Maka melalui goresan pena ini, kami berusaha mengetengahkan kepada para pembaca yang budiman secara ringkas masalah jihad yang kerap dipahami tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam syariat Islam. Mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam meredam berbagai kesalahan persepsi dalam masalah ini. Amiin. Yaa.. Mujibas-Sa-ilin.
Sebelum menguraikan beberapa prinsip penting yang berkaitan dengan jihad, ada baiknya kalau kita menyimak definisi jihad dalam keterangan berikut ini.
Definisi Jihad
Berkata Ar-Raghib Al-Ashbahâny (w. 502 H) rahimahulläh menerangkan hakikat jihad, “(Jihad) adalah bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawan musuh dengan tangan, lisan, atau apa saja yang ia mampu. Dan (jihad) itu adalah tiga perkara; berjihad melawan musuh yang nampak, syaithan dan diri sendiri. Dan ketiganya (tercakup) dalam firman (Allah) Ta’âlâ,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulläh berkata, “Jihad kadang dengan hati seperti berniat dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya, atau dengan berdakwah kepada Islam dan syari’atnya, atau dengan menegakkan hujjah (argumen) terhadap penganut kebatilan, atau dengan ideologi dan strategi yang berguna bagi kaum muslimin, atau berperang dengan diri sendiri. Maka jihad wajib sesuai dengan apa yang memungkinkannya.” [2]
Adapun secara terminologi, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan, “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir.” [3]
Dalam Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, disebutkan kesimpulan para ahli fiqih bahwa jihad secara istilah adalah muslim memerangi kafir yang tidak dalam perjanjian damai, setelah didakwahi dan diajak kepada Islam, guna meninggikan kalimat Allah.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar menjelaskan, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.” [4]
Dan tidak ada silang pendapat di kalangan para ulama tentang disyari’atkannya jihad fi sabîlillâh. Al-Qur`ân dan As-Sunnah penuh dengan nash-nash yang menunjukkan syari’at jihad, anjuran dan keutamaannya.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Rabb mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. At-Taubah : 20-22)
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kalian Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang pedih? (yaitu) kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Itulah yang lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kalian) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kalian sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Ash-Shoff : 10-14)
Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
Dan nash-nash dalam hal ini sangat banyak. Dan disini kami hanya mengisyaratkan akan keutamaan ibadah yang sangat agung ini. Wallâhul Musta’ân.
Satu : Jihad memerangi musuh hanyalah salah satu sarana dan dakwah untuk menegakkan agama Allah di muka bumi, bukan tujuan utama.
Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfâl : 39)
Berkata Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’dy (w. 1376 H) rahimahullâh menafsirkan ayat di atas, “Kemudian (Allah) Ta’âlâ menyebutkan maksud dari berperang di jalan-Nya, dan bukanlah maksud dari berperang itu menumpahkan darah orang-orang kafir dan mengambil harta-harta mereka, akan tetapi maksudnya adalah supaya agama semata milik Allah sehingga nampaklah agama Allah Ta’âlâ di atas segala agama, dan tersingkirlah segala hal yang menentangnya berupa kesyirikan dan selainnya, dan itulah fitnah yang diinginkan (dalam ayat ini). Apabila maksud tersebut telah tercapai maka tidak ada pembunuhan dan tidak ada peperangan.”
Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) rahimahullâh, “Maka (dijatuhkannya) hukuman adalah terhadap yang meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melakukan hal-hal yang diharamkan, dan itu adalah maksud dari jihad di jalan Allah.” [2]
Dan berkata Ibnul Qayyim (w. 751 H) rahimahullâh, “Karena untuk (menegakkan) tauhid inilah, pedang-pedang jihad terhunus.” [3]
Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas bahwa jihad bukanlah maksud utama yang harus terlaksana pada segala keadaan, akan tetapi jihad itu hanyalah suatu sarana dan dakwah untuk mencapai suatu maksud yang agung, yaitu meninggikan agama Allah dan mengikhlashkan segala peribadatan murni hanya untuk Allah semata.
Andaikata jihad merupakan tujuan utama maka tidaklah kewajiban jihad itu gugur dengan pembayaran jizyah dari orang-orang kafir kepada kaum muslimin. Namun Allah menggugurkan kewajiban jihad melawan orang kafir bila mereka telah membayar jizyah (upeti) kepada kaum muslimin. Sebagaimana dalam firman-Nya,
Dua : Tidak ada perang terhadap orang kafir yang belum mendengar dakwah Islam kecuali setelah menawarkan keislaman kepada mereka atau membayar jizyah.
Hal ini berdasarkan hadits Buraidah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
Tiga : Tidak ada perang terhadap mereka yang mengumandangkan adzan dan menegakkan sholat.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu,
Cermatilah hadits di atas dan perhatikan keadaan sebagian orang yang melakukan aksi-aksi peledakan dan bom bunuh diri di tengah kaum muslimin, di tengah negeri yang dikumandang adzan dan ditegakkan sholat lima waktu padanya.
Wahai betapa menyedihkannya, dimana naluri dan akal mereka, apakah hal tersebut terhitung jihad???.
Empat : Izin kepada orang tua dalam jihad.
Perlu diketahui bahwa hukum jihad adalah kadang-kadang fardhu kifayah dan kadang fardhu ‘ain. Bertolak dari sini para ulama membedakan antara hukum minta izin dalam jihad yang fardlu ‘ain dan jihad yang fardlu kifayah.
Apabila jihad itu fardlu kifayah atau jihad tathawwu’, maka diwajibkan izin kepada orang tua dan diharamkan berangkat tanpa izin keduanya Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh radhiyallâhu ‘anhumâ, beliau berkata,
Berbakti kepada orang tua hukumnya adalah fardhu ‘ain. Sehingga ia lebih didahulukan terhadap jihad yang hukumnya hanya fardlu kifayah.
Adapun bila jihad itu fardlu ‘ain, maka tidak disyaratkan mendapat izin dan restu dari orang tua. Walaupun dua amalan ini; jihad dan berbakti kepada orang tua merupakan fardlu ‘ain, akan tetapi jihad lebih didahulukan karena mashlahatnya yang lebih besar, yang mana dengan jihad ini terjaganya Dinul Islam dan sekaligus pembelaan terhadap kaum muslimin. Dan juga meninggalkan jihad di saat ia merupakan fardlu ‘ain adalah suatu kemaksiatan, sedangkan tidak ada ketaatan pada orang tua dalam bermaksiat kepada Allah. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menegaskan,
Apabila jihad itu fardhu kifâyah, para ulama berbeda pendapat apakah harus minta izin kepada orang tua yang masih dalam keadaan kafir atau tidak. Jumhur ulama berpendapat tidak diharuskan minta ijin kepada orang tua yang masih kafir. Di versi lain, Imam Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H) rahimahullâh mengharuskan minta izin.
Dan yang kuat menurut kami adalah apa yang dikatakan oleh Imam Al-‘Auzâ’iy (w. 157 H), “Apabila ibu melarang anaknya dengan maksud untuk melemahkan Islam, maka jangan ditaati dan apabila ia melarang anaknya untuk melaksanakan kebutuhannya, maka hendaklah ia tetap bersamanya.”
Kami menguatkan hal ini karena perintah berbakti kepada orang tua datang dalam bentuk umum dalam nash Al-Qur`ân dan As-Sunnah, tidak membedakan antara orang tua yang muslim maupun kafir. Dan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallâhu ‘anhumâ di atas berlaku umum dan tidak dibedakan antara orang tua yang bebas maupun budak, maka hukum meminta izin pada jihad fardlu kifayah tetap berlaku. [8]
Lima : Syari’at jihad akan tetap berlanjut hingga hari kiamat.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,
Dan dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
Mendengar hal tersebut, ‘Abdullâh bin ‘Amr bin ‘Âsh radhiyallâhu ‘anhumâ membenarkan dan menimpalinya,
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa jihad akan tetap berlanjut pada setiap masa hingga hari kiamat. Dan kaum muslimin tidak akan terputus dalam menunaikan tugas mulia tersebut hingga angin lembut yang penuh dengan semerbak keharuman tersebut mencabut nyawa orang-orang yang beriman. Namun perlu diingat bahwa yang diinginkan dengan jihad disini adalah jihad dalam pengertiannya yang umum dan mencakup seluruh jenis jihad yang disyari’atkan. Maka disaat ada kemampuan dan kekuatan, ditegakkanlah jihad secara fisik dengan persenjataan lengkap, adapun disaat lemahnya kemampuan dan kekuatan kaum muslimin, maka yang ditegakkan adalah jihad dengan hujjah dan argument atau paling minimalnya kebencian terhadap kekufuran di dalam hatinya.
Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam mengabarkan firman Allah dalam hadits Qudsi,
Wallâhul Muwaffiq.
- Pertama : Jihâdun Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri sendiri)
- Kedua : Jihâdusy Syaithôn (Jihad melawan syaithôn)
- Ketiga : Jihâdul Kuffâr wal Munâfiqîn (Jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munâfiqîn)
- Keempat : Jihâd Arbâbuzh Zholmi wal Bida’ wal Munkarât (Jihad menghadapi orang-orang zholim, ahli bid’ah, dan pelaku kemungkaran)
Dan perlu diingat, bahwa junjungan kita yang mulia, Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam adalah orang yang berada pada tingkatan tertinggi dalam jihad fi sabilillah, dimana beliau telah berjihad di jalan-Nya dengan sebenar-benar jihad, dan beliau telah melaksanakan seluruh bentuk jihad yang ada, dan mewaqafkan seluruh detik-detik kehidupannya untuk berjihad, baik dengan hati, lisan maupun dengan tangannya. Karena itulah beliau yang paling tinggi derajatnya dan termulia nilai dan kedudukannya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. [1]
1. Jihâdun Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri)
Syari’at Jihadun Nafs ini diterangkan pentingnya dalam hadits Fudhâlah bin ‘Ubaid radhiyallâhu ‘anhu, dimana Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
Jihâdun Nafs ini mempunyai empat tingkatan :
Tingkatan pertama : Jihad memperbaiki diri dengan mempelajari ilmu syari’at; Al-Qur’ân dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaf.
Karena Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan untuk mempelajari agama dan menyiapkan pahala yang sangat besar bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang berilmu. Allah Jalla Jalâluhu berfirman,
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
Tentunya dalil-dalil tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu sangatlah banyak. Silahkan baca kitab Miftâh Dârus Sa’âdah 1219-496.
Tingkatan kedua : Berjihad dalam mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya.
Allah Ta’âlâ berfirman,
Dan siapa yang beramal dengan ilmunya, maka Allah Jalla Tsanâ`uhu akan memberikan kepadanya ilmu yang ia tidak ketahui. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Ta’âlâ dalam firman-Nya,
Dan tidak beramal dengan ilmu merupakan sebab terlantar dan hilangnya ilmu tersebut, sebagaimana dalam firman-Nya,
Karena mereka melanggar janji yang mereka ketahui dan menelantarkannya, maka Allah Ta’âlâ menjadikan mereka kehilangan dari sebagian ilmu yang mereka ketahui.
Tingkatan ketiga : Berjihad dalam mendakwahkan ilmu tersebut.
Allah Jalla Sya`nuhu berfirman,
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
Kemudian berdakwah di jalan Allah tentunya harus dengan ilmu dan bashirah, sebagaimana perintah Allah kepada Rasul-Nya,
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengingatkan dalam firman-Nya yang mulia,
2. Jihâdusy Syaithân (Jihad melawan syaithân)
Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya yang agung,
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullâh berkata : “Perintah (Allah) untuk menjadikan syaithân sebagai musuh merupakan peringatan (akan harusnya) mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi dan berjihad melawan (syaithân). Karena ia laksana musuh yang tidak kenal letih, dan tidak pernah kurang memerangi seorang hamba dalam selang beberapa (tarikan) nafas.” [5]
Kemudian syaithân memerangi manusia untuk merusak agama dan ibadah mereka kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dengan dua cara :
Pertama : Melemparkan berbagai keraguan dan syubhat yang membahayakan keimanan seorang hamba.
Keraguan yang dilemparkan oleh syaithân ini kadang berbentuk keraguan dalam Dzat Allah Ta’âlâ sebagaimana dalam hadits Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,
Kedua : Memberikan kepadanya berbagai keinginan syahwat sehingga manusia mengikuti hawa nafsunya, walaupun dalam bermaksiat kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
Allah Jalla Jalâluhu menjelaskan hal tersebut dalam firman-Nya,
Maka menghadapi syaithân dengan dua serangannya di atas merupakan dua tingkatan jihad dalam hal ini. Untuk itu, manusia perlu mempersiapkan dua senjata dalam dua tingkatan jihad tersebut guna mengobarkan peperangan menghadapi syaithân yang durjana.
Dua senjata tersebut bisa kita ambil dari firman-Nya,
Dalam ayat di atas, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengabarkan bahwa kepemimpinan dalam agama bisa dicapai dengan dua perkara :
- Dengan kesabaran, yang mana kesabaran ini merupakan senjata ampuh untuk menangkis berbagai macam keinginan syahwat yang dilontarkan oleh syaithân.
- Dengan keyakinan, yang mana keyakinan ini adalah senjata yang paling kuat guna menghancurkan berbagai macam keraguan dan syubhat yang disusupkan oleh syaithân. Tidaklah seseorang sampai ke derajat yakin kepada ayat-ayat Allah kecuali setelah ia berilmu, mempelajari dan menelaahnya.
3. Jihâdul Kuffâr wal Munâfiqîn (Jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munâfiqîn)
Jihad melawan orang-orang kafir termasuk jihad yang paling banyak disebutkan dalam nash-nash Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Dan jihad terhadap kaum munâfiqîn adalah memerangi orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekufuran di dalam hatinya. Jihâdul munâfiqîn ini tidak kalah pentingnya dari jihad-jihad yang disebutkan sebelumnya karena terlalu banyak orang yang ingin menghancurkan Islam dari dalam, dengan merusak, memutarbalikkan ajaran Islam atau menjadikan kaum muslimin ragu terhadap Dien mereka yang mulia.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
Berjihad menghadapi mereka dengan empat tingkatan :
- Memerangi mereka dengan menanamkan kebencian di dalam hati terhadap perilaku, kesewenang-wenangan mereka dan sikap mereka yang menodai kemuliaan syari’at Allah Azzat ‘Azhomatuhu.
- Memerangi mereka dengan lisan dalam bentuk menjelaskan kesesatan mereka dan menjauhkan mereka dari kaum muslimin.
- Memerangi mereka dengan menginfakkan harta dalam mendukung kegiatan-kegiatan untuk mematahkan segala makar jahat dan permusuhan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.
- Memerangi mereka dalam arti yang sebenarnya, yaitu dengan membunuh mereka kalau terpenuhi syarat-syarat yang disebutkan oleh para ulama dalam perkara tersebut.
- Berjihad dengan tangan. Dan ini bagi siapa yang mempunyai kemampuan untuk merubah dengan tangannya, sesuai dengan batas kemampuan yang Allah berikan kepada mereka.
- Berjihad dengan lisan (nasehat). Dan hal ini juga bagi siapa yang punya kemampuan merubah dengan lisannya.
- Berjihad dengan hati. Yaitu mengingkari kezholiman, bid’ah dan kemungkaran yang ia lihat bila ia tidak mampu merubahnya dengan tangan atau lisannya.
Demikian tiga tingkatan jihad dalam maknanya yang umum. Dan menurut Ibnul Qayyim rahimahullâh, tiga belas tingkatan di atas semuanya tercakup dalam hadits Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,
Kemudian kami ingatkan disini, bahwa keterangan-keterangan di atas adalah bantahan terhadap mereka yang membatasi jihad hanya dalam Jihâdun Nafs dan Jihâdusy Syaithân atau mereka yang menganggap bahwa dua jihad inilah yang merupakan jihad terbesar dan mengecilkan makna jihad yang lainnya. Harus kami tegaskan disini, bahwa jihad dengan seluruh pembagian dan tingkatan-tingkatannya di atas, semuanya adalah penting dalam syari’at, dan kadang sebahagiannya lebih penting dari sebahagian yang lainnya pada kondisi, keadaan, atau waktu tertentu.
Adapun yang laris dikalangan banyak penceramah, khatib jum’at dan masyarakat umum bahwa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berucap ketika kembali dari perang Tabuk dengan konteks:
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahulläh berkomentar tentang hadits di atas dalam Majmû’ Al-Fatâwâ 11/197, “La ashla lahu [9] (hadits tidak asalnya), dan tidak seorangpun dari Ahlul Ma’rifah (orang-orang yang punya pengetahuan) terhadap ucapan-ucapan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam dan perbuatannya yang meriwayatkannya. Dan jihad (melawan) orang kafir adalah termasuk amalan yang paling agung bahkan ia seutama-utama yang seorang insan bertathawu’ (beribadah sunnah) dengannya…”.
Hal yang serupa dikemukakan oleh Syaikh Muhammad ‘Amr bin ‘Abdul Lathîf hafizhohulläh dalam Tabyîdh Ash-Shohîfah Bi Ushûl Al-Ahâdîts Adh-Dho’îfah hal 76 hadits no. 25.
Dan asal hadits di atas adalah ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ublah (w. 152 H) sebagaimana dalam biografi beliau dari kitab Tahdzîbul Kamâl karya Al-Hâfizh Al-Mizzy (w. 742 H) dan Siyar A’lâm An-Nubalâ` karya Al-Hâfizh Adz-Dzahaby (w. 748 H). Berkata Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Tasdîdul Qaus sebagaimana dalam Kasyful Khafâ` 1/434-435/1362 karya Al-‘Ajlûny (w. 1162 H), “Ia (hadits ini) adalah masyhur pada lisan-lisan manusia dan ia adalah dari ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ublah dalam Al-Kunâ karya An-Nasâ`i (w. 303 H).”
Dan Syaikh Muhammad ‘Amr bin ‘Abdul Lathif menyebutkan bahwa perkataan Ibrahim bin Abi ‘Ublah diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asâkir dari jalan An-Nasâ`i dan beliau menghasankan sanadnya.
Adapun konteks yang termaktub dalam buku-buku hadits, adalah dengan konteks lain. Berkata Ibnu Rajab (w. 795 H) dalam Jâmi’ul ‘Ulûm Wal Hikam hal. 369 (Tahqîq Thôriq bin ‘Iwadhullah) : “Ini diriwayatkan secara marfû’ dari hadits Jâbir dengan sanad yang lemah, dan lafazhnya :
Dan Syaikh Al-Albâny (w. 1420 H) rahimahullâh menyebutkan hadits di atas dalam Silsilah Ahâdîts Adh-Dha’îfah no. 2460 dan memberikan vonis terhadap hadits tersebut sebagai hadits “Mungkar”. [10]
- Tidak punya sanad sama sekali.
- Tidak mempunyai asal secara marfû’ dari ucapan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, tetapi mungkin mempunyai asal dari ucapan selain beliau.
- Tidak punya asal dalam hadits yang shohîh, tetapi mungkin ada asalnya dari jalan hadits yang lemah yang tidak bisa saling menguatkan.
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak berangkat berjihad dan tidak mempunyai udzur untuk tidak berangkat dianggap tidak berdosa karena telah ada sebagian dari kaum muslimim yang berjihad.
Dan Allah Ta’ala juga menjelaskan tentang hukum asal ini,
Jadi hukum asal dari jihad melawan orang-orang kafir adalah fardhu kifayah. Namun perlu diketahui bahwa hukum tersebut bukanlah hukum tetap karena ia bisa berubah menjadi fardhu ‘ain dalam keadaan-keadaan tertentu.
Ada empat keadaan jihad melawan orang-orang kafir menjadi fardhu ‘ain :
Pertama : Apabila imam/pimpinan kaum muslimin dalam sebuah negara memerintah secara umum kepada penduduknya untuk berjihad, maka wajib atas mereka seluruhnya untuk berangkat berjihad bersamanya. Atau pemerintah menunjuk orang-orang tertentu untuk berangkat berjihad, maka wajib atas mereka yang telah ditentukan untuk berangkat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Di ayat yang lain, Allah Jalla Jalaluhu menegaskan,
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
Yang dimaksudkan dengan imam adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negeri. Imam ini tidak disyaratkan sebagai imam umum bagi seluruh kaum muslimin dalam pengertian sebagai khalifah, bahkan hukum ini juga berlaku bagi imam dalam pengertian sebagai pimpinan suatu negara. Imam umum bagi kaum muslimin telah tenggelam sejak beberapa masa yang lalu. Juga banyak hadits menunjukkan wajibnya taat pada pemerintah muslim datang dalam bentuk umum, tidak mengkhususkan imam dalam pengertian sebagai khalifah saja.[2]
Kedua : Apabila pasukan kaum muslimin telah berhadapan dengan pasukan kafir, maka diharamkan untuk mundur atau lari. Dalam hal ini jihad menjadi fardhu ‘ain atas setiap individu dalam pasukan kaum muslimin yang hadir di front tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya,
Ayat di atas menunjukkan haram melarikan diri atau mundur dari medan pertempuran, dan yang melakukannya telah menanggung dosa yang amat besar, kecuali kalau mundurnya tersebut dalam dua keadaan :
- Berbelok untuk menyusun strategi pertempuran, seperti mundur dari tempat yang sempit ke tempat yang luas, atau kalau ada mashlahat mundur dari tempat yang luas ke tempat sempit dan seterusnya.
- Hendak menggabungkan diri dengan pasukan lainnya, baik pasukan lain tersebut lebih banyak atau sedikit, dalam jarak jauh maupun dekat.
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan bahwa lari dari medan pertempuran adalah dosa besar,
Jadi dalam posisi seperti ini jihad menjadi fardhu ‘ain atas setiap individu pasukan kaum muslimin yang telah berhadapan dengan pasukan orang-orang kafir dalam suatu front pertempuran, walaupun hukum jihad tersebut asalnya adalah fardhu kifayah.
Mungkin dari keterangan di atas, akan muncul dalam benak para pembaca suatu pertanyaan, yaitu apabila pasukan musuh berlipat ganda jauh di atas kaum muslimin, apakah tetap tidak boleh lari atau bagaimana?
Jawabannya sebagai berikut,
Perhatikan ayat 45 dari surah tersebut,
Nash di atas adalah pernyataan tegas akan wajibnya kaum muslimin bersabar menghadapi musuh dan tetap kokoh dengan penuh ketegaran dalam menghadapi lawan mereka berapapun jumlah dan kekuatannya.
Kemudian keumuman ayat di atas dikhususkan lagi kandungan dalam suatu jumlah tertentu,
Kemudian jumlah tersebut diperkecil lagi dalam ayat setelahnya,
Turjumanul Qur`an, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkomentar tentang dua ayat di atas, “Tatkala turun ayat “Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kalian, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”, Allah Ta’ala mewajibkan atas dua puluh orang dari kaum muslimin untuk tidak lari menghadapi dua ratus orang musuh (1 : 10,-pent.). Kemudian Allah menurunkan firman-Nya “Sekarang Allah telah meringankan kepada kalian dan Dia telah mengetahui bahwa pada kalian ada kelemahan. Maka jika ada di antara kalian seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang”, Maka Allah meringankan beban mereka dan memerintah kepada seratus orang kaum mukminin untuk tidak lari menghapi dua ratus orang kafir (1 : 2, -pent.).” [4]
Jadi kalau perbandingan antara kaum muslimin dan musuh masih satu banding dua, maka diharamkan atas kaum muslimin untuk melarikan diri. Adapun kalau kaum muslimin dan musuh satu banding tiga atau lebih, maka Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkomentar,
Apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ini walaupun secara zhahir berbentuk mauqûf[6], akan tetapi ia mempunyai hukum marfû’[7] sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullah.[8]
Bertolak dari keterangan di atas, para ulama membolehkan melarikan diri apabila perbandingan kaum muslimin dan musuh satu banding tiga atau lebih. Namun dengan rincian sebagai berikut,
Ketiga: Apabila musuh menyerang suatu negeri, maka wajib ‘ain atas setiap penduduk negeri tersebut untuk menghadapinya dan membela diri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmû’ Al-Fatawa 28/358-359 mengatakan, “Apabila musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka menghadang mereka adalah wajib atas orang-orang yang diserang langsung, dan juga wajib atas orang yang belum diserang untuk membantu saudara mereka, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
“Jika (saudara-saudaramu) meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kalian dengan mereka.” (QS. Al-Anfal : 72).”
Dan juga hal ini masuk dalam keumuman makna firman-Nya,
Keempat : Apabila seseorang dibutuhkan dan tidak didapatkan orang yang mampu menjalankannya selainnya.
Ketentuan wajib ‘ain disini dipetik dari kata fardhu kifayah yang artinya apabila telah dikerjakan oleh jumlah yang cukup dari kaum muslimin, maka gugurlah dosa dari sebahagian yang lainnya. Ini menunjukkan bila kekuatan belum mencukupi, atau dibutuhkan sejumlah orang untuk melengkapi jihad tersebut, maka kewajiban masih berada di pundak kaum muslimin dan dosa belum digugurkan atas yang lainnya. [10]
Sumber: www.jihadbukankenistaan.com
Download Versi E-Book disini.
0 komentar:
Posting Komentar