Hakikat Kalimat Tauhid
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah
(sesembahan) -yang benar- selain Dia, dan [bersaksi pula] para malaikat
serta orang-orang yang berilmu, demi tegaknya keadilan. Tiada ilah [yang
benar] selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali
‘Imran: 18)
al-Kalbi menuturkan: Suatu saat ada dua orang pendeta dari Syam datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tatkala mereka berdua melihat Madinah, salah seorang diantara mereka
berkata, “Sungguh mirip kota ini dengan ciri-ciri kota tempat munculnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada akhir zaman.” Tatkala
mereka berdua memasuki kota ini dan melihat beliau, mereka bisa
mengenali beliau dengan ciri-ciri yang ada padanya. Mereka bertanya,
“Apakah engkau Muhammad?”. Beliau menjawab, “Iya.” Mereka bertanya
lagi, “Apakah engkau Ahmad?”. Beliau menjawab, “Aku adalah Muhammad dan
juga Ahmad.” Lalu mereka berdua berkata, “Kami akan menanyakan kepadamu
tentang sesuatu. Apabila engkau memberitakannya kepada kami niscaya kami
akan beriman dan membenarkanmu.” Nabi berkata, “Kalau begitu
tanyakanlah.” Mereka bertanya, “Kabarkanlah kepada kami tentang suatu
syahadat/persaksian yang paling agung di dalam Kitabullah ‘azza wa jalla.” Maka Allah menurunkan ayat ini dan masuk Islamlah kedua orang itu (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 194 oleh Imam al-Baghawi rahimahullah)
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah
berkata, “Ayat yang mulia ini mengandung penetapan hakikat tauhid dan
bantahan bagi seluruh kelompok sesat. Ia mengandung persaksian yang
paling mulia, paling agung, paling adil, dan paling jujur, yang berasal
dari semulia-mulia saksi terhadap sesuatu perkara yang paling mulia
untuk dipersaksikan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 90 cet. al-Maktab al-Islami)
Makna persaksian ini adalah bahwa Allah telah mengabarkan,
menerangkan, memberitahukan, menetapkan, dan memutuskan bahwa segala
sesuatu selain-Nya bukanlah ilah/sesembahan [yang benar] dan bahwasanya
penuhanan segala sesuatu selain-Nya adalah kebatilan yang paling batil.
Menetapkan hal itu [ilahiyah pada selain Allah] adalah kezaliman yang
paling zalim. Dengan demikian, tidak ada yang berhak untuk disembah
kecuali Dia, sebagaimana tidak layak sifat ilahiyah disematkan kepada
selain-Nya. Konsekuensi hal ini adalah perintah untuk menjadikan Allah
semata sebagai ilah dan larangan mengangkat selain-Nya sebagai
sesembahan lain bersama-Nya (lihat at-Tafsir al-Qayyim, hal. 178 oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah
[sesembahan] yang benar, adapun segala yang mereka seru selain Allah
adalah batil. Dan sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS.
Al-Hajj: 62)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan, “Adapun segala yang mereka seru selain Allah adalah batil;
yaitu patung, tandingan, berhala, dan segala sesuatu yang disembah
selain Allah maka itu adalah [sesembahan yang] batil; karena ia tidak
menguasai kemanfaatan maupun madharat barang sedikit pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/449])
Dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang yang
mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah
Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Syahadat dengan lisan saja tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik juga mempersaksikan keesaan Allah ‘azza wa jalla.
Akan tetapi mereka hanya bersaksi dengan lisan mereka. Mereka
mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka yakini di dalam hati
mereka. Oleh sebab itu ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka…” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 23 cet. Dar Tsurayya).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau mengisahkan bahwa suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memboncengkan Mu’adz di atas seekor binatang tunggangan (keledai
bernama ‘Ufair). Nabi berkata, “Wahai Mu’adz.” Mu’adz menjawab,
“Kupenuhi panggilanmu dengan senang hati, wahai Rasulullah.” Lalu Nabi
berkata, “Hai Mu’adz.” Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan
senang hati, wahai Rasulullah.” Sampai tiga kali. Lalu Nabi bersabda,
“Tidak ada seorang pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang
benar- selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah secara jujur dari
dalam hatinya kecuali Allah pasti mengharamkan dia tersentuh api
neraka.” Mu’adz berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya saya
menyampaikan kabar ini kepada orang-orang agar mereka bergembira?”.
Beliau menjawab, “Kalau hal itu disampaikan, nantinya mereka justru
bersandar kepadanya (malas beramal)?”. Menjelang kematiannya, Mu’adz pun
menyampaikan hadits ini karena khawatir terjerumus dalam dosa [akibat
menyembunyikan ilmu] (HR. Bukhari dan Muslim)
Tauhid Misi Utama Dakwah Para Nabi dan Rasul
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum engkau
[Muhammad] seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; tidak
ada ilah [yang benar] selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS.
Al-Anbiya’: 25)
Imam al-Baghawi rahimahullah menafsirkan makna perintah ‘sembahlah Aku’ dengan ‘tauhidkanlah Aku’ (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 834)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, “Maka setiap kitab suci yang diturunkan kepada setiap nabi
yang diutus semuanya menyuarakan bahwa tidak ada ilah [yang benar]
selain Allah, akan tetapi kalian -wahai orang-orang musyrik- tidak mau
mengetahui kebenaran itu dan kalian justru berpaling darinya…” “Maka
setiap nabi yang diutus oleh Allah mengajak untuk beribadah kepada Allah
semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Bahkan
fitrah pun telah mempersaksikan kebenaran hal itu. Adapun orang-orang
musyrik sama sekali tidak memiliki hujjah/landasan yang kuat atas
perbuatannya. Hujjah mereka tertolak di sisi Rabb mereka. Mereka layak
mendapatkan murka Allah dan siksa yang amat keras dari-Nya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/337-338] cet. Dar Thaibah)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap
umat seorang rasul [yang berseru]: Sembahlah Allah dan jauhilah
thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada
kaumnya, maka dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi
kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 59).
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara
mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi
kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 65).
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara
mereka yaitu Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada
bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 73).
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara
mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada
bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 85).
Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah
berkata, “Barangsiapa mentadabburi Kitabullah serta membaca Kitabullah
dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh
isi al-Qur’an; dari al-Fatihah sampai an-Naas, semuanya berisi dakwah
tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga
berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang
keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat
syirik. Hampir-hampir al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan
ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syari’atkan
dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari
ajaran tauhid…” (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 22)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah
menjelaskan, “Seluruh isi al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid
dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan
tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah
semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap
rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada
Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah
pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali
supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya
seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah dan akal yang sehat, semuanya
telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling
mendasar diantara segala pokok ajaran agama.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [8/23])
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah
mengatakan, “al-Qur’an berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya,
dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah tauhid ilmu dan
pemberitaan. Selain itu al-Qur’an juga berisi seruan untuk beribadah
hanya kepada-Nya yang tiada sekutu bagi-Nya serta ajakan untuk
mencampakkan sesembahan selain-Nya. Itulah yang disebut dengan istilah
tauhid kehendak dan tuntutan. al-Qur’an itu juga berisi perintah dan
larangan serta kewajiban untuk patuh kepada-Nya. Itulah yang disebut
dengan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Selain itu, al-Qur’an
juga berisi berita tentang kemuliaan yang Allah berikan bagi orang yang
mentauhidkan-Nya, apa yang Allah lakukan kepada mereka ketika masih
hidup di dunia, dan kemuliaan yang dianugerahkan untuk mereka di
akhirat. Itulah balasan atas tauhid yang dia miliki. Di sisi yang lain,
al-Qur’an juga berisi pemberitaan mengenai keadaan para pelaku
kesyirikan, tindakan apa yang dijatuhkan kepada mereka selama di dunia,
dan siksaan apa yang mereka alami di akhirat. Maka itu adalah hukuman
yang diberikan kepada orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini
menunjukkan bahwa seluruh isi al-Qur’an membicarakan tentang tauhid,
hak-haknya, dan balasan atasnya. Selain itu, al-Qur’an pun membeberkan
tentang masalah syirik, keadaan pelakunya, serta balasan atas kejahatan
mereka.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah dengan takhrij al-Albani, hal. 89 cet. al-Maktab al-Islami)
Diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah bahwasanya dakwah para rasul itu berporos pada tiga perkara:
- Memperkenalkan keagungan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya
- Menunjukkan dan menjelaskan kepada mereka jalan yang akan
mengantarkan kepada-Nya, yaitu dengan berdzikir, bersyukur, dan
beribadah kepada-Nya
- Menerangkan kepada mereka tentang balasan yang akan mereka terima
sesampainya mereka di hadapan-Nya, berupa kenikmatan surga dan yang
paling utama di antaranya adalah keridhaan Allah dan kenikmatan
memandang wajah-Nya dan Allah pun mengajak bicara dengan mereka (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 16-17)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Allah lah yang telah menciptakan tujuh lapis
langit dan bumi seperti itu pula. Turunlah perintah-Nya di antara itu
semua. Supaya kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Dan bahwasanya ilmu Allah meliputi segala sesuatu.” (QS.
ath-Thalaq: 12).
