Penjelasan
tentang pembagian jihad melawan orang-orang kafir dalam front fisik
termasuk hal yang terpenting dalam masalah jihad ini. Telah tercatat
dalam sejarah dari masa ke masa, kebanyakan orang yang salah melangkah
dalam masalah jihad adalah disebabkan oleh ketidakpahaman mereka tentang
pembagian jihad melawan orang-orang kafir di front fisik ini. Dan ini
adalah suatu ketergelinciran yang sangat besar, padahal pembagian
tersebut sangatlah jelas dalam buku-buku fiqih yang menerangkan tentang
masalah jihad, dan pembicaraan para ulama dalam masalah jihad semenjak
dahulu hingga sekarang tidak keluar dari pembagian tersebut.
Jihad melawan orang-orang kafir secara fisik terbagi dua :
Pertama : Jihad thalab atau jihad hujum
(jihad menyerang). Yaitu kaum muslimin yang memulai menyerang
orang-orang kafir setelah memberikan kepada mereka tawaran masuk Islam
atau membayar jizyah (upeti).
Dalil-dalil tentang hal ini jelas dari sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Yaitu tatkala beliau berada di Madinah, beliau mengirim pasukan dan
bala tentara untuk menyeru manusia ke dalam Islam, dimana pengobaran
peperangan dibangun di atas hal tersebut. Bahkan beliau menegaskan,
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي
دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ
عَلَى اللَّهِ
“Saya
diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa “Tiada
yang berhak diibadahi selain Allah dan sungguh Muhammad adalah Rasul
Allah”, menegakkan sholat dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka telah
melakukan hal tersebut maka terjagalah darah dan harta mereka kecuali
dengan Islam dan hisab mereka disisi Allah.” [1]
Ini adalah nash yang sangat tegas tentang disyari’atkannya jihad hujum. Dan sejumlah ayat dan hadits yang telah berlalu penyebutannya, juga termasuk nash umum yang menganjurkan untuk menegakkan jihad hujum ini.
Dan jihad hujum ini hanya disyari’atkan bila terpenuhi tiga syarat [2] :
- Dipimipin oleh seorang kepala negara.
- Mempunyai kekuatan yang cukup.
- Kaum muslimin mempunyai wilayah/negara kekuasaan
Syarat Pertama: Dibawah kepemimpinan seorang Imam (pemimpin) muslim.
Telah dijelaskan dalam sejumlah dalil bahwa jihad hujum harus di bawah kepemimpinan seorang Imam (pemimpin) muslim. Diantara dalil-dalil tersebut, adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ
وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ
فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ
وَيُتَّقَى بِهِ
“Siapa yang
taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah, dan siapa yang
bermaksiat terhadapku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan
siapa yang taat kepada pemimpin maka sungguh ia telah taat kepadaku,
dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka sungguh ia telah
bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng, dilakukan peperangan dibelakangnya, dan dijadikan sebagai pelindung.” [3]
Berkata Imam An-Nawawy (w. 676 H) menjelaskan hadits di atas, “Makna “seorang pemimpin adalah tameng”
yaitu bagaikan tirai (pelindung), karena ia menahan gangguan musuh
terhadap kaum muslimin, dan menahan sebagian manusia (untuk berlaku
jelek) terhadap sebahagian yang lain, dan ia menjaga kehormatan Islam,
dan dia ditakuti oleh manusia, serta manusia takut terhadap
kekuasaannya. Dan makna “dilakukan peperangan dibelakangnya” yaitu dilakukan peperangan bersamanya melawan orang-orang kafir, Al-Bughôt (para pembangkang terhadap penguasa), kaum khawarij dan seluruh pengekor kerusakan dan kezholiman.” [4]
Dan berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah,
“Karena ia menahan gangguan musuh terhadap kaum muslimin dan menahan
gangguan sebahagian manusia terhadap sebahagian yang lainnya. Dan yang
diinginkan dengan imam disini adalah setiap orang yang bertanggung jawab
terhadap segala urusan manusia.” [5]
Dan dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :
كَانَ
النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ
يُدْرِكَنِيْ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا كُنَّا فِيْ جَاهِلِيَّةٍ
وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا
الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ
مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيْهِ دَخَنٌ قَلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ
قَوْمٌ يَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِيْ تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ
فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى
أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا قُلْتُ
يَا رَسُوْلَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا
وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِيْ إِنْ
أَدْرَكَنِيْ ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ
وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ
قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ
شَجْرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Manusia bertanya kepada Rasulullah shollallahu
‘alahi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan saya bertanya kepada
beliau tentang kejelekan, saya khawatir kejelekan itu akan menimpaku,
maka saya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam
kejahiliyahan dan kejelekan, kemudian Allah
mendatangkan kepada kami kebaikan ini, apakah setelah kebaikan ini akan
ada kejelekan?” Beliau menjawab : “Iya.” Kemudian saya bertanya, “Apakah
setelah kejelekan itu ada kebaikan,” Beliau menjawab, “Iya, dan telah
ada asapnya.” Saya bertanya, “Apakah asapnya?” Beliau menjawab, “Suatu
kaum yang mengambil petunjuk selain dari petunjukku, ada yang engkau
anggap baik dari mereka dan ada yang engkau ingkari.” Kemudian saya
bertanya, “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan.” Beliau menjawab,
“Iya, da’i –da’i yang menyeru ke pintu-pintu neraka jahannam, siapa yang
menjawab seruan mereka, maka mereka akan melemparkannya ke dalamnya.”
Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sifatkanlah mereka kepada kami?” Beliau
menjawab : “Mereka adalah dari kulit kita juga dan berbicara dengan
lisan-lisan kita.” Saya berkata : “Apa perintahmu kepadaku jika saya
mendapati hal tersebut?” Beliau bersabda : “Engkau komitmen terhadap jama’ah
kaum muslimin dan imam mereka.” Saya berkata : “Jika kaum muslimin
tidak mempunyai jama’ah dan imam.” Beliau berkata : “Tinggalkan seluruh
firqoh-firqoh (kelompok-kelompok) tersebut, walaupun engkau harus
menggigit akar pohon hingga kematian menjemputmu dan engkau di atas hal
tersebut.” [6]
Hadits di atas
menunjukkan bahwa seorang muslim harus komitmen terhadap jama’ah kaum
muslimin dan imam mereka. Maka orang yang keluar berjihad tanpa disertai
imam atau tidak mendapatkan izin dari imam kaum muslimin maka ia
dianggap telah keluar dari jama’ah kaum muslimin dan imam mereka dan
jihad tersebut terhitung jihad bid’ah yang tidak disyari’atkan.
Karena itulah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ketika beliau diajak untuk melepaskan baitnya dari pemerintahan Yazîd bin Mu’awiyah dan membait Ibnu Muthi’ dan Ibnu Hanzholah, beliau menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan ghodar (melanggar penjanjian) dan beliau berdalil dengan hadits,
يُرْفَعُ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ القِيَامَةِ يُقَالُ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلاَنٍ
“Diangkat bagi setiap orang yang ghodar bendera pada hari kiamat, dikatakan : “Inilah ghodarnya si fulan”.” [7]
Dan para ulama telah sepakat bahwa jihad hujum harus di bawah kepemimpinan seorang pemimpin muslim.
Berkata Ibnu Qudamah
(w. 620 H), “Dan perkara jihad kembali kepada seorang imam (pemimpin)
dan ijtihadnya, dimana rakyat wajib taat kepadanya pada apa yang ia
pandang dalam hal tersebut.” [8]
Dan diantara
keyakinan dalam agama yang disepakati oleh para ulama dan dianggap
tersesat orang yang menyimpang darinya menurut Imam Ahmad (w. 241 H),
“Dan (kewajiban) berperang bersama para penguasa –yang baik maupun
fajir- tetap berlanjut hingga hari kiamat, tidak ditinggalkan (sama
sekali).” [9]
Dan Imam Ath-Thahawy
(w. 321 H) menyatakan dalam penjelasan aqidah beliau yang masyhur,
“Adapun haji dan jihad bersama penguasa kaum muslimin –yang baik maupun
fajirnya- tetap berlanjut hingga hari kiamat, tidaklah dibatalkan oleh
suatu apapun dan tidak ada yang menggugurkannya.” [10]
Juga Imam Al-Muzany (w. 264 H), murid Imam Asy-Syafi’iy, menjelaskan bahwa diantara hal yang disepakati oleh para ulama terdahulu hingga masa beliau, “Dan jihad itu bersama setiap pemimpin yang adil maupun yang jahat, (demikian halnya) ibadah haji.” [11]
Dan bekata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
berpendapat (wajibnya) menegakkan haji, jihad dan (sholat) jum’at
bersama para penguasa, yang baik maupun yang fajir.” [12]
Dan berkata Imam
besar dan ahli fiqih di zaman ini, Syaikh Muhammad bin Shôlih
Al-‘Utsaimin (w. 1421 H), “Tidak boleh suatu pasukan mengobarkan
peperangan kecuali denga izin dari imam, bagaimanapun keadaan yang
terjadi. Sebab yang diperintah untuk menegakkan perang dan jihad adalah
para penguasa, bukan individu manusia. Individu manusia hanyalah ikut
kepada pihak yang berwenang (Ahlul halli wal ‘aqdi). Maka tidak
seorangpun boleh melakukan perang tanpa seizin imam kecuali hanya dalam
rangka membela diri, (yaitu) apabila musuh menyerang secara tiba-tiba,
dan mereka khawatir kebinasaan karenanya, maka ketika itu mereka membela
diri-diri mereka dan wajib mengobarkan peperangan.
Sesungguhnya
(berperang tanpa pemimpin) tidak diperbolehkan karena perkara (jihad)
tergantung pada seorang imam, maka berperang tanpa izinnya adalah
melanggar dan melampaui batasan-batasannya. Andaikata dibolehkan bagi
manusia untuk berperang tanpa izin imam maka akan terjadi kekacauan,
siapa saja yang ingin (berperang) maka ia akan menunggangi kudanya dan
berperang. Dan andaikata manusia diberi kelapangan dalam hal tersebut
maka akan terjadi kerusakan-kerusakan yang besar. Mungkin akan terjadi
sekelompok manusia (yang nampaknya) bersiap untuk memerangi musuh dan
ternyata mereka hendak melakukan pemberontakan terhadap penguasa atau
mereka hendak melakukan kesewenang-wenangan terhadap sekelompok manusia,
sebagaimana firman (Allah) Ta’ala,
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al-Hujarat : 9)
Karena tiga alasan ini dan juga alasan-alasan lainnya maka tidaklah boleh melakukan perang kecuali dengan seizin imam.” [13]
Demikianlah sedikit keterangan dalam masalah ini, yang menunjukkan bahwa para ulama sama sekali tidak membenarkan penegakan jihad hujum tanpa seizin imam. Hal ini merupakan sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
dan para shahabatnya, dimana tidak pernah ternukil dalam sepotong
riwayat pun bahwa para shahabat menegakkan jihad tanpa seizin Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang merupakan Imam mereka, baik di fase Makkah maupun fase Madinah.
Maka kami tegaskan disini, siapa yang keluar dari jalan ini, maka ia telah keluar dari jalan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya, dan bersiaplah menuai ancaman Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa` : 115)
Dan juga kami tegaskan berdasarkan keterangan-keterangan yang telah lalu bahwa “Tidak ada jihad di bawah bendera kafir” dan “Tidak ada jihad tanpa bendera seorang pemimpin muslim”.
