari
hati/kalbu yang lalai lagi lengah." [8]
4. Malas melakukan ketaatan dan ibadah dan cenderung melalaikan.
Jika pun melaksanakan, hanyalah sekadar aktivitas kosong tanpa ruh. Allah -azzawajalla- mendeskripsikan orang-orang munafik dengan firman-Nya:
Jika pun melaksanakan, hanyalah sekadar aktivitas kosong tanpa ruh. Allah -azzawajalla- mendeskripsikan orang-orang munafik dengan firman-Nya:
قال تعالى : â وَإِذَا
قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ á (النساء :142)
"...dan apabila mereka berdiri
untuk shalat mereka berdiri dengan malas..." (QS.an-Nisâ:142)
Termasuk
juga ketidakpedulian akan luputnya musim-musim kebaikan serta waktu-waktu
ibadah. Ini menunjukkan akan tidak adanya perhatian mendapatkan pahala.
Mengakhirkan ibadah haji padahal mampu, enggan berjihad padahal dalam keadaan
lapang dan meninggalkan shalat berjamaah sehingga berhujung pada meninggalkan
shalat Jumat. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
لا يزال قوم يتأخرون عن الصف الأول حتى يخلفهم الله في النار (رواه أبو داود رقم:
679 وهو في صحيح الترغيب رقم 510)
"Masih terus saja suatu kaum meninggalkan saf pertama, hingga Allah
akhirkan mereka ke neraka."[9]
Si
penderita tidak sadar dengan teguran hatinya sewaktu tertidur saat masuk waktu
shalat wajib, demikian pula ketika terluput melakukan shalat sunah rawatib atau
meninggalkan wirid dari wirid-wiridnya. Dia tidak berhasrat untuk mengganti apa
yang telah terluput itu. Demikianlah, dia menjadi terbiasa melalaikan segala
yang dianggapnya sunah atau wajib kifayah[10],
atau bahkan sama sekali tidak menghadiri shalat 'Id (padahal sebagian ulama
mengatakan wajib melaksanakannya), tidak shalat gerhana, tidak respons untuk
menghadiri resepsi kematian dan menyalatinya. Dia tidak menginginkan pahala dan
tidak merasa butuh. Kontras dengan orang-orang yang telah Allah deskripsikan
dalam firman-Nya:
قال تعالى : â إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا
وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ ٩٠ á (الأنبياء :90)
"...Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang
baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah
orang-orang yang khusyuk kepada Kami." (QS.al-Anbiyâ`:90)
Di
antara bentuknya yang lain adalah bermalas-malasan dalam melaksanakan ketaatan.
Malas melaksanakan sunah rawatib[11],
shalat malam, bersegera ke masjid, atau ibadah-ibadah lain semisal shalat dhuha.
Jika ibadah-ibadah tersebut saja tidak terbetik dalam pikirannya, apatah lagi
dengan shalat taubah atau shalat istikharah.
5. Tidak lapang dada, hilang selera, terperangkap dalam ego bahkan seolah
ada beban berat yang menghimpit. Akibatnya menjadi cepat emosi atau berkeluh
kesah hanya karena urusan sepele. Merasa tertekan dengan tingkah orang di
sekitarnya dan menjadi tidak toleran. Nabi -shalallahu alaihi wasalam-
mendeskripsikan iman dengan sabdanya:
الإيمان: الصبر والسماحة (السلسلة الصحيحة رقم
554، 2/86)
"Iman itu kesabaran dan
toleran."[12]
Beliau
mendeskripsikan seorang mukmin dengan:
يألف ويؤلف ولا خير فيمن لا يألف ولا يؤلف (السلسلة الصحيحة رقم
427)
"...beramah-tamah. Tidak ada
kebaikan bagi yang tidak beramah-tamah."[13]
6. Tidak peka/terpengaruh dengan bacaan al-Quran.
Tidak
dengan janji-janji dan ancaman, tidak pula perintah dan larangan, maupun dengan
penggambaran hari kiamat. Mereka yang lemah imannya, berpaling dari mendengar
al-Quran. Jiwanya tidak sanggup konsisten membacanya. Ketika membuka al-Quran,
hampir-hampir menutupnya kembali.
7.
Lalai dari mengingat Allah -azzawajalla- dan berdoa kepada-Nya -subhanahu
wata'âla-. Sehingga berat ketika berzikir. Jika mengangkat tangan untuk
berdoa, begitu cepat diturunkannya lagi kemudian berlalu. Allah mendeskripsikan
orang munafik dalam firman-Nya:
قال تعالى : â وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلٗا ١٤٢ á (النساء :142)
"...dan tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (QS.an-Nisâ:142)
8. Tidak murka jika kesucian Allah -azzawajalla- dinistai, karena api
cemburu dalam kalbunya telah padam, sehingga tubuhnya tidak mampu melakukan
pengingkaran, tidak pula beramar makruf nahi mungkar. Seumur-umur tidak pernah
melakukan pembelaan terhadap Allah. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- mendeskripsikan
kalbu seperti ini sebagai kalbu yang lemah, dalam hadisnya:
تُعْرَضُ الْفِتَنُ
عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَىُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ
نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ ...
"Fitnah (cobaan) dibentangkan
kepada kalbu seperti keset, selembar demi selembar. Bagian manapun dari kalbu
yang menyerapnya akan menjadi titik hitam."
Hingga
menjadi seperti yang dikhabarkan Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-:
أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا
وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ (رواه
مسلم رقم 144)
"Hitam dengan sedikit bintik
putih, seperti kerucut yang miring tertelungkup, tidak mengetahui kebaikan dan
tidak mengingkari kemungkaran, selain yang diterima oleh hawa nafsunya."[14]
Yang
demikian itu karena telah luntur darinya cinta kebaikan dan benci kemungkaran.
Hal itu yang menguasainya sehingga tidak ada yang mendorongnya untuk mengajak
berbuat baik maupun mencegah kemungkaran. Bahkan ketika mendengar kemungkaran terjadi bisa
jadi malah meridainya, sehingga dia pun mendapat dosa seperti orang yang menyaksikan
namun membiarkannya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam-:
إذا عملت الخطيئة في الأرض كان من شهدها فكرهها - وقال مرة أنكرها -
كمن غاب عنها ومن غاب عنها فرضيها كان كمن شهدها (رواه
أبو داود رقم 4345، وهو في صحيح الجامع 689)
"Jika keburukan dilakukan di bumi dan dia menyaksikan dan membencinya
–dalam riwayat yang lain mengingkarinya- seperti orang yang tidak
hadir. Dan siapa yang tidak menyaksikannya tetapi meridainya maka seperti
menyaksikannya."[15]
Rida
dengan perbuatan maksiat merupakan amal hati/kalbu yang menyisakan dosa seperti
orang yang melihatnya.
9. Senang memamerkan diri, dalam bentuk:
- Senang
berkuasa dan memimpin, tanpa memperdulikan tanggung jawab dan bahayanya. Yang
seperti inilah yang diperingatkan oleh Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-
dengan sabdanya:
إنكم ستحرصون على الإمارة وستكون ندامة يوم القيامة فنعم المرضعة وبئس
الفاطمة (رواه
البخاري رقم 6729)
"Kalian akan tamak pada kekuasaan yang pada hari kiamat
akan menjadi penyesalan. Nikmat permulaannya dan malapetaka pada akhirnya.
Maksud "nikmat
permulaannya" karena perolehan harta, kehormatan dan kenikmatannya.
Sedangkan "malapetaka pada akhirnya" karena terdapat
pembunuhan, pelengseran, dan kepayahan pada hari kiamat."[16]
Nabi -shalallahu alaihi wasalam- pun bersabda:
إن شئتم أنبأتكم عن الإمارة وما هي
أولها ملامة وثانيها ندامة وثالثها عذاب يوم القيامة إلا من عدل (رواه
الطبراني في الكبير 18/72 وهو في صحيح الجامع 1420)
"Jika kalian
ingin, aku dapat menjelaskan apa kekuasaan itu; permulaannya celaan, keduanya
penyesalan, ketiganya siksa pada hari kiamat, kecuali bagi yang adil."[17]
Jika perkaranya
adalah menjalankan kewajiban dan tanggung jawab, di mana tidak ada orang yang
lebih baik darinya, seraya bersungguh-sungguh, saling menasihati dan adil
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yusuf –alaihisalam-, kita katakan
nikmat dan kemuliaan. Akan tetapi pada kebanyakannya adalah keinginan liar
kekuasaan, ingin lebih, menindas para pemilik hak dan memonopoli perintah dan
larangan.
- Senang muncul di majelis-majelis dan memonopoli
pembicaraan, sedang yang lain wajib mendengarnya. Muncul di
majelis-majelis maksudnya mimbar-mimbar. Hal ini telah diperingatkan oleh
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- dengan sabdanya:
اتقوا هذه المذابح - يعني المحاريب (رواه
البيهقي 2/439 وهو في صحيح الجامع 120)
"Jauhilah tempat-tempat penyembelihan –maksudnya
mimbar-mimbar."[18]
- Senang jika
orang-orang berdiri menyambutnya, demi memuaskan rasa gila penghormatan pada
jiwanya yang sakit. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَمْثُلَ لَهُ الْعِبَادُ قِيَاماً
فَلْيَتَبَوَّأْ بَيْتاً فِى النَّارِ (رواه البخاري في
الأدب المفرد 977 انظر السلة الصحيحة 357)
"Siapa yang senang dihormati dengan cara hamba-hamba Allah
berdiri menyambutnya, maka dia telah menempatkan tempat duduknya di
neraka."[19]
Oleh karena itu, ketika
Muawiah mendatangi Ibnu Zubair dan Ibn Âmir, Ibn Âmir berdiri sedangkan Ibnu
Zubair tetap duduk, Muawiah berkata kepada Ibn Âmir:
"Duduklah,
sesungguhnya aku mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-
bersabda:
من أحب أن يمثل له الرجال
قياماً فليتبوأ مقعده من النار (رواه أبو داود رقم 5229 والبخاري في الأدب
المفرد 977 وهو في السلسلة الصحيحة 357)
'Siapa yang senang
dihormati dengan cara hamba-hamba Allah berdiri menyambutnya, maka dia telah
menempatkan tempat duduknya di neraka'."[20]
Tipe orang seperti
ini akan marah jika sunah nabi ini diterapkan. Jika masuk suatu majelis, dia
tidak rida kecuali ada salah seorang yang berdiri menyambutnya dan
mendudukkannya, meskipun dia tahu Nabi -shalallahu alaihi wasalam-
melarang hal itu dalam sabdanya:
لا يقيم الرجل الرجل من مجلسه ثم يجلس فيه (رواه
البخاري فتح 11/62)
"Janganlah seseorang itu
membangunkan orang lain dari duduknya kemudian dia duduk di situ." [21]
10. Serakah dan kikir.
Allah
-subhanahu wata'âla- telah memuji kaum Anshar dalam kitab-Nya:
قال تعالى : â وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَة
á (الحشر:9)
"...dan mereka mengutamakan
(orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan." (QS.al-Hasyr:9)
Dijelaskan
bahwa orang-orang yang beruntung adalah mereka yang menjauhi keserakahan diri
mereka. Tidak diragukan bahwa lemah iman melahirkan keserakahan. Bahkan
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
لا يجتمع الشح والإيمان في قلب عبد أبدا (رواه
النسائي: المجتبي 6/13 وهو في صحيح الجامع 2678)
"Tidak akan berkumpul
keserakahan dan keimanan dalam hati seorang hamba sama sekali." [22]
Mengenai
bahaya keserakahan dan pengaruhnya terhadap jiwa telah dijelaskan oleh Nabi -shalallahu
alaihi wasalam- dengan sabdanya:
إياكم والشح فإنما هلك من كان قبلكم بالشح أمرهم بالبخل فبخلوا وأمرهم بالقطيعة فقطعوا وأمرهم
بالفجور ففجروا (رواه أبو داود 2/324 وهو
في صحيح الجامع رقم 2678)
"Jauhilah oleh kalian keserakahan. Sungguh binasanya orang-orang
sebelum kalian karena keserakahan. Ketika (keserakahan) memerintahkan mereka
untuk bakhil, mereka berbuat kekikiran, ketika memerintah untuk memutus
persaudaraan, mereka memutus persaudaraan dan ketika memerintah mereka untuk
berbuat kekejian, mereka melakukannya."[23]
Kebakhilan
pada pemilik iman yang lemah, membuatnya hampir-hampir tidak mengeluarkan
sedikit pun untuk Allah, sekalipun ada yang meminta sedekah dan menyaksikan
sendiri kebutuhan saudaranya muslim yang terkena musibah. Tidak ada yang lebih
tepat tentang mereka ini daripada firman Allah:
قال تعالى : â هَٰٓأَنتُمۡ هَٰٓؤُلَآءِ تُدۡعَوۡنَ لِتُنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ
فَمِنكُم مَّن يَبۡخَلُۖ وَمَن يَبۡخَلۡ فَإِنَّمَا يَبۡخَلُ عَن نَّفۡسِهِۦۚ وَٱللَّهُ
ٱلۡغَنِيُّ وَأَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُۚ وَإِن تَتَوَلَّوۡاْ يَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ
ثُمَّ لَا يَكُونُوٓاْ أَمۡثَٰلَكُم ٣٨ á (محمد :38)
"Ingatlah, kamu adalah
orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) di jalan Allah. Lalu di
antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah
kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Mahakaya, dan kamulah
orang-orang yang membutuhkan (karunia-Nya). Dan jika kamu berpaling niscaya Dia
akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan (durhaka)
seperti kamu." (QS.Muhammad:38)
11. Mengatakan apa yang tidak dilakukannya.
Allah
–subhanahu wata'ala- berfirman:
قال تعالى : â يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ
٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣ á (الصف :2، 3)
"Wahai orang-orang yang
beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan." (QS.as-Shaff: 2,3)
Tidak
diragukan kalau ini adalah jenis kemunafikan. Siapa yang perkataannya
menyelisihi perbuatannya, menjadi tercela di sisi Allah dan dibenci oleh
makhluk. Penghuni neraka nantinya akan membeberkan apa-apa yang telah mereka
perintahkan di dunia tetapi tidak melaksanakannya, dan apa yang dilarangnya
tetapi dilakukannya.
12. Gembira dan menginginkan
saudaranya gagal, rugi, terkena musibah dan lenyap kenikmatannya.
Dia
merasa gembira ketika nikmat yang ada pada saudaranya sirna. Karena sesuatu
yang menjadikan saudaranya itu istimewa telah tiada darinya.
13. Hanya melihat sesuatu perkara dari sisi apakah mengandung dosa ataukah
tidak, tanpa melihat lagi apakah hal itu termasuk perkara "makruh"
(dibenci) atau tidak.
Sebagian
orang, jika hendak mengerjakan suatu amal tidak bertanya mana amal-amalan yang baik,
tetapi yang ditanya 'apakah perbuatan
itu dosa atau tidak?', 'haram atau cuma makruh?'. Mental seperti ini dapat menjeratnya
ke dalam syirik "subhat" (kerancuan) dan "makruhat"
(perkara-perkara yang dibenci), sehingga menjerumuskannya pada perkara haram
pada suatu saat. Orang seperti ini tidak mengapa baginya mengerjakan perkara "makruh"
(yang dibenci) atau "musytabih" (meragukan), selama perkaranya bukan
haram. Inilah yang senyatanya dikabarkan oleh Rasulullah -shalallahu alaihi
wasalam- dengan sabdanya:
من وقع في الشبهات وقع في الحرام
كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه .. )الحديث في الصحيحين واللفظ لمسلم رقم 1599(
"Siapa yang terjerumus pada subhat (meragukan) telah terjerumus pada
yang haram. Seperti penggembala yang menggembalakan gembalaannya di sekitar
pagar, tidak ayal akan menerobos ke dalamnya..."[24]
Bahkan
sebagian orang jika meminta fatwa dalam suatu perkara dan dikhabarkan bahwa hal
itu haram akan bertanya, 'apakah sangat haram atau tidak?' atau 'seberapa
besar dosanya?'. Yang seperti ini, tidak ada pada dirinya kepedulian untuk
menjauhi kemungkaran dan kejelekan. Bahkan dia siap untuk terjerumus dalam
tahap awal perbuatan haram. Dia menyepelekan dosa-dosa yang dianggap kecil,
sehingga menjadi berani melanggar apa yang Allah haramkan. Hilang sekat antara
dirinya dan kemaksiatan. Karenanya Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-
bersabda dalam hadits sahih:
لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
هَبَاءً مَنْثُورًا
"Sungguh aku mengetahui kaum
dari umatku yang datang membawa kebaikan seperti gunung Tuhâmah[25],
namun Allah -azzawajalla- menjadikannya debu yang beterbangan."
Tsauban -radiallahu'anhu- bertanya,
"Wahai
Rasulullah, deskripsikan mereka kepada kami agar kami tidak seperti mereka
tanpa menyadarinya?"
Nabi menjawab,
أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ
اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ
انْتَهَكُوهَا (رواه ابن ماجة رقم 4245
قال في الزوائد إسناده صحيح ورجاله ثقات وهو في صحيح الجامع 5028(
"Mereka
adalah saudara-saudara kalian dan dari bangsa kalian. Malam mereka sama seperti
malam kalian[26],
akan tetapi jika tengah bersendirian dengan perkara haram mereka
melabraknya."[27]
Engkau
dapatkan mereka terjerumus dalam perkara haram tanpa risih dan ragu. Ini lebih
buruk dari mereka yang terjerumus setelah ragu-ragu dan risih, meskipun
keduanya dalam bahaya, namun keadaan orang yang pertama lebih jelek dari yang kedua.
Macam orang seperti ini menggampangkan dosa karena kelemahan imannya. Dia tidak
melihat bahwa hal itu adalah sesuatu kemungkaran. Karenanya Ibnu Mas'ud -radiallahu'anhu-
menggambarkan perbedaan antara keadaan orang beriman dengan orang munafik dengan:
"Orang beriman melihat dosanya seperti batu di atas gunung
dan takut akan menimpanya. Sedangkan pelaku dosa, melihat dosanya seperti lalat
yang lewat di hidungnya dan menepisnya."[28]
14. Meremehkan kebaikan dan tidak peduli dengan kebaikan-kebaikan kecil.
Rasulullah
-shalallahu alaihi wasalam- telah mengajarkan kita agar tidak seperti
itu. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad -rahimahullah- dari Abu Jarî
al-Hajimi, katanya:
"Aku mendatangi Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-
dan bertanya:
'Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami adalah kaum badui, ajarkan kami sesuatu yang akan Allah beri
manfaat kepada kami!'".
Nabi bersabda:
لا تحقرن من المعروف شيئاً ولو أن تفرغ من دلوك في إناء المستقي ولو أن تكلم أخاك ووجهك إليه منبسطاً [ رواه أحمد ]
"Janganlah meremehkan kebaikan sekecil apapun, sekalipun
sekedar mengosongkan isi embermu untuk orang yang memerlukan air, dan sekalipun
berbicara dengan saudaramu dengan wajah yang ceria."[29]
Seandainya
ada yang ingin mengambil air dari sumur, sedangkan engkau telah lebih dulu
mengambilnya, maka berikan air itu kepadanya. Amalan seperti ini meskipun
nampaknya sepele, tidak semestinya diremehkan. Demikian pula dengan menemui
saudaramu dengan wajah ceria, membersihkan kotoran dan sampah dari masjid,
walaupun hanya serpihan, semoga saja menjadi sebab pengampunan dosa.
Allah
mensyukuri hamba-Nya dengan amalan seperti itu dan mengampuni dosanya. Bukankah
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
مر رجل بغصن شجرة على ظهر
طريق فقال: والله لأنحين هذا عن المسلمين لا يؤذيهم فأُدخل الجنة [ رواه مسلم ]
"Seseorang lewat dijalan dan
mendapati ranting kayu menghalangi jalan. Dia berkata, 'Demi Allah, aku akan
menyingkirkannya agar tidak menyakiti kaum muslimin lain!' Dia pun dimasukkan
ke dalam surga."[30]
Pada
jiwa yang meremehkan amalan baik yang ringan, ada kejelekan dan keteledoran.
Cukup baginya hukuman atas penghinaannya terhadap kebaikan yang kecil
diharamkan dari keistimewaan agung yang dijelaskan oleh sabda Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam-:
من أماط أذى عن طريق المسلمين كتب له حسنة ومن تقبلت له حسنة دخل الجنة (رواه
البخاري في الأدب المفرد رقم 593 وهو في السلسلة الصحيحة 5/387)
"Siapa yang menyingkirkan gangguan dari jalan kaum muslimin,
dicatatkan untuknya satu kebaikan. Siapa yang diterima kebaikannya dia masuk
surga."[31]
Mu'adz
-radiallahu'anhu- berjalan bersama seorang lelaki. Muadz menyingkirkan
batu dari jalan. Lelaki itu bertanya:
"Apa yang kau
lakukan?"
Muadz
berkata: "Aku mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-
bersabda:
من رفع حجراً من الطريق كتب له حسنة ومن كانت له حسنة دخل الجنة (المعجم
الكبير للطبراني 20/101، السلسلة الصحيحة 5/387)
"Siapa yang
menyingkirkan batu dari jalan, Allah catatkan untuknya satu kebaikan. Siapa
yang memiliki kebaikan akan masuk surga."[32]
15. Tidak peduli dengan kondisi kaum muslimin, tidak bersimpati dengan doa,
sedekah maupun bantuan lain.
Mati
rasa terhadap penderitaan saudara-saudaranya di belahan bumi yang terbelenggu
musuh, tertindas, teraniaya dan terkena bencana. Cukup baginya keselamatan
dirinya sendiri. Ini adalah dampak lemahnya iman. Seorang mukmin justru
sebaliknya. Nabi -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
"Sesungguhnya seorang mukmin
bagi ahli iman seperti kepala pada tubuh. Seorang mukmin akan merasa sakit terhadap
(penderitaan) ahli iman seperti sakitnya tubuh ketika merasa ada
gangguan di kepalanya."[33]
16. Memutuskan tali persaudaraan antara orang yang bersaudara.
Rasulullah
-shalallahu alaihi wasalam- bersabda,
"Tidaklah dua orang yang saling berkasih sayang karena Allah
-azzawajalla- atau dalam islam, kemudian berselisih, melainkan karena dosa yang
pertama kali[34]
dilakukan oleh salah seorang dari keduanya."[35]
Ini
adalah dalil akan "karma" yang disebabkan oleh maksiat. Ia dapat
menyebabkan terlepasnya ikatan persaudaraan dan memutuskannya. Kebrutalan yang
terkadang didapati seseorang dari saudaranya dikarenakan keimanan yang menurun,
akibat dari maksiat yang dilakukannya; karena Allah menjatuhkan martabat pelaku
maksiat di hati hamba-hamba-Nya. Dia hidup di antara manusia dengan keadaan
yang buruk, tak bermartabat, sulit keadaan lagi tidak terhormat. Terluput juga
darinya kemuliaan sebagai orang yang beriman serta pembelaan Allah,
sesungguhnya allah hanya membela
orang-orang yang beriman.
17. Tidak memiliki rasa tanggung
jawab untuk mengamalkan agama ini. Tidak berupaya untuk menyebarkan dan berkhidmat
kepada agama ini.
Bertolak
belakang dengan para sahabat Nabi -shalallahu alaihi wasalam- yang
ketika memeluk Islam langsung merasa memiliki tanggung jawab. Lihatlah Tufail
Ibn Amr -radiallahu'anhu-, berapa sering dia mondar-mandir menjelaskan
Islam kepada kabilahnya, menyeru kepada Allah -azzawajalla-?! Dia
bersegera mendakwahi kaumnya. Spontan setelah memeluk Islam dia langsung merasa
harus kembali kepada kaumnya, kembali sebagai seorang dai (juru dakwah) penyeru
kepada Allah -subhanahu wata'âla-.
Namun
sekarang ini kebanyakannya membutuhkan waktu lama antara komitmen beragama
hingga sampai pada tahap dakwah kepada Allah -azzawajalla-.
Para
sahabat Muhammad -shalallahu alaihi wasalam- memahami bahwa konsekuensi
memeluk Islam adalah memusuhi kekafiran, berlepas diri, serta memisahkan diri
dari mereka. Tsumamah Ibn Atsâl -radiallahu'anhu-, pemimpin Yamamah,
ketika tertawan dibawa dan diikat di masjid. Nabi menawarkan kepadanya untuk memeluk
Islam. Allah memberinya cahaya (keimanan) menerima Islam. Setelah memeluk Islam
dia berangkat umrah. Ketika sampai di Mekkah, dia berkata kepada kaum Quraisy:
"Tidak akan sampai kepada kalian sebutir gandum pun dari
Yamamah, sampai Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-
mengizinkannya."[36]
Pemisahan
dirinya dengan kaum kafir dan pemboikotan secara ekonomi terhadap kafir Quraisy
merupakan bentuk upaya yang mungkin dan tersedia untuk berkhidmat dalam dakwah.
Ini terjadi secara langsung sebagai buah keimanan yang mantap sehingga
berdampak pada munculnya perbuatan itu.
18. Cemas dan ketakutan ketika datang musibah atau terjadi masalah.
Engkau
mendapatinya gemetar ketakutan, terganggu keseimbangannya, linglung, egois dan
bingung dengan keadaannya ketika tertimpa bencana dan musibah. Jalan keluar
tertutup dari pandangannya, dikuasai kegundahan, tidak dapat menghadapi
kenyataan dengan stabil dan dengan hati/kalbu
yang kuat. Itu semua dikarenakan lemah iman. Seandainya imannya kuat, tentu dia
akan bertahan. Dia akan dapat menghadapi sebesar dan separah apa pun musibah
dan bencana dengan kuat dan teguh.
19. Banyak berdebat, pamer lagi
keras hati.
Rasulullah
-shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
"Tidaklah tersesat suatu kaum
setelah mendapat petunjuk atas apa yang mereka lakukan, melainkan setelah
melakukan perdebatan."[37]
Perdebatan
tanpa dalil dan tanpa tujuan yang benar membuat jauh dari jalan yang lurus.
Berapa banyak perdebatan manusia hari ini yang dilakukan dengan cara yang
batil, berdebat dengan tanpa dalil dan tanpa petunjuk hadits maupun al-Quran.
Cukuplah
untuk dapat meninggalkan bagian tercela ini sabda Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam-:
"Aku adalah pemimpin pada rumah
di dasar surga bagi yang meninggalkan riya
(pamer), sekalipun benar."[38]
20. Cinta dunia, sangat bernafsu dan berhasrat terhadapnya.
Ketergantungan
hatinya kepada dunia sampai kepada tingkatan akan merasa sakit jika ada
kesempatan yang luput darinya, baik dalam bentuk harta, kehormatan, kedudukan
maupun tempat tinggal. Menganggap diri bodoh dan buruk perencanaan hanya karena
tidak bisa mendapat apa yang didapatkan orang lain. Dia merasa sakit dan amat
tertekan jika melihat saudaranya memperoleh apa yang tidak didapatkannya dari
kesempatan dunia. Bahkan terkadang mendengki dan mengharap nikmat itu sirna
dari saudaranya. Ini bertentangan dengan iman, sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-:
"Tidaklah berkumpul di dalam
kalbu seorang hamba antara keimanan dan kedengkian."[39]
21. Mengambil ucapan seseorang dan retorika naluriah akal semata dengan
mengesampingkan sisi imaniah. Bahkan hampir-hampir engkau tidak mendapati
dalam pembicaraannya unsur al-Quran, sunah atau perkataan generasi pendahulu
Islam (salaf) -rahimahullah-.
22. Pemanjaan diri yang berlebihan dalam makanan, minuman, pakaian, tempat
tinggal, dan kendaraan.
Engkau
dapati dia begitu konsentrasi dengan kebutuhan tersier (bukan kebutuhan pokok)
dengan perhatian yang berlebihan. Memuaskan diri dan memaksakan diri membeli
pakaian yang mahal, menikmati interior mewah dan menghamburkan harta dan
waktunya untuk kemewahan yang bukan kebutuhan darurat (primer), padahal saudaranya
dari kaum muslimin di sekitarnya ada yang sangat berhajat kepada harta itu. Dia
terhanyut hingga tenggelam dalam kenikmatan dan kemewahan yang dilarang,
sebagaimana yang terdapat dalam hadits Muadz Ibn Jabal -radiallahu'anhu-
ketika diutus oleh Nabi -shalallahu alaihi wasalam- ke Yaman dengan
wasiat:
"Hindarilah memuaskan diri,
sesungguhnya hamba Allah bukanlah dia yang suka memuas-muaskan diri."[40]
Kedua: Penyebab Lemah Iman
Lemah
iman memiliki banyak sebab. Ada yang bertalian dengan gejalanya, seperti
terjerumus dalam maksiat dan sibuk dengan dunia. Berikut ini sebab-sebab lain,
tambahan dari apa yang telah disebutkan sebelumnya:
1. Menjauh dari suasana imaniah dalam waktu yang lama.
Ini
menjadi pemicu lemahnya iman dalam jiwa. Allah -azzawajalla- berfirman:
قال تعالى : â أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ
قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا يَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ
أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ
وَكَثِيرٞ مِّنۡهُمۡ فَٰسِقُونَ ١٦ á (الحديد:16)
"Belumkah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik."
(QS.al-Hadid:16)
Ayat
di atas menunjukkan bahwa: meninggalkan suasana imaniah dalam waktu lama
menjadi pemicu lemahnya iman di dalam hati/kalbu.
Permisalan:
Seseorang
yang menjauh dari saudara seiman dalam waktu lama karena safar, penugasan atau
hal lain, akan kehilangan suasana imaniah yang didapatinya ketika bersama
saudara-saudaranya. Kekuatan hatinya bersandar pada kebersamaan itu. Seorang
mukmin lemah jika bersendirian dan kuat jika bersama saudaranya seiman.
Al-Hasan al-Bashri -rahimahullah- berkata:
"Saudara-saudara
seiman bagi kami lebih berharga dari pada keluarga. Keluarga mengingatkan kami
tentang dunia, sedangkan saudara-saudara seiman mengingatkan kami tentang
akhirat."
Keterpisahan
itu jika terus menerus berlangsung akan meninggalkan perasaan terbalik setelah
beberapa lama. Merubahnya menjadi ketidaksukaan terhadap suasana imaniah.
Berdampak pada hati/kalbu yang mengeras dan gelap, dan membuat cahaya iman
menjadi padam. Inilah penjelasan mengenai fenomena kebiasaan buruk pada
sebagian orang setelah berlibur, sepulang dari perjalanan wisata atau
sekembalinya mereka dari tempat penugasan kerja atau pendidikan.
2. Menjauh dari teladan yang saleh.
Seseorang
yang belajar kepada orang saleh, berarti mengumpulkan antara al-ilmu an-nâfi'
(ilmu yang bermanfaat), amal saleh dan kekuatan iman. Tersambung secara teratur
dengan keilmuan, akhlak dan keutamaan yang dimiliki sang guru. Jika menjauh
beberapa waktu, sang murid akan merasa hatinya kembali mengeras.
Karena
itulah ketika Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- wafat dan
dikuburkan, sahabat berkata, "Kalbu kami mengingkari". Mereka gusar,
karena sang pendidik, pengajar dan teladan -shalallahu alaihi wasalam-
telah wafat. Dalam kisah yang lain diceritakan: "mereka seperti biri-biri
di gelap malam dalam hujan yang deras".
Akan
tetapi Nabi -shalallahu alaihi wasalam- meninggalkan di belakangnya
orang-orang berkarakter gunung. Setiap mereka pantas untuk menggantikan dan
menjadi teladan di antara mereka. Sekarang ini, kaum muslimin sangatlah
berhajat kepada teladan seperti mereka.
3. Menjauh dari menuntut ilmu syariat dan tersambung dengan kitab-kitab salafussoleh
maupun kitab imaniah yang menghidupkan hati.
Terdapat
berbagai kitab yang jika dibaca, pembacanya akan merasa keimanan mengalir dalam
hati/kalbunya. Menggerakkan dan mendorong keimanan yang melekat dalam jiwanya.
Kitab yang utama adalah Kitabulah, al-Quran dan Kitab Hadits kemudian kitab
ulama Mujtahidin dalam masalah melembutkan hati, nasihat, dan yang piawai
memaparkan masalah aqidah dengan metode yang menghidupkan hati, seperti kitab
Alâmah Ibnul Qoyyim, Ibnu Rajab dan selain mereka.
Terputus
dari kitab-kitab seperti ini dan tenggelam dalam buku-buku filsafat saja atau
buku-buku hukum yang tidak terkandung dalil atau buku bahasa dan usul misalnya,
terkadang mewariskan kekerasan hati. Ini bukanlah celaan pada buku bahasa, usul
atau yang sepertinya, tetapi peringatan bagi yang berpaling dari kitab-kitab
tafsir dan hadits yang hampir-hampir engkau dapati tidak dibaca, padahal dia
adalah kitab yang menghantarkan hati/kalbu kepada Allah -azzawajalla-.
Ketika
membaca kitab hadits Shahihain misalnya, engkau akan merasa hidup pada masa
generasi awal bersama Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- dan para
sahabatnya. Dapat merasakan suasana keimanan dari sejarah, kehidupan dan
kejadian-kejadian yang berlangsung pada masa mereka.
Sebuah
ungkapan:
Ahlul hadits adalah ahlu Rasul. Sekalipun mereka tidak
menemani secara fisik tetapi jiwa mereka menemaninya.
Sebab
ini –yaitu menjauhi kitab-kitab imani-, dampaknya begitu nyata terhadap mereka
yang mempelajari materi-materi yang tidak berhubungan dengan Islam, seperti
filsafat, ilmu jiwa, sosiologi dan materi-materi lain yang memalingkan dari
materi Islam. Termasuk pada penikmat komik-komik, kisah percintaan, gairah
maupun mengikuti berita-berita yang tidak (atau kurang) bermanfaat dari
koran-koran, majalah-majalah dsb dan intens mengikutinya.
4. Keberadaan seorang muslim di
tengah ingar-bingar kemaksiatan.
Si
fulan berbangga dengan kemaksiatan yang dilakukannya, sebagian lagi
bersenandung musik, sebagian lagi tenggelam dengan kepulan asap rokoknya, sebagian
lagi terlena dengan majalah amoralnya, sebagian lagi lisannya tak lepas dari
laknat, mencela dan mengumpat dst. Pembicaraan gosip, gibah (bergunjing), adu
domba dan berita-berita pertandingan, menjadi suatu yang tidak bisa dihitung
banyaknya.
Sebagian
majelis tidak disebut kecuali urusan dunia, seperti keadaan kebanyakan majelis
dan perkantoran hari ini. Pembicaraan tentang perdagangan, pekerjaan, uang,
investasi, problem kerja, kenaikan gaji, promosi, tunjangan dsb menguasai
kepedulian banyak orang dalam pembicaraan mereka.
Sedangkan
di rumah –tak mengapa kita ungkapkan - malapetaka dan perkara-perkara mungkar
membuat kening muslim berkerut dan membuat kalbu terhenyak. Musik cabul, film
porno, percampuran antara pria dan wanita (yang bukan mahram) dan kemungkaran
lain yang memenuhi rumah-rumah kaum muslimin. Lingkungan seperti ini akan
membuat hati menjadi sakit dan menjadi keras tentunya.
5. Larut dalam rutinitas dunia hingga hati/kalbunya tersandera. Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam- bersabda:
"Celakalah hamba dinar dan
hamba dirham" [41]
Sabdanya
pula -shalallahu alaihi wasalam-:
"Sesungguh cukuplah bagi kalian dari perkara dunia seperti berbekalnya
seorang yang berkendaraan."[42]
Maksudnya
sekadarnya, sekadar cukup sampai ke tujuan.
Apa
yang di sampaikan di atas adalah realita yang terjadi sekarang ini, di mana
kerakusan terhadap materi dan ketamakan memiliki lebih dari berbagai sisi
dunia, menjadikan manusia mengendus-endus di belakang perdagangan, produksi dan
investasi-investasi. Benarlah sabda Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam
"Allah -azzawajalla- berfirman:
'Sesungguhnya kami turunkan (keberadaan) harta untuk menegakkan shalat dan
membayar zakat. Seandainya anak keturunan Adam memiliki satu danau harta
niscaya dia ingin memilik dua, jika dia memiliki dua danau niscaya ingin memiliki
tiga danau. Dan tidaklah anak Adam akan puas kecuali setelah dipenuhi
tenggorokannya oleh tanah, lalu Allah mengampuni siapa saja yang
bertaubat."[43]
6. Sibuk dengan harta, istri (wanita) dan anak.
Allah
-azzawajalla- berfirman:
قال تعالى : â وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَة á (الأنفال:28)
"Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan..." (QS.al-Anfâl:28)
Dan
firman-Nya:
قال تعالى : â زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ
وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ
وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ
حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ
١٤á (آل عمران:14)
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga)." (QS.Ali Imrân:14)
Makna
dari ayat di atas, bahwa kecintaan kepada dunia, -kepada wanita dan anak-anak
yang terdepan-, jika lebih didahulukan dari ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya, dianggap buruk dan pelakunya tercela. Adapun jika kecintaan itu
sesuai implementasi syariat, yang membantu dalam ketaatan kepada Allah, maka
hal itu terpuji. Nabi -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
حبب إليّ من الدنيا النساء والطيب وجعل قرة عيني في الصلاة (رواه
أحمد 3/128 وهو في صحيح الجامع 3124)
"Dicintakan kepadaku dari dunia; wanita dan minyak wangi dan dijadikan
penyejuk pandanganku pada shalat."[44]
Kebanyakan
orang terbuai memuaskan istri sampai pada perkara-perkara haram dan terbuai
memuaskan anak-anaknya hingga tersibukkan dari ketaatan kepada Allah. Nabi -shalallahu
alaihi wasalam- telah bersabda:
الولد محزنة مجبنة مجهلة مبخلة (رواه
الطبراني في الكبير 24/241 وهو في صحيح الجامع 1990)
"Anak pembuat kesedihan,
kepengecutan, kebodohan juga kebakhilan."[45]
مخبلة (pembuat kebakhilan) : jika seseorang
ingin berinfak di jalan Allah, setan mengingatkannya kepada anak-anaknya,
sehingga mengatakan, "Anak-anakku lebih berhak. Akan aku tabung untuk
mereka, sepeninggalku mereka akan membutuhkannya". Sehingga menjadi bakhil
untuk berinfak di jalan Allah.
مجبنة (pembuat
kepengecutan) : jika ia akan berjihad di jalan Allah, setan datang dan
berkata kepadanya, "Engkau akan terbunuh dan anak-anakmu akan menjadi
yatim!" Sehingga dia pun urung dan tidak pergi jihad.
مجهلة (pembuat kebodohan) : ia menjadi
tersibukkan dari menuntut ilmu dan hadir di majelis-majelis ilmu maupun membaca
kitab ilmu.
محزنة (pembuat kesedihan) : jika anak sakit ia
menjadi sedih. Jika anak meminta sesuatu yang dia tidak mampu, dia menjadi
sedih. Jika anak besar dan durhaka kepadanya, menjadikannya sedih dan terus
menerus dalam kegalauan.
Hadits
di atas bukan memaksudkan untuk tidak menikah dan memiliki keturunan atau
mendidik anak-anak. Tetapi maksudnya adalah memperingatkan agar tidak
tersibukkan karena itu semua dalam perkara haram.
Mengenai
fitnah harta, Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
إن لكل أمة فتنة وفتنة أمتي
المال (رواه
الترمذي 2336 وهو في صحيح الجامع 2148)
"Setiap umat memiliki ujian,
dan ujian umatku adalah harta." [46]
Ambisi
terhadap harta lebih sangat merusak agama dari pada serigala yang menguasai
kawanan domba. Inilah makna sabda Nabi -shalallahu alaihi wasalam-:
ما ذئبان جائعان أرسلا في غنم بأفسد لها من حرص المرء على المال والشرف
لدينه (رواه
الترمذي رقم 2376 وهو في صحيح الجامع 5620)
"Tidaklah dua ekor serigala
lapar masuk ke kawanan domba lebih merusak dari pada ambisi seseorang kepada
harta dan tahta terhadap agamanya." [47]
Karenanya
Nabi -shalallahu alaihi wasalam- menganjurkan mengambil sekadar cukup
tanpa berlebihan sehingga tidak menyibukkan dari berzikir kepada Allah.
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
إنما يكفيك من جمع المال خادم ومركب في سبيل الله (رواه
أحمد 5/290 وهو في صحيح الجامع 2386)
"Sesungguhnya cukup bagimu mengumpulkan harta sebagai pelayan dan kendaraan
di jalan Allah." [48]
Nabi
-shalallahu alaihi wasalam- telah mengancam mereka yang menumpuk harta,
kecuali bagi yang suka bersedekah. Sabdanya,
وَيْلٌ لِلْمُكْثِرِينَ إِلاَّ مَنْ قَالَ بِالْمَالِ هَكَذَا وَهَكَذَا
وَهَكَذَا وَهَكَذَا (رواه
ابن ماجه رقم 4129 وهو في صحيح الجامع 7137)
"Celakalah mereka yang menumpuk harta, kecuali bagi yang berkata dengan
hartanya, demikian, demikian, demikian dan demikian ."
Memberikannya
ke empat arah; kanan, kiri, depan dan belakangnya [49].
Maksudnya
hartanya disedekahkan dan digunakan untuk amalan-amalan baik.
7. Panjang Angan-angan.
Allah -subhânahu wata'âla- berfirman:
قال تعالى : â ذَرۡهُمۡ يَأۡكُلُواْ وَيَتَمَتَّعُواْ وَيُلۡهِهِمُ ٱلۡأَمَلُۖ فَسَوۡفَ
يَعۡلَمُونَ á (الحجر:3)
“Biarkanlah
mereka (di dunia ini) makan, bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan
(kosong), kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS.al-Hijr:3)
Ali -radiallahu'anhu- berkata,
“Sesungguhnya dari hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah
memperturutkan hawa nafsu dan panjang angan-angan. Memperturutkan hawa nafsu
menyimpangkan dari kebenaran. Sedangkan panjang angan-angan menjadikan lupa
pada akhirat.”[50]
Dalam atsar lain:
“Ada empat penderitaan: pandangan yang kaku, hati yang keras, panjang
angan-angan, tamak dengan dunia.”
Panjang angan-angan membuat malas untuk berbuat
ketaatan, jadi penunda, gila dunia, lupa akhirat serta hati yang mengeras.
Karena kelembutan hati dan kebersihannya terjadi dengan mengingat kematian,
alam kubur, pahala, dosa dan keadaan hari kiamat, sebagaimana firman Allah,
قال تعالى : â فَطَالَ
عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡ
ۖá (الحديد:16)
“Kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. “
(QS.al-Hadîd:16)
Sebuah ungkapan:
“Siapa
yang pendek angan-angannya akan sedikit kegundahannya dan bercahaya hatinya,
karena ketika teringat kematian dia akan bersungguh-sungguh melakukan
ketaatan...”[51]
8. Yang juga menjadi sebab lemah iman dan
kerasnya hati; berlebihan dalam makan, tidur, bergadang, bicara dan bercampur
dengan manusia.
Banyak makan memampatkan pikiran, memberatkan
badan dalam berbuat ketaatan dan menyuplai tempat jalan setan pada diri
manusia, sebagaimana sebuah ungkapan:
من أكل كثيراً شرب كثيراً فنام كثيراً وخسر أجراً كبيراً
"Siapa
yang banyak makannya akan banyak minum dan tidurnya sehingga rugi banyak
pahala."
Berlebih-lebihan dalam bicara mengeraskan hati.
Banyak bercampur dengan manusia menghalangi seseorang dari mengintrospeksi diri
dan merenungi urusan-urusannya. Banyak tertawa menghilangkan rasa malu dalam
hati dan mematikannya. Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam- dalam hadits sahih:
لا تكثروا الضحك فإن كثرة الضحك تميت القلب (رواه
ابن ماجه 4193 وهو في صحيح الجامع)
"Jangan perbanyak tertawa, sesungguhnya
banyak tertawa mematikan hati." [52]
Demikian pula waktu yang tidak diisi dengan
ketaatan kepada Allah menghasilkan hati yang gersang, tidak bermanfaat baginya
peringatan al-Quran dan nasihat keimanan.
Penyebab
lemah iman banyak, tidak dapat dibatasi. Akan tetapi mungkin mengambil petunjuk
dari apa yang telah disebutkan apa-apa saja yang belum disebutkan. Orang yang
berakal dapat menemukannya sendiri. Kita meminta kepada Allah agar membersihkan
hati kita dan melindunginya dari keburukan jiwa-jiwa kita.
Ketiga: Terapi lemah iman
Al-Hakim meriwayatkan dalam kitab Mustadroknya
juga at-Thabarani dalam Mu'jamnya bahwa Nabi -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
"Sungguh keimanan itu dibuat di dalam diri tiap
kalian seperti dibuatnya pakaian. Maka mintalah kepada Allah agar memperbaharui
keimanan kalian."[53]
Maksudnya bahwa iman ditambal sulam di dalam
kalbu seperti pakaian yang ditambal sulam jika sudah menjadi usang. Kalbu
seorang mukmin terkadang terselubungi debu dari debu kemaksiatan sehingga
menjadi gelap. Gambaran seperti ini digambarkan oleh Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- dengan
sabdanya dalam hadits yang sahih:
"Tidak ada kalbu melainkan memiliki selubung
seperti selubung bulan. Dia bercahaya, tetapi ketika terselubungi menjadi
gelap, jika selubungnya tersingkap ia kembali bersinar." [54]
Bulan terkadang terselubungi awan sehingga
menutupi bias cahayanya. Beberapa waktu kemudian awan itu berlalu dan bulan
kembali memancarkan bias cahayanya dan menerangi langit. Demikian pula dengan
kalbu orang yang beriman, terkadang dia terselubungi oleh awan gelap dosa
akibat maksiat, sehingga cahayanya tertutup, sehingga manusia itu dalam
kegelapan dan kegalauan. Jika dia berupaya untuk menambah imannya dan meminta
pertolongan Allah -azzawajalla-, gelap dosa yang menyelubungi itu
tersingkap, sehingga cahayanya kembali seperti semula.
Di antara pilar penting memahami lemah iman dan
memetakan terapinya adalah pengetahuan bahwa iman bertambah dan berkurang. Ini
merupakan keyakinan Ahlussunnah Wal Jama'ah. Mereka mengatakan bahwa iman
merupakan ucapan lisan, keyakinan hati dan amalan tubuh, bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Hal ini ditunjukkan oleh
dalil-dalil al-Quran dan Sunah. Di antaranya firman Allah -ta'âla-:
"...supaya keimanan mereka bertambah di
samping keimanan mereka (yang telah ada). (QS. Al-Fath:4)
Dan firman-Nya:
"... 'Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya
dengan (turannya) surat ini?'..." (QS.at-Taubah:124)
Sabda Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-:
"Siapa di antara kalian yang melihat
kemungkaran hendaklah merubah hal itu dengan tangannya, jika tidak sanggup maka
dengan lisannya, jika tidak sanggup maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah
iman." [55]
Pengaruh ketaatan dan maksiat dalam keimanan
berbanding lurus dengan penambahan dan pengurangannya. Hal ini bisa dimaklumi
dan terjadi. Jika seseorang pergi ke pasar menonton penampilan para perempuan
berbusana minim, mendengar gurauan dan kekonyolan obrolan orang yang ada di pasar,
kemudian beralih pergi ke perkuburan, merenungi dirinya, maka dia akan
mendapatkan perbedaan yang jelas antara kedua keadaan di atas, kalbunya begitu
cepat berubah.
Terkait dengan tema ini, para Salafussoleh
berkata,
"Bentuk kefakihan seorang hamba adalah berkomitmen dengan keimanannya
dari apa-apa yang menguranginya. Dan di antara bentuk kefakihan seorang hamba
adalah mengetahui apakah imannya bertambah atau berkurang. Dan di antara
kefakihan seseorang itu mengetahui bilamana gangguan setan itu datang.”[56]
Yang perlu diketahui bahwa manakala imannya
berkurang hingga membuatnya meninggalkan kewajiban atau sampai melakukan
perbuatan haram atau urung melakukan perbuatan “mustahabah” (baik),
misalnya, maka dia musti mengupayakan semampunya agar dapat kembali kepada
semangat dan kekuatannya semula dalam beribadah kepada Allah. Inilah manfaat
yang dapat diambil dari sabda Nabi -shalallahu
alaihi wasalam-:
"Pada setiap amalan ada massa semangat, dan
pada tiap massa semangat ada masa lemah. Siapa yang massa lemahnya dalam
melakukan sunahku, maka dia beruntung dan siapa yang lemahnya kepada hal lain
sungguh dia binasa."[57]
Sebelum masuk pada pembicaraan mengenai
pengobatan, ada baiknya menyebutkan beberapa catatan:
Kebanyakan mereka yang merasa hatinya mengeras
mencari pengobatan eksternal, ingin bergantung dengan orang lain, padahal -jika
mau– dia dapat mengobati dirinya sendiri, dan begitulah pada asalnya. Karena
iman adalah hubungan antara hamba dengan Tuhan-Nya.
Berikut ini akan disebutkan beberapa wasilah
syariat yang mungkin bagi seorang muslim mengobati lemah imannya dan
menghilangkan kekerasan hatinya setelah berserah diri kepada Allah -azzawajalla- dan bertekat untuk
berupaya:
1. Menadaburi al-Quran al-Adhzim yang
diturunkan Allah -azzawajalla- yang
merupakan obat segala sesuatu dan cahaya, yang dengannya Allah menunjuki siapa
saja yang dikehendakiNya. Tidak diragukan padanya terdapat terapi yang agung
dan obat yang efektif. Allah -azzawajalla-
berfirman:
قال تعالى : â وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ
á (الإسراء:82)
"Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman..." (QS.al-Isrâ: 82)
Adapun cara terapinya adalah dengan tafakur dan
“tadabur” (merenunginya).
Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam- senantiasa menadaburi kitab Allah dan mengulang-ulangi
bacaannya ketika shalat di malam hari. Sampai-sampai pada suatu malam hanya
mengulang-ulang bacaan satu ayat dalam shalatnya hingga subuh. Beliau membaca
firman Allah -ta'âla-:
قال تعالى : â إِن تُعَذِّبۡهُمۡ فَإِنَّهُمۡ عِبَادُكَۖ وَإِن
تَغۡفِرۡ لَهُمۡ فَإِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ ١١٨ á (المائدة:118)
"Jika Engkau menyiksa mereka, maka
sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka,
maka sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
(QS.al-Maidah:118)[58]
Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam- menadaburi al-Quran hingga sampai pada tahap yang agung.
Ibnu Hibbân meriwayatkan dalam sahihnya dengan sanad yang baik dari Itharah,
katanya:
"Aku dan Ubaidullah Ibn Amr mendatangi Aisyah -radiallahu'anha-.
Ubaidullah berkata, 'Ceritakan kepada kami sesuatu yang menakjubkan yang engkau
lihat dari Rasulullah -shalallahu alaihi
wasalam-!'
(Aisyah menangis) seraya berkata,
'Pada suatu malam Rasulullah shalat malam dan berkata, 'Wahai Aisyah,
biarkan aku beribadah kepada Tuhan-ku.'
Aku jawab, 'Demi Allah, aku suka berada dekat denganmu dan suka apa pun
yang menyenangkanmu.’
Nabi pun pergi bersuci kemudian melaksanakan shalat. Rasulullah terus saja
menangis dalam shalatnya hingga pangkuannya basah dan terus saja menangis
hingga lantai pun basah. Ketika Bilal datang untuk mengumandangkan azan, dia
melihat Rasulullah menangis dan bertanya,
'Wahai Rasulullah, engkau menangis padahal Allah telah mengampuni
dosa-dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?!'
Rasulullah menjawab,
'Tidakkah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?!' Telah turun
kepadaku tadi malam ayat-ayat yang celakalah bagi yang membacanya tetapi tidak
mentafakuri isinya:
قال تعالى : â إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ
لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠ ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا
وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ á ( آل
عمران:190)
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi ...." (QS. Ali Imraân:190)"[59]
Hal ini menunjukkan akan wajibnya menadaburi
ayat-ayat-Nya.
Pada al-Quran terkandung: “tauhid” (pengesaan),
janji, harapan, hukum-hukum, berita dan kisah-kisah, adab, akhlak maupun
berbagai macam pengaruh pada jiwa. Terdapat juga surat-surat tertentu yang
membuat hati bergetar melebihi surat-surat yang lain, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh sabda Nabi:
شيبتني هود وأخواتها قبل المشيب (السلسلة
الصحيحة 2/679)
"Kisah Hud dan kaumnya telah membuatku beruban sebelum
waktunya." [60]
Dalam riwayat lain (disebutkan beberapa
ayat):
هود والواقعة والمرسلات وعم يتساءلون وإذا الشمس كورت (رواه
الترمذي 3297 وهو في السلسلة الصحيحة برقم 955)
"(yaitu) Surat Hud, al-Waqiah, al-Mursalât,
Amma yatasa'alun dan Idzas Syamsu Kuwwirot."[61]
Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam- menjadi beruban karena apa yang terkandung dari hakikat
iman dan pembebanan yang besar yang memenuhi dan memberatkan batin Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- sehingga
terlihat pengaruhnya pada rambut dan jasadnya.
قال تعالى : â فَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ á (الهود:112)
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat
bersamamu .... (QS.al-Hûd:112)
Para sahabat Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- membaca al-Quran, menadaburinya dan
mendapati pengaruhnya. Abu Bakar -radiallahu'anhu- adalah seorang lelaki
yang suka menyesali diri lagi lembut hatinya. Jika mengimami shalat dan membaca
Kalamullah, tidak kuasa menahan diri dari tangisnya. Umar pun pernah sakit
setelah membaca firman Allah -ta'âla- :
قال تعالى : â إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَٰقِعٞ ٧
á (
الطور:7)
"Sesungguhnya azab Tuhan-mu pasti terjadi." (QS.
At-Thûr:7) [62]
Isak tangisnya terdengar dari saf di belakangnya
ketika beliau membaca firman Allah yang mengisahkan tentang Nabi Ya'kub:
قال تعالى : â قَالَ إِنَّمَآ أَشۡكُواْ بَثِّي وَحُزۡنِيٓ إِلَى ٱللَّهِ وَأَعۡلَمُ
مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٨٦ á ( يوسف:86)
"Ya'qub menjawab: ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku
mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang
kamu tiada mengetahuinya’." (QS. Yusuf:86)[63].
Utsman -radiallahu'anhu- berkata:
"Jika batin kita bersih, hati tidak akan berhenti berpuas-puas dengan
Kalamulah."
Utsman -radiallahu'anhu- syahid terbunuh,
terzalimi dan darahnya membasahi mushaf al-Quran. Berita tentang hal ini dari
para sahabat Nabi banyak sekali.
Ayub berkata, "Aku mendengar Sa'id Ibn
Jubair mengulang-ulangi bacaan ayat berikut ini dalam shalatnya lebih dari 20
kali:
قال تعالى : â وَٱتَّقُواْ يَوۡمٗا تُرۡجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِۖ á (البقرة:281)
"Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari
yang waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah...." (QS.
Al-Baqarah:281)[64]
Ia merupakan ayat al-Quran yang terakhir turun,
yang kelanjutannya:
قال تعالى : â ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ á
"...kemudian masing-masing diri diberi balasan yang
sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak
dianiaya (dirugikan)."
Ibrahim Ibn Basyâr berkata:
"Ayat yang menghantar wafatnya Ali Ibn al-Fudhail:
قال تعالى : â وَلَوۡ تَرَىٰٓ إِذۡ وُقِفُواْ عَلَى ٱلنَّارِ فَقَالُواْ يَٰلَيۡتَنَا
نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بَِٔايَٰتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
٢٧ á (الأنعام:27)
"Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka
dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, ‘Kiranya kami dikembalikan (ke
dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang
yang beriman." (QS. Al-An'am:27)
Pada saat pembacaan ayat inilah Ali Ibn al-Fudhail wafat, dan aku termasuk
orang yang menyalatkan jenazahnya -rahimahullah-.[65]
Hingga pada saat sujud tilawah[66]
pun mereka terpengaruh. Di antaranya kisah seorang lelaki yang membaca firman
Allah -azzawajalla-:
قال تعالى: â وَيَخِرُّونَ
لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعٗا۩ ١٠٩ á (الإسراء:109)
"Dan mereka menyungkurkan muka mereka sambil menangis dan
mereka bertambah khusyuk'." (QS.al-Isra':109)
Dia pun melakukan sujud tilawah. Kemudian dia
berkata mencela dirinya: "Ini adalah sujud, tetapi di mana
tangisannya?"
Di antara tadabur yang efektif adalah
memperhatikan perumpamaan-perumpamaan al-Quran, karena Allah -subhanahu
wata'âla- memberi permisalan dalam al-Quran untuk menggugah kita berpikir
dan merenung. Firman-Nya:
قال تعالى âوَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ
á (إبراهيم:25)
"...Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia
supaya mereka selalu ingat." (QS. Ibrahim:25)
Firman-Nya yang lain:
قال تعالى âوَتِلۡكَ ٱلۡأَمۡثَٰلُ نَضۡرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ
á (الحشر:21)
"...dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia
supaya mereka berpikir. (QS.al-Hasyr:21)
Salah seorang salaf, suatu kali mencoba
memikirkan permisalan dari permisalan yang ada dalam al-Quran, namun dia tidak
dapat memahaminya. Dia pun kemudian menangis. Ketika ditanya: "Apa yang
membuatmu menangis?" Dia menjawab,
"Allah -subhanahu wata'âla- berfirman:
"Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk
manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu."
(QS.al-Ankabût: 43)
Aku tidak dapat memahaminya, berarti aku bukan termasuk orang berilmu. Aku
menangisi ilmu yang luput dariku.”
Allah telah memberikan permisalan kepada kita
dalam al-Quran dalam jumlah yang banyak, di antaranya: permisalan orang yang
menyalakan api, permisalan penggembala yang memanggil binatang yang tidak
mendengar, permisalan biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, permisalan anjing
yang menjulurkan lidah, permisalan keledai yang membawa tumpukan kitab,
permisalan lalat, laba-laba, permisalan orang buta dan tuli, permisalan orang
yang dapat melihat dan mendengar, perumpamaan tumpukan pasir yang ditiup angin
kencang, permisalan pohon yang baik dan pohon yang buruk, permisalan air yang
turun dari langit dan lentera yang di dalamnya terdapat cahaya api, permisalan
seorang budak yang tak dapat berbuat apa-apa dengan seorang yang memiliki banyak
sekutu, serta permisalan-permisalan lain. Maksudnya adalah memperhatikan
ayat-ayat yang mengandung permisalan-permisalan itu dan memperlakukannya dengan
pelakuan khusus.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- merangkum
apa-apa yang semestinya dilakukan oleh seorang muslim untuk menterapi kekerasan
hatinya dengan al-Quran, dengan mengatakan:
"Penuntasnya pada dua perkara: pertama: engkau pindahkan hatimu dari
wilayah dunia lalu menempatkannya di wilayah akhirat, kemudian pertemukan hati
itu seluruhnya dengan makna al-Quran dan kemuliaannya, tadaburi dan pahami apa
maksudnya, untuk apa diturunkan, dan ambil yang kau butuhkan dari setiap
ayat-ayatnya. Lekatkan ayat-ayat itu pada penyakit hatimu, jika ayat-ayat itu
menyentuh hatimu yang sakit, sembuhlah hati itu."
2. Merasakan keagungan Allah -azzawajalla-.
Mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta merenungi dan memahami maknanya.
Menetapi perasaan itu dalam hati dan
mengalirkannya ke seluruh tubuh agar direalisasikan dalam praktek amal sesuai
dengan perintah hati, karena hati adalah raja dan tuannya, sedangkan anggota
tubuh sebagai tentara dan pengikutnya. Jika hati itu baik, baik pulalah
amalannya, tapi jika buruk, buruk pulalah amalnya.
Nas-nas al-Quran dan sunah mengenai keagungan
Allah banyak sekali. Jika seorang muslim merenungkannya, hati akan bergetar dan
jiwanya akan tunduk kepada Zat yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Turut pula
tunduk anggota tubuhnya kepada Zat yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Kekhusyukannya kepada Tuhan seluruh makhluk bertambah. Itu bisa dilihat dari
nama-nama-Nya yang banyak dan sifat-sifat-Nya yang suci. Dia Maha Agung, Maha
Memelihara, Maha Kuasa, Pemilik segala keagungan, Maha Kuat lagi Maha Mengalahkan, Maha besar lagi Maha tinggi.
Yang Hidup dan tidak akan mati, sementara jin dan manusia mengalami kematian.
Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya dan guruh itu bertasbih
dengan memuji Allah, (demikian pula) Para Malaikat karena takut kepada-Nya,
Allah Maha Perkasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) mengazab, terus menerus
mengurus makhluk-Nya lagi tidak pernah tidur. Pengetahuan-Nya meliputi segala
sesuatu, Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang
disembunyikan oleh hati. Keluasan ilmunya dideskripsikan dalam firman-Nya:
قال تعالى : â وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ وَيَعۡلَمُ
مَا فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا
حَبَّةٖ فِي ظُلُمَٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٖ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ
٥٩ á
(
الأنعام :59)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang
gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa
yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan
bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam
kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. al-An’âm:59)
Mengenai keagungan-Nya, Allah sendiri
mengabarkan:
قال تعالى : â وَمَا قَدَرُواْ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِۦ وَٱلۡأَرۡضُ جَمِيعٗا قَبۡضَتُهُۥ
يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَٱلسَّمَٰوَٰتُ مَطۡوِيَّٰتُۢ بِيَمِينِهِۦۚ سُبۡحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ
عَمَّا يُشۡرِكُونَ ٦٧ á (
الزمر:67)
“Dan mereka tidak
mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya
dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya. Maha suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS.az-Zumar:67)
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,
“Allah menggenggam bumi pada hari kiamat dan
langit digulung dengan tangan kanan-Nya, kemudian berkata, “Aku adalah Raja,
mana raja-raja dunia?!”[67]
Hati berdebar-debar dan gemetar ketika merenungi
kisah Nabi Musa –alaihissalam-, ketika berkata:
قال تعالى : â رَبِّ أَرِنِيٓ أَنظُرۡ إِلَيۡكَۚá
Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri
Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau"
Allah menjawab:
قال تعالى : â قَالَ لَن تَرَىٰنِي وَلَٰكِنِ ٱنظُرۡ إِلَى ٱلۡجَبَلِ فَإِنِ ٱسۡتَقَرَّ
مَكَانَهُۥ فَسَوۡفَ تَرَىٰنِيۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلۡجَبَلِ جَعَلَهُۥ
دَكّٗا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقٗاۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبۡحَٰنَكَ تُبۡتُ إِلَيۡكَ
وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ١٤٣ á (الأعراف:143)
Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak
sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya
(seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha
suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama
beriman". (QS.al-A’raf:143)
Ketika Nabi -shalallahu alaihi wasallam-
menafsirkan ayat ini yang dibacanya sendiri beliau mengisyaratkan dengan
tangannya demikian (beliau meletakkan jempol pada buku atas jari kelingking,
kemudian -shalallahu alaihi wasallam- berkata, “Gunungpun runtuh.” [68]
Allah
-subhanahu wata'âla- hijabnya cahaya, jika disingkap niscaya terbakarlah
seluruh makhluknya.[69]
Di
antara keagungan Allah, apa yang disebutkan oleh Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam-. Sabdanya,
إذا قضى الله الأمر في السماء ضربت الملائكة بأجنحتها خضعاناً لقوله
كأنه سلسلة على صفوان فإذا فزع عن قلوبهم قالوا ماذا قال ربكم قالوا للذي قال الحق
وهو العلي الكبير (رواه
البخاري 7043)
"Jika Allah memutuskan suatu
perkara di langit, para malaikat mengepakkan sayap-sayapnya, tunduk dengan
firman-Nya, seperti rantai di atas batu licin. Jika tersadar dari keterkejutan
mereka bertanya, 'Apa yang dikatakan Tuhan kalian?' Sebagian menjawab, 'Yang
mengatakan al-Hak adalah Zat yang Maha Tinggi lagi Maha Besar'."[70]
Nas-nas
dalam hal ini banyak sekali. Maksudnya bahwa merasakan keagungan Allah dengan
merenungi nas-nas tersebut termasuk yang paling bermanfaat dalam menterapi
lemah iman.
Ibnul
Qoyyim mendeskripsikan keagungan Allah dengan ungkapan yang indah:
"Allah
mengatur malaikat, memerintah dan melarang, mencipta, memberi rezeki,
mematikan, menghidupkan, memuliakan dan menghinakan, menggantikan malam dengan
siang, merotasi hari di antara manusia, melengserkan negeri dan menggantinya
dengan yang lain, perintah dan kekuasaan-Nya terlaku pada seluruh langit dan
bumi, di permukaan maupun di dalamnya, di lautan dan udara, ilmunya meliputi
segala sesuatu dan mengetahui detail jumlah. Pendengaranya mencapai
segala sesuatu, tidak tercampur dan tidak tersamarkan, bahkan mendengar
kebisingan dengan bahasa yang berbeda-beda sesuai dengan hajat mereka. Tidak
teralihkan antara satu suara dengan suara lain, tidak tercampur karena
banyaknya permintaan, tidak silap dengan banyaknya rintihan mereka yang
berhajat, penglihatan-Nya meliputi segala sesuatu, dapat melihat rayapan semut
hitam di gurun luas pada malam gelap gulita, yang gaib bagi-Nya ada, yang
rahasia bagi-Nya terang benderang..
قال تعالى : â يَسَۡٔلُهُۥ
مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ كُلَّ يَوۡمٍ هُوَ فِي شَأۡنٖ ٢٩ á (الرحمن:29)
(QS.ar-Rahman:29)
Dia
mengampuni dosa, memberi jalan keluar, menyingkap kesulitan, menambal yang
pecah, mengayakan yang miskin, memberi petunjuk yang tersesat, memberi arahan
yang bingung, menolong yang butuh, mengenyangkan yang lapar, memberi pakaian
yang telanjang, menyembuhkan yang sakit, memberi keafiatan mereka yang terkena
bala, menerima taubat, membalas perbuatan baik, menolong mereka yang teraniaya,
menghukum orang yang bengis, menutupi aurat/aib, memberikan keamanan,
memuliakan suatu kaum dan menghinakan yang lain.. jika penghuni seluruh langit
dan bumi, dari yang pertama hingga yang terakhir, manusia dan jinnya setakwa
orang yang paling takwa dari mereka, tidaklah hal itu menambah kerajaan-Nya
sedikit pun, jika makhluk-Nya yang pertama hingga yang terakhir, manusia dan
jinnya sefajir orang yang paling fajir di antara mereka, tidaklah hal itu
mengurangi kerajaan-Nya sedikit pun, jika penghuni langit dan bumi yang pertama
hingga yang terakhir, manusia dan jinnya, yang masih hidup dan yang sudah mati,
yang kering dan yang basah berkumpul di satu tempat kemudian seluruhnya
meminta, niscaya akan diberikan masing-masing apa yang diminta, dan itu tidak
mengurangi sebesar biji zarah pun apa yang ada padaNya... Dia adalah yang
pertama yang tidak ada sesuatu pun sebelumnya, dan Dia yang terakhir yang tidak
ada sesuatu pun setelahnya, Maha Mulia lagi Maha Tinggi, yang paling berhak
disebut dan yang paling berhak diibadahi, yang pertama disyukuri, yang paling
pemurah dan paling dermawan bagi yang meminta....Dia adalah raja yang tidak ada
sekutu baginya, Esa tidak memiliki tandingan, tempat bergantung lagi tidak
beranak, Maha Tinggi tidak ada yang menyerupai, segala sesuatu binasa kecuali
WajahNya, segala sesuatu sirna kecuali kerajaan-Nya...tidak ada yang berbuat
taat kecuali dengan izin-Nya, tidak dimaksiati kecuali dengan
sepengetahuan-Nya, jika taat maka disyukuri, jika dimaksiati Dia mengampuni,
segala bencana yang ditimpakan adalah keadilan dan segala nikmat yang
dicurahkan adalah karunia, saksi yang paling dekat, penjaga yang membimbing,
merekam setiap asar dan mencatat ajal, setiap hati kepada-Nya tunduk, dan
rahasia bagi-Nya jelas, pemberian-Nya dengan kalam dan azab-Nya juga dengan
kalam, firman-Nya,
قال تعالى : â إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيًۡٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٨٢ á
(íÓ:82)
(QS.Yâsîn: 82)[71]
3. Menuntut ilmu
syariat. Ia merupakan ilmu yang pencapaiannya membuahkan rasa takut
kepada Allah dan menambah iman kepada Allah -azzawajalla-. Sebagaimana
firman Allah -ta'âla-:
قال تعالى : â إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ á (الفاطر:28)
“Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama....” (QS.Fâthir:28)
Tidaklah
sama keimanan orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui.
Bagaimana bisa menyamai orang yang mengetahui rincian syariat, makna
"syahadatain" dan kandungannya, mengenal kehidupan setelah mati
seperti fitnah kubur dan keadaan mahsyar, kejadian kiamat, nikmat surga, azab
neraka, hikmah syariat pada hukum halal dan haram, rincian sejarah Nabi -shalallahu
alaihi wasallam- dan hal-hal lain dari cabang ilmu. Bagaimana akan
sama yang mengetahui perkara-perkara itu
dengan yang bodoh terhadap agama, hukum-hukumnya serta apa-apa yang dijelaskan
oleh syariat dalam perkara gaib. Mengetahui agama hanya ikut-ikutan, ilmunya
hanyalah barang yang tidak berharga (di akhirat).
Firman
Allah:
قال تعالى : â قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ
á (الزمر:9)
"...Katakanlah: "Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?"..." (QS.az-Zumâr:9)
4. Menghadiri majelis-majelis taklim. Hal ini akan
menambah keimanan dengan berbagai sebab, di antaranya yang didapat dari
berzikir kepada Allah, rahmat yang meliputi, turunnya ketenangan, para malaikat
yang menaungi orang-orang yang berzikir, disebut oleh Allah di langit yang
tertinggi, dibangga-banggakan kepada malaikat dan diampuni dosa-dosanya,
sebagaimana yang disebutkan dalam Hadits-Hadits sahih, di antaranya sabda
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-:
لا يقعد قوم يذكرون الله إلا حفتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم
السكينة وذكرهم الله فيمن عنده (صحيح مسلم رقم 2700)
"Tidaklah berkumpul suatu kaum berzikir kepada Allah, melainkan
malaikat menaungi mereka, rahmat meliputi, turun ketenangan dan Allah
menyebutkan mereka kepada para malaikat yang ada di sisinya.”[72]
Sahal
Ibn Handzolah -radiallahu'anhu- berkata, Rasulullah -shalallahu
alaihi wasallam- bersabda:
ما اجتمع قوم على ذكر فتفرقوا عنه إلا قيل لهم: قوموا مغفوراً لكم (صحيح
الجامع 5507)
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di atas zikir, kemudian
membubarkan diri, melainkan dikatakan kepada mereka, 'Berdirilah! dosa kalian
telah diampuni'.”[73]
Ibnu
Hajar -rahimahullah- berkata:
"Disebut
zikrullah maksudnya adalah kesenantiasaan melakukan amal yang diwajibkan Allah
atau disukai, seperti membaca al-Quran, membaca al-Hadits dan mempelajari
ilmu." [74]
Di
antara yang menunjukkan bahwa "majelis zikir" menambah Iman adalah
apa yang dikeluarkan Imam Muslim -rahimahullah- dalam sahihnya dari
Hanzhalah al-Usaidi, katanya:
“Aku bertemu Abu
Bakar. Dia berkata:
“Bagaimana keadaanmu,
wahai Hanzhalah?”
“Hanzhalah (khawatir)
menjadi munafik.” Jawabnya
“Mahasuci Allah. Apa
yang engkau katakan?!” Ujar Abu bakar.
Hanzhalah berkata,
“Ketika kami bersama
Rasulullah, beliau mengingatkan kami akan neraka dan surga, sampai-sampai
seolah kami melihatnya. Ketika meninggalkannya, kami kembali bercampur dengan
istri anak-anak dan amanah-amanah –maksudnya rutinitas hidup baik harta benda,
produksi dll- kami menjadi banyak lupa (dengan peringatan-peringatan
Rasulullah).”
Abu Bakar berkata,
“Demi Allah, aku pun
mendapati hal itu.”
Aku dan Abu Bakar pun
menemui Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-. Aku berkata kepada
Rasulullah,
“Hanzhalah (khawatir)
menjadi munafik wahai Rasulullah.”
Rasulullah -shalallahu
alaihi wasallam- bertanya,
“Mengapa demikian?”
“Wahai Rasulullah,
ketika kami bersamamu dan engkau ingatkan kami tentang neraka dan surga seolah
kami melihatnya dengan mata kepala kami. Namun setelah meninggalkanmu, bertemu
kembali dengan istri, anak-anak dan hal-hal yang melalaikan lain, kami jadi
banyak lupa dengan peringatan itu.” Jawab Hanzhalah.
Rasulullah -shalallahu
alaihi wasallam- berkata,
والذي نفسي بيده إن لو تدومون على ما تكونون عندي وفي الذكر لصافحتكم
الملائكة على فرشكم وفي طرقكم ولكن يا حنظلة ساعة وساعة (صحيح
مسلم رقم 2750)
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Jika kalian
senantiasa dalam kondisi ketika berada bersamaku dan peringatan-peringatanku,
niscaya malaikat akan menyalami kalian di tempat tidur dan di jalan-jalan
kalian, akan tetapi wahai Hanzhalah, saat dan saat, 3x.”[75]
Para
sahabat -radiallahu'anhum- berupaya konsisten untuk hadir di majelis
zikir, dan mereka menyebutnya sebagai iman. Muadz -radiallahu'anhu-
berkata kepada seorang lelaki,
“Duduklah
bersama kami, beriman untuk sesaat.”[76]
5. Di antara sebab yang menguatkan iman, memperbanyak amal saleh dan
memenuhi waktu dengannya.
Ini
merupakan sebab terapi agung dan merupakan perkara agung, pengaruhnya dalam
menguatkan keimanan nampak sekali. Abu Bakar ash-Shiddîk merupakan permisalan
yang agung dalam hal ini. Ketika Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-
bertanya kepada para sahabatnya,
“Siapa
di antara kalian yang hari ini berpuasa?”
Abu
Bakar menjawab, “Saya.”
“Siapa
yang mengiringi jenazah hari ini?” Tanya Nabi lagi.
“Saya.”
Jawab Abu Bakar
“Siapa
di antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Tanya Nabi lagi.
“Saya.”
Jawab Abu Bakar.
“Siapa
di antara kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” tanya Nabi lagi.
“Saya.”
Jawab Aku Bakar.
Rasulullah
-shalallahu alaihi wasallam- berkata,
“Tidaklah
berkumpul hal itu semua pada seseorang melainkan masuk surga.”[77]
Kisah
ini menunjukkan bahwa Abu Bakar as-Shiddîk -radiallahu'anhu- begitu loba
untuk memanfaatkan kesempatan dan meragamkan amalan. Momen ini ditanyakan Nabi
-shalallahu alaihi wasallam- secara tiba-tiba, yang menunjukkan bahwa
hari-hari Abu Bakar -radiallahu'anhu- dipenuhi dengan ketaatan. Generasi
Salafussoleh -rahimahullah- dalam mengisi waktu mereka dengan amal saleh
telah mencapai tingkat yang agung. Sehingga para Salafussoleh di jadikan
permisalan, seperti yang di katakan kepada Hammad Ibn Salamah, Imam Abdurrahman
Ibn Mahdi berkata:
“Jika dikatakan
kepada Hammad Ibn Salamah, ‘Engkau akan mati besok, tentu dia tidak akan lagi sanggup
menambah amalannya.”[78]
Seorang muslim pada amalan-amalan salehnya hendaknya memperhatikan
perkara-perkara berikut:
- Bersegera melaksanakannya. Sebagaimana firman Allah -ta'âla-:
قال تعالى : â وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا
ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣ á (آل
عمران:133)
“Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhan-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS.Ali Imran:133)
Ayat
ini menunjukkan dorongan kepada para sahabat Nabi -shalallahu alaihi
wasallam- untuk segera melakukan amal saleh.
Imam
Muslim -rahimahullah- meriwayatkan dalam sahihnya dari Anas Ibn Mâlik
pada peristiwa perang Badar ketika pasukan kaum musyrikin mendekat, Nabi -shalallahu
alaihi wasallam- berkata:
قوموا إلى جنة عرضها السماوات والأرض (صحيح
مسلم 1901)
“Berhamburanlah ke surga yang
luasnya seluas langit dan bumi.”
Umair
Ibn al-Hammam al-Anshari berkata,
“Wahai
Rasulullah, surga yang luasnya seluas langit dan bumi?!”
“Ya."
Jawab Rasulullah.”
Dia
berkata,
“Bakhin,
bakhin![79].”
“Apa
yang membuatmu berkata ‘bakhin bakhin’?” Tanya Rasulullah.
“Tidak.
Demi Allah, wahai Rasulullah. Tidak lain hanya ingin menjadi penghuninya.”
“Engkau
termasuk penghuninya.” Ucap Rasulullah.
Umair
mengeluarkan kurma dari sakunya dan memakannya, seraya berujar,
“Jika
aku masih hidup hingga selesai memakan kurma-kurma ini, sungguh merupakan waktu
yang panjang.”
Dia
pun membuang kurma yang tersisa kemudian memerangi musuh hingga syahid
terbunuh.[80]
Sebelum
itu, ada kisah Nabi Musa yang ingin bertemu dengan Allah. Musa berkata,
قال تعالى : â... وَعَجِلۡتُ إِلَيۡكَ رَبِّ لِتَرۡضَىٰ ٨٤ á (طه:
من الآية 84)
“...dan aku bersegera kepada-Mu, ya
Tuhanku, agar supaya Engkau rida (kepadaku)". (QS.Thâha:84)
Allah
pun memuji Nabi Zakaria dan keluarganya:
قال تعالى : â إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا
وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ ٩٠
á (الأنبياء:90)
“...Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang
baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah
orang-orang yang khusyuk kepada kami.” (QS.al-Anbiya:90)
Nabi
-shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
التؤدة في كل شيء - وفي رواية خير - إلا في عمل الآخرة (رواه
أبو داود في سننه 5/157 وهو في صحيح الجامع 3009)
“Lirih dalam segala hal –dalam
riwayat dalam kebaikan- kecuali pada
amalan akhirat.”[81]
Kontinu
dalam ketaatan, sebagaimana sabda Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-
dalam Hadits Qudsi:
ما يزال عبدي يتقرب إليَّ بالنوافل حتى أحبه (صحيح البخاري)
“Hambaku masih saja mendekat
kepada-Ku dengan amalan-amalan 'nawafil' (sunah) hingga aku mencintainya.”[82]
Ungkapan
“masih saja” mengartikan kekontinuan. Nabi -shalallahu alaihi wasallam-
bersabda,
تابعوا الحج والعمرة (رواه الترمذي رقم 810 وهو في السلسلة الصحيحة 1200)
“Iringi amalan Haji dengan Umroh!”[83]
Mengiringi
pengertiannya juga termasuk kekontinuan. Ini adalah permulaan penting dalam
menguatkan keimanan, tidak mengabaikan jiwanya hingga menjadi condong pada
pengabaian dan penyesalan. Konsisten walau sedikit lebih baik dari banyak yang
terputus. Konsisten dalam beramal saleh menguatkan keimanan. Nabi -shalallahu
alaihi wasallam- penah ditanya,
“Amalan
apa yang lebih dicintai Allah?”
Beliau
menjawab,
“Yang konsisten walau sedikit.”[84]
Dahulu
Nabi -shalallahu alaihi wasallam- jika mengerjakan suatu amalan beliau senantiasa
konsisten.[85]
- Bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya.
Terapi
hati yang keras tidaklah baik jika hanya sewaktu-waktu. Membaik suatu waktu
lalu kembali melemah. Yang semestinya adalah perbaikan yang bersambung. Ini
tidak akan terwujud kecuali dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Allah -subhânahu
wata'âla- telah menyebutkan di dalam kitab-Nya akan kesungguhan para
wali-wali Allah dalam beribadah di berbagai keadaan, di antaranya:
قال تعالى : â إِنَّمَا يُؤۡمِنُ بَِٔايَٰتِنَا ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُواْ بِهَا خَرُّواْۤ
سُجَّدٗاۤ وَسَبَّحُواْ بِحَمۡدِ رَبِّهِمۡ وَهُمۡ لَا يَسۡتَكۡبِرُونَ۩ ١٥ تَتَجَافَىٰ
جُنُوبُهُمۡ عَنِ ٱلۡمَضَاجِعِ يَدۡعُونَ رَبَّهُمۡ خَوۡفٗا وَطَمَعٗا وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ
يُنفِقُونَ ١٦ á (السجدة:15,16)
“Sesungguhnya orang yang benar-benar
percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan
ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabb-nya, dan
mereka tidaklah sombong. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka
selalu berdoa kepada Rabb-nya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka
menafkahkan setiap rezeki yang Kami berikan.” (QS.as-Sajdah:15-16)
Firman-Nya
yang lain:
قال تعالى : â كَانُواْ قَلِيلٗا مِّنَ ٱلَّيۡلِ مَا يَهۡجَعُونَ ١٧ وَبِٱلۡأَسۡحَارِ
هُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ ١٨ وَفِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ
١٩ á (الذاريات:17-19)
“Di dunia mereka sedikit sekali
tidur di waktu malam, dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum
fajar, dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS.adz-Dzariât: 17-19)
Jika
menengok keadaan generasi Salafussoleh dalam menetapi sifat-sifat
"'âbidin" (ahli ibadah) akan membangkitkan rasa takjub, sehingga
menuntun kita untuk meneladani mereka. Di antaranya: mereka mengkhatamkan bacaan
al-Quran setiap tujuh hari, mereka tetap melaksanakan shalat malam dalam medan
perang dan pertempuran, berzikir kepada Allah dan melakukan shalat tahajud,
meskipun dalam penjara, kaki mereka memar-memar, air mata membasahi pipi-pipi
mereka, mentafakuri penciptaan langit dan bumi. Di antara mereka ada yang
mengguraui istrinya seperti ibu yang guraui momongannya, namun ketika istrinya
tertidur, dia pun bangkit meninggalkan selimut dan tempat tidurnya melakukan
shalat malam. Mereka membagi malam untuk diri dan keluarga, sedang siangnya
untuk berpuasa, belajar, mengajar, mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit
dan membantu kesusahan orang lain, bahkan pada sebagiannya tidak pernah
tertinggal "takbiratul ihram" bersama imam selama bertahun-tahun,
mereka menunggu shalat setelah shalat, menafkahi keluarga saudaranya yang
ditinggal mati selama bertahun-tahun. Siapa yang keadaannya seperti itu, maka
imannya senantiasa bertambah.
- Jangan membuat diri menjadi jenuh.
Bukanlah
maksud dari kontinuitas dalam ibadah atau bersungguh-sungguh melaksanakannya
untuk menjadikan dirinya jenuh dan bosan, tetapi maksudnya agar tidak terputus
dalam beribadah selama sanggup dilakukan, dengan berupaya sedapat mungkin, baik
dalam keadaan sedang bersemangat maupun ketika sedang lemah. Gambaran seperti
ini ditunjukkan oleh hadits-hadits Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-
di antara sabdanya:
إن الدين يسر ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه فسددوا وقاربوا (صحيح البخاري)
“Agama itu mudah. Tidaklah seseorang itu berlebih-lebihan dalam beragama
melainkan dia akan menyerah, karenanya tepatilah (sedapat mungkin) dan
serupailah (sedapat mungkin).” [86]
Dalam
riwayat lain:
والقصد القصد تبلغوا (صحيح
البخاري)
“Maksudnya adalah engkau sampai
kepada maksud.” [87]
Al-Bukhari -rahimahullah- menyebutkan bab: Mâ
Yukrohu Minat Tasydid Fil Ibadah (Apa-apa yang dibenci ketika bersangatan
dalam ibadah).
Sahabat Anas -radiallahu'anhu- berkata,
“Nabi -shalallahu alaihi wasallam- masuk masjid,
dan didapatinya ada tali merentang. Beliau bertanya,
“Tali apa ini?”
Orang-orang menjawab,
“Itu adalah tali milik Zainab, jika mengantuk dia akan
berpegangan.” Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,
لا حلوه ليصل أحدكم نشاطه فإذا فتر فليقعد (صحيح البخاري)
“Jangan demikian. Lepaskanlah tali
itu! Hendaknya setiap kalian shalat saat fit, jika lelah hendaknya duduk.” [88]
Ketika Nabi -shalallahu alaihi wasallam- tahu
bahwa Abdulllah Ibn Amr Ibn al-Ash melakukan shalat sepanjang malam dan
berpuasa setiap hari, Nabi -shalallahu alaihi wasallam- melarang hal itu
dan menjelaskan sebabnya dengan sabdanya:
فإنك إذا فعلت هجمت عينك - يعني غارت أو ضعفت لكثرة السهر - ونفهت نفسك
- يعني كلت
“Jika engkau melakukan sedemikian
engkau merusak matamu –maksudnya melemah karena
banyak bergadang- dan jiwamu menjadi lemah.”
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
اكلفوا من العمل ما تطيقون فإن الله عز وجل لا يمل حتى تملوا وإن أحب
الأعمال إلى الله عز وجل أدومه وإن قل (رواه
البخاري)
“Laksanakanlah amalan yang mampu kalian lakukan.
Sesungguhnya Allah -azzawajalla- tidaklah bosan, hingga kamu sendiri yang
bosan. Sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah -azzawajalla- adalah yang
berkesinambungan walaupun sedikit.” [89]
- Mengganti amalan yang tertinggal.
Dari Umar Ibn al-Khaththab -radiallahu'anhu- bahwa
Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
من نام عن حزبه من الليل أو شيء منه فقرأه فيما بين صلاة الفجر وصلاة
الظهر كتب له كأنما قرأه من الليل (رواه
النسائي وغيره، والمجتبي: 2/68، صحيح الجامع 1228)
“Siapa yang tertidur dari "hizb"nya (membaca zikir, doa dan
al-Quran) pada suatu malam atau sesuatu darinya, hendaknya dibaca setelah
shalat Fajar dan Zuhur. Dicatatkan baginya seperti membaca pada malam hari.” [90]
Aisyah -radiallahu'anha- berkata,
“Dahulu Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-
jika melakukan suatu shalat akan kontinu melaksanakannya. Jika luput shalat
malam karena tertidur atau sakit, beliau melakukan shalat 12 rakaat di siang
hari.”[91]
Ketika Ummu Salamah -radiallahu'anha- melihat
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- melakukan shalat dua rakaat
setelah shalat Asar, dia pun bertanya kepada Nabi. Nabi -shalallahu alaihi
wasallam- menjawab dengan sabdanya:
يا ابنة أبي أمية سألت عن الركعتين بعد العصر وإنه أتاني ناس من عبد
القيس فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر فهما هاتان (رواه البخاري)
“Wahai putri Abu Umayyah, engkau bertanya mengenai dua
rakaat setelah Asar. Telah datang kepadaku orang-orang dari kabilah Abdul Qois,
sehingga menyibukkanku dari melaksanakan dua rakaat setelah zuhur, inilah dua
rakaat itu.” [92]
Jika beliau belum melaksanakan shalat 4 rakaat sebelum
zuhur, beliau akan melaksanakan setelahnya.[93]
Jika terlewat melaksanakan 4 rakaat sebelum zuhur beliau
akan melaksanakannya setelah zuhur.[94]
Hadits-Hadits di atas menunjukkan akan "qodho"
(mengganti) sunah rawatib.
Ibnul Qoyyim al-Jauziah -rahimahullah- menyebutkan
mengenai puasa Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- di bulan Syaban
yang lebih banyak dari bulan lain, dengan tiga alasan, pertama: beliau biasa
puasa 3 hari setiap bulan. Bila beliau tersibukkan melakukannya selama beberapa
bulan, maka beliau ganti pada bulan Syaban agar dapat menyelesaikannya sebelum
masuk puasa wajib Ramadhan....[95]
Rasulullah dahulu beri'tikaf pada sepuluh hari akhir
Ramadhan. Ketika suatu kali beliau tidak sempat melakukannya karena safar,
beliau beritikaf dua puluh hari pada tahun berikutnya.[96]
- Berharap dikabulkan sembari khawatir tidak diterima.
Setelah bersungguh-sungguh melakukan ketaatan, semestinya
khawatir amalnya tidak diterima. Aisyah -radiallahu'anha- berkata,
“Aku bertanya kepada Rasulullah -shalallahu alaihi
wasallam- mengenai ayat ini:
قال تعالى : â وَٱلَّذِينَ يُؤۡتُونَ مَآ ءَاتَواْ وَّقُلُوبُهُمۡ وَجِلَةٌ أَنَّهُمۡ
إِلَىٰ رَبِّهِمۡ رَٰجِعُونَ ٦٠ á (المؤمنون:60)
“Dan orang-orang yang memberikan apa
yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu
bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS.al-Mukminun:60)
(Apakah yang takut) mereka yang meminum khamar dan
mencuri?” Tanyanya.
Nabi -shalallahu alaihi wasallam- menjawab,
لا يا ابنة الصديق ولكنهم الذين يصومون ويصلون ويتصدقون وهم يخافون أن
لا يقبل منهم أولئك الذين يسارعون في الخيرات
(رواه الترمذي)
“Tidak, wahai putri as-Shidhdhik. Akan tetapi mereka
adalah orang-orang yang berpuasa, melaksanakan shalat dan bersedekah, namun
khawatir apa yang dilakukan tidak diterima. Mereka itu adalah orang-orang yang
bersegera dalam melakukan kebaikan.” [97]
Abu Darda -radiallahu'anhu- berkata,
“Jika dapat dipastikan bahwa Allah telah menerima satu
shalatku, lebih aku sukai dari pada dunia dan seisinya. Allah -subhânahu
wata'âla- berfirman:
قال تعالى : â إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ
٢٧ á (المائدة:27)
“...Sesungguhnya Allah hanya
menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa". (QS.al-Maidah:27)[98]
Di antara sifat seorang mukmin adalah merendahkan dirinya
kepada kewajiban yang merupakan hak Allah -ta'âla-. Nabi -shalallahu
alaihi wasallam- bersabda,
لو أن رجلاً يجر على وجهه من يوم ولد إلى يوم يموت هرماً في مرضاة الله
عز وجل لحقره يوم القيامة (رواه الإمام أحمد المسند 4/185 وهو في صحيح الجامع 5249)
“Jika seorang lelaki mengupayakan sejak lahir hingga
mati, total hanya untuk memperoleh rida Allah -azzawajalla-, niscaya dia
sendiri akan meremehkan seluruh upayanya itu pada hari kiamat.” [99]
Siapa yang mengenal Allah dan mengenal dirinya, akan
jelas baginya bahwa perbekalan yang dibawanya tidak akan cukup, sekalipun
mengerjakan amalan seluruh manusia dan jin. Jika pun Allah -subhânahu
wata'âla- menerima amalannya, itu karena kemurahan, keutamaan dan
kebaikan-Nya. Dia membalas hamba-Nya dengan kemurahan, keutamaan dan
kebaikan-Nya.
6. Meragamkan ibadah.
Di antara rahmat Allah dan hikmah-Nya, Dia meragamkan
untuk kita ibadah. Ada yang "jasadiah" (jasmaniah) seperti shalat dan
ada yang dengan harta seperti zakat, ada juga yang keduanya sekaligus seperti
haji dan ada pula yang dengan lisan seperti zikir dan doa.
Pada setiap macamnya pun terbagi lagi; ada yang
"fardu" (wajib), sunah dan "mustahabah" (disukai). Yang
ibadah fardu pun bertingkat sebagaimana halnya sunah, seperti shalat. Di
antaranya sunah rawatib sebanyak 12 rakaat di siang hari. Ada juga yang lebih
rendah kedudukannya, seperti 4 rakaat sebelum asar dan shalat dhuha. Atau yang
lebih tinggi seperti shalat malam. Masing-masingnya pun memiliki tata cara yang
beragam. Ada yang dua rakaat dua rakaat, 4 rakaat kemudian witir, ada yang 5
rakaat atau 7 rakaat, atau 9 rakaat dengan satu tasyahud.
Demikianlah, siapa yang memperhatikan pernik ibadah akan
mendapati keragaman yang agung dalam jumlah, waktu, bentuk, cara dan hukum.
Bisa jadi hikmahnya agar jiwa tidak menjadi bosan, mau terus melakukan dan
memperbaharuinya. Dan lagi, jiwa masing-masing orang tidaklah sama dalam
kehendak dan kemampuan. Bisa jadi sebagian jiwa menikmati ibadah tertentu
melebihi orang lain. Maha Suci Allah yang telah menjadikan pintu-pintu surga
dengan berbagai bentuk ibadah, sebagaimana yang disebutkan di dalam Hadits Abu
Hurairah -radiallahu'anhu- bahwa Rasulullah -shalallahu alaihi
wasallam- bersabda:
من أنفق زوجين في سبيل الله نودي من أبواب الجنة: يا عبد الله هذا خير
فمن كان من أهل الصلاة دعي من باب الصلاة ومن كان من أهل الجهاد دعي من باب الجهاد
ومن كان من أهل الصيام دعي من باب الريان ومن كان من أهل الصدقة دعي من باب الصدقة ( رواه البخاري)
“Siapa yang "menginfakkan" (merelakan) 2
suaminya[100]
(berjihad hingga mati syahid) di jalan Allah, akan dipanggil dari seluruh pintu
surga; “Wahai hamba Allah, ini kebaikan, barang siapa yang ahli shalat,
dipanggil dari pintu shalat, siapa yang ahli jihad, dipanggil dari pintu jihad,
siapa yang ahli puasa dipanggil dari pintu Royyân, siapa yang ahli sedekah
dipanggil dari pintu sedekah.” [101]
Maksudnya adalah yang memperbanyak ibadah sunah dalam
ibadahnya. Adapun 'farâ`id" (kewajiban) semua harus melaksanakannya.
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
الوالد أوسط أبواب الجنة (رواه
الترمذي)
“Orang tua (bapak) adalah pintu
pertengahan surga.” [102]
Maksudnya berbakti kepada orang tua.
Keragaman ibadah ini bisa dimanfaatkan untuk mengobati
lemah iman. Memperbanyak ibadah yang jiwa condong melakukannya, seraya menjaga
"farâ`id wal wajibât" (fardu dan wajib)[103]
yang Allah perintahkan.
Dengan demikian amat mungkin bagi seorang muslim jika
mengamati nas-nas ibadah yang ada, mendapati macam ibadah tertentu yang
memiliki pengaruh dan membantu jiwanya, yang tidak didapati pada ibadah
lainnya. Berikut dua permisalan:
Abu Dzar -radiallahu'anhu- meriwayatkan dari Nabi
-shalallahu alaihi wasallam-, sabdanya:
ثلاثة يحبهم الله وثلاثة يشنؤهم
الله - أي يبغضهم - أما الثلاثة الذين يحبهم الله الرجل يلقى العدو في الفئة فينصب
لهم نحره حتى يقتل أو يفتح لأصحابه تنحى أحدهم فيصلي حتى يوقظهم لرحيلهم والرجل يكون
له الجار يؤذيه جواره فيصبر على أذاه حتى يفرق بينهما موت أو ظعن (مسند أحمد)
“Ada tiga yang dicintai Allah dan
ada tiga yang dimurkai Allah. Adapun tiga yang dicintai Allah adalah seorang
lelaki yang menghadapi pasukan musuh, meneroboskan dirinya hingga terbunuh atau
berhasil membuka pintu masuk bagi sahabat-sahabatnya, (kedua) suatu kaum melakukan safar, titian perjalanan terasa panjang
hingga membuat ingin beristirahat, kemudian mereka pun turun. Salah seorang
dari mereka memisahkan diri melakukan shalat hingga tiba waktunya melanjutkan
perjalanan dia membangunkan sahabat-sahabatnya. (ketiga) seorang lelaki
yang mempunyai tetangga yang senantiasa mengganggunya, namun dia bersabar atas
gangguan itu hingga mereka dipisahkan oleh kematian atau pergi....”[104]
Seorang lelaki mendatangi Nabi -shalallahu alaihi
wasallam- mengadukan kekerasan hatinya. Nabi -shalallahu alaihi wasallam-
berkata kepadanya,
أتحب أن يلين قلبك وتدرك حاجتك
أرحم اليتيم وامسح رأسه وأطعمه من طعامك يلن قلبك وتدرك حاجتك (الحديث رواه الطبراني)
“Apakah engkau suka hatimu menjadi
lembut dan hajatmu tersampaikan?! Sayangilah anak yatim, usap kepalanya, beri
ia makan dari makananmu, maka hatimu akan menjadi lembut dan hajatmu akan
terpenuhi.” [105]
Ini adalah keterangan eksplisit untuk tema mengobati
lemah iman.
7. Takut Su’ul Khatimah (buruk pengakhiran).
Takut akan su’ul khatimah akan mendorong seorang
muslim untuk berbuat ketaatan dan memperbaharui iman dalam hatinya.
Su’ul khatimah sendiri sebabnya banyak,
di antaranya:
- Lemah iman dan larut dalam kemaksiatan.
Nabi -shalallahu alaihi wasallam- telah menggambarkannya
seperti sabdanya:
من قتل نفسه بحديدة فحديدته في يده يتوجأ - أي يطعن - بها في بطنه في
نار جهنم خالداً مخلداً فيها أبداً ومن شرب سماً فقتل نفسه فهو يتحساه - أي يشربه في
تمهل ويتجرعه- في نار جهنم خالداً مخلداً فيها أبداً ومن تردى من جبل فقتل نفسه فهو
يتردى في نار جهنم خالداً مخلداً فيها أبدا (صحيح مسلم)
“Siapa yang bunuh diri dengan besi,
maka besi itu akan berada di tangannya menikami perutnya di neraka jahanam,
kekal selamanya. Siapa yang minum racun hingga membunuh dirinya, maka dia akan
meminum racun itu dengan perlahan dalam api neraka jahanam kekal selamanya.
Siapa yang menjatuhkan dirinya dari atas bukit untuk bunuh diri, maka dia akan
menjatuhkan dirinya ke dalam api neraka jahanam kekal selamanya.” [106]
Pada masa Nabi -shalallahu alaihi wasallam- hal
ini terjadi. di antaranya kisah seorang lelaki yang berada bersama pasukan kaum
muslimin memerangi tentara kafir. Tidak ada seorang pun yang menandingi cara
berperangnya. Nabi -shalallahu alaihi wasallam- berkata:
“Adapun dia, dia termasuk ahli neraka.”
(Mendengar itu) salah seorang kaum muslimin mengikutinya.
Lelaki itu mendapat banyak luka parah. Ayalnya ia tergesa-gesa untuk mati.
Ditempelkannya ujung pedangnya di dadanya lalu dia sandarkan dirinya pada
pedang itu sehingga membunuh dirinya.[107]
Keadaan manusia yang su’ul khatimah banyak. Ahli
ilmu menutupi kisah beberapa di antaranya. Dari yang diungkap seperti yang
disebutkan Ibnul Qoyyim -rahimahullah- dalam kitab ‘ad-Dâ’ wad-Dawâ’;
ketika dikatakan kepada seseorang yang sedang sekarat, "ucapkan la ilaha
illallah!" dia berkata, “Aku tidak bisa”, sebagian lagi ketika diminta
mengucapkan la ilaha illallah malah bernyanyi. Ketika dikatakan kepada seorang fajir yang lalai dari zikrullah karena perniagaannya, ketika datang kematian
diminta mengucapkan la ilaha illallah malah mengatakan, “Ini barang bagus,
harganya sesuai dan murah” hingga kematiannya.[108]
Diriwayatkan bahwa sebagian tentara Raja an-Nâshir
menghadapi kematian. Ketika anak mereka memintanya mengucapkan la ilaha
illallah malah berkata, “an-Nâshir tuanku. anaknya terus menuntunnya tetapi
bapaknya tetap mengatakan, an-Nashir tuanku, an-Nashir tuanku hingga mati.”
Yang lain dituntun mengucapkan la ilaha illallah malah berkata, “Perbaikilah
dar fulaniah jadi sedemikian dan kebun fulani jadikanlah demikian dan
demikian”. Dikatakan kepada seorang pendidik saat mendekati ajalnya, ucapkan la
ilaha illallah, dia malah mengatakan, “sepuluh dikalikan satu sepuluh...terus
mengulang-ulanginya” Hingga mati.[109]
Sebagian lagi wajahnya menjadi hitam atau berubah dari
sebelumnya. Ibnul Jauzi -rahimahullah- berkata, “Aku telah mendengar
mengenai sebagian orang yang aku kira banyak kebaikannya, pada beberapa malam
menjelang kematiannya mengatakan, “Tuhankulah yang telah menzalimi aku” –Maha
Suci Allah dari apa yang diucapkannya-. Dia menuduh Allah dengan kezaliman di
ranjang kematiannya. Ibnul Jauzi melanjutkan, “Aku pun masih saja risau dan
tertarik untuk menemukan yang serupa atas pengalaman hari itu”.[110]
Maha Suci Allah. Berapa banyak manusia yang menyaksikan
pelajaran dari kejadian seperti ini. Yang tidak terungkap dari orang-orang yang
menyaksikan mereka yang sekarat lebih banyak lagi.[111]
8. Memperbanyak mengingat kematian.
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,
أكثروا من ذكر هادم اللذات يعني الموت) رواه
الترمذي (
“Perbanyaklah mengingat penghancur
kelezatan yaitu kematian.” [112]
Mengingat kematian dapat mengerem kemaksiatan dan
melunakkan hati yang keras. Dengan mengingatnya seseorang yang merasa sempit
hidupnya akan merasa lapang dan yang merasa lapang hidupnya akan berasa sempit.
Pengingat kematian terbesar adalah ziarah kubur. Karena
itu Nabi -shalallahu alaihi wasallam-
memerintahkan dengan sabdanya:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب وتدمع
العين وتذكر الآخرة ولا تقولوا هجراً) رواه
الحاكم (
“Dahulu aku melarang kalian dari
ziarah kubur, tetapi sekarang ziarahilah, karena ia dapat melembutkan hati,
meneteskan air mata dan mengingatkan akhirat. Namun janganlah berkata yang
tidak pantas.”[113]
Bahkan diperbolehkan bagi muslim menziarahi
perkuburan kafir untuk mengambil
pelajaran. Dalilnya apa yang terdapat dalam Hadits sahih bahwa Nabi -shalallahu
alaihi wasallam- menziarahi kubur pamannya kemudian menangis, sehingga
menangislah orang di sekitarnya. Beliau berkata:
استأذنت ربي في أن أستغفر لها فلم يأذن لي واستأذنته في أن أزور قبرها
فأذن لي فزوروا القبور فإنها تذكر الموت) رواه مسلم (
“Aku meminta izin kepada Tuhan-ku untuk
mengampuninya tetapi Tuhan tidak mengizinkanku. Aku meminta izin untuk
menziarahinya maka Tuhan mengizinkanku. Ziarahilah kubur karena akan
mengingatkan pada kematian.” [114]
Ziarah kubur termasuk wasilah besar
meluluhkan hati dan bermanfaat bagi penziarahnya untuk mengingat kematian. Ia
bermanfaat juga bagi penghuni kubur dengan mendoakan mereka. Di antara sunah
ketika berziarah kubur sebagaimana doa Nabi -shalallahu alaihi wasallam-:
(السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين
ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون)) رواه مسلم (
“Keselamatan atas kalian penghuni kubur dari orang-orang
yang beriman dan orang-orang Islam, semoga Allah memberi rahmat kepada
orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang belakangan. Kami
insyaAllah akan menyusul kalian.”[115]
Bagi siapa saja yang hendak berziarah kubur, hendaklah
memperhatikan adab-adab dan menghadirkan hatinya ketika mendatanginya.
Maksudkanlah ziarah itu hanya untuk mengharap wajah Allah dan membetulkan
hatinya yang rusak. Andaikan dirinya sebagai orang yang berada di bawah tanah
terpisah dari keluarga dan orang-orang yang dicintainya. Merenungi keadaan yang
telah berlalu dari saudara-saudaranya, bagaimana upaya teman-temannya mencapai
angan-angan dan mengumpulkan harta, kemudian angan-angan itu terputus dan harta
tidak dapat mencukupkan mereka. Tanah telah melumat ketampanan paras mereka,
tubuh mereka lebur di dalam kubur dan istri-istri mereka menjanda. Ingatlah
bencana akibat terperdaya oleh sebab-sebab dan mengandalkan kesehatan dan masa
muda, condong kepada bersenang-senang dan bermain-main. Akhirnya mau tidak mau
pasti mengalami kematian. Pikirkanlah keadaan penghuni kubur, bagaimana kedua
kakinya hancur, kedua matanya meleleh, lidahnya dimakan cacing dan tanah
melusuhkan gigi-giginya.[116]
Syair:
Waktu, dunia dan langit yang tinggi tidak akan bertahan
Tidak pula cahaya matahari dan bulan
Semuanya akan tinggalkan dunia walau dengan keberatan[117]
Siapa yang banyak mengingat kematian dimuliakan dengan
tiga perkara: disegerakan bertaubat, ketenangan hati
dan giat beribadah.
Siapa yang melupakan kematian mengakibatkan pada tiga
perkara: menunda untuk bertaubat, tidak rida dengan kecukupannya
dan malas untuk beribadah.
Yang juga dapat membekas dalam jiwa menyaksikan orang
yang sekarat. Melihat mayat, menyaksikan orang yang meregang nyawa, nyawa yang
tercabut dan membayangkan keadaan setelah kematiannya dapat memutus
kenikmatan-kenikmatan dari jiwa, mencegah mata tertidur dan badan beristirahat,
sehingga membangkitkannya untuk beramal dan menambah kesungguhan.
Hasan Al-Bashri menjenguk orang sakit dan didapatinya
dalam keadaan sakaratul maut. Dia perhatikan kepayahan dan kesusahan orang itu
sampai meninggal. Ketika kembali kepada keluarganya, air mukanya berbeda dengan
saat dia keluar. Keluarganya menawarkan makan kepadanya, “Makanlah! Semoga
Allah merahmatimu.” Hasan berkata, “Wahai keluargaku. Nikmatilah makanan dan
minuman kalian. Demi Allah, aku telah melihat seorang yang meregang nyawa dan
masih saja memikirkannya.”
Dari kesempurnaan merasai kematian turut menyalati
jenazah, turut mengusung jenazah di pundaknya sampai ke kuburan, turut mengubur
dan menimbunkan tanah ke atas kubur. Semua itu mengingatkan kepada akhirat.
Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,
عودوا المرضى واتبعوا الجنائز تذكركم الآخرة) رواه أحمد (
“Jenguklah orang sakit dan iringi
jenazah, yang demikian itu mengingatkan kalian pada akhirat.”[118]
Lebih dari itu, ada pahala besar bagi yang mengiringi
jenazah. Nabi -shalallahu alaihi wasallam- menyebutkan dalam sabdanya,
من شهد الجنازة من بيتها - وفي رواية: من اتبع جنازة مسلم إيماناً واحتساباً
- حتى يصل عليها فله قيراط ومن شهدها حتى تدفن فله قيراطان من الأجر
“Barang siapa bertakziah dari rumah duka
-dalam riwayat lain: Barang siapa yang mengantarkan jenazah muslim dengan
keimanan dan berharap pahala- hingga menyalatinya, maka baginya satu qirath,
dan barang siapa bertakziah hingga penguburan maka baginya dua qirath pahala.”
Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, dua qirath
itu apa?” Beliau menjawab,
مثل الجبلين العظيمين) رواه الشيخان وغيرها (
“Seperti dua gunung yang besar.”
Dalam riwayat lain, setiap qirath besarannya
seperti gunung Uhud.”[119]
Dahulu para salaf -rahimahumullah- menasihati
dengan mengingatkan kematian manakala ada seseorang yang terjerumus dalam
maksiat. Ketika di majelis salah seorang salaf -rahimahullah- ada
seseorang yang menghibah (menggunjing) orang lain, dia menasihati orang yang
menghibah dengan mengatakan, “Ingatlah pada kapas bila diletakkan di kedua
matamu.” Maksudnya ketika dikafankan.
9. Di antara perkara-perkara yang memperbaharui iman
dalam hati, mengingat kejadian akhirat.
Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata: “Jika
seseorang sehat akal pikirannya dia diberi "bashiroh" (kesadaran)
berupa cahaya di hati. Menyadari janji dan ancaman, surga dan neraka dan apa
yang Allah janjikan di dunia untuk wali-walinya dan musuh-musuhnya. Jadilah dia
manusia yang paling sadar.
Sungguh manusia akan keluar dari kubur-kuburnya bergegas
memenuhi seruan yang hak. Malaikat langit turun mengelilingi mereka. Allah
telah datang, dan telah ditegakkan kursi-Nya untuk memutuskan perkara. Terang
benderanglah bumi (padang Mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhan-nya;
diberikan buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para
Nabi dan saksi-saksi. Timbangan (amal) telah ditegakkan, lembaran-lembaran
(catatan amal) beterbangan, berkumpul orang yang berselisih, tersangkut setiap
yang berhutang dengan piutangnya. Ditampakkan telaga dan gelas-gelasnya dari
dekat, banyak yang kehausan dan hanya sedikit yang mendatangi telaga itu.
Jembatan telah di bentangkan untuk menyeberang dan manusia pun berdesak-desakan
terhadapnya. Cahaya dibagikan mengusir kegelapannya untuk dapat menyeberang,
sementara api neraka menyala-nyala satu sama lain di bawahnya. Sekelompok
berjatuhan dan sekelompok lain selamat. Dibukakan dalam hatinya mata yang
melihat hal itu, hatinya seolah menyaksikan kejadian akhirat, peristiwa demi
peristiwa dan kekekalannya, sedang dunia begitu cepat berakhir.[120]
Al-Qur’an banyak menyebutkan tentang kejadian hari akhir
seperti yang terdapat pada surat Qaaf, surat al-Waaqi’ah, Al-Qiyaamah,
Al-Mursalat, An-Nabaa, Al-Muthaffifîn dan At-Takwir. Demikian juga dalam
kumpulan Hadits disebutkan dalam bab kiamat, padang mahsyar, surga dan neraka.
Selain itu semua, perlu juga kita membaca buku-buku para ulama yang setema,
seperti kitab Haadii Al-Arwah (petunjuk ruh) karya Ibnul Qayyim, An-Nihaayah
fi Al Fitan (akhir dari ujian) karya
Ibnu Katsir, At-Tadzkirah fi Ahwaal Al Mauta wa Umuril Âkhirah (pengingat
peristiwa kematian dan perkara akhirat) karya Qurthubi, Al-Qiyamat Al Kubra, Al-Janah
wa An-Naar (Surga dan neraka) karya Umar Al Asyqari dan yang lainnya.
Tujuannya adalah untuk menambah keimanan, dengan mengetahui kejadian hari
kiamat seperti kebangkitan, "ma'sar" (pengumpulan), syafa’at,
penghitungan, pembalasan, qishash, timbangan, telaga, daarul qarar, surga dan
neraka.
10. Di antara perkara-perkara yang dapat memperbaharui
iman, respek dengan tanda-tanda alam.
Al-Bukhari, Muslim dan selain keduanya meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- jika melihat awan mendung
atau angin berubah air mukanya.”
Aisyah -radiallahu'anha- berkata, “Wahai
Rasulullah, aku perhatikan orang-orang jika melihat mendung gembira, berharap
akan turun hujan. Namun aku perhatikan jika melihatnya engkau justru nampak
khawatir.”
Nabi menjawab,
يا عائشة ما يؤمنني أن يكون فيه عذاب قد عذب قوم بالريح وقد رأى قوم
العذاب فقالوا: (هذا عارض ممطرنا) (رواه
مسلم)
“Wahai Aisyah, apa yang menjamin, bisa jadi itu adalah
azab. Telah diazab kaum terdahulu dengan angin, dan mereka melihat sendiri azab
itu datang seraya berkata, “Ini adalah hujan yang datang.”[121]
Nabi -shalallahu alaihi wasallam- spontan berdiri
ketika melihat gerhana, sebagaimana yang disebutkan dalam sahih al-Bukhari dari
Abu Musa -radiallahu'anhu- katanya,
“Terjadi gerhana matahari. Nabi -shalallahu alaihi
wasallam- spontan berdiri, khawatir terjadi kiamat.”[122]
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-
memerintahkan kita ketika terjadi gerhana matahari maupun bulan untuk bersegera
melaksanakan shalat. Beliau mengabarkan bahwa keduanya adalah tanda-tanda yang
Allah berikan untuk mempertakuti hamba-Nya.
Tidak diragukan bahwa respons hati terhadap kejadian dan
spontanitas memperbaharui keimanan dalam hati dan mengingatkan azab Allah,
kekerasan azab-Nya, kedahsyatan-Nya, kekuatan-Nya dan siksa-Nya.
Aisyah -radiallahu'anha- berkata, “Nabi -shalallahu alaihi wasallam-
menghela tanganku kemudian menunjuk ke bulan, seraya berkata,
يا عائشة: استعيذي بالله من شر هذا فإن هذا هو الغاسق إذا وقب (رواه أحمد)
“Wahai Aisyah, mintalah perlindungan
kepada Allah dari keburukan ini, sesungguhnya ini adalah kejahatan malam jika
telah gelap gulita.”[123]
Contoh yang lain:
merasakan pengaruh ketika lewat di tempat bekas bencana, azab atau kubur
orang-orang yang zalim.
Ibnu Umar -radiallahu'anhuma- meriwayatkan bahwa
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- berkata kepada para sahabatnya
ketika sampai al-Hijr:
لا تدخلوا عليهم هؤلاء المعذبين إلا أن تكونوا باكين فإن لم تكونوا باكين
فلا تدخلوا عليهم لا يصيبكم ما أصابهم (رواه
البخاري)
“Janganlah masuk ke dalamnya, mereka
itu diazab, kecuali sambil menangis. Jika kalian tidak menangis janganlah masuk
ke dalamnya, agar kalian tidak mengalami apa yang mereka alami.”[124]
Demikianlah. Namun sekarang ini orang-orang mendatanginya
untuk berwisata dan berfoto. Maka renungkanlah!!
11. Yang juga merupakan perkara yang amat penting dalam
pengobatan lemah iman adalah zikrullah.
Ia merupakan pembersih hati dan penyembuh. Obat di kala
sakit. Ia merupakan ruh amal saleh. Allah -subhânahu wata'âla- telah
memerintah berzikir dengan firman-Nya,
قال تعالى : â يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ ذِكۡرٗا كَثِيرٗا
á (الأحزاب:41)
“Hai orang-orang yang beriman,
berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dengan sebanyak-banyaknya.” (QS.al-Ahzab:41)
Allah menjanjikan keberuntungan bagi siapa yang banyak
melakukannya:
قال تعالى : â وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٤٥ á (الأنفال:45)
“...dan sebutlah (nama) Allah
sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. (QS.al-Anfâl: 45)
Zikrullah lebih besar dari segala-galanya:
قال تعالى : â وَلَذِكۡرُ ٱللَّهِ أَكۡبَرُá 3 (العنكبوت:45)
“...dan Sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain)....” (QS.al-Ankabut:45)
Ia merupakan wasiat Nabi -shalallahu alaihi wasallam-
bagi yang tidak mampu menjalankan syariat Islam dengan maksimal:
لا يزال لسانك رطباً من ذكر الله
(رواه الترمذي)
“Senantiasakan lisanmu basah
berzikir kepada Allah.”[125]
Zikrullah diridai Allah yang Maha penyayang dan mengusir
setan, penghilang kegalauan dan kerisauan, pendatang rezeki, pembuka
pintu-pintu makrifat, menjadi tanaman di surga dan sebab terselamatkan dari
ketergelinciran lisan. Ia merupakan pelipur kesedihan fakir miskin yang tidak
mampu bersedekah. Allah mengganti ketidakmampuannya dengan zikir, menggantikan kedudukan
ketaatan badaniah dan harta.
Meninggalkan zikrullah menjadi sebab kerasnya hati.
Syair:
Lupa berzikir kepada Allah adalah kematian hati mereka
Tubuh mereka menjadi kubur sebelum perkuburan
Ruh-ruh mereka terperangkap dalam jasad
Tidak ada bagi mereka kebangkitan pada hari kebangkitan
Karenanya, siapa yang ingin mengobati lemah imannya
haruslah memperbanyak zikrullah. Allah berfirman:
قال تعالى : â إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ وَٱذۡكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلۡ
عَسَىٰٓ أَن يَهۡدِيَنِ رَبِّي لِأَقۡرَبَ مِنۡ هَٰذَا رَشَدٗا ٢٤ á (الكهف:24)
“...dan ingatlah kepada Tuhanmu jika
kamu lupa....” (QS.al-Kahfi:24)
Allah -subhânahu wata'âla- menjelaskan pengaruh
zikrullah terhadap hati:
قال تعالى : â أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ ٢٨á (الرعد
:28)
“...Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS.ar-Ro’du:28)
Ibnul Qoyyim –rahimahullahu ta'âla- berkata
mengenai pengobatan dengan berzikir,
“Pada hati ada kekerasan yang tidak bisa dilembutkan
kecuali dengan zikrullah (menyebut dan mengingat Allah). Hendaklah seorang
hamba mengobati kekerasan hatinya dengan berzikir kepada Allah -ta'âla-.
Seseorang berkata kepada al-Hasan al-Bashri -rahimahullah-,
'Wahai Abu Sa’id (panggilan al-Hasan), aku mengadu kepadamu akan kekerasan
hatiku!
Al-Hasan menjawab,
'Lembutkan dengan zikir'.
Karena ketika hati bertambah lalai, semakin keras pulalah
ia. Jika dia berzikir kepada Allah -ta'âla-, lenyaplah kekerasan itu
seperti timah yang meleleh terkena api. Tidak ada yang melembutkan kekerasan
hati seperti zikrullah -azzawajalla-. Zikir adalah kesembuhan hati dan
obatnya, sedangkan kelalaian adalah penyakitnya. Kesembuhan dan obat hati ada
pada zikrullah -ta'âla-. Makhul berkata,
“Zikrullah (menyebut dan mengingat Allah) adalah obat, sedangkan
'zikrunnâs' (mengingat manusia) adalah penyakit.”[126]
Dengan berzikir seorang hamba telah mengalahkan setan,
sebagaimana setan mengalahkan manusia dengan lalai dan lupa. Sebagian
salafussoleh berkata, “Jika zikir telah bertempat dalam hati, tatkala setan
mendekat, ia mengalahkannya, seperti manusia yang mendekat kepada setan, setan
akan mengerumuninya –maksudnya mengerumuni untuk berusaha mendekati hati orang
beriman-, mereka akan mengatakan, “Tidak ada peluang untuk yang ini.” Dikatakan
pula, “Dia telah disusupi jiwa manusia!”.[127]
Manusia yang tersurupi setan kebanyakannya adalah yang
biasa lalai dan tidak membentengi diri dengan wirid maupun zikir. Karena itulah
mudah bagi setan untuk menyurupinya.
Sebagian mereka yang mengeluhkan lemah iman, terasa berat
bagi mereka terapi "qiyamullail" (shalat malam) dan ibadah sunah.
Sehingga cocok bagi mereka pengobatan dengan menggunakan zikrullah dan
mengonsistenkannya. Hafalkan zikir-zikir mutlak dan ulang-ulangilah bacaannya,
seperti:
لا إله إلا الله لا
شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير
[laa ilaaha illallah laa
syarikalahu, lahulmulku walahul hadmu wahua ‘ala kulli syai`in qodiir]
Artinya: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain
Allah yang tidak memiliki sekutu, milik-Nya Kerajaan dan segala pujian dan Dia
mampu atas segala sesuatu.”
سبحان الله وبحمده وسبحان
الله العظيم
[subhanallah wabi hamdihi wa
subhanallahal adzim]
Artinya: “Maha suci Allah dan segala pujian-Nya, dan Maha
Suci Allah yang Maha Agung.”
لا حول ولا قوة إلا
بالله
[laa haula walaa quwwata illa
billah]
artinya: “Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan
kekuatan Allah.”
Serta zikir-zikir lainnya.
Hafalkan juga "zikir-zikir muqoyyadah" (zikir
yang terikat dengan tempat dan waktu) yang terdapat dalam sunah, ulang-ulangi
bacaannya sesuai waktu dan tempatnya, seperti zikir pagi dan petang, ketika
tidur, bangun dari tidur, ketika bermimpi, ketika makan, masuk kamar mandi,
melakukan safar, ketika turun hujan, ketika mendengar azan, ketika masuk
masjid, beristikharah, ketika mendapat musibah, melewati kubur, ada angin
kencang, melihat hilal (awal bulan), naik kendaraan, ketika bersin, mendengar
kokok ayam, ringkikan keledai, penutup majelis dan melihat tempat yang terkena
musibah.
Tidak diragukan, bahwa siapa yang menghafal semua doa itu
akan mendapati pengaruh dalam hatinya. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah memiliki
risalah yang bermanfaat mengenai zikir yang dinamakan al-Kalim at-Thayyib,
diringkas oleh al-Albani dengan nama Sahih al-Kalim at-Tayyib.
12. Di antara perkara yang memperbaharui iman adalah
bermunajat kepada Allah dan luluh di hadapan Allah -azzawajalla-.
Semakin hamba itu merendah dan tunduk, semakin dekat dia
dengan Allah. Karena itu Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-
bersabda,
أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد فأكثروا الدعاء (رواه مسلم)
“Posisi seorang hamba yang paling
dekat dengan Tuhannya adalah ketika sujud. Perbanyaklah berdoa (ketika itu).”[128]
Yang demikian karena sujud adalah posisi merendah dan
menunduk, tidak seperti posisi lain. Ketika seorang hamba menempelkan keningnya
di tanah –sementara Allah Maha Tinggi- menjadilah dia paling dekat dengan
Tuhan-nya. Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata dalam ungkapan yang indah
dengan bahasa merendah dan luluh bagi orang yang bertaubat di hadapan Allah:
“Bagi Allah ucapan yang indah sebagaimana ungkapan seorang:
أسألك بعزك وذلي إلا رحمتني أسألك بقوتك وضعفي وبغناك عني وفقري إليك
هذه ناصيتي الكاذبة الخاطئة بين يديك عبيدك سواي كثير لا ملجأ ولا منجا منك إلا إليك
أسألك مسألة المساكين وأبتهل إليك ابتهال الخاضع الذليل وأدعوك دعاء الخائف الضرير
سؤال من خضعت لك رقبته ورغم لك أنفه وفاضت لك عيناه وذل لك قلبه
“Aku memohon dengan kemuliaan-Mu dan kehinaanku agar
Engkau merahmatiku. Aku meminta dengan kekuatan-Mu dan kelemahanku, dengan
kekayaan-Mu dan kefakiranku kepada-Mu, ini adalah diriku yang pembohong lagi
pembuat salah berada di hadapan-Mu, engkau punya hamba-hamba yang banyak selain
diriku, tidak ada tempat kembali dan mengadu kecuali kepada-Mu, aku meminta
kepada-Mu seperti permintaan seorang miskin, mengiba kepada-Mu pengibaan orang
yang tunduk dan rendah, aku bermohon kepada-Mu dengan permohonan orang yang
takut dan teraniaya, permintaan dari seorang yang merendahkan dirinya dan di
bawah kendali-Mu, untuk-Mu kedua matanya menangis, dan untuk-Mu hatinya
merendah .”
Manakala seorang hamba menghadap dengan ungkapan-ungkapan
seperti di atas, bermunajat kepada Rab-nya, maka iman dalam hatinya akan
berlipat ganda.
Menampakkan kefakiran di hadapan Allah juga menguatkan
iman. Allah -subhânahu wata'âla- telah mengabarkan akan kefakiran kita
dan kebutuhan kita kepada-Nya. Firman-Nya:
قال تعالى : â يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ
هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ ١٥ á (فاطر:15)
“Hai manusia, kamulah yang berhajat
kepada Allah; dan Allah, Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi
Maha Terpuji.” (QS.al-Fâthir:15)
13. Memendekkan angan-angan. Ini penting sekali dalam
memperbaharui keimanan.
Ibnu Qoyyim -rahimahullah- berkata:
“Di antara yang agung mengenai hal ini adalah ayat-ayat
berikut :
قال تعالى : â أَفَرَءَيۡتَ إِن مَّتَّعۡنَٰهُمۡ سِنِينَ ٢٠٥ ثُمَّ جَآءَهُم مَّا كَانُواْ
يُوعَدُونَ ٢٠٦ مَآ أَغۡنَىٰ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يُمَتَّعُونَ ٢٠٧ á (الشعراء :205)
“Maka bagaimana pendapatmu jika Kami
berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada
mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi
mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (QS.as-Syu’arâ`:205-207)
قال تعالى : âكَأَن لَّمۡ يَلۡبَثُوٓاْ إِلَّا سَاعَةٗ مِّنَ ٱلنَّهَارِ á (يونس :45)
“...(mereka merasa di hari itu)
seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) melainkan hanya sesaat di
siang hari....” (QS.Yunus:45)
Sebegitulah dunia, hendaklah manusia jangan memanjangkan
angan-angannya dengan mengatakan, “Aku akan hidup dan terus hidup.”
Sebagian Salafussoleh mengatakan kepada seorang lelaki,
“Shalatlah zuhur bersama kami!”
Dia menjawab,
“Jika aku shalat zuhur bersama kalian, shalat asarnya tidak akan shalat
bersama kalian!”
Maka dikatakan kepadanya: “Seolah engkau berangan-angan akan hidup sampai
tiba waktu shalat asar. Kami berlindung kepada Allah dari panjangnya
angan-angan.”
14. Merenungi kehinaan dunia, hingga pupus ketergantungan
kepada dunia dari hati seorang hamba.
Allah -subhânahu wata'âla- berfirman:
قال تعالى : â...
وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ ١٨٥ á
(آل
عمران:185)
“...kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS.Ali Imrân:185)
Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,
إن مطعم ابن آدم قد ضرب للدنيا مثلاً فانظر ما يخرج من ابن آدم وإن قزحه
وملحه قد علم إلى ما يصير (رواه الطبراني)
“Sesungguhnya makanan anak Adam merupakan permisalan
dunia. Lihatlah apa yang dikeluarkan anak Adam, padahal itu adalah bumbu dan
garam (yang semula dimakannya), sehingga sadar akan menjadi apa dia.”[129]
Abu Hurairah -radiallahu'anhu- berkata, aku
mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,
الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلا ذكر الله وما والاه أو علماً أو متعلماً (رواه ابن ماجه)
“Dunia terlaknat serta apa-apa yang ada di dalamnya,
kecuali zikrullah dan yang berkaitan dengannya atau ilmu atau mempelajari
ilmu.”[130]
15. Yang juga perkara yang dapat memperbarui keimanan
dalam hati, mengagungkan "hurumatillah" (hak-hak Allah).
Allah -ta'âla- berfirman,
قال تعالى: â وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ
٣٢á ( الحج:32)
“Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa
mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan
hati.” (QS.al-Hajj: 32)
Hurumatillah adalah hak-hak Allah -ta'âla-.
Bisa pada perorangan, tempat maupun pada waktu. Di antara bentuk pengagungan
hak-hak Allah pada perorangan seperti menunaikan hak-hak Rasulullah -shalallahu
alaihi wasallam-. Di antara bentuk mengagungkan pada tempat seperti
mengagungkan tanah suci (Mekkah dan Madinah), dan pada waktu seperti
mengagungkan bulan Ramadhan.
قال تعالى : ) وَمَن
يُعَظِّمۡ حُرُمَٰتِ ٱللَّهِ فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ ( (الحج/30)
“...dan barangsiapa mengagungkan
apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi
Tuhan-nya....” (QS.al-Hajj:30)
Di antara bentuk mengagungkan hak-hak Allah, tidak
meremehkan dosa-dosa kecil. Abdullah Ibn Mas’ud -radiallahu'anhu-
meriwayatkan bahwa Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,
إياكم ومحقرات الذنوب فإنهن يجتمعن على الرجل حتى يهلكنه (رواه أحمد )
“Hindarilah dirimu dari dosa-dosa remeh, sesungguhnya dia
terkumpul pada seseorang hingga membinasakannya.”
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- memberikan
contoh seperti suatu kaum yang datang ke suatu gurun, mulailah seorang demi
seorang mengumpulkan ranting hingga menjadi gundukan besar, kemudian
dinyalakanlah api hingga menghancurkan apa saja yang dimasukkan ke dalamnya.”[131]
Syair:
Jangan meremehkan sesuatu yang kecil
Sesunguhnya gunung berasal dari batu kecil
Ibnul Jauzi berkata dalam kitab Shaidul Khatr:
“Kebanyakan manusia menganggap biasa perkara-perkara
remeh padahal mengandung cela pada asalnya. Seperti melepaskan pandangan pada
perkara haram atau meminjam buku dan tidak memulangkannya.”
Sebagian salafussoleh berkata:
“Aku meremehkan satu suapan sehingga memakannya, dan kini
aku telah berumur 40 tahun dari waktu itu.”
Ini adalah bentuk "ketawadu'annya" (kerendahan
hati) -rahimahullah.
16. Yang dapat memperbaharui iman dalam hati: "wala'
dan baro`" yaitu bersikap loyal terhadap orang mu’min dan berlepas diri terhadap
orang kafir.
Jika hati terkait dengan musuh Allah akan lemah dan
pupuslah aqidah di dalamnya. Apabila loyalitas dimurnikan kepada Allah, maka
akan loyal kepada hamba-hamba Allah yang beriman, membela mereka, dan membenci
dan memusuhi musuh-musuh Allah, sehingga menjadi hiduplah keimanannya.
17. Kerendahan hati memiliki pengaruh dalam memperbaharui
keimanan dan kemuliaan hati dari dampak kesombongan.
Karena rendah hati dalam berbicara dan bersikap merupakan
cerminan kerendahan hati kepada Allah. Nabi -shalallahu alaihi wasallam-
bersabda:
(البذاذة من الإيمان) رواه ابن ماجه
“Kesederhanaan pada pakaian sebagian dari iman”[132]
Artinya rendah hati pada tubuh dan berpakaian[133]
Sabda beliau pula:
(من ترك اللباس تواضعاً لله وهو يقدر عليه دعاه
الله يوم القيامة على رؤوس الخلائق حتى يخيره من أي حلل الإيمان شاء يلبسها) رواه الترمذي
“Siapa yang meninggalkan berpakaian
mewah "tawadu'an" (rendah hati) karena Allah sedangkan ia mampu untuk
itu, Allah akan menyerunya pada hari kiamat di antara makhluk-Nya hingga dipersilahkan
untuk mengenakan perhiasan iman yang dikehendakinya." [134]
Abdurrahman ibn Auf -radiallahu'anhu- dahulu tidak
dapat dibedakan dengan para hamba sahayanya jika sedang berada di antara
mereka.
18. Ada amalan-amalan hati
yang penting dalam memperbaharui keimanan seperti "mahabbatullah"
(cinta kepada Allah), takut kepada-Nya, mengharap kepada-Nya, berbaik sangka
kepada-Nya, bertawakal kepada-Nya, rida kepada Allah dan
ketentuan-ketentuan-Nya, bersyukur kepada-Nya, membenarkan-Nya, yakin kepada-Nya,
percaya kepada-Nya, taubat kepada-Nya dan amalan-amalan hati lainnya.
Ada pula "maqamat" (kedudukan) yang selayaknya
seorang hamba sampai kepadanya untuk menyempurnakan penyembuhan, seperti
"istiqamah" (konsisten dalam beramal), "inabah" (kembali
kepada Allah), mengingat-Nya, berpegang teguh kepada kitab dan sunah, khusyu’,
"al zuhdu wal wara’" (sederhana dan rendah hati), dan
"muraqabah" (merasa dalam pengawasan Allah).
Maqomat ini telah dipaparkan oleh Ibnul Qayyim -rahimahullah-
dalam kitabnya Madâriju as-Sâlikîn.
19. Mengintropeksi diri juga penting dalam memperbaharui
hati.
Allah -azzawajalla- berfirman:
قال تعالى : ) يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ
( )الحشر :18(
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)”. (Q.S.al-Hasyr:18)
Umar ibn Khatthab -radiallahu'anhu- berkata,
“Introspeksilah (hitung-hitung) diri kalian sebelum
kalian dihitung.”
Al-Hasan berkata,
“Janganlah kamu bertemu seorang mukmin kecuali
introspeksilah diri.”
Maimun ibn Mahran pun berkata,
“Sesungguhnya orang yang bertakwa lebih ketat menghitung
dirinya sendiri dari pada teman yang kikir."
Ibnul Qayyim berkata,
“Celakalah jiwa yang lalai menghitung dirinya dan
memperturutkan hawa nafsunya.”
Seorang muslim hendaknya meluangkan waktunya untuk
"berkhalwat" (menyendiri) merenungi dirinya sendiri, mengevaluasi,
menghitung dan memperhatikan keadaannya, bekal apa yang telah dipersiapkan
untuk hari kiamat.
20. Sebagai penutup, doa kepada Allah -azzawajalla-
merupakan sebab yang terkuat yang selayaknya seorang hamba mengupayakannya.
Sebagaimana Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
إن الإيمان ليخلق في جوف أحدكم كما يخلق الثوب فاسألوا الله أن يجدد
الإيمان في قلوبكم
“Sesungguhnya iman itu diciptakan di dalam
diri setiap kalian sebagaimana pakaian dibuat, maka mohonlah kepada Allah untuk
memperbaharui iman dalam hati kalian.”
“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dengan
nama-nama-Mu yang baik dan sifat-sifat-Mu yang tinggi agar memperbaharui iman
dalam hati-hati kami. Ya Allah, jadikanlah kami cinta kepada keimanan dan
hiasilah ia pada hati-hati kami. Jadikanlah kami benci kepada kekafiran,
kefasikan dan kemaksiatan, jadikanlah kami orang-orang yang diberi petunjuk.
Maha suci Tuhan yang Maha Perkasa dari apa yang disifati-Nya dan keselamatan
atas para Rasul pengemban risalah dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam”.
[1] Maksudnya adalah hati tempat segala perasaan
batin/kalbu, bukan yang bermakna organ jantung atau hati. Meskipun orang arab
pada umumnya jika menyebut قلب"" maksudnya adalah organ
jantung atau tempat perasaan batin/kalbu, bukan organ hati. Lihat KBBI –pent.
[2] HR. Ahmad 4/408,
terdapat dalam shahih al-Jâmi' 2364.
[3] Hadits dikeluarkan
oleh Ibnu Abi 'Ashim dalam kitab as-Sunnah no.227 dengan sanad yang sahih dalam
Dzilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah oleh al-Albani 1/102.
[4] Hadits
dikeluarkan oleh Ibnu Abi 'Ashim dalam kitab as-Sunnah no.226 dengan sanad yang
sahih dalam Dzilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah oleh al-Albani 1/102.
[5] HR. Ahmad
6/4. Shahihul Jami no.5137.
[6]
HR.
Muslim no.2654.
[7]
HR.
al-Bukhari. Fatul bâri 10/486.
[8]
HR.
at-Turmudzi no.3479. Dalam Silsilah as-Sohihah no.594.
[9]
HR.
Abu Dâwud no.679. Shahih at-Targhib no.510.
[10]
Fardu
kifayah artinya wajib dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Jika sebagiannya
telah melaksanakan, maka yang lain sudah gugur kewajibannya, seperti pengurusan
jenazah, mempelajari ilmu duniawiah dsb.
[11] Shalat sunat
yang dilakukan sebelum dan sesudah shalat fardhu yang lima waktu.
[12]
As-Silsilah as-Shahihah no.554, II/86.
[13]
Silsilah as-Shahihah no.427.
[14]
HR.
Muslim no.144.
[15]
HR.
Abu Dâwud no.4345. Lihat Shahih al-Jâmi' 689.
[16]
HR.
al-Bukhari no.6729.
[17]
HR.
at-Thabaroni dalam al-Kabir XVIII/72. Lihat Shahih al-Jami no.1420.
[18]
HR.
al-Baihaqi II/439. Lihat Shahih al-Jami' no.120.
[19]
HR.
al-Bukhari dalam Adab al-Mufrod no.977. lihat Silsilah as-Shahihah no.357.
[20]
HR.Abu
Dâwud no.5229. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod no.977. as-Silsilah
as-Shahihah no.357.
[21]
Al-Bukhari dalam Fathul Bâri no.XI/62.
[22]
HR.an-Nasâi dalam al-Mujtaba VI/13. Shahih al-Jâmi'
no.2678.
[23]
HR.
Abu Dâwud II/324. Shahihul Jami' no.2678.
[24]
Hadits
di dalam Sahihain dengan lafal dari Muslim no.1599.
[25]
Nama
tempat antara Mekah dan Madinah.
[26] Maksudnya dalam beribadah di malam hari.
[27]
HR. Ibnu Hibban no.4245. Di dalam az-Zawaid disebutkan
sanadnya sahih dan periwayatnya terpercaya. Lihat Shahih al-Jami no.5028.
[28]
HR. al-Bukhari dalam Fathul Bâri XI/102. Lihat Taghliq
at-Ta'lîq V/136 terbitan al-Maktab al-Islami.
[29]
Musnad Ahmad V/63. Silsilah as-Sahihah no.1352.
[30]
HR.
Muslim no.1914.
[31]
HR.
al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod no.593. as-Silsilah as-Shahihah V/387.
[32]
Al-Mu'jam
al-Kabir oleh at-Thabarani XX/101. Silsilah as-Shahihah V/387.
[33]
Musnad
Ahmad V/340. Silsilah as-Shahihah no.1137.
[34]
Dalam riwayat lain: tidak terpisahkan kecuali oleh dosa.
[35]
HR.
al-Bukhari dalam al-Âdab al-Mufrod no.401. Ahmad dalam al-Musnad II/68. as-Silsilah
as-Shahihah no.637.
[36]
HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bâri VIII/87.
[37]
HR. Ahmad dalam al-Musnad V/252. Shahih al-Jâmi'
no.5633.
[38]
HR.
Abu Dâwud V/150. Shahih al-Jami' no.1464.
[39]
Ibid.
[40]
HR.
Abu Na'îm dalam al-Hilyah V/155. As-Silsilah as-Shahihah no.353. Riwayat Ahmad
dengan lafal 'إياي' [Tidaklah aku]
al-Musnad V/243.
[41]
HR.
al-Bukhari no.2730.
[42]
HR.
at-Thabarani dalam al-Kabîr IV/78. Shahih al-Jâmi no.2384.
[43]
HR.
Ahmad V/219. Shahih al-Jâmi no.1781.
[44]
HR.
Ahmad III/128. Shahih al-jâmi' no.3124.
[45]
HR.
at-Thabaroni dalam al-Kabir XXIV/241. Shahih al-Jâmi no.1990.
[46]
HR.
at-Turmudzi no.2336. Shahih al-Jâmi no.2148.
[47]
HR.
at-Turmudzi no.2376. Shahih al-Jâmi no.5620.
[48]
HR.
Ahmad V/290 dalam Shahih al-Jâmi no.2386.
[49]
HR.
Ibnu Mâjah no.4129 dalam Shahih al-Jâmi no.7137.
[50] Fathul Bâri
XI/236.
[51] Id. Hal.237.
[52]
HR.
Ibnu Mâjah no.4193. Terdapat dalam Shahih al-Jâmi.
[53]
HR. al-Hâkim dalam al-Mustadrak I/4. Silsilah as-Shahihah
no.1585. Al-Haitsami berkata di dalam Majma' az-Zawaid I/52: 'Diriwayatkan oleh
at-Thabarani dalam kitab al-Kabîr dan sanadnya Hasan'.
[54]
HR.
Abu Na'îm dalam al-Hilyah II/196. Silsilah Shahihah no.2268.
[55]
HR.
al-Bukhari, Fath I/51.
[56] Syarah Nuniah Ibnul Qoyyim, oleh Ibn ‘Isa II/140.
[57]
HR.
Ahmad II/210. Shahih at-Targhib no.55.
[58]
HR.
Ahmad 4/149. Lihat juga shifat ash-Shalat oleh al-Albani hal.102.
[59]
Silsilah
as-Shahihah I/106.
[60]
Silsilah
as-Shahihah II/679.
[61]
HR.
at-Turmudzi no.3298. Silsilah as-Shahihah no.955.
[62] Asar dan sanad-sanadnya terdapat dalam Tafsir Ibnu
Katsir VII/406.
[63] Manâqib Umar oleh Ibnu al-Jauzi hal.167
[64]
Siar a'lam an-Nubala IV/324.
[65]
Siar a'lam an-Nubala IV/446.
[66] Sujud yang dilakukan ketika membaca ayat-ayat tertentu yang dinamakan
dengan ayat sajadah.
[67] HR. al-Bukhari no.6947.
[68] HR. At-Turmudzi
[69] HR.Muslim
no.197.
[70] HR. al-Bukhari no.7043.
[71] Al-Wâbil as-Shaib hal.125 degan perubahan.
[72] HR. Muslim no.2700.
[73] Shahih al-Jami’ no.5507.
[74] Fathul Bâri XI/209.
[75] HR. Muslim no.2750.
[76] Sanadnya Sahih. Lihat Arba’ Masail Fil Iman, Tahqiqi
al-Albani hal.72.
[77] HR. Muslim. Kitab Fadhail as-Shahabah. Bab: 1 no.12.
[78] Siar ‘Alam an-Nubala VII/447.
[79] Kalimat yang menunjukkan perkara besar.
[80] HR. Muslim no.1901.
[81] HR.Abu Dawud dalam sunannya V/157. dan dalam Shahih
al-Jami no.3009.
[82] HR.al-Bukhari no.6137.
[83] HR.at-Turmudzi no.810. Silsilah as-Shahihah no.12000.
[84] HR.al-Bukhari dalam Fathul Bâri XI/194.
[85] HR.Muslim dalam kitab Shalatul Musâfirin Bab:18
no.141.
[86] HR.Sahih al-Bukhari no.39.
[87] HR.Sahih al-Bukahri no.6099.
[88] HR.al-Bukhari no.1099.
[89] HR. al-Bukhari. Lihat Fathul Bâri III/38.
[90] HR.an-Nasai dan selainnya. Al-Mujtaba
II/68. Shahih al-Jami no. 1228.
[91] HR.Ahmad VI/95.
[92] HR.al-Bukhari dalam al-Fath III/105.
[93] HR. at-Turmudzi no.427. Shahih Sunan at-Turmudzi
no.350.
[94] Shahih al-Jami
no.4759.
[95] Tahdzîb Sunan Abu Dâwud III/318.
[96] Fathul Bâri IV/285.
[97] HR.at-Turmudzi no.3175. Lihat as-Silsilah as-Shahihah
I/162.
[98] Tafsir Ibnu Katsir III./67.
[99] HR.Imam Ahmad, Musnad IV/175. Lihat Sahih al-Jami
no.5249.
[100] Maksudnya suami pertama mati syahid kemudian menikah
lagi, lalu suami keduanya pun mati syahid berjihad di jalan Allah pent.
[101] HR.al-Bukhari no.1798.
[102] HR.at-Turmudzi no.1900. Shahih al-Jami no.7145.
[103] Istilah fardu dan wajib oleh sebagian ulama dipandang
sebagai sesuatu yang sama. Walaupun ada sebagian ulama lain yang menjadikan
fadu lebih tinggi dibandingkan wajib pent.
[104] Musnad Ahmad V/151. Lihat Shahih al-Jami no.3074.
[105] HR.at-Thabarani dengan riwayat-riwayat yang serupa.
Lihat as-Silsilah as-Shahihah II/533.
[106] Shahih Muslim no.109.
[107] Al-Fathul Bâri VII/471.
[108] Thariqul Hijratain hal.308.
[109] Ad-Dâ` wad Dawâ 170,289.
[110] Shoidul Khawâtir hal.137.
[111] Ad-Dâ` wad
Dawâ`.
[112] HR. At-Tumudzi no.2307. Lihat Sahih al-Jami no.1210.
[113] HR. Al-Hakim 1/376.Lihat Sahih al-Jami no.4584
[114]HR.Muslim 3/65
[115]HR.Muslim no.974
[116] At-tadzkirah oleh al-Qurtubi hal:16
dan setelahnya dengan perubahan.
[117] Bait-bait syair Abdullah bin Muhammad Asy-Syantarini:Tafsir Ibnu Kasir
5/436.
[118] HR.Ahmad 3/48 lihat Shahih Al-Jami’ 4109
[119] HR. As-Syahikhân dan selain keduanya. Lafalnya merupakan gabungan dari
beberapa riwayat. Lihat Ahkam al-Janaiz oleh al-Albani hal.67.
[120] Madaariju As-Saalikin 1/123.
[121] HR. Muslim no.899.
[122] Fathul Bâri II/545.
[123] HR.Ahmad VI/237. Lihat as-Silsilah as-Shahihah.
[124] HR.al-Bukhari no.423.
[125] HR.at-Turmudzi no.3375, dan berkata Hadits ini hasan
gharib. Lihat sahih al-Kalim 3.
[126] Al-Wâbil as-Shoib Rôfi`ul Kalamut Toyyib hal.142.
[127] Madarijus Sâlikîn II/424.
[128] HR.Muslim no.482.
[129] HR. at-Thabarani dalam al-Kabîr I/198. Lihat silsilah as-Shahihah no.382.
[130] HR.Ibnu Mâjah no.4112. Lihat shahih at-Targhib no.71.
[131] HR.Ahmad I/402. Lihat as-Silsilah as-Shahihah no.389.
[132] H.R.Ibnu Majah 4118 Lihat as-Silsilah ash Sahih No.341
[133] Lihat an-Nihâyah karya Ibnu al-Atsir 1/110
[134] H.R.at-Tirmidzi No.2481 Lihat as-Silsilah ash-Shahihah
718
Terjemah : Syafar Abu Difa
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
Sumber: www.islamhouse.com
Alhamdulillah, ini adalah hal yg penting dan sangat bermanfaat. jazakumullahikhoiron katsiron akhy.
BalasHapus