Artikel sebelumnya:
Orang kafir dalam syari’at Islam terbagi empat :
Orang kafir dalam syari’at Islam terbagi empat :
Pertama : Kafir dzimmy
Yaitu orang kafir yang membayar jizyah
(upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka
tinggal di negeri kaum muslimin. Kafir seperti ini tidak boleh dibunuh
selama ia masih menaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada
mereka.
Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut diantaranya firman Allah Al-‘Azîz Al-Hakîm :
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan
shôgirun (hina, rendah, patuh)”. (QS. At-Taubah : 29).
Dan dalam hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا
أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ
بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ
أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ
بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا
وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا
أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى
الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ
هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ
مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
وَقَاتِلْهُمْ
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau
memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan
(berwasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian
beliau berkata : “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah,
bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan
mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan
janganlah melakukan tamtsîl (mencincang atau merusak mayat) dan
janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu
dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang
mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan
tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila
mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan)
terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti)
dari mereka dan apabila
mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap
mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah
kemudian perangi mereka”. [1]
Dan dalam hadits Al-Mughîroh bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَمَرَنَا
رَسُوْلُ رَبِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ
نُقَاتِلَكُمْ حَتَّى تَعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ أَوْ تُؤَدُّوْا
الْجِزْيَةَ
“Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian membayar Jizyah”. [2]
Kedua : Kafir mu’ahad
Yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka
dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah
disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang
mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat.
Allah Jalla Dzikruhu berfirman,
“Maka
selama mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian
berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 7).
Dan Allah berfirman,
“Kecuali
orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan
mereka) dan mereka tidak mengurangi dari kalian sesuatu pun (dari isi
perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi
kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas
waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 4).
Dan Allah Jallat ‘Azhomatuhu menegaskan dalam firman-Nya,
“Jika mereka
merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca
agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu, karena
sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang
janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. At-Taubah : 12).
Dan Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan,
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu)
orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah
itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak
takut (akibat-akibatnya).” (QS. AL-Anfal : 55-56)
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Siapa yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”.[3]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa kata Mu’ahad dalam hadits di atas mempunyai cakupan yang lebih luas. Beliau berkata, “Dan yang diinginkan dengan (Mu’ahad) adalah setiap yang mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin, baik dengan akad jizyah[4], perjanjian dari penguasa[5], atau jaminan keamanan[6] dari seorang muslim.” [7]
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَدًا، أَوِ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيْبِ نَفْسٍ، فَأَنَا حَجِيْجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ingatlah, siapa yang menzholimi seorang mu’ahad,
merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil
sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan
bertikainya pada hari kiamat.” [8]
Ketiga : Kafir musta’man
Yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin
atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh dibunuh
sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan jika
seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan
mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At-Taubah : 6).
Dan dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berpesan,
ذِمَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ
“Dzimmah
(janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu,
diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. [9]
Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : “Yang diinginkan dengan Dzimmah di sini adalah Aman (jaminan keamanan). Maknanya bahwa Aman kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya Aman dari seorang muslim maka haram atas (muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam Amannya.”
Dan dalam hadits Ummu Hani` radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
يَا
رَسُوْلَ اللهِ زَعَمَ ابْنُ أُمِّيْ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلاً قَدْ
أَجَرْتُهُ فَلاَنَ بْنَ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ
هَانِئٍ
“Wahai
Rasulullah anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib,-pent) menyangka bahwa
ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin
Hubairah. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda, “Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani`”.”[10]
Keempat : Kafir harby
Yaitu kafir selain tiga di atas. Kafir jenis inilah yang disyari’atkan
untuk diperangi dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at
Islam.
Demikianlah
pembagian orang kafir telah masyhur dalam uraian para ulama seperti Imam
Empat, Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah, Ibnul Qayyim dan lain-lainnya. Dan
dari ulama masa kini seperti Syaikh Ibnu Baz (w. 1420 H), Syaikh Al-Albany (w. 1420 H), Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy (w. 1422 H), Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (w. 1421 H), Syaikh Sholih Al-Fauzan, Syaikh ‘Abdullah Al-Bassam
(w. 1424 H) dan lain-lainnya. Dan bagi siapa yang menelaah buku-buku
fiqih dari berbagai madzhab akan menemukan benarnya pembagian ini tanpa
perselisihan.
Dan harus kami tegaskan disini, bahwa tiga kafir di atas, yaitu kafir dzimmi, mu’ahad dan musta`man adalah termasuk jiwa yang diharamkan untuk dibunuh sebagaimana yang telah lalu, dan sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya,
“Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am : 151)
Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy rahimahullah, “Dan firman-Nya “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar” dia adalah jiwa muslim, baik laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, dan (jiwa) kafir yang terlindung dengan perjanjian dan keterikatan.”
Dan berkata Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimîn rahimahullah, “Dan jiwa yang diharamkan oleh Allah adalah jiwa yang terjaga, yaitu jiwa seorang muslim, (kafir) dzimmi, mu’ahad dan mus`tamin.” [11]
Dan berkata guru kami, Syaikh Sholih Al-Fauzan hafizhohullah, “Jiwa yang diharamkan oleh Allah adalah jiwa mukmin. Dan demikian pula jiwa mu’ahad, walaupun dia kafir namun Allah mengharamkan membunuh jiwa mukminin dan juga mengharamkan membunuh jiwa para mu’ahad dari kaum kuffar yang ada perjanjian dengan kaum muslimin dalam masalah dzimmah atau jaminan keamanan. Dzimmah adalah mereka membayar jizyah
atau mereka yang masuk ke negara kita dengan jaminan keamanan. Tidak
boleh membunuh dan melampaui batas terhadap mereka, karena mereka berada
dalam dzimmah kaum muslimin dan dalam jaminan keamanan kaum muslimin. Tidak boleh mengkhianati dzimmah kaum muslimin, karena itu datang dalam hadits “Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium baunya sorga.”.” [12]
Dan berikut ini beberapa pernyataan para ulama umat.
Berkata Ibnu ‘Abddil Barr (w. 463 H) rahimahullah,
“Dan saya tidak mengetahui ada silang pendapat di kalangan para ulama
bahwa siapa yang memberi jaminan keamanan kepada seorang kafir harby
dengan bentuk pernyataan yang dipahami bahwa ia memberi keamanan, maka
telah (terjalin) sempurna jaminan keamanan untuknya. Dan kebanyakan para
ulama berpendapat bahwa walaupun sekedar isyarat, namun dipahami, maka
hal itu terhitung jaminan keamanan sebagaimana halnya pernyataan.” [13]
Dan berkata Ibnul Qayyim rahimahullah,
“Adapun (kafir) musta`man, ia adalah orang yang masuk ke negara kaum
muslimin bukan untuk menetap padanya. Mereka ini empat macam; (1) para
utusan, (2) para pedagang, (3) orang-orang yang meminta perlindungan
untuk dihadapkan kepadanya keislaman dan Al-Qur`an, kalau
mereka ingin, mereka masuk ke dalam (Islam), dan kalau mereka ingin,
mereka ke negeri mereka, (4) serta orang-orang yang punya hajat berupa
kunjungan dan selainnya. Hukum terhadap mereka adalah tidak boleh
diboikot, tidak boleh dibunuh, tidak boleh dipungut jizyah darinya, dan
terhadap orang-orang yang meminta perlindungan agar diperlihatkan kepada
mereka keislaman dan Al-Qur`an, kalau mereka masuk
(Islam), maka itu (yang diinginkan), kalau mereka ingin kembali kepada
keamanannya (negaranya,pent.), mereka dibiarkan kembali.” [14]
Berkata Imam Asy-Syaukany (w. 1250 H) rahimahullah, “Mu’ahad adalah seorang kafir harby
yang masuk ke negeri Islam dengan jaminan keamanan, maka haram terhadap
kaum muslimin untuk membunuhnya hingga ia kembali kepada keamanannya
(negaranya) tanpa ada silang pendapat di kalangan penganut Islam.” [15]
Dan banyak lagi
ucapan para ulama dalam masalah ini, sangatlah panjang untuk menyebutkan
seluruhnya. Namun kami akan menutup pembahasan pembagian orang kafir
ini dengan beberapa fatwa para ulama abad ini, selain dari apa yang
telah disebutkan. Wallahul Musta’an.
Fatwa Syaikh Ibnu Baz Tentang Mengganggu Turis Dan Tamu Asing
Dalam kumpulan fatwa-fatwa beliau jilid 8 halaman 229, beliau ditanya,
“Apa hukum menganiaya turis-turis asing dan para tamu di negeri-negeri Islam?”.
Beliau menjawab,
“Ini tidak boleh, menganiaya siapa saja tidak boleh. Apakah itu para turis atau para pekerja, karena mereka adalah musta’man
(orang yang mendapat jaminan keamanan dari pemerintah). Mereka masuk
dengan jaminan keamanan, maka tidak boleh menganiaya mereka. Tetapi
pemerintah hendaknya dinasehati sehinga melarang apa-apa yang tidak
patut untuk ditampakkan. Adapun menganiaya mereka, maka itu tidak boleh.
Adapun individu-individu manusia, tidak ada hak bagi mereka untuk
membunuh, memukul dan menyakiti mereka (para turis tersebut), bahkan
kewajiban mereka untuk mengangkat perkara (yang perlu diperbaiki menurut
pandangan mereka,-pent.) kepada pemerintah, karena menganiaya mereka
adalah berarti menganiaya orang-orang yang telah masuk dengan jaminan
keamanan. Maka tidak boleh menganiaya mereka akan tetapi perkara mereka
diangkat kepada orang yang mampu menahan masuknya mereka atau menahan
mereka dari kemungkaran yang zhohir. Adapun menasehati dan mendakwahi
mereka kepada Islam atau meninggalkan kemungkaran apabila mereka telah
muslim, maka itulah perkara yang diinginkan. Dalil-dalil syari’at
meliputi hal-hal tersebut. Wallahul Musta’an wa la Haula wa la Quwwata Illa billah, serta shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarganya dan para shahabatnya.”
Keputusan Haiah Kibarul Ulama Saudi Arabia 13/7/1417 H
“Jiwa yang
terjaga dalam hukum syari’at Islam adalah semua (jiwa) muslim atau semua
(kafir) yang antara dia dengan kaum muslimin ada aman (jaminan keamanan) sebagaimana firman (Allah) Ta’ala :
“Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya
ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisa` : 93)
Dan (Allah) Subhanahu berfirman tentang hukum kafir dzimmy yang terbunuh tanpa sengaja,
“Dan jika ia
(si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba
sahaya yang mukmin”. (QS An-Nisa` : 92)
Maka jika kafir
dzimmy yang memiliki jaminan keamanan, bila dibunuh tanpa sengaja
padanya ada diyah dan kaffarah, maka bagaimana pula jika dibunuh dengan
sengaja?, tentunya kekejiannya lebih hebat dan dosanya lebih besar. Dan
telah shohîh dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang membunuh kafir mu’ahad maka dia tidak akan mencium baunya Surga”. HR. Al-Bukhary.[16]
Maka tidak boleh
mengganggu (kafir) musta`man, apalagi membunuhnya seperti (yang terjadi
pada) kekejian yang besar dan mungkar ini. Dan ini adalah ancaman yang
keras terhadap siapa yang membunuh (kafir) mu’ahad, dan
sesungguhnya hal itu termasuk dari dosa-dosa besar yang diancam dengan
tidak masuknya si pembunuh ke dalam Surga, kita berlindung kepada Allah
dari segala kehinaan.”
Fatwa Syaikh Al-Albany Tentang Mengganggu turis Asing
Beliau berkata
dalam sebuah kaset terekam, “Apabila seorang kafir dari para pesiar atau
turis tersebut masuk, mereka tidaklah masuk ke negara kita yang Islamy
kecuali dengan izin dari seorang hakim (penguasa) muslim. Karena itu,
tidak boleh melampaui batas terhadapnya, sebab ia adalah seorang (kafir)
mu’ahad. Kemudian andaikata hal tersebut terjadi, -dan
telah terjadi lebih dari sekali dimana seorang muslim melampaui batas
terhadap salah seorang dari mereka-, maka akibat hal tersebut dia akan
terbunuh atau lebih dari itu, atau ia dipenjara, atau …, atau …,
sehingga pelampauan batas terhadap darah pesiar seperti ini dan di
negeri Islam tidaklah tercapai dibelakangnya suatu manfaat islamy,
bahkan ia telah menyelisihi hadits yang telah lalu penyebutannya,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا فِيْ كُنْهِهِ - أَيْ فِيْ عَهْدِهِ وَأَمَانِهِ- فَلَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Siapa yang membunuh (kafir) mu’ahad dalam kunhi-nya –yaitu dalam penjanjian dan jaminan keamanan padanya-, maka ia tidak akan mencium baunya sorga.[17]” [18]
[1] Telah berlalu takhrijnya.
[2] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3158.
[3] Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 3166, 6914, An-Nasa`i 8/25 dan Ibnu Majah no. 2686.
[4] Yaitu kafir Dzimmi.
[5] Yaitu kafir Mu’ahad.
[6] Yaitu kafir Musta`man.
[7] Fathul Bary 12/259.
[8] Hadits riwayat Abu Daud no. 3052 dan Al-Baihaqy 9/205. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadîts Ash-Shohîhah no. 445.
[9] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3179, 6755, 7300, Muslim no. 1370, Abu Daud no. 2034 dan At-Tirmidzy no. 2132.
[10] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 357, 3171, 6158 dan Muslim 1/517-518 no. 337 (Kitab Shalatul Musafirîn wa Qashriha).
[11] Al-Qaul Al-Mufîd 1/38.
[12] I’anatul Mustafîd 1/33.
[13] Al-Istidzkar 5/36.
[14] Ahkam Ahludz Dzimmah 2/475.
[15] Nailul Author 7/155.
[16] Telah berlalu takhrijnya, -pen.
[17] Dikeluarkan oleh Ath-Thayalisi no. 879, Ahmad 5/36, 38, Ad-Darimy 2/308, Ibnu Abi Syaibah 5/457, Ibnul Jarûd no. 835, 1070, Abu Daud no. 2760, An-Nasa`i 8/24, Al-Hakim 2/142 dan Al-Baihaqi 9/231 dari Jalan ‘Uyainah bin Abdurrahman dari ayahnya dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. Dan dishohîhkan oleh Al-Albani dalam Shohîh Abi Daud dan Shohîh An-Nasa`i dan guru kami, Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad 2/248 no. 1183 (cet. Pertama). -pen.
[18] Demikian ucapan beliau dari sebuah kaset rekaman, kami dinukil dengan perantara kitab “Al-Qaul Al-Amîn fii Tahdzîril Muslimîn Minal I’tida` ‘Alal Mu’ahadin Wal Musta`manîn” karya Sholih Al-Bakry.
Sumber: www.jihadbukankenistaan.comDownload Versi E-Book disini.
0 komentar:
Posting Komentar