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah
berkata, “Oleh sebab itu tatkala seorang hamba menyibukkan diri untuk
memahami nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya maka itu adalah sebuah
kesibukan dalam rangka mewujudkan hikmah penciptaan hamba itu sendiri.
Dengan dia meninggalkan dan melalaikan hal itu, maka itu berarti dia
telah melalaikan hikmah penciptaan dirinya. Tidak sepantasnya bagi
seorang hamba yang telah mendapatkan karunia Allah yang sangat besar dan
nikmat Allah pun terus-menerus tercurah kepadanya lantas dia justru
bodoh tentang Rabbnya dan berpaling dari mengenal-Nya…”(lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 25)
Allah ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam
(yang artinya), “Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku.
Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia.
Inilah jalan yang lurus.”(QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS.
Az-Zukhruf: 63-64).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Inilah, yaitu penyembahan kepada Allah, ketakwaan kepada-Nya,
serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan ‘jalan lurus’ yang
mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya, adapun yang selain jalan
itu maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 132 cet. ar-Risalah)
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “…Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah
yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu.
Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun
dengan menjalankan syari’at yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan [landasan] hawa nafsu maupun bid’ah-bid’ah…” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)
Tanggapan Kaum Musyrikin Terhadap Dakwah Tauhid
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan mereka merasa keheranan tatkala datang
kepada mereka seorang pemberi peringatan dari kalangan mereka, dan
orang-orang kafir itu pun berkata: Ini adalah tukang sihir dan pendusta.
Apakah dia [Muhammad] hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini
menjadi satu sesembahan saja? Sungguh, ini adalah perkara yang sangat
mengherankan.” (QS. Shod: 4-5)
(bacalah kisah menarik mengenai tafsir
ayat ini di dalam Ma’alim at-Tanzil, hal. 1105 oleh Imam al-Baghawi rahimahullah)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka
itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaaha illallah maka mereka pun
menyombongkan diri. Mereka berkata: Akankah kami meninggalkan
sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila.” (QS.
Ash-Shaffat: 35-36)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Demikianlah, tidak datang kepada orang-orang
sebelum mereka seorang rasul pun melainkan mereka (kaumnya) berkata:
tukang sihir atau orang gila. Apakah mereka saling berpesan dengannya?
Bahkan mereka itu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS.
Adz-Dzariyat: 52-53)
Tauhid Perintah Yang Paling Agung
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Rabbmu memerintahkan: Janganlah kalian
beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah
kalian berbuat baik.” (QS. Al-Israa’: 23)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid,
yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu
mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan
kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula akan lenyaplah berbagai
kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi
badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling
besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang
hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan,
ketika di dunia maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di
akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua
keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari
syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung
disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun
memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai
dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu
ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau
akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka
jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa
ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka
mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwasanya dakwah kepada laa ilaha illallah adalah dakwah kepada tauhid (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid,
hal. 67 oleh Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz alu Syaikh). Orang-orang
ahli kitab di masa itu telah mengucapkan kalimat laa ilaha illallah
-berdasarkan perintah Kitab suci mereka- akan tetapi karena ucapan
mereka tidak dilandasi ilmu dan pemahaman maka ucapan itu tidak
bermanfaat bagi mereka, sehingga mereka justru beribadah kepada selain
Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Mu’adz untuk menjadikan dakwah tauhid sebagai dakwah yang paling utama untuk diserukan kepada mereka (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 36 oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah)
Diantara pelajaran berharga yang bisa kita petik dari hadits di atas
adalah wajibnya menerima hadits ahad dan mengamalkannya. Sebab di dalam
hadits ini Mu’adz diutus ke Yaman seorang diri. Hadits ini juga
menunjukkan bahwa orang-orang kafir didakwahi kepada tauhid sebelum
kepada perkara-perkara wajib yang lain. Demikian pula, hadits ini
menunjukkan bahwa tauhid adalah kewajiban yang paling wajib (lihat Ibthal at-Tandid bi Ikhtishar Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 42 oleh Syaikh Hamd bin ‘Atiq rahimahullah)
Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “Di dalam hadits ini terkandung pelajaran diterimanya
khabar/hadits ahad dan wajib beramal dengannya.” Beliau juga berkata,
“Di dalamnya juga terdapat pelajaran bahwa dituntunkan untuk mendakwahi
orang kafir kepada tauhid sebelum memerangi mereka, dan tidaklah mereka
dihukumi sebagai muslim kecuali setelah mengucapkan dua kalimat
syahadat.” (lihat Syarh Muslim [2/48])
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam, dan ihsan. Lelaki itu
berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau menjawab, “Islam
adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun, kamu mendirikan sholat wajib, membayar zakat yang telah
diwajibkan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah [yang benar]
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kamu mendirikan sholat,
menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke
Baitullah jika kamu memiliki kemampuan untuk mengadakan perjalanan ke
sana.” (HR. Muslim dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian
cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang
terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah
salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang
hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah
dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya
hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara; tauhid kepada Allah,
mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Perangilah mereka sampai tidak ada lagi
fitnah (syirik) dan agama seluruhnya menjadi milik Allah.” (QS.
Al-Anfal: 39)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan laa ilaha illallah. Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha
illallah maka dia telah menjaga dariku harta dan jiwanya kecuali dengan
haknya. Adapun hisabnya adalah urusan Allah.” (HR. Muslim)
Imam al-Khaththabi rahimahullah
berkata, “Telah dimaklumi bahwa yang dimaksud oleh hadits ini [untuk
diperangi] adalah para pemuja berhala, bukan ahli kitab; sebab ahli
kitab -di masa itu- telah mengucapkan laa ilaha illallah…” Qadhi ‘Iyadh
juga memiliki keterangan serupa bahwa yang dimaksud adalah kaum
musyrikin arab, para pemuja berhala, dan orang-orang yang tidak
bertauhid (lihat Syarh Muslim [2/56])
Tauhid Kunci Keselamatan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Allah Yang Maha Suci telah mengaruniakan dua hal yang agung kepada
bani Adam. Kedua hal itu merupakan pokok kebahagiaan. Pertama; Setiap
bayi yang terlahir berada di atas fitrah (tauhid). Setiap jiwa apabila
dibiarkan begitu saja niscaya akan mengakui bahwasanya Allah adalah
ilah/sesembahan baginya. Ia akan mencintai dan akan menyembah-Nya tanpa
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Akan tetapi adanya bisikan
setan dari kalangan jin dan manusia itulah yang menyebabkan kebatilan
seolah menjadi sesuatu yang tampak indah dan menawan. Kedua; Allah ta’ala
telah memberikan petunjuk kepada umat manusia dengan bimbingan yang
bersifat umum. Sehingga di dalam diri mereka secara fitrah telah
terpatri pengenalan -kepada kebenaran- dan sebab-sebab guna meraih ilmu.
Setelah itu, Allah pun menurunkan kitab-kitab suci dan mengutus para
rasul sebagai pembimbing bagi mereka.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 35)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepada pamannya -Abu Thalib- menjelang kematiannya, “Ucapkanlah
laa ilaha illallah; yang dengan kalimat itu aku akan bersaksi untuk
menyelamatkanmu pada hari kiamat.” Akan tetapi pamannya itu enggan. Maka
Allah menurunkan ayat (yang artinya), “Sesungguhnya engkau tidak bisa
memberikan petunjuk (hidayah taufik) kepada orang yang kamu cintai,
dst.” (QS. Al-Qashash: 56) (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah
membuat judul bab: Dalil yang menunjukkan bahwa barangsiapa yang mati
di atas tauhid maka dia pasti masuk surga. Kemudian beliau membawakan
riwayat yang dimaksud (lihat Syarh Muslim [2/63]). Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui
bahwasanya tidak ada ilah [yang benar] selain Allah maka dia masuk
surga.” (HR. Muslim)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka harus
menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Adapun hak hamba yang pasti diberikan Allah ‘azza wa jalla
adalah Dia tidak akan menyiksa [kekal di neraka, pent] orang yang tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah datang Jibril ‘alaihis salam
kepadaku dan dia memberikan kabar gembira kepadaku; bahwa barangsiapa
diantara umatmu yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah
dengan sesuatu apapun, maka dia pasti masuk surga.” Lalu aku berkata,
“Meskipun dia pernah berzina dan mencuri?”. Dia menjawab, “Meskipun dia
berzina dan mencuri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “…Apabila dia -orang yang bertauhid- itu adalah seorang pelaku
dosa besar yang meninggal dalam keadaan terus-menerus bergelimang
dengannya (belum bertaubat dari dosa besarnya) maka dia berada di bawah
kehendak Allah (terserah Allah mau menghukum atau memaafkannya). Apabila
dia dimaafkan maka dia bisa masuk surga secara langsung sejak awal.