[1] Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 25 dan Muslim no. 22. Dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhary no. 1399, 2946, 6924, 7284, Muslim no. 20, 21, Abu Daud no. 1556, 2640, At-Tirmidzy no. 2611, 2612, An-Nasa`i 5/14, 6/4-5,7, 7/77-79 dan Ibnu Majah no. 71, 3927 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan juga dikeluarkan oleh Muslim no. 21 dan Ibnu Majah no. 3928 dari Jabir radhiyallahu ‘anhuma, serta dikeluarkan oleh Al-Bukhary no. 392, Abu Daud no. 2641-2642, At-Tirmidzy no. 2613 dan An-Nasa`i 6/6, 7/75-76 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dan semakna dengannya hadits Thoriq bin Asy-yam radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 23. Dan Al-Kattani menyebutkannya sebagai hadits mutawatir dalam Nazhmul Mutanatsir Min Al-Ahadîts Al-Mutawatir hal. 50-51.
[2] Dari kitab Mujmal Masa`il Al-Îman Al-‘Ilmiyah fii Ushul Al-‘Aqîdah As-Salafiyah hal. 31 (Penerbit Markaz Al-Imam Al-Albany, Amman, cet. pertama 1421 H / 2000 M) oleh Markaz Al-Imam Al-Albany. Dan kitab ini telah dibaca oleh sejumlah ulama, diantaranya; Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Syaikh Prof. DR. Rabî’ bin Hadi Al-Madkhaly, Syaikh Sa’ad Al-Hushoyyin, Syaikh DR. Husain alu Asy-Syaikh, Syaikh DR. Washiyyullah ‘Abbas, Syaikh DR. Muhammad bin ‘Umar Ba Zamul, Syaikh DR. ‘Abdussalam Barjis, Syaikh DR. Muhammad bin Hadi Al-Madkhly dan lain-lainnya.
[3] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 2957 (konteks di atas milik Al-Bukhary), Muslim no. 1835, 1841, Abu Daud no. 2757 dan An-Nasa`i 7/155.
[4] Syarah Muslim 12/230.
[5] Fathul Bari 6/136.
[6] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3606 dan Muslim no. 1847.
[7] Telah berlalu takhrijnya pada hal. .
[8] Al-Mughny 13/16.
[9] Ushulul Sunnah.
[10] Al-‘Aqîdah Ath-Thahawiyah hal. 437 -dengan syarh Ibnu Abil ‘Izzi dan tahqîq Al-Albany-.
[11] Syarhus Sunnah karya Al-Muzany hal. 88.
[12] Majmu’ Al-Fatawa 3/158.
[13] Syarhul Mumti’ 8/25-26.
Syarat Kedua: Mempunyai Kekuatan
Hal tersebut merupakan perkara yang telah dimaklumi dalam nash-nash Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Sebagaimana dalam firman-Nya,
“Hai
orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan
pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” (QS. An-Nisâ` : 71)
Dan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan :
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan (yang juga) musuh
kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya;
sedang Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Anfâl : 60)
Hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata :
سَمِعْتُ
رسولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى
الْمِنْبَرِ يَقُوْلُ : وَأَعِدُّوْا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ
قُوَّةٍ, أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ
الرَّمْيُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ
“Saya
mendengar Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan
beliau berada di atas mimbar membaca (ayat) “Dan siapkanlah kekuatan
yang kalian punyai untuk menghadapi mereka.” (beliau berkata) : “Ingatlah kekuatan itu adalah membidik, kekuatan itu adalah membidik, kekuatan itu adalah membidik.” [1]
Beberapa dalil
di atas menunjukkan bahwa disyaratkan adanya kemampuan dan kekuatan
dalam menegakkan jihad. Kapan syarat ini tidak terpenuhi, maka gugurlah
kewajiban jihad tersebut terhadap kaum muslim hingga mereka mempunyai
kekuatan.
Keharusan
memiliki kemampuan dalam menjalankan suatu ‘ibadah merupakan kaidah yang
dimaklumi dalam syari’at dan telah menjadi dasar wajib untuk
ditegakkannya suatu ‘ibadah.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Tholâq : 7)
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS. At-Taghôbun : 16)
Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda :
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku
melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah (sesuatu tersebut), dan
apabila aku memerintah kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah hal itu
sesuai dengan kemampuan kalian.” [2]
Berdasarkan
nash-nash ini, telah digugurkan atas kaum muslimin kewajiban menghadapi
musuh kalau jumlah mereka tiga kali lipat lebih banyak dari jumlah kaum
muslimin, sebagaimana yang telah dijelaskan. Maka dalam keadaan tersebut
tidak diwajibkan terhadap kaum muslimin untuk menghadapi musuh, karena
sifat jihadnya adalah jihad hujûm
.
Adapun kejadian
pada perang Uhud dan perang Khandaq, dimana kaum muslimin menghadapi
kaum kuffar dengan jumlah yang jauh lebih besar dan berlipat ganda, hal
tersebut bukanlah jihad hujûm yang merupakan kehendak mereka,
tapi jihad tersebut adalah jihad membela diri yang sifatnya darurat
untuk menghadapi serangan musuh yang ingin menghancurkan kaum muslimin
di negara mereka.[3] Dan jihad seperti ini adalah jihad mudâfa’ah yang akan datang uraian dan penjelasannya.
