Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. –hafizhahullah-
Tidak asing lagi bahwa riba adalah salah satu hal yang diharamkan dalam syariat Islam. Banyak dalil yang menunjukkan akan keharaman riba dan berbagai sarana terjadinya riba.
Firman Allah Ta'ala berikut adalah salah satu dalil yang nyata-nyata menegaskan akan keharaman praktik riba:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ .آل عمران: 130
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata, "Allah Ta'ala melarang hamba-hamba-Nya kaum mukminin dari praktik dan memakan riba yang senantiasa berlipat ganda. Dahulu, di zaman jahiliyyah, bila piutang telah jatuh tempo mereka berkata kepada yang berhutang, ‘engkau melunasi hutangmu atau membayar riba’, bila ia tidak melunasinya, maka pemberi hutangpun menundanya dan orang yang berhutang menambah jumlah pembayarannya. Demikianlah setiap tahun, sehingga bisa saja piutang yang sedikit menjadi berlipat ganda hingga menjadi besar jumlahnya beberapa kali lipat. Dan pada ayat ini Allah Ta'ala memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa bertakwa agar mereka selamat di dunia dan di akhirat." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/404).
Pada ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {275} يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ {276} إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ {277} يَا أَيُّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ (البقرة: 275-280)
Kelima ayat ini merupakan larangan sekaligus ancaman berat bagi orang-orang yang memakan riba. Dan pada kelima ayat ini terdapat berbagai petunjuk (alasan) kuat lagi tegas bagi keharaman riba:
Pertama: Pemakan riba akan dihinakan di hadapan seluruh makhuk, yaitu ketika ia dibangkitkan dari kuburannya, ia dibangkitkan dalam keadaan yang amat hina, ia dibangkitkan bagaikan orang kesurupan lagi gila.
Ibnu 'Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, "Pemakan riba akan dibangkitkan dari kuburannya dalam keadaan gila dan tercekik."
Penjelasan yang senada dengan ini juga disampaikan oleh Sa'id bin Jubair, Qatadah, dan Ibnu Zaid, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir at-Thobary dalam tafsirnya (Tafsir At Thobary 3/102).
Kedua: Penegasan bahwa riba diharamkan oleh Allah Ta'ala, sehingga tidak termasuk ke dalam perniagaan yang nyata-nyata dihalalkan.
Ketiga: Ancaman bagi orang yang tetap menjalankan praktik riba setelah datang kepadanya penjelasan dan setelah ia mengetahui bahwa riba diharamkan dalam syariat Islam, akan dimasukkan ke neraka. Bahkan bukan sekedar masuk ke dalamnya, akan tetapi dinyatakan pada ayat di atas bahwa "ia kekal di dalamnya."
Disebutkannya ancaman berupa adzab neraka atau hukuman di dunia merupakan salah satu bukti bahwa perbuatan tersebut adalah dosa besar, sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama (Silakan baca keterangan lebih lanjut tentang definisi dosa besar dalam kitab: al-Fishal Fi Milal wal Ahwa' Wal Ahwa' oleh Ibnu Hazem al-Andalusy, 4/48, al-Kabair oleh Imam adz-Dzahaby, 7).
Imam adz-Dzahaby rahimahullah berkata:
من ارتكب شيئا من هذه العظائم مما فيه حد في الدنيا كالقتل و الزنا و السرقة أو جاء فيه وعيد في الآخرة من عذاب أو غضب أو تهديد أو لعن فاعله على لسان نبينا محمد صلى الله عليه و سلم فإنه كبيرة
"Barangsiapa yang melakukan
salah satu dari perbuatan besar ini, yang padanya ditetapkan hukum had
(pidana) di dunia, misalnya pembunuhan, perzinaan, dan pencurian atau
datang suatu ancaman di akhirat berupa adzab atau kemurkaan (Allah) atau
ancaman atau kutukan terhadap pelakunya melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berarti perbuatan tersebut adalah dosa besar." (Idem).
Dan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyata-nyata menyebutkan perbuatan memakan riba sebagai perbuatan dosa besar.
Dan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyata-nyata menyebutkan perbuatan memakan riba sebagai perbuatan dosa besar.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلّى الله عليه و سلّم قال: (اجتنبوا السبع الموبقات. قيل: يا رسول الله، وما هن؟ قال: الشرك بالله والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل مال اليتيم وأكل الربا والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات). متفق عليه
Keempat: Penegasan bahwa Allah akan menghapuskan dan memusnahkan riba.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Allah Ta'ala mengabarkan bahwa Ia akan memusnahkan riba, maksudnya bisa saja memusnahkannya secara keseluruhan dari tangan pemiliknya atau menghalangi pemiliknya dari keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian pemilik riba tidak mendapatkan kemanfaatan harta ribanya, bahkan Allah akan membinasakannya dengan harta tersebut dalam kehidupan dunia, dan kelak di hari akhirat Allah akan menyiksanya akibat harta tersebut." (Tafsir Ibnu Katsir 1/328).
Penafsiran Ibnu Katsir ini semakna dengan hadits berikut:
(إن الربا وإن كثر، عاقبته تصير إلى قل) رواه أحمد الطبراني والحاكم وحسنه الحافظ ابن حجر والألباني
Bila kita mengamati kehidupan orang-orang yang menjalankan praktik-praktik riba, niscaya kita dapatkan banyak bukti bagi kebenaran ayat dan hadits di atas. Betapa banyak pemakan riba yang hartanya berlimpah ruah, hingga tak terhitung jumlahnya, akan tetapi tidak satupun dari mereka yang merasakan keberkahan dan kebahagiaan dari harta haram tersebut.
Agar kita sedikit mengetahui betapa besar peranan keberkahan harta dalam kehidupan seseorang, maka saya mengajak para pembaca untuk merenungkan beberapa hadits berikut:
Hadits Pertama:
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang berbagai kejadian yang mendahului kebangkitan hari Kiamat, beliau bersabda,
(يقال للأرض: أنبتي ثمرتك وردي بركتك، فيومئذ تأكل العصابة من الرمانة، ويستظلون بقحفها، ويبارك في الرِّسْلِ، حتى أن اللقحة من الإبل لتكفي الفئام من الناس، واللقحة من البقر لتكفي القبيلة من الناس، واللقحة من الغنم لتكفي الفخذ من الناس) رواه مسلم
Demikianlah ketika keberkahan telah Allah turunkan, sehingga rezeki yang sedikit jumlahnya akan tetapi manfaatannya amat banyak, sampai-sampai satu buah delima dapat mengenyangkan segerombolan orang, dan susu hasil perasan seekor sapi dapat mencukupi kebutuhan orang satu kabilah.
Hadits Kedua:
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلّى الله عليه و سلّم: قال(لولا بنو إسرائيل لم يخبث الطعام ولم يخنز اللحم). متفق عليه
Para ulama menjelaskan, bahwa tatkala Bani Isra'il diberi rezeki oleh Allah Ta'ala berupa burung-burung salwa (semacam burung puyuh) yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari, mereka dilarang untuk menyimpan daging-daging burung tersebut. Setiap pagi hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan pada hari tersebut. Akan tetapi mereka melanggar perintah ini, dan mengambil daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut, dan kemudian mereka simpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah menghukumi mereka, sehingga daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk (Ma'alim at-Tanzil, oleh al-Baghawy 1/97, Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi 10/59, dan Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 6/411).
Hadits Ketiga:
عن حكيم بن حزام رضي الله عنه قال: سألت رسول الله صلّى الله عليه و سلّم فأعطاني، ثم سألته فأعطاني، ثم سألته فأعطاني، ثم قال: يا حكيم، إن هذا المال خضرة حلوة، فمن أخذه بسخاوة نفس، بورك له فيه، ومن أخذه بإشراف نفس لم يبارك له فيه، وكالذي يأكل ولا يشبع. اليد العليا خير من اليد السفلى، قال حكيم: فقلت يا رسول الله، والذي بعثك بالحق لا أرزأ أحدا بعدك شيئا حتى أفارق الدنيا) متفق عليه
Ibnu Batthal berkata, "Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan barang siapa yang mengambilnya dengan tanpa ambisi (tama' atau atas kerelaan pemiliknya), maka akan diberkahi untuknya harta tersebut) menunjukkan bahwa sifat qana’ah, senantiasa merasa kecukupan, dan upaya mencari rezeki dari jalan yang baik senantiasa diiringi oleh keberkahan. Dan bahwa barangsiapa yang mencari harta dengan penuh ambisi dan keserakahan, niscaya harta penghasilannya tidak akan diberkahi, dan ia akan terhalangi dari keberkahan seluruh hartanya." (Syarah Ibnu Batthal, 6/47).