Kalau tidak, maka dia akan disiksa terlebih dulu lalu dikeluarkan dari
neraka dan dikekalkan di dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
‘meskipun dia berzina dan mencuri’, maka ini adalah hujjah/dalil bagi
madzhab Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa para pelaku dosa besar -dari
kalangan umat Islam, pent- tidak boleh dipastikan masuk ke dalam neraka,
dan apabila ternyata mereka diputuskan masuk (dihukum) ke dalamnya maka
mereka [pada akhirnya] akan dikeluarkan dan akhir keadaan mereka adalah
kekal di dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])
Syaikh as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah ia
merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu
apabila di dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji
sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati maka akan
menghalangi masuk neraka secara keseluruhan/tidak masuk neraka sama
sekali.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
benar kecuali Allah semata tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya, dan Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya
serta kalimat-Nya yang diberikan-Nya kepada Maryam dan ruh dari-Nya,
dan bersaksi bahwa surga adalah benar dan neraka adalah benar, maka
Allah akan memasukkannya ke dalam surga bagaimana pun amalannya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “Maka tidak ada seorang pun yang meninggal di atas tauhid
dihukum kekal di dalam neraka, meskipun dia melakukan kemaksiatan
seperti apapun juga, sebagaimana pula tidak akan pernah masuk surga
orang yang mati di atas kekafiran meskipun dulunya dia banyak melakukan
berbagai amal kebaikan.” (lihat Syarh Muslim [2/74])
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha,
beliau berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an adalah
orang yang di masa Jahiliyah suka menyambung tali kekerabatan dan
memberi makan orang miskin, apakah hal itu bermanfaat untuknya?”. Maka
beliau menjawab, “Tidak bermanfaat baginya. Karena sesungguhnya dia tak
pernah suatu hari pun memohon, ‘Wahai Rabbku ampunilah dosaku di hari
pembalasan nanti.’.” (HR. Muslim)
Tafsir Kalimat Tauhid
Syahadat laa ilaha illallah maknanya adalah seorang hamba mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada ma’bud [sesembahan] yang benar kecuali Allah ‘azza wa jalla. Karena ilah bermakna ma’luh [sesembahan], sedangkan kata ta’alluh bermakna ta’abbud [beribadah]. Di dalam kalimat ini terkandung penafian dan penetapan. Penafian terdapat pada ungkapan laa ilaha, sedangkan penetapan terdapat pada ungkapan illallah.
Sehingga makna kalimat ini adalah pengakuan dengan lisan -setelah
keimanan di dalam hati- bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain
Allah; dan konsekuensinya adalah memurnikan ibadah kepada Allah semata
dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya (lihat Fatawa Arkan al-Islam hal. 47 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa kalimat tauhid ini mengandung
makna tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Yang dimaksud tauhid ibadah
adalah mengesakan Allah dengan segala bentuk perbuatan hamba yang
bernilai ibadah -secara lahir maupun batin- seperti halnya sholat,
puasa, zakat, haji, menyembelih kurban, nadzar, cinta, takut, harap,
tawakal, roghbah, rohbah, doa, dan lain sebagainya yang telah
disyari’atkan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Dengan kata lain, tauhid
ibadah adalah menujukan segala bentuk ibadah kepada Allah semata;
sehingga barangsiapa yang menujukan ibadah kepada selain Allah maka dia
termasuk golongan orang kafir dan musyrik (lihat Ibnu Rajab al-Hanbali wa Atsaruhu fi Taudhih ‘Aqidati as-Salaf [1/297] oleh Dr. Abdullah al-Ghafili)
Oleh sebab itu penafsiran laa ilaha illallah dengan ‘Tiada pencipta
selain Allah’, atau ‘Tiada penguasa selain Allah’, atau ‘Tiada pengatur
selain Allah’, dan semacamnya adalah kekeliruan (lihat at-Tauhid li Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 45 karya Syaikh Shalih al-Fauzan)
Kesalahpahaman ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat, Asya’irah dan Mu’tazilah yang mengartikan kata ilah dalam syahadat laa ilaha illallah dengan makna al-Qadir; artinya yang berkuasa. Sehingga mereka menafsirkan laa ilaha illallah dengan tiada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah. Oleh sebab itu di dalam kitab pegangan mereka semisal Ummul Barahin, dijelaskan bahwa makna ilah
adalah Dzat yang tidak membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala
sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya. Ini artinya mereka telah
menyimpangkan makna tauhid uluhiyah kepada tauhid rububiyah. Hal ini
pula yang menimbulkan munculnya pemaknaan laa ilaha illallah
dengan ‘tiada tuhan selain Allah’, karena istilah tuhan di sini
dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur dan pemelihara alama semesta.
Padahal, yang benar maknanya adalah tiada sesembahan [ma'bud] yang benar selain Allah (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-76)
Landasan Penafsiran
Banyak sekali dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menjadi landasan atas penafsiran di atas. Diantaranya, Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka dahulu, apabila
dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan
diri (menolaknya). Mereka berkata: Apakah kami harus meninggalkan
sesembahan-sesembahan kami karena mengikuti seorang penyair gila?” (QS.
Ash-Shaffat: 35-36)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka
[orang-orang musyrik Quraisy] merasa keheranan terhadap seorang pemberi
peringatan yang muncul dari kalangan mereka. Orang-orang kafir itu pun
berkata: ‘Dia ini adalah penyair lagi tukang dusta. Apakah dia hendak
menjadikan ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) ini menjadi satu sesembahan
saja? Tentu saja ini adalah perkara yang sangat mengherankan’.” (QS.
Shaad: 4-5)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi
seorang manusia yang diberikan Allah kepadanya al-Kitab, hukum dan
kenabian lantas berkata kepada manusia: Jadilah kalian sebagai pemuja
diriku sebagai tandingan untuk Allah. Akan tetapi jadilah kalian rabbani
dengan sebab apa yang kalian ajarkan berupa al-Kitab dan apa yang
kalian pelajari. Dan tidaklah dia memerintahkan kalian untuk menjadikan
malaikat dan nabi-nabi sebagai sesembahan. Apakah dia hendak
memerintahkan kalian kafir setelah kalian memeluk Islam?” (QS. Ali
‘Imran: 79-80)
Ibnu Juraij dan sekelompok ulama tafsir yang lain menjelaskan, bahwa maksud dari ayat ini adalah, “Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi
sebagai sesembahan, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kaum Quraisy
dan Shabi’in yang berkeyakinan bahwa malaikat adalah putri-putri Allah.
Tidak juga sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani yang berkeyakinan tentang
‘Isa al-Masih dan ‘Uzair seperti apa yang mereka ucapkan [bahwa mereka
adalah anak Allah, pent].” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 220 oleh Imam al-Baghawi)
Disebutkan dalam riwayat, bahwasanya suatu ketika orang-orang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian mereka berkata, “Apakah kamu wahai Muhammad ingin untuk kami
jadikan sebagai rabb/sesembahan?” Maka Allah pun menurunkan ayat di atas
sebagai tanggapan untuk mereka (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [5/187] oleh Imam al-Qurthubi)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Lalu Allah
berfirman (yang artinya), “Dan dia tidaklah memerintahkan kalian untuk
menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan” yaitu dia tidak
memerintahkan kalian untuk beribadah kepada siapapun selain Allah, baik
kepada nabi yang diutus ataupun malaikat yang dekat -dengan Allah-.
“Apakah dia akan memerintahkan kalian kepada kekafiran setelah kalian
memeluk Islam?”. Artinya dia [rasul] tidak melakukan hal itu. Karena
barangsiapa yang mengajak kepada peribadatan kepada selain Allah maka
dia telah mengajak kepada kekafiran. Padahal para nabi hanyalah
memerintahkan kepada keimanan; yaitu beribadah kepada Allah semata yang
tidak ada sekutu bagi-Nya.” Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala
(yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seorang
rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan
-yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya’:
25) dst.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/67])
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah ketika
Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: Sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kalian sembah, kecuali Dzat yang menciptakan diriku,
karena sesungguhnya Dia pasti akan memberikan petunjuk kepadaku.” (QS.
Az-Zukhruf: 26-27)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada
teladan yang baik untuk kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya (para nabi), yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya:
‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian
sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian, dan telah jelas antara
kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai
kalian mau beriman kepada Allah saja…”(QS. Al-Mumtahanah: 4).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika
Allah bertanya; Wahai Isa bin Maryam, apakah engkau berkata kepada
manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sesembahan selain Allah.
Maka Isa menjawab: Maha suci Engkau, tidak layak bagiku untuk mengatakan
sesuatu yang bukan menjadi hakku. Jika aku telah mengatakannya pastilah
Engkau sudah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku
dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau
Maha Mengetahui perkara yang gaib.” (QS. Al-Ma’idah: 116)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Diantara tanda
kebesaran Allah adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka
janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi
sujudlah kepada Allah yang telah menciptakan itu semua, jika kalian
benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat: 37)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud dari ayat,
“Janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi
sujudlah kepada Allah yang telah menciptakan itu semua.” Beliau berkata,
“Janganlah kalian mempersekutukan hal itu dengan-Nya. Karena tidaklah
berguna ibadah kalian kepada-Nya jika kalian juga beribadah kepada
selain-Nya. Sebab Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya.”
(lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [7/182] cet. Dar Thaibah)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang
berdoa (beribadah) kepada sesembahan lain disamping doanya kepada Allah
yang itu jelas tidak ada keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya
hisabnya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak
akan beruntung.”(QS. Al-Mukminun: 117)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka
diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan
agama untuk-Nya dengan menjalankan ajaran yang hanif, mendirikan sholat,
dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan:
- Makna ‘tidaklah mereka diperintahkan’ yaitu dalam seluruh syari’at
- Makna ‘kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan
agama untuk-Nya’ yaitu supaya mereka menujukan segala bentuk ibadah
-lahir maupun batin- dalam rangka mencari wajah Allah serta mendapatkan
kedekatan diri di sisi-Nya
- Makna ‘mengikuti ajaran yang hanif’ yaitu berpaling dari semua agama yang menyelisihi agama tauhid (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [7/657])
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan:
- Makna ‘dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya’ yaitu agar mereka bertauhid serta tidak beribadah kepada sesembahan selain-Nya
- Makna ‘mengikuti ajaran yang hanif’ yaitu berada di atas ajaran agama Ibrahim (lihat Zaad al-Masir fi ‘Ilmi at-Tafsir, hal. 1576)
Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan:
- Makna ‘tidaklah mereka diperintahkan’ maksudnya adalah orang-orang kafir
- Makna ‘dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya’ adalah sebagaimana
tafsiran Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata, “Tidaklah mereka diperintahkan di
dalam Taurat maupun Injil kecuali untuk mengikhlaskan ibadah untuk Allah
dan melaksanakan tauhid.”
- Makna ‘mengikuti ajaran yang hanif’ yaitu berpaling dari semua agama dan hanya condong (memeluk) agama Islam (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 1426)
Adapun dalil dari as-Sunnah, diantaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah -dalam sebagian
riwayat disebut ‘barangsiapa yang mentauhidkan Allah’- dan mengingkari
segala sesembahan selain Allah maka terjaga harta dan darahnya,
sedangkan hisabnya adalah urusan Allah.” (HR. Muslim dari Thariq
al-Asyja’i radhiyallahu’anhu)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam, dan ihsan. Lelaki itu
berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau menjawab, “Islam
adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun, kamu mendirikan sholat wajib, membayar zakat yang telah
diwajibkan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjabaran Tafsir Kalimat Tauhid
Dari keterangan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan di atas,
teranglah bagi kita bahwa makna laa ilaha illallah adalah ‘tidak ada
sesembahan yang benar selain Allah’, atau dengan ungkapan lain ‘tidak
ada yang berhak diibadahi kecuali Allah’. Artinya, segala macam bentuk
ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Barangsiapa yang menujukan
salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah maka dia telah berbuat
kesyirikan dan keluar dari Islam.
Inilah pokok dan intisari dari ajaran Islam dan misi dakwah seluruh nabi dan rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Ini pula yang terkandung dalam kalimat yang senantiasa kita baca di dalam sholat Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in;
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan Hanya kepada-Mu kami meminta
pertolongan.” Ini pula yang menjadi muatan utama Kitab Suci al-Qur’an
yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sebagaimana dikatakan
oleh sebagian salaf bahwa al-Fatihah menyimpan rahasia [ajaran]
al-Qur’an, sedangkan rahasia surat ini adalah kalimat ‘Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in‘. Bagian yang pertama (Iyyaka na’budu) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari syirik. Adapun bagian yang kedua (Iyyaka nasta’in) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari [kemandirian] daya dan kekuatan, serta menyerahkan [segala urusan] kepada Allah ‘azza wa jalla. Makna semacam ini dapat ditemukan dalam banyak ayat al-Qur’an.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/34] cet. at-Taufiqiyah)
Ayat Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in mengandung pemurnian ibadah semata-mata kepada Allah. Dalam ayat ini objeknya didahulukan (iyyaka),
padahal biasanya ia diletakkan di belakang. Menurut kaidah bahasa arab
hal ini menunjukkan pembatasan dan pengkhususan. Sehingga arti ayat ini
menjadi, “Kami tidak beribadah kecuali hanya kepada-Mu. Dan kami tidak
memohon pertolongan kecuali kepada-Mu.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [1/35])
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahullah berkata, “Di dalamnya terkandung penetapan tauhid uluhiyah. Dikedepankannya objek yaitu kata Iyyaka memberikan makna pembatasan. Sehingga memberikan arti; “Kami mengkhususkan ibadah dan isti’anah/permintaan tolong hanya kepada-Mu, dan kami tidak mempersekutukan siapa pun bersama-Mu.”.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 57)
Ayat Iyyaka na’budu juga mengandung bantahan bagi pelaku kemusyrikan. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Di dalamnya juga terkandung bantahan bagi orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Iyyaka na’budu
mengandung pemurnian ibadah untuk Allah semata; sehingga di dalamnya
terkandung bantahan bagi orang-orang musyrik yang menyertakan selain
Allah dalam beribadah kepada-Nya.”(lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 9)
Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang mengucapkan Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
akan tetapi mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali.
Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka juga
beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa
kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdoa kepada Husain,
kepada Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua
termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni
pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19-20)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya. Dan masih berkenan untuk
mengampuni apa-apa yang berada di bawah tingkatannya bagi siapa pun yang
dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 48)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan atasnya surga
dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang
zalim itu penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72)
Pengertian Tauhid Uluhiyah
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menerangkan,
“Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan
hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan,
isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain
sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata
dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu
apapun.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh menjelaskan, bahwa kata uluhiyah berasal dari alaha – ya’lahu – ilahah – uluhah yang bermakna ‘menyembah dengan disertai rasa cinta dan pengagungan’. Sehingga kata ta’alluh diartikan penyembahan yang disertai dengan kecintaan dan pengagungan (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 6 dan 74-76, lihat juga al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/26] karya ar-Raghib al-Ashfahani).
Kamilah al-Kiwari hafizhahallahu berkata, “Makna tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah ta’ala
dalam beribadah, dalam ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Oleh
sebab itu tidak diibadahi kecuali Allah semata dan tidak boleh
dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun baik yang ada di bumi ataupun
di langit. Tauhid tidak akan terwujud selama tauhid uluhiyah belum
menyertai tauhid rububiyah. Karena sesungguhnya hal ini -tauhid
rububiyah, pen- tidaklah mencukupi. Orang-orang musyrik arab dahulu
telah mengakui hal ini dan hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam
Islam. Hal itu dikarenakan mereka mempersekutukan Allah dengan
sesembahan lain yang tentu saja Allah tidak menurunkan keterangan
atasnya sama sekali dan mereka mengangkat sesembahan-sesembahan lain
bersama Allah…” (lihat al-Mujalla fi Syarh al-Qowa’id al-Mutsla, hal. 32)
Pengertian Tauhid Rububiyah
Imam ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah berkata, “Akar kata
dari Rabb adalah tarbiyah; yaitu menumbuhkan sesuatu dari satu keadaan
kepada keadaan berikutnya secara bertahap hingga mencapai kesempurnaan.”
(lihat al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/245])
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah
berkata, “Rabb menurut bahasa digunakan untuk tiga makna; sayyid/tuan
yang dipatuhi, maalik/pemilik atau penguasa, atau sosok yang melakukan
ishlah/perbaikan kepada selainnya.” (lihat transkrip ceramah Syarh Tsalatsat al-Ushul milik beliau)
Tauhid rububiyah adalah seorang hamba meyakini bahwa Allah adalah
satu-satunya Rabb, Yang Maha Mencipta, Yang Maha Memberikan Rizki, Yang
Mengatur segala urusan, yang memelihara dan menjaga seluruh makhluk
dengan segala bentuk nikmat. Meyakini bahwasanya Allah yang memelihara
dan menjaga makhluk-makhluk pilihan-Nya yaitu para nabi dan pengikut
mereka dengan bimbingan akidah yang benar, akhlak yang mulia, ilmu-ilmu
yang bermanfaat, dan amal salih. Inilah bentuk tarbiyah (pemeliharaan
dan penjagaan) yang bermanfaat bagi hati dan ruh, yang akan membuahkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 13)
Tauhid rububiyah juga bisa didefinisikan dengan: mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Apakah ada pencipta selain Allah yang
memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan milik Allah lah kekuasaan atas langit dan bumi.” (QS. Ali ‘Imran: 189). Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Siapakah yang memberikan rizki
kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang menguasai
pendengaran dan penglihatan, siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati, siapakah yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan
siapakah yang mengatur segala urusan. Niscaya mereka akan menjawab,
Allah. Maka katakanlah, Lalu mengapa kalian tidak bertakwa.”(QS. Yunus:
31) (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/5-6] cet. Maktabah al-’Ilmu, lihat juga Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah hal. 34)
Allah Satu-Satunya Pencipta
Secara logika, ada tiga kemungkinan teori terjadinya alam semesta:
- Ia terjadi begitu saja secara tiba-tiba, tanpa ada pencipta
- Ia menciptakan dirinya sendiri
- Ia ada karena diciptakan
Kemungkinan pertama dan kedua jelas tertolak. Karena sesuatu yang
terjadi secara tiba-tiba tidak bisa tertata rapi dan teratur pada asal
pembentukannya, maka lebih tidak mungkin lagi ia tertata dengan baik
dalam perkembangannya. Dan mustahil ia menciptakan dirinya sendiri.
Karena sebelum ada, alam semesta ini tidak ada. Bagaimana mungkin
sesuatu yang tidak ada bisa mencipta? Ada saja tidak! Oleh sebab itu
hanya kemungkinan ketiga yang tersisa, yaitu alam ini ada karena
diciptakan. Adapun penciptanya tidak lain adalah Allah ta’ala. Allah ta’ala
telah mengisyaratkan tiga kemungkinan ini dalam firman-Nya (yang
artinya), “Apakah mereka itu tercipta tanpa ada sesuatu apapun
sebelumnya, ataukah mereka sendiri yang menciptakan?” (QS. ath-Thur:
35). Maka sangatlah wajar jika seorang arab yang mau menggunakan akalnya
seperti Jubair bin Muth’im pun seketika tertarik kepada Islam setelah
mendengar dibacakannya ayat ini (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 17-18 cet. Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, lihat juga Fath al-Bari karya al-Hafizh Ibnu Hajar [8/708] cet. Dar al-Hadits)
Dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya -semoga Allah meridhainya-, dia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca surat ath-Thur pada saat sholat Maghrib. Tatkala beliau sampai
pada ayat ini (yang artinya), “Apakah mereka itu diciptakan tanpa ada
sesuatu sebelumnya, ataukah mereka sendiri yang menciptakan? Apakah
mereka yang menciptakan langit dan bumi? Bahkan, mereka pun tidak
meyakininya. Apakah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabb-mu, ataukah
mereka yang menguasainya?” (QS. ath-Thur: 35-37). Maka Jubair bin
Muth’im pun berkata, “Hampir-hampir saja hatiku melayang.” (HR. Bukhari)
Dikisahkan, suatu ketika Imam Abu Hanifah rahimahullah ditanya
oleh sejumlah orang zindiq/atheis mengenai keberadaan pencipta alam
ini. Beliau pun berkata kepada mereka, “Tunggu sebentar, biarkan aku
berpikir mengenai suatu berita yang disampaikan kepadaku. Mereka pernah
menceritakan kepadaku bahwa ada sebuah kapal yang berlayar di tengah
lautan berisi muatan berbagai barang dagangan. Akan tetapi tidak ada
seorang pun yang menjaga dan mengemudikannya. Meskipun begitu, kapal itu
datang dan pergi dengan sendirinya. Ia menembus gelombang lautan yang
ganas dan meloloskan diri darinya. Ia berlayar ke mana pun ia mau tanpa
ada seorang pun yang mengendalikannya.” Orang-orang zindiq itu pun
berkata, “Ini adalah sebuah perkara yang tidak diucapkan oleh orang yang
berakal.” Lantas Abu Hanifah mengatakan, “Sungguh celaka kalian! Kalau
begitu bagaimana mungkin alam semesta ini, langit dan buminya, beserta
segala isinya yang begitu teratur, ternyata ia tidak memiliki
pencipta?!”. Orang-orang itu pun terdiam seribu bahasa. Akhirnya mereka
kembali kepada kebenaran dan masuk Islam di tangan Imam Abu Hanifah rahimahullah (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 14 oleh Syaikh Abdullah al-Qar’awi, lihat pula Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 84-85)
Pengakuan Orang Musyrik Terhadap Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah adalah sesuatu yang telah menjadi fitrah manusia dan
hakikat yang diterima oleh akal sehat mereka. Orang-orang kafir
sekalipun sebenarnya mengimani hal ini di dalam hatinya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Para rasul mereka pun
mengatakan, “Apakah ada keraguan terhadap Allah; padahal Dia lah yang
menciptakan langit dan bumi.”.”(QS. Ibrahim: 10).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh, jika
engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan
langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab, ‘Yang menciptakannya adalah
Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui’.”(QS. az-Zukhruf: 9)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu
tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan diri mereka, niscaya
mereka menjawab: Allah. Lalu dari mana mereka bisa dipalingkan (dari
menyembah Allah).” (QS. az-Zukhruf: 87).
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya orang-orang musyrik arab dahulu telah mengakui tauhid
rububiyah. Mereka pun mengakui bahwa pencipta langit dan bumi ini hanya
satu.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 81, lihat juga Fath al-Majid, hal. 16, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/201] [7/167])
Adapun yang terjadi kepada Fir’aun adalah sebuah kesombongan dan kecongkakan belaka. Allah ta’ala
menceritakan (yang artinya), “Maka dia (Fir’aun) berkata: Aku adalah
Rabb kalian yang tertinggi.” (QS. an-Nazi’at: 24). Fir’aun juga yang
berkata (yang artinya), “Aku tidak mengetahui bagi kalian ada
ilah/sesembahan selain diri-Ku.” (QS. al-Qoshosh: 38).
Padahal, dalam lubuk hatinya Fir’aun sebenarnya mengakui Allah sebagai Rabbnya. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Mereka menentang hal itu, padahal
sesungguhnya mereka telah meyakininya di dalam hatinya, itu semua karena
sifat zalim dan karena mereka merasa lebih tinggi -di hadapan
manusia-.” (QS. an-Naml: 14).
Nabi Musa ‘alaihis salam pun telah menetapkan pengakuan
Fir’aun atas hal itu, ketika beliau berbicara di hadapannya. Sebagaimana
diceritakan Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Sungguh kamu telah
mengetahui bahwasanya tidaklah yang menurunkan itu semua melainkan Rabb
yang menguasai langit dan bumi.” (QS. al-Israa’: 102) (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/6])
Tauhid Rububiyah Saja Belum Cukup!
Iman terhadap rububiyah Allah belum bisa memasukkan ke dalam Islam. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman
kepada Allah, melainkan mereka juga terjerumus dalam kemusyrikan.”(QS.
Yusuf: 107).
Ikrimah berkata, “Tidaklah kebanyakan mereka -orang-orang musyrik-
beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan berbuat syirik. Apabila kamu
tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Maka
mereka akan menjawab, ‘Allah’. Itulah keimanan mereka, namun di saat
yang sama mereka juga beribadah kepada selain-Nya.” (lihat Fath al-Bari [13/556])
Ini artinya, menganggap bahwa keyakinan Allah sebagai satu-satunya
pencipta dan pemelihara alam semesta sebagai intisari tauhid adalah
jelas sebuah kekeliruan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Bukanlah yang dimaksud dengan tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu
keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam sebagaimana yang
disangka oleh sebagian orang dari kalangan ahli kalam dan tasawuf.
Bahkan, mereka menyangka apabila mereka telah menetapkan kebenaran hal
ini dengan dalil maka mereka merasa telah mengukuhkan hakikat tauhid.
Mereka beranggapan apabila telah menyaksikan dan mencapai tingkatan ini
artinya mereka berhasil menggapai puncak tauhid. Padahal sesungguhnya
apabila ada seseorang yang mengakui sifat-sifat yang menjadi keagungan
Allah ta’ala, menyucikan-Nya dari segala sesuatu yang mencemari
kedudukan-Nya, dan meyakini Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu,
tidaklah dia menjadi seorang muwahid sampai dia mengucapkan syahadat laa
ilaha illallah; tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata,
mengakui Allah semata yang berhak diibadahi, menjalankan ibadah kepada
Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.” (lihat Fath al-Majid, hal. 15-16)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan, “Sebagaimana pula
wajib diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah
mencukupi dan tidak bermanfaat kecuali apabila disertai pengakuan
terhadap tauhid uluhiyah (mengesakan Allah dalam beribadah) dan
benar-benar merealisasikannya dengan ucapan, amalan, dan keyakinan…”
(lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Mengapa para
nabi tidak berkonsentrasi pada penetapan tauhid rububiyah dan dakwah
kepadanya? Sebab tauhid rububiyah adalah sesuatu yang telah mereka akui.
Mereka tidaklah mengingkarinya, dan tidak ada seorang pun yang berani
mengingkari tauhid rububiyah selamanya, kecuali karena kesombongan
semata. Karena pada hakikatnya tidak ada seorang pun yang meyakini
-selamanya- bahwa alam semesta menciptakan dirinya sendiri. Bahkan, kaum
Majusi Tsanuwiyah sekalipun; yang berkeyakinan bahwa alam semesta ini
memiliki dua pencipta. Meskipun demikian, mereka tetap meyakini bahwa
salah satu diantara keduanya lebih sempurna. Mereka meyakini bahwa tuhan
cahaya menciptakan kebaikan, sedangkan tuhan kegelapan menciptakan
keburukan. Sementara mereka mengatakan bahwa tuhan cahaya adalah tuhan
yang baik dan bermanfaat. Adapun tuhan kegelapan adalah tuhan yang
buruk…” “…Intinya, tidak akan anda temukan selamanya seorang pun yang
berkata bahwa alam semesta ini diciptakan tanpa adanya Sang pencipta,
kecuali orang yang sombong. Sedangkan orang yang sombong semacam ini
adalah termasuk golongan orang musyrik. Adapun masalah [tauhid]
uluhiyah, maka itulah permasalahan yang menjadi sumber pertikaian dan
pertentangan antara para rasul dengan umat mereka.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Hisan, hal. 21)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Diantara perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam
bidang ilmu tauhid dari kalangan belakangan (muta’akhirin) lebih
memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka
sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb [Allah]
-walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb [Sang Pencipta dan
Penguasa alam semesta]- akan tetapi bukankah betapa banyak umat Islam
yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/8])
Tatkala para ulama salaf sangat memperhatikan masalah tauhid ibadah,
sesungguhnya mereka melakukan itu semata-mata untuk mengikuti bagaimana
Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai
dakwahnya. Karena tauhid rububiyah adalah perkara yang fitrah ada pada
manusia, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang telah tercabut
fitrah darinya dan terbutakan mata hatinya… Adapun salafiyun -dengan
manhaj mereka ini- berbeda dengan kaum Mutakallimin dari kalangan
Asya’irah dan selainnya yang melalaikan masalah tauhid ini dan tidak
mencurahkan segenap upaya mereka untuk mengokohkan dan mengajarkan hal
itu kepada umat manusia. Bahkan, puncak perjuangan mereka hanyalah
berdalil untuk menetapkan keberadaan al-Khaliq, padahal ini semuanya
telah terpatri di dalam fitrah manusia yang suci. Sebagaimana sudah kami
isyaratkan baru saja. Oleh sebab itu untuk menetapkan hal itu tidaklah
memerlukan upaya yang rumit. Apalagi sampai menjadikan segala upaya
hanya untuk mencapai tujuan itu. Yang demikian itu terjadi kepada mereka
disebabkan mereka menganggap bahwa hakikat ilahiyah adalah kemampuan
untuk mencipta. Oleh sebab itu mereka berjuang untuk memberikan
penjelasan kepada manusia bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta.
Kelalaian inilah yang pada akhirnya menjerumuskan mereka ke dalam
berbagai kotoran bid’ah dalam ibadah dan sebagian praktek kemusyrikan,
akibat mengesampingkan tauhid ibadah (lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu, Tarikhuhu, Majalatuhu, Qawa’iduhu wa Khasha’ishuhu, hal. 134 oleh Dr. Mufarrih bin Sulaiman al-Qusi, cet. Darul Fadhilah, 1422 H)
Konsekuensi Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah memiliki banyak konsekuensi bagi hamba, diantaranya adalah:
- Mengikhlaskan ibadah kepada Allah semata (baca: tauhid uluhiyah)
- Ridha terhadap perintah dan larangan-Nya (baca: tunduk kepada syari’at)
- Ridha terhadap takdir yang ditetapkan-Nya (baca: sabar)
- Ridha terhadap rizki dan pemberian-Nya (baca: qona’ah)
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah
menjelaskan, “Kemudian, sesungguhnya keimanan seorang hamba kepada Allah
sebagai Rabb memiliki konsekuensi mengikhlaskan ibadah kepada-Nya serta
kesempurnaan perendahan diri di hadapan-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Aku adalah Rabb kalian, maka sembahlah Aku.” (QS. al-Anbiya’: 92). Allah ta’ala
juga berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sembahlah Rabb
kalian.” (QS. al-Baqarah: 21). Keberadaan Allah sebagai Rabb seluruh
alam memiliki konsekuensi bahwa Allah tidak akan meninggalkan mereka
dalam keadaan sia-sia atau dibiarkan begitu saja tanpa ada perintah dan
larangan untuk mereka. Akan tetapi Allah menciptakan mereka untuk
mematuhi-Nya dan Allah mengadakan mereka supaya beribadah kepada-Nya.
Maka orang yang berbahagia diantara mereka adalah yang taat dan
beribadah kepada-Nya. Adapun orang yang celaka adalah yang durhaka
kepada-Nya dan lebih memperturutkan kemauan hawa nafsunya. Barangsiapa
yang beriman terhadap rububiyah Allah dan ridha Allah sebagai Rabb maka
dia akan ridha terhadap perintah-Nya, ridha terhadap larangan-Nya, ridha
terhadap apa yang dibagikan kepadanya, ridha terhadap takdir yang
menimpanya, ridha terhadap pemberian Allah kepadanya, dan tetap ridha
kepada-Nya tatkala Allah tidak memberikan kepadanya apa yang dia
inginkan.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 97)
Dari al-’Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Akan merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai
Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)
Ridha adalah merasa puas dan cukup dengan sesuatu serta tidak mencari
lagi sesuatu yang lain bersamanya. Makna hadits ini adalah; orang
tersebut tidak mencari dan berharap kecuali kepada Allah ta’ala
semata, tidak mau berusaha kecuali di atas jalan Islam, dan tidak mau
menempuh suatu jalan kecuali apabila sesuai dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seseorang yang telah merasa ridha dengan sesuatu maka sesuatu itu akan
terasa mudah baginya. Demikian pula seorang mukmin apabila iman telah
meresap ke dalam hatinya maka akan terasa mudah segala ketaatan kepada
Allah dan dia akan merasakan nikmat dengannya (lihat Syarh Muslim [2/86] cet. Dar Ibnu al-Haitsam)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang
menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh.
Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya,
rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai
standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya.
Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah
pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan
larangan-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang
beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka
pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada
Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang
amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini bersifat umum mencakup segala
permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hukum
atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk
menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam
hal ini, tidak ada lagi pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.”
(lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/423] cet. Dar Thaibah)
Allah ta’ala
juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka
tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai
hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan
diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam
diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’:
65)
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah
dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan
kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang
dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu
dengan-Nya.” (QS. al-Anfal: 24)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menjelaskan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanya bisa
digapai dengan merespon seruan Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa yang
tidak merespon seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya.
Meskipun dia memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya
antara dirinya dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu
kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan orang yang memenuhi
seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah
orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati.
Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan
mereka hidup. Oleh karena itu orang yang paling sempurna kehidupannya
adalah yang paling sempurna dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan
terkandung unsur kehidupan sejati. Barangsiapa yang kehilangan sebagian
darinya maka dia kehilangan sebagian unsur kehidupan itu, bisa jadi di
dalam dirinya terdapat kehidupan sekadar dengan responnya terhadap
ajakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat al-Fawa’id, hal. 85-86)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Benar-benar Kami akan menguji kalian dengan
sedikit rasa takut, kelaparan, serta kekurangan harta, lenyapnya nyawa,
dan sedikitnya buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi
orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah
mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini adalah milik Allah, dan kami
juga akan kembali kepada-Nya’. Mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat. Dan mereka
itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. al-Baqarah: 155-157)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah melainkan
dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah
akan berikan petunjuk ke dalam hatinya. Dan Allah terhadap segala
sesuatu Maha Mengetahui.” (QS. at-Taghabun: 11). ‘Alqomah berkata
tentang maksud ayat ini, “Dia adalah seorang yang tertimpa musibah, maka
dia menyadari bahwa hal itu datang dari Allah, oleh sebab itu dia pun
merasa ridha dan pasrah.” Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tertimpa
musibah kemudian bersabar maka Allah akan anugerahkan petunjuk ke dalam
hatinya (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 345-346)
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh
menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah
baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin.
Apabila mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal itu adalah
kebaikan untuknya. Apabila tertimpa kesulitan dia bersabar, maka hal itu
juga kebaikan untuknya.”(HR. Muslim)
Termasuk konsekuensi tauhid rububiyah adalah ridha atas rizki yang
Allah berikan kepada kita. Karena harta, pangkat, dan jabatan bukanlah
merupakan sebab kemuliaan seorang hamba. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya
dengan memuliakannya dan memberikan nikmat kepadanya maka dia berkata,
“Rabbku telah memuliakanku.” Akan tetapi apabila dia diberi ujian dengan
dibatasi rizkinya maka dia berkata, “Rabbku telah menghinakanku.”
Sekali-kali tidak…” (QS. al-Fajr: 15-17)
Allah ta’ala
memberitahukan tentang tabi’at manusia yang sebenarnya, bahwasanya
manusia adalah bodoh dan suka berbuat zalim. Tidak mengetahui dampak dan
pengaruh segala urusan. Dia menyangka keadaan yang dialaminya akan
terus berlangsung dan tidak sirna. Dia mengira bahwa pemuliaan kehidupan
duniawi dari Allah kepada seseorang adalah bukti kemuliaan orang
tersebut di sisi-Nya dan kedekatannya dengan Allah. Sehingga, tatkala
Allah membatasi rizkinya sebatas apa yang dibutuhkannya dan tidak
berlebihan, dia pun mengira Allah menghinakan dirinya. Allah membantah
persangkaan ini dengan firman-Nya, “Sekali-kali tidak.”
Maksudnya, tidak setiap orang yang diberikan kenikmatan dunia adalah
orang yang mulia di sisi Allah. Sebagaimana pula, tidak setiap orang
yang dibatasi rizkinya adalah orang yang hina di sisi-Nya. Sebab
kekayaan dan kemiskinan, kelapangan dan kesempitan, itu semua adalah
cobaan dari Allah untuk menguji hamba-Nya. Siapakah diantara mereka yang
menunaikan kewajiban syukur dan sabar sehingga Allah akan membalas
mereka dengan balasan yang melimpah. Dan siapakah diantara mereka yang
tidak menunaikan kewajiban itu sehingga menyebabkan dirinya berhak
mendapatkan siksaan yang amat berat (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 923-924)
Prioritas dan Tujuan Utama Dakwah Islam
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah
-hai Muhammad-: Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas
landasan bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang
mengikutiku. Maha suci Allah, aku bukan tergolong bersama golongan
orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Yang dimaksud dengan dakwah ila Allah
(mengajak manusia menuju Allah) adalah mengajak mereka untuk
mentauhidkan Allah, bukan dalam rangka meraih ambisi dunia, kepimpinan
(baca: kursi), dan tidak juga kepada hizbiyah/fanatisme golongan (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 45).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh
lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah, yang
paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu
adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena tauhid [uluhiyah] adalah cabang keimanan yang tertinggi maka
mendakwahkannya merupakan dakwah yang paling utama. Syaikh Abdul Malik
Ramadhani hafizhahullah
berkata, “Oleh sebab itu para da’i yang menyerukan tauhid adalah
da’i-da’i yang paling utama dan paling mulia. Sebab dakwah kepada tauhid
merupakan dakwah kepada derajat keimanan yang tertinggi.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 16)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Aqidah yang benar merupakan pondasi tegaknya agama dan syarat
sah diterimanya amalan. Hal itu sebagaimana yang difirmankan oleh Allah
(yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan
Rabbnya, maka hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak
mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS.
al-Kahfi: 110). Allah ta’ala
juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan
kepada orang-orang sebelummu: Seandainya kamu berbuat syirik niscaya
akan lenyap seluruh amalmu, dan kamu pasti termasuk golongan orang-orang
yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65). Allah ta’ala
juga berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan
agama untuk-Nya. Ingatlah, untuk Allah agama/ketaatan yang murni itu.”
(QS. az-Zumar: 2-3). Maka ayat-ayat yang mulia ini serta ayat-ayat lain
yang semakna -dan itu banyak jumlahnya- menunjukkan bahwa amalan tidak
akan diterima kecuali apabila bersih dari syirik. Oleh sebab itulah
fokus perhatian para rasul -semoga salawat dan keselamatan dicurahkan
Allah kepada mereka- menjadikan perbaikan aqidah sebagai prioritas utama
dakwahnya…” (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 9-10)
Imam Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Nuh -‘alaihis salam-
telah menetap di tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima
puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan sebagian besar
perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian, ternyata
kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang diterangkan
Allah ‘azza wa jalla di dalam Muhkam at-Tanzil
(baca: al-Qur’an) dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka -kaum
Nuh- berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian;
jangan tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23).
Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas bahwasanya
perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan oleh para da’i
yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah kepada tauhid.
Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah tabaraka wa ta’ala
(yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan -yang benar-
selain Allah.” (QS. Muhammad: 19). Demikianlah yang dipraktekkan sendiri
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau ajarkan.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)
Salah satu alasan yang semakin memperjelas betapa pentingnya -bahkan
wajib- memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada
Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah,
yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah
menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada
kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia melainkan sebab
utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka
kepada Rabb jalla wa ‘ala (lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428 H)
Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah
memaparkan, bahwa manusia itu bermacam-macam. Bisa jadi mereka adalah
orang yang tidak mengerti tauhid -secara global maupun terperinci- maka
orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya. Atau mereka adalah
orang yang mengerti tauhid secara global tetapi tidak secara rinci maka
orang semacam ini wajib belajar rinciannya. Atau mereka adalah orang
yang telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci maka mereka
tetap butuh senantiasa diingatkan tentang tauhid serta terus mempelajari
dan tidak berhenti darinya. Jangan berdalih dengan perkataan, “Saya
‘kan sudah menyelesaikan Kitab Tauhid.” atau, “Saya sudah menuntaskan
pembahasan masalah tauhid.” atau, “Isu seputar tauhid sudah habis, jadi
kita pindah saja kepada isu yang lain.” Tidak demikian! Sebab, tauhid
tidak bisa ditinggalkan menuju selainnya. Akan tetapi tauhid harus
senantiasa dibawa bersama yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid
lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara (lihat dalam
video ceramah beliau al-I’tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net)
Oleh sebab itu sudah semestinya -bahkan wajib- bagi para penimba ilmu
dan para da’i untuk memperhatikan masalah ini dengan baik dan
menjadikan dakwah tauhid serta pengingkaran terhadap syirik dan menepis
syubhat sebagai prioritas utama dalam dakwah mereka. Inilah yang harus
dilakukan dan inilah dakwahnya para rasul ‘alaihimush sholatu was salam.
Sebab segala masalah lebih ringan dibanding syirik. Selama syirik masih
merajalela, bagaimana mungkin anda justru mengingkari masalah-masalah
yang lain! Kita harus memulai dengan pengingkaran terhadap syirik
terlebih dulu dan kita bebaskan kaum muslimin dari keyakinan-keyakinan
jahiliyah ini. Kita jelaskan kepada mereka dengan hujjah/dalil dan bukti
yang jelas, dan apabila memungkinkan dengan jihad fi sabilillah, hingga
ajaran Islam yang hanif ini kembali kepada kaum muslimin. Semuanya bisa
berjuang sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya masing-masing, di
mana pun dan kapan pun. Wajib bagi para da’i untuk tidak melalaikan
masalah ini yang akan menyebabkan mereka justru lebih memperhatikan
masalah-masalah lain dan mengerahkan segenap perjuangan dan usaha mereka
untuk mengatasi hal itu. Janganlah mereka menutup mata dari realita
umat manusia yang terjerumus di dalam syirik dan penyembahan kepada
tempat-tempat keramat serta berkuasanya para penyebar ajaran khurafat
dan merebaknya ajaran sufi yang menjajah akal sehat manusia. Ini adalah
perkara yang tidak boleh didiamkan. Setiap dakwah yang tidak mengarah
kepada pelarangan dari kerusakan semacam itu adalah dakwah yang cacat,
dakwah yang tidak baik, atau dakwah yang tidak akan membuahkan hasil
(lihat Syarh Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, hal. 24 oleh Syaikh Shalih bin Fauzan. Cet. Ar-Risalah, 1422 H)
Doa Intisari Ibadah
Intisari ibadah adalah doa/permintaan. Tidaklah seorang hamba
melakukan suatu bentuk ibadah melainkan dia mengharapkan pahala dan
keselamatan dari siksa. Ini artinya secara lisanul hal
itu menunjukkan bahwa apa yang dia lakukan sebenarnya juga mengandung
doa/permintaan. Adakalanya perbuatan (amal ibadah) itu juga disertai doa
dengan lisannya, dan adakalanya tidak disertai doa/permohonan (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/162] cet. Maktabah al-Ilmu, lihat juga al-Mujalla fi Syarh al-Qawa’id al-Mutsla, hal. 37)
Dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Doa adalah intisari ibadah.” Kemudian beliau membaca ayat
(yang artinya), “Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya
Aku kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam
Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60) (HR. Tirmidzi dinyatakan
sahih oleh Syaikh al-Albani)
Dalam hadits yang lain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
beliau berkata, “Seutama-utama ibadah adalah doa.” Lalu beliau membaca
ayat (yang artinya), “Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku
niscaya Aku kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam
Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60) (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak)
Oleh sebab itu kita dapati banyak perintah untuk berdoa kepada Allah
dan larangan untuk berdoa kepada selain Allah, yang pada hakikatnya itu
juga mencakup perintah beribadah kepada Allah dan larangan beribadah
kepada selain-Nya.
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik
Allah maka janganlah kalian berdoa kepada siapapun bersama -doa kalian
kepada- Allah.”(QS. al-Jin: 18). Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah menjelaskan, “Artinya janganlah kalian beribadah kepada siapapun selain kepada-Nya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 15)
Berdoa kepada selain Allah bahkan termasuk perbuatan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berdoa kepada sesembahan
lain disamping doanya kepada Allah yang itu jelas tidak ada
keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisabnya ada di sisi
Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.”(QS.
al-Mukminun: 117). Yang dimaksud dengan doa dalam ayat ini adalah ibadah
(lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/367] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Tidak ada kesesatan yang lebih buruk daripada kesesatan orang yang berdoa dan bergantung kepada selain Allah. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat daripada
orang-orang yang berdoa (beribadah) kepada selain Allah, sesuatu yang
tidak bisa memenuhi keinginannya hingga hari kiamat. Sementara mereka
itu lalai dari doa yang dipanjatkan kepada mereka. Tatkala umat manusia
dikumpulkan -di hari kiamat- maka sesembahan mereka itu justru menjadi
musuh mereka. Dan mereka sendiri mengingkari peribadahan yang ditujukan
kepada dirinya.” (QS. al-Ahqaf: 5-6)
Syirik Kezaliman Terbesar
Berdoa/beribadah kepada selain Allah merupakan suatu bentuk
kezaliman. Karena selain Allah tidak menguasai manfaat ataupun madharat.
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu berdoa kepada selain Allah,
sesuatu yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan madharat kepadamu.
Kalau kamu tetap melakukannya maka kamu benar-benar termasuk orang yang
berbuat zalim.” (QS. Yunus: 106). Imam Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud doa di dalam ayat ini adalah ibadah (lihat Fath al-Bari [11/107] cet. Dar al-Hadits)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami
dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama
mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (QS.
Al-Hadid: 25)
Ibnul Qayyim berkata, “Allah subhanahu
mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan
menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan
(al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung
adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun
syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan
tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan
yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang
paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai
sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan
terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya.
Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya
yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, maka mereka itulah
orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang
yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu
berkata: Ketika turun ayat “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka
itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah
orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82). Maka, hal itu
terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, “Siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya sendiri?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksud
adalah seperti yang dikatakan Luqman kepada anaknya, “Hai anakku,
janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman
yang sangat besar.”(QS. Luqman: 13).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Setiap perilaku maksiat dan penyimpangan yang dilakukan seorang
hamba, pasti akan menghasilkan dampak buruk yang membahayakan, minimal
kepada diri mereka para pelakunya sendiri. Apalagi jika kemaksiatan dan
penyimpangan itu merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Allah, yakni
mempersekutukan-Nya dengan segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Tentunya
kemurkaan Allah melebihi kemurkaan yang disebabkan kemaksiatan dan
kezhaliman lain dari seorang manusia yang masih mungkin dimaklumi dan
diampuni-Nya (lihat Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar Kita karya H. Willyuddin A.R. Dhani, S.Pd. Hal. 13 penerbit Abu Hanifah Publishing cet. I, 2007)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah
tingkatan syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS.
an-Nisaa’: 48).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala
berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan
membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan
tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan
mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi dan
dihasankan olehnya)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka.” Dan aku
-Ibnu Mas’ud- berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak
mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk
surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keluasan Cakupan Makna Ibadah
Sebagaimana sudah diterangkan di depan, bahwa makna kalimat tauhid
ini adalah keyakinan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali
Allah. Dengan demikian ibadah apa saja -lahir maupun batin- hanya boleh
dipersembahkan kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Dari sinilah
sangat penting bagi kita untuk kemudian memahami apa saja perkara yang
termasuk dalam cakupan ibadah; sehingga kita bisa mengikhlaskannya untuk
Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam ibadah dengan sesuatu
apapun.
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Maknanya adalah, “Kecuali supaya mereka mentauhidkan diri-Ku.” Orang
beriman mentauhidkan Allah pada saat sempit maupun lapang. Adapun orang
kafir hanya mentauhidkan Allah pada keadaan terjepit dan tertimpa
kesusahan (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 1236)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
mengatakan, “Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku- adalah agar
mereka mengesakan Aku (Allah, pent) dalam beribadah. Atau dengan
ungkapan lain ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya adalah agar
mereka mentauhidkan Aku; karena tauhid dan ibadah itu adalah sama (tidak
bisa dipisahkan, pent).” (lihat I’anat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/33])
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menyimpulkan bahwa makna ayat di atas adalah, “Sesungguhnya Aku
menciptakan mereka tidak lain untuk Aku perintahkan mereka beribadah
kepada-Ku, bukan karena kebutuhan-Ku kepada mereka.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-Azhim [7/425])
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Dia (Allah) tidaklah membutuhkan ibadahmu. Seandainya kamu
kafir maka kerajaan Allah tidak akan berkurang. Bahkan, kamulah yang
membutuhkan diri-Nya. Kamulah yang memerlukan ibadah itu. Salah satu
bentuk kasih sayang Allah adalah dengan memerintahkanmu beribadah
kepada-Nya demi kemaslahatan dirimu sendiri. Jika kamu beribadah
kepada-Nya, maka Allah subhanahu wa ta’ala
akan memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Ibadah menjadi sebab Allah
memuliakan kedudukanmu di dunia dan di akherat. Jadi, siapakah yang
memetik manfaat dari ibadah? Yang memetik manfaat dari ibadah adalah
hamba. Adapun Allah jalla wa ‘ala, Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya.”(lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 15-16)
Ibadah juga terkadang ditafsirkan oleh para ulama dengan tauhid;
sebab ia merupakan syarat utamanya. Sebagaimana dalam riwayat yang
dibawakan Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma
mengenai maksud firman Allah (yang artinya), “Wahai umat manusia,
beribadahlah kepada Rabb kalian.” (QS. al-Baqarah: 21). Beliau
menjelaskan, “Artinya tauhidkanlah Rabb kalian…” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/75])
Ibadah pada asalnya mengandung makna perendahan diri, akan tetapi
ibadah yang diperintahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah suatu
bentuk perendahan diri yang paling tinggi kepada Allah dengan disertai
puncak rasa cinta kepada-Nya. Seorang yang menundukkan dirinya kepada
orang lain namun menyimpan rasa benci kepadanya tidaklah dianggap
beribadah kepadanya. Demikian juga orang yang mencintai seseorang namun
tidak menundukkan diri kepadanya pun tidak dikatakan beribadah
kepadanya. Oleh sebab itu kedua pilar ibadah tersebut -yaitu perendahan
diri dan puncak kecintaan- itu harus selalu ada dalam menjalani ibadah
kepada Allah. Bahkan Allah harus lebih dicintainya daripada segala
sesuatu dan