Kemudian diantara dalil akan gugurnya kewajiban jihad bila tidak ada kemampuan, adalah hadits An-Nawwâs bin Sam’ân radhiyallâhu ‘anhu tentang kisah Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm membunuh Dajjal…, kemudian disebutkan keluarnya Ya`jûj dan Ma`jûj,
…فَبَيْنَمَا
هُوَ كَذَلِكَ، إِذْ أَوْحَى اللهُ إِلَى عِيْسَى: إِنِّيْ قَدْ
أَخْرَجْتُ عِبَاداً لِيْ لَا يَدَانِ لِأَحَدٍ بِقِتَالِهِمْ، فَحَرِّزْ
عِبَادِيْ إِلَى الطُّوْرِ وَيَبْعَثُ اللَّهُ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ
وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ …
“…Dan
tatkala (Nabi ‘Isâ) dalam keadaan demikian, maka Allah mewahyukan kepada
(Nabi) ‘Isâ, “Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan sekelompok hamba yang
tiada tangan (baca: kekuatan) bagi seorangpun untuk memerangi mereka,
maka bawalah hamba-hamba-Ku berlindung ke (bukit) Thûr.” Kemudian Allah
mengeluarkan Ya`jûj dan Ma`jûj, dan mereka turun dengan cepat dari
seluruh tempat yang tinggi….” [4]
Perhatikan hadits ini, tatkala kekuatan Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm
dan kaum muslimin yang bersama beliau waktu itu lemah untuk menghadapi
Ya`jûj dan Ma`jûj, maka Allah tidak memerintah mereka untuk mengobarkan
peperangan dan menegakkan jihad bahkan mereka diperintah untuk
berlindung ke bukit Thûr.
Bertolak dari
syarat harusnya ada kemampuan dan kekuatan dalam menegakkan jihad, para
ulama dari masa ke masa memberi fatwa di atas hal tersebut.
Berkata Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Dan beliau (shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam)
diperintah untuk menahan (tangan) dari memerangi mereka karena
ketidakmampuan beliau dan kaum muslimin untuk menegakkan hal tersebut.
Tatkala beliau hijrah ke Madinah dan mempunyai orang-orang yang
menguatkan beliau, maka beliaupun diizinkan untuk berjihad. Kemudian
tatkala beliau lebih kuat maka diwajibkanlah perang terhadap mereka
walaupun belum diwajibkan atas mereka memerangi orang-orang yang mereka
(kaum muslimin) terkait perdamaian dengannya, karena mereka belum mampu
untuk memerangi seluruh orang kafir. Kemudian tatkala Allah menjadikan
Makkah takluk terhadap mereka dan telah terputus perlawanan orang-orang
Quraisy, sementara itu raja-raja Arab serta berbagai utusan
(kabilah-kabilah) Arab berdatangan untuk masuk Islam, maka beliau
diperintah untuk memerangi seluruh orang kafir kecuali yang ada
perjajian damai sementara, dan beliau diperintah untuk melepas seluruh
perdamaian mutlak. Maka yang beliau angkat dan beliau hapuskan adalah
meninggal perang.” [5]
Dan beliau juga berkata, “Sesungguhnya perintah untuk memerangi kelompok bughôt
disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kemapanan. Memerangi mereka
tidaklah lebih pantas dari memerangi kaum musyrikin dan kuffar. Dan
sudah dimaklumi bahwa hal tersebut disyaratkan dengan adanya kemampuan
dan kemungkinan. Dan kadang yang menjadi mashlahat syar’iy adalah
melembutkan hati mereka dengan harta, perdamaian dan perjanjian tidak
saling perang, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi (shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam) berulang kali.” [6]
Dan Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’dy rahimahullâh
ketika menafsirkan ayat 190-193 dari surah Al-Baqarah, beliau berkata,
“Ayat-ayat ini terkandung di dalamnya perintah untuk berperang di jalan
Allah. Dan hal ini setelah hijrah ke Madinah, tatkala kaum muslimin
telah memiliki kekuatan untuk berperang, maka Allah memerintah mereka
dengannya, yang sebelumnya mereka diperintah untuk menahan tangan-tangan
mereka.”
Dan Al-Lajnah
Ad-Dâ`imah mengeluarkan fatwa dengan nash, “Jihad adalah untuk
meninggikan kalimat Allah dan penjagaan terhadap Islam, serta untuk
memapankan penyampaian, penyebaran dan penjagaan terhadap kehormatan
(Islam). (Ia) wajib bagi siapa yang mapan untuk hal tersebut dan kuat
untuk (menegakkannya). Akan tetapi (jihad ini) butuh pengiriman pasukan
dan pengaturan. Karena kekhawatiran munculnya kekacauan dan terjadinya
hal-hal yang tidak terpuji akibatnya, maka permulaan (jihad itu) dan
awal memasukinya adalah merupakan urusan penguasa kaum muslimin. Maka
diwajibkan bagi ulama untuk membangkitkan semangat (penguasa) untuk
(menegakkan) jihad tersebut. Apabila (penguasa) telah
memulai dan menyeru kaum muslimin, maka wajib bagi siapa-siapa yang
punya kemampuan untuk memenuhi seruan tersebut dengan mengikhlashkan
wajahnya hanya untuk Allah, dengan harapan ia menolong kebenaran dan
menjaga Islam. Siapa yang tidak hadir sedangkan telah ada seruan dan
tidak memiliki udzur maka ia adalah seorang yang berdosa.” [7]
Dan berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh,
“Dalam (jihad) harus ada suatu syarat, yaitu hendaknya kaum muslimin
mempunyai kemampuan dan kekuatan yang dengannya mereka mampu menegakkan
perang. Kalau mereka tidak mempunyai kemampuan maka menerjunkan diri
mereka dalam peperangan adalah melemparkan diri kepada kebinasaan.
Karena itu, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ tidak mewajibkan terhadap
kaum muslimin untuk berperang ketika mereka masih berada di Makkah,
karena mereka tidak mampu lagi lemah. Tatkala mereka hijrah ke Madinah
dan mereka menegakkan negara Islam dan mereka telah memiliki kekuatan,
merekapun diperintah untuk berperang. Karena syarat merupakan sesuatu
yang harus ada. (Kalau tidak terpenuhi) maka gugurlah kewajiban atas
mereka sebagaimana halnya seluruh kewajiban (lain). Karena seluruh
kewajiban disyaratkan padanya kemampuan berdasarkan firman-Nya Ta’âlâ,
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS. At-Taghôbun : 16)
Dan firman-Nya,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286).” [8]
Dan diantara hal
yang sangat penting yang harus kami ingatkan disini, bahwa selain dari
menyiapkan kekuatan fisik, kaum muslimin juga harus menyiapkan kekuatan
iman dalam menegakkan jihad tersebut.
Mempersiapkan
kekuatan batin adalah dengan membersihkan diri dari segala noda
kesyirikan dan menanamkan benih-benih tauhid serta mengikhlaskan segala
jenis peribadatan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Bagaimana mungkin kaum muslimin mengharapkan pertolongan dari Allah dalam jihad mereka, sedang mereka berlumpur dengan noda-noda kesyirikan?
Sedang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah menyatakan kepada Nabi-Nya,
“Dan
sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar : 65)
Bagaimana mungkin mengharapkan kemulian dan kejayaan sedang mereka bergelimang dengan dosa dan maksiat?
Cermatilah pelajaran yang diabadikan dalam Al-Qur`ân tentang sebab kekalahan kaum muslimin di perang Uhud,
“Dan mengapa
ketika kalian ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kalian
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada
peperangan Badar) kalian berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?”
Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri”. Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Âli ‘Imrân : 165)
Berkata Ibnu Jarîr Ath-Thobary (w. 310 H) rahimahullâh, “(Firman-Nya) “kalian berkata: Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” yaitu kalian berkata tatkala kalian tertimpa musibah di perang Uhud “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?”
(yaitu) dari sisi mana kekalahan ini, dan dari mana terjadinya apa yang
menimpa kami, sedang kami adalah muslimun dan mereka itu orang-orang
musyrikun, sedangkan pada kami ada Nabi Allah shollallâhu ‘alaihi wa sallam
yang mendapat wahyu dari langit dan musuh kami adalah pengikut
kekufuran dan kesyirikan kepada Allah? Maka katakan wahai Muhammad
kepada orang-orang yang beriman bersamamu dari kalangan shahabatmu “Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri”,
katakan kepada mereka, bahwa musibah yang menimpa kalian adalah dari
kesalahan diri-diri kalian karena kalian menyelisihi perintahku dan
kalian meninggalkan ketaatan kepadaku, (musibah tersebut) bukan dari
selain kalian, dan bukan dari seorangpun selain kalian.” [9]
Dan berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh,
“Kapan orang-orang kafir memperoleh kemenangan, maka hal tersebut
hanyalah karena dosa-dosa kaum muslimin yang berakibat kurangnya
keimanan mereka. Kemudian kalau mereka bertaubat dengan menyempurnakan
keimanan mereka, maka Allah akan menolong mereka, sebagaimana dalam
firman-Nya Ta’âlâ,
“Janganlah
kalian bersikap lemah, dan janganlah (pula) kalian bersedih hati,
padahal kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika
kalian orang-orang yang beriman.” (QS. Âli ‘Imrân : 139)
Dan (Allah) berfirman,
“Dan mengapa
ketika kalian ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kalian
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada
peperangan Badar) kalian berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?”
Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri”.” (QS. Âli ‘Imrân : 165).” [10]
Dan berkata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullâh,
“Dan demikian pula pertolongan dan kekuatan yang sempurna, hal tersebut
hanyalah untuk pemilik keimanan yang sempurna. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Sesungguhnya
Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. Ghôfir : 51)
Dan (Allah) berfirman,
“Maka kami
berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh
mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (QS. Ash-Shoff : 14)
Maka siapa yang
kurang keimanannya, akan kurang bagiannya dari pertolongan dan kekuatan
(itu). Karena itu apabila seorang hamba mendapatkan musibah pada
dirinya, keluarganya, atau musuhnya dimenangkan atasnya, maka hal
tersebut semata karena dosanya, apakah karena meninggalkan kewajiban
atau melakukan suatu hal yang diharamkan, dan itu termasuk kekurangan
iman.” [11]
[1] Hadits riwayat Muslim no. 1917, Abu Dâud no. 2514, At-Tirmidzy no. 3092 dan Ibnu Mâjah no. 2813 dari hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir radhiyallâhu ‘anhu.
[2] Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 7288, Muslim no. 1337, An-Nasâ`i 5/110 dan Ibnu Mâjah no. 1, 2.
[3] Baca keterangan Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Al-Furûsiyah hal. 97.
[4] Hadits riwayat Muslim no. 2937 dan Ibnu Majah no. 4075.
[5] Al-Jawâb Ash-Shohîh 1/237.
[6] Majmû’ Al-Fatâwâ 4/442.
[7] Fatâwâ Lajnah
12/12 dengan ditanda tangani oleh Syaikh Ibnu Bâz sebagai ketua dan
Syaikh ‘Abdurrazzâq ‘Afîfy sebagai wakil serta Syaikh ‘Abdulllah bin
Qu’ûd dan Syaikh Abdullah bin Ghodayyân sebagai anggota.
[8] Syarhul Mumti’ 8/9-10.
[9] Jâmi’ul Bayân fii Tafsîrul Qur`ân 4/108.
[10] Al-Jawâb Ash-Shohîh 6/450.
[11] Ighôtstul Luhfân 2/182.
Syarat ketiga: Harus ada negara atau wilayah kekuasaan
Hal ini nampak
dari beberapa keterangan yang telah lalu bahwa kewajiban jihad secara
fisik terhadap kaum muslimin adalah setelah terbentuknya negara Islam di
Madinah dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam adalah pemimpin mereka.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.”[1]
Kemudian di akhir penjelasan tentang jihad hujum ini, kami ingin mengingatkan bahwa menyeru umat untuk menegakkan jihad hujum pada zaman ini berarti ia telah menyeru manusia ke dalam lembah kebinasaan dan jurang kehancuran.
Ini tentunya dipahami oleh orang-orang yang memang merupakan juru
nasehat umat yang mengetahui keadaan umat kita saat ini, walaupun
pengetahuan tentang keadaan umat hanya sedikit.
Hanya kepada
Allah kita mengadukan keadaan umat kita yang jauh dari agama mereka
sehingga mengakibatkan lemahnya kekuatan mereka. Bendera-bendera
kesyirikan dikibarkan di berbagai tempat, baik berupa berdoa kepada
wali-wali, mengagungkan kuburan, meminta tolong kepada jin, dedemit dan
lain-lain.
Demikian pula bid’ah dan pemahaman bid’ah bertebaran di mana-mana.
Demikian pula perpecahan dan dakwah kepada berbagai kelompok, partai dan jama’ah telah merusak umat dan mencentangperenangkan urusan mereka.
Sedangkan
generasi muda umat banyak diantara mereka yang larut dalam kerusan
akhlak dan berkiblat kepada budaya dan kebiasaan orang-orang kafir.
Maka kita dari sisi kekuatan keimanan ada kelemahan, dan dari sisi kekuatan fisik dan materi juga ada kelemahan.
Karena itu, kembali kami harus menegaskan disini, bahwa orang-orang yang menyeru manusia untuk menegakkan jihad hujum terhadap orang kafir pada saat ini adalah upaya untuk membinasakan umat tanpa mereka sadari.
Berkata Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah,
“Karena itu kalau ada yang bertanya kepada kami “Kenapa kita tidak
memerangi Amerika, Rusia, Prancis dan Inggris?” (Jawabannya) karena
tidak ada kemampuan. Persenjataan yang telah ketinggalan zaman menurut
mereka itulah yang berada di tangan-tangan kita. Dan persenjataan
tersebut dihadapan persenjataan mereka bagaikan pisau-pisau menyala
dihadapan rudal-rudal, sama sekali tidak memberi manfaat. Maka bagaimana
mungkin kita memerangi mereka? Karena itu, saya tegaskan bahwa adalah
termasuk kedunguan orang yang berkata, “wajib atas kita untuk memerangi
Amerika, Prancis, Inggris dan Rusia”. Bagaimana kita menegakkan perang?
Hal ini ditolak oleh hikmah Allah ‘Azza wa Jalla dan ditolok oleh syari’at-Nya. Akan tetapi yang menjadi kewajiban atas kita adalah melaksanakan apa yang Allah ‘Azza wa Jalla perintah dengannya,
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi.” (QS. Al-Anfal : 60)
Ini yang wajib
atas kita, yaitu menyiapkan segenap kemampuan yang kita sanggupi. Dan
kekuataan yang paling penting untuk kita siapkan adalah keimanan dan
ketakwaan…” [2]
Dan berkata Syaikh Al-Albany rahimahullah, “Karena itu saya tidak hanya berkata seperti yang saya katakan tadi, bahwa saya tidak menganggap ada jihad (sekarang), bahkan saya mentahdzir dari jihad. Karena sarana-sarana jiwa dan materi tidaklah membantu kaum muslimin untuk menegakkan suatu jihad pun, di manapun tempatnya…” [3]
[2] Syarah Kitabul Jihad dari Bulughul Maram kaset pertama side A.
[3] Kaset Silsilah Al-Huda wan Nur kaset no. 353 side A. Dan baca catatan kaki Madarikun Nazhor hal. 345 (cet. Kedua).
Jihad melawan orang-orang kafir jenis kedua
Jihad mudafa’ah atau jihad daf’iy (jihad membela atau melindungi diri).
Yaitu apabila
kaum kuffar menyerang kaum muslimin atau mengepung negeri kaum muslimin.
Maka wajib atas kaum muslimin untuk membela diri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al-Fatawa
28/358-359 mengatakan, “Apabila musuh hendak menyerang kaum muslimin,
maka menghadapi mereka adalah wajib atas orang-orang yang diserang
langsung, dan juga wajib atas orang yang belum diserang untuk membantu
saudara mereka, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
“Jika
(saudara-saudara) meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan
pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan kecuali
terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kalian dengan mereka.” (QS. Al-Anfal : 72).”
Dan telah
dimaklumi bahwa membantu sesama muslim dalam kebaikan dan ketakwaan
adalah perkara yang terpuji, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma`idah : 2)
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ
الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مِثْلُ
الْجَسَدِ, إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ
بِالسَّهْرِ وَالْحُمَى
“Perumpamaan
kaum mukminin dalam hubungan kasih sayang, rahmat dan berlemah lembut
di antara mereka bagaikan satu jasad. Apabila salah satu anggota
tubuhnya berkeluh, maka seluruh jasad merasakannya dengan tidak tidur
dan rasa panas”. [1]
Dan juga Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan,
الْمُؤْمِنِ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin pada mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan bahagian yang lainnya”. [2]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Adapun jihad daf’iy,
dia yang paling wajib di antara seluruh bentuk menahan musuh yang
membahayakan kehormatan dan agama, (karena itu) ia adalah wajib menurut
kesepakatan (para ulama). Tidak sesuatu yang lebih wajib setelah
keimanan dari menolak musuh berbahaya yang akan merusak agama dan dunia.
Maka tidak disyaratkan syarat apapun dalam menegakkan (jihad daf’iy) itu bahkan ia membela diri sesuai kemampuan.” [3]
Dan berkata Ibnul Qayyim rahimahullah,
“Perlombaan/pertandingan disyari’atkan adalah agar seorang mukmin
mempelajari cara berperang, membiasakan dan melatih diri dengannya. Dan
telah dimaklumi bahwa seorang mujahid (orang yang berjihad) kadang ia
menghendaki untuk mengusir musuh bila sang mujahid adalah pihak yang
diserang dan musuh adalah pihak yang menyerang, dan kadang (seorang
mujahid) menghendaki kemenangan terhadap musuh dari permulaannya bila
(sang mujahid) merupakan pihak yang menyerang dan musuh adalah pihak
yang diserang, dan kadang (seorang mujahid) menghendaki semua dari dua
perkara (tersebut). Dalam tiga keadaan tersebut, seorang mukmin
diperintah untuk berjihad. Dan jihad daf’iy lebih sulit dari jihad
tholab, karena jihad daf’iy mirip dengan bentuk mengusir musuh yang
berbahaya. Karena itu, dibolehkan bagi orang yang dizholimi untuk
membela dirinya, sebagaimana dalam firman (Allah) Ta’ala,
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.” (QS. Al-Hajj : 39)
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang
terbunuh karena ia membela hartanya, maka ia dianggap mati syahid dan
siapa yang terbunuh karena ia membela darahnya, maka ia dianggap mati
syahid.” [4]
Karena mengusir musuh yang berbahaya terhadap agama adalah terhitung jihad dan qurbah
(hal yang mendekatkan diri kepada Allah,-pent.), dan mengusir musuh
yang berbahaya terhadap harta dan jiwa adalah hal yang boleh dan ada
keringanan, kalau ia terbunuh kerenanya maka ia terhitung mati syahid.
Maka jihad daf’iy lebih luas dari jihad tholab dan lebih wajib. Karena
itu wajib atas setiap orang untuk menegakkan dan berjihad dengannya,
(atas) seorang budak seizin tuannya maupun tidak, anak tanpa izin kedua
orang tuanya dan orang yang berhutang tanpa izin dari pemiliknya. Dan
ini seperti keadaan jihad kaum muslimin di (perang) Uhud dan Khandaq.
Dan tidak disyaratkan dalam jihad jenis ini musuh hanya sejumlah dua
kali lipat kaum muslimin atan kurang, karena (jumlah) musuh di perang
Uhud dan Khandaq berlipat ganda di atas kaum muslimin dan jihad tetap
wajib atas mereka karena waktu itu adalah jihad darurat dan membela
diri, bukan jihad alternatif (jihad tholab, pent.)…” [5]
Kemudian kami perlu mengingatkan kepada para pembaca beberapa perkara :
Satu : Ada dua cara dalam menegakkan Jihad Daf’iy :
1. Apabila
keadaan memungkinkan untuk menyerahkan urusan kepada penguasa dalam
menghimpun pasukan dan mempersiapkan peperangan untuk menghadapi musuh,
maka mereka wajib meminta pertimbangan kepada penguasa dalam hal
tersebut, karena asal jihad itu adalah dengan izin penguasa sebagaimana
yang telah berlalu penjelasannya dan sebagaimana yang dilakukan oleh
kaum muslimin dimasa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di perang Khandaq.
2. Apabila
musuh telah menyerang mereka dan mereka tidak mampu mengatur urusan
dengan menghimpun pasukan dan mempersiapkan peperangan bersama penguasa,
maka hendaknya setiap orang berperang membela dirinya sesuai dengan
kemampuannya. Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara laki-laki,
perempuan, anak kecil, orang dewasa dan lain-lainya. Sebagaimana sabda
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Dan siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia dianggap mati syahid.” [6]
Dan sabda beliau yang lain.
مَنْ
قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ وَ مَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ
فَهُوَ شَهِيْدٌ وَ مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ وَ مَنْ
قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa
yang terbunuh karena membela agamanya, maka ia dianggap mati syahid,
dan siapa yang terbunuh karena membela darahnya, maka ia dianggap mati
syahid, dan siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia
dianggap mati syahid, dan siapa yang terbunuh karena membela
keluarganya, maka ia dianggap mati syahid.” [7]
Berkata Abdullah bin Imam Ahmad (w. 290 H) rahimahumallah,
saya mendengar ayahku berkata, “Apabila imam (penguasa) mengizinkan dan
rakyat mendapat seruan berjihad maka tidak apa-apa mereka keluar (untuk
berjihad).” Saya berkata kepada ayahku, “Kalau mereka keluar tanpa
seizin imam?” Beliau menjawab, “Tidak (boleh), kecuali imam mengizinkan,
kecuali ada serangan tiba-tiba dari musuh terhadap mereka dan tidak
memungkinkan mereka untuk meminta izin dari imam, maka saya berharap
perbuatan tersebut termasuk membela kaum muslimin (jihad daf’iy,-pen.).” [8]
Dan berkata Ibnu Qudamah rahimahullah,
“Urusan perang adalah kembali kepada (penguasa). Dia lebih mengetahui
jumlah musuh, (cara) memerangi mereka, rahasia-rahasia dan makar mereka.
Maka seharusnya kembali kepada pendapatnya, ia lebih berhati-hati
terhadap kaum muslimin. Kecuali kalau tidak memungkinkan untuk minta
izin darinya dimana musuh yang menyerang mereka secara tiba-tiba, maka
tidak wajib untuk meminta izin darinya, karena mashlahat mengharuskan
untuk memerangi mereka dan keluar menghadapi mereka serta pasti terjadi
kerusakan kalau musuh tidak diperangi. Karena itulah, tatkala
orang-orang kafir dengan diam-diam mengambil ternak-ternak Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
maka mereka ditemui oleh Salamah bin Al-Akwa’ yang sedang keluar dari
Madinah, lalu dia mengikuti mereka lalu membunuh mereka tanpa izin.
Kemudian Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memuji beliau seraya berkata, “Sebaik-baik pasukan kami adalah Salamah bin Al-Akwa’.” Dan beliau memberikanya jatah (yang didapatkan oleh) seorang prajurit penunggang kuda dan pejalan kaki.” [9]
Dua :
Boleh mengadakan perjanjian damai dengan musuh kalau kaum muslimin
belum mampu menegakkan jihad daf’iy melawan musuh, kalau pimpinan
memandang ada mashlahat dalam hal tersebut.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
pada perjanjian Hudaibiyah. Dimana beliau tidak memerangi kaum kuffar
Makkah untuk membela kaum muslimin dan harta mereka yang masih berada di
Makkah.
Hal ini sebagaimana yang telah lalu tentang Nabi ‘Isa ‘alaihissalam yang diperintah untuk berlindung ke bukit Thur karena mereka tidak akan mampu menghadapi Yu`juj dan Ma`juj.
Empat : Kewajiban kaum muslimin menegakkan Jihad Daf’iy
untuk membela saudara mereka dari serangan musuh disyari’atkan bila
tidak ada perjanjian antara kaum muslimin dengan musuh tersebut.
Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya,
“Jika
(saudara-saudaranya) meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan
pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kalian dengan mereka.” (QS. Al-Anfal : 72)
Berkata Ibnu Kastir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “(Allah) Ta’ala
berfirman, kalau mereka orang-orang Arab yang belum berhijrah itu
meminta pertolongan kepada kalian dalam perang agama terhadap musuh
mereka, maka tolonglah mereka. Sesungguhnya wajib atas kalian untuk
menolongnya, karena mereka adalah saudara-saudara kalian seagama,
kecuali kalau mereka meminta pertolongan kepada kalian terhadap
sekelompok kaum kafir “yang telah ada perjanjian antara kalian dengan mereka”,
yaitu perjanjian perdamaian hingga waktu (tertentu), maka jangan kalian
merusak janji kalian dan jangan kalian membatalkan sumpah yang kalian
berjanji dengannya. Dan ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.”
Berkata Al-Qurthuby (w. 671 H) rahimahullah,
“Kecuali mereka meminta pertolongan kepada kalian terhadap kaum kuffar
yang telah ada antara kalian dan mereka perjanjian, maka jangan kalian
menolong mereka terhadap musuhnya dan jangan kalian membatalkan janji
kalian hingga sempurna waktu (yang telah disepakati).” [10]
Bertolak dari
keterangan di atas, bila sebuah negeri Islam telah mengadakan perjanjian
damai dengan negeri kafir, maka bila negeri kafir tersebut menzholimi
negeri Islam yang lain maka tidaklah benar bila negeri Islam pertama
membantu saudaranya. Kecuali kalau yang membantu mereka negeri Islam
lain yang tidak terikat perjanjian damai, maka hal tersebut
diperbolehkan sebagaimana dalam kisah Abu Bashir, Abu Jandal dan kaum
muslimin yang lainnya, dimana mereka tidak terikat dengan perjanjian
Hudaibiyah dan juga tidak bergabung dengan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada saat itu.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan kandungan faedah kisah perjanjian Hudaibiyah, “Penjanjian yang terjadi antara Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin, bukanlah perjanjian antara Abu Bashir
dan teman-temannya dengan mereka. Dibangun di atas ini bila ada
perjanjian antara sebagian raja kaum muslimin dan sebagian Ahludz
Dzimmah dari kalangan Nasharô dan selainnya, maka boleh bagi raja kaum
muslimin yang lain untuk memerangi mereka dan mengambil ghanimah
(harta rampasan perang) dari mereka bila tidak ada perjanjian antara
raja tersebut dengan mereka. Sebagaimana fatwa Syaikhul Islam (Ibnu
Taimiyah, pent.) tentang Nasharô Mulathyah dan menawam mereka,
berdalilkan kisah Abu Bashir (menyerang) kaum musyrikin.”[11]
Lima :
Dari seluruh keterangan di atas, nampaklah bahwa kalimat Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah “Tidak ditetapkan syarat apapun dalam menegakkan (jihad
daf’iy) bahkan ia membela diri sesuai kemampuan” tidak berlaku secara
mutlak sebagaimana sangkaan sebagian orang yang salah menempatkan ucapan
beliau ini, sehingga mereka kadang mengobarkan Jihad Daf’iy tanpa mempertimbangkan mashlahat dan mafsadat-nya,
tanpa menjaga ketentuan untuk tidak menimbulkan kerusakan yang lebih
besar, tanpa membedakan antara kafir yang terjalin perjanjian damai
dengannya atau tidak. Mereka lupa bahwa Syaikhul Ibnu Taimiyah adalah
orang yang sangat menjaga ketentuan dalam hal-hal tersebut. Dan kisah
beliau sangatlah masyhur ketika beliau menasehati penguasa agar
mengobarkan perang menghadapi tentara Tatar yang akan menyerang Negeri
Syam waktu itu.
Wallahu Ta’ala A’lam.
[1] Hadits An-Nu’man bin Al-Basyir radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 6011 dan Muslim no. 2586.
[2] Hadits Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 481, 2446, 6026, Muslim no. 2585, At-Tirmidzy no. 1933 dan An-Nasa`i 5/79.
[3] Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah hal. 532 dan Al-Fatawa Al-Kubrô 4/608.
[4] Akan datang takhrijnya.
[5] Al-Furusiyah hal. 187-189.
[6] Hadits ‘Abdullah bin ‘Amru radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 2480, Muslim no. 141, Abu Daud no. 4771, At-Tirmidzy no. 1423-1424 dan An-Nasa`i 7/114-115.
[7] Diriwayatkan oleh Ahmad 1/187, 189, 190, Ath-Thayalisi no. 233, 239, Abu Daud no. 4772, At-Tirmidzy no. 1422, 1425, An-Nasa`i 7/115-116, Ibnu Majah no. 2580, Al-Bazzar no. 1259, 1260, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 3194, 4790, Ath-Thabarany 1/no. 352-354,
dan lain-lainnya, sebagaian meriwayatkan secara lengkap dan ada yang
hanya meriwayatkan sebagian konteks saja. Dan hadits ini dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa’ 3/164 no 708.
[8] Al-Masa`il dari riwayat ‘Abdullah 2/258.
[9] AL-Mughni 13/33-34, penerbit Hajar, cetakan kedua tahun 1413H/1992M.
[10] Al-Jami’ Li Ahkamil Qur`an 8/57.
[11] Baca Zadul Ma’ad 3/309.
Sumber: www.jihadbukankenistaan.com
Download Versi E-Book Offline disini.
0 komentar:
Posting Komentar