Imam an-Nawawi berkata, ”Pada hadits ini dan juga hadits sebelumnya, terdapat anjuran untuk senantiasa menjaga kehormatan diri, merasa kecukupan, dan ridha dengan apa yang berhasil ia peroleh dengan cara-cara yang terhormat, walau hanya sedikit, serta anjuran untuk mencari rezeki dari jalan-jalan yang baik (halal). Sebagaimana seseorang hendaknya tidak terbuai oleh banyaknya harta yang berhasil ia peroleh melalui keserakahan dan ambisi atau yang serupa, karena ia tidak akan pernah mendapatkan keberkahan padanya. Hal ini sangat menyerupai firman Allah Ta'ala,
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
Hadits Keempat:
عن ابن عباس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم : (إِنِّي رَأَيْتُ الْجَنَّةَ فَتَنَاوَلْتُ عُنْقُودًا وَلَوْ أَصَبْتُهُ لَأَكَلْتُمْ مِنْهُ مَا بَقِيَتْ الدُّنْيَا) متفق عليه
Demikianlah bila keberkahan benar-benar telah dilimpahkan kepada sesuatu hal, sampai-sampai setandan buah anggur dapat dimakan oleh umat manusia sepanjang masa. Hal ini bukanlah suatu hal yang mustahil, sebagai salah satu pembuktiannya, marilah kita simak kisah berikut,
عن عَائِشَةَ رضي الله عنها أن النبي صلّى الله عليه و سلّم كان يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ أعرابي فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ فقال النبي صلّى الله عليه و سلّم : (أَمَا إنه لو كان ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ). رواه أحمد والنَّسائي وابن حبان
Demikianlah contoh nyata pada makanan yang diberkahi dan yang tidak diberkahi.
Bila kita telah memahami hadits di atas, maka akan menjadi mudah bagi kita untuk memahami sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
طعام الواحد يكفي الاثنين وطعام الاثنين يكفي الأربعة
Kelima: Allah Ta'ala menyifatkan pemakan riba sebagai "orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa".
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Sesungguhnya, pemakan riba tidak rela dengan pembagian Allah untuknya, berupa rezeki yang halal, dan merasa tidak cukup dengan syariat Allah yang telah membolehkan untuknya berbagai cara mencari penghasilan yang halal. Oleh karenanya, ia berusaha untuk mengeruk harta orang lain dengan cara-cara yang batil, yaitu dengan berbagai cara yang buruk. Dengan demikian, sikapnya merupakan pengingkaran terhadap berbagai kenikmatan, dan amat zhalim lagi berlaku dosa, yang senantiasa memakan harta orang lain dengan cara-cara yang batil." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/330).
Keenam: Allah Ta'ala memerintahkan kaum muslimin agar bertakwa, dan hakikat ketakwaan adalah menjalankan segala perintah dan meninggalkan segala larangan. Bukan hanya hal-hal yang nyata-nyata haram, bahkan hal-hal yang tergolong sebagai syubhat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk meninggalkannya.
(إن الحلال بين، وإن الحرام بين، وبينهما أمور مشتبهات لا يعلمهنَّ كثير من الناس، فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه، ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام، كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه، ألا وإن لكل ملك حمى ألا وإن حمى الله محارمه. ألا وإن في الجسد مضغةً، إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب). رواه البخاري ومسلم
Ketujuh: Perintah tegas agar meninggalkan riba. Dan dari perintah tegas semacam inilah disimpulkan hukum wajibnya sesuatu. Dengan demikian, meninggalkan riba adalah wajib hukumnya. Bila suatu hal telah diwajibkan untuk ditinggalkan, maka tidak diragukan lagi akan keharamannya.
Kedelapan: Allah menjadikan perbuatan meninggalkan riba sebagai bukti akan keimanan seseorang, dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang tetap memakan riba berarti imannya cacat dan tidak sempurna.
Kesembilan: Allah Ta'ala mengumandangkan peperangan dengan orang-orang yang enggan meninggalkan riba.
Sahabat Ibnu 'Abbas radhiallahu ‘anhu menjelaskan maksud ini dengan berkata, "Yakinilah (wahai para pemakan riba) bahwa Allah dan Rasul-Nya pasti memerangi kalian." (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabary dalam kitab Tafsir-nya, 3/107).
Pada riwayat lain, beliau berkata, "Kelak pada hari Kiamat, akan dikatakan kepada pemakan riba, ‘Ambillah senjatamu untuk berperang (melawan Allah dan Rasul-Nya)." (Idem: 3/101).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Allah Ta'ala menekankan hukum keharaman riba dengan suatu hal yang paling berat dan keras, yaitu berupa peperangan pemakan riba melawan Allah dan Rasul-Nya, Allah Ta'ala berfirman,
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ
Kesepuluh: Allah Ta'ala menyifatkan orang yang berhenti dari memungut riba dan hanya memungut modalnya (uang pokoknya) saja, dengan firman-Nya, "Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." Dari penggalan makna ayat ini dapat dipahami dengan jelas, bahwa orang yang memungut riba, berarti ia telah berbuat zhalim atau aniaya terhadap saudaranya, karena ia telah mengambil sebagian dari hartanya dengan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam syariat.
Kesebelas : Allah Ta'ala menjadikan riba sebagai lawan dari sedekah.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, "Allah Yang Maha Suci telah menyebutkan sikap seluruh manusia dalam hal harta benda pada akhir surat al-Baqarah, yaitu terbagi menjadi tiga bagian: adil, zhalim, dan keutamaan. Keadilan berupa akad jual beli, zhalim berupa perbuatan riba, dan keutamaan berupa sedekah. Kemudian Allah memuji orang-orang yang bersedekah dan menyebutkan pahala mereka, Ia mencela pemakan riba dan menyebutkan hukuman mereka, dan Ia membolehkan jual beli serta hutang-piutang hingga tempo yang telah ditentukan." (I'ilamul Muwaqqi'in oleh Ibnul Qayyim, 2/37.).
Dan di antara dalil dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan akan haramnya riba, ialah hadits berikut:
عن جابر قال: لعن رسول الله صلّى الله عليه و سلّم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: (هم سواء) رواه مسلم
Orang yang dilaknat ialah orang yang dijauhkan atau didoakan agar dijauhkan dari kerahmatan Allah Ta'ala.
Agar kita semua semakin memahami tentang betapa besarnya dosa memakan harta riba, maka saya mengajak pembaca untuk merenungkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut yang menjelaskan kadar dosa memakan harta riba,
(الربا اثنان وسبعون بابا، أدناها مثل إتيان الرجل أمه، وإن أربى الربا استطالة الرجل في عرض أخيه). رواه الطبراني وغيره، وصححه الألباني.
Pada hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(إن الدرهم يصيبه الرجل من الربا أعظم عند الله في الخطيئة من ست وثلاثين زنية يزنيها الرجل، وإن أربى الربا عرض الرجل المسلم) رواه ابن أبي الدنيا في كتاب ذم الغيبة والبيهقي وصححه الألباني
Dalil-dalil di atas hanyalah sebagian dari sekian banyak dalil dari al-Qur'an dan hadits yang dengan tegas mengharamkan riba dengan berbagai bentuknya. Dan berdasarkan dalil-dalil tersebutlah para ulama' mensepakati/berijma' akan keharamannya (baca Maratibul Ijma' oleh Ibnu Hazem al-Andalusi 89, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/52, Mughnil Muhtaj oleh As Syarbiny, 2/21).
Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin rahimahullah berkata, "Keharaman riba telah disepakati oleh ulama, oleh karena itu barang siapa yang mengingkari keharamannya, sedangkan ia tinggal di masyarakat muslim, berarti ia telah murtad (keluar dari agama Islam), karena riba termasuk hal-hal haram yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang serta telah disepekati." (as-Syarhul Mumti' oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, 8/387).
Karena hukum dan dosa riba demikian besarnya, maka sudah semestinya atas setiap orang Islam untuk memahaminya dan mengetahui berbagai transaksi yang tergolong ke dalamnya, agar tidak tergelincir dalam perbuatan dosa besar ini. Terlebih-lebih pada zaman sekarang, dimana ambisi untuk mengeruk harta telah menguasai kebanyakan manusia, sampai-sampai sebagian mereka bersemboyan,
الحلال ما حل في اليد والحرام ما حرم منه اليد
Oleh karena itu, jauh-jauh hari Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu telah berpesan kepada kaum muslimin secara umum,
(لا يتجر في سوقنا إلا من فقه وإلا أكل الربا). ذكره ابن عبد البر بهذا اللفظ.
ورواه مالك والترمذي بلفظ: (لا يبع في سوقنا إلا من قد تفقه في الدين) حسنه الألباني
Dan ucapan beliau ini diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam at-Tirmidzy dengan teks yang sedikit berbeda, "Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita, selain orang yang telah memiliki bekal ilmu agama." Riwayat ini dihasankan oleh al-Albany.
Hal semakna juga ditegaskan oleh Imam al-Qurthuby, "Adapun orang yang bodoh tentang hukum perniagaan,–walaupun perbuatannya tidak dihalangi- maka tidak pantas untuk diberi kepercayaan sepenuhnya dalam mengelola harta bendanya. Yang demikian ini dikarenakan ia tidak dapat membedakan perniagaan yang terlarang dari yang dibenarkan, transaksi yang halal dari yang haram. Sebagaimana ia juga dikawatirkan akan melakukan praktik riba dan transaksi haram lainnya, demikian juga halnya dengan orang kafir yang tinggal di negeri Islam." (Ahkaamul Qur'an oleh Imam al-Qurthuby al-Maaliky, 5/29).
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. –hafizhahullah-
Sumber: www.PengusahaMuslim.com Dipublikasikan ulang oleh: www.faisalchoir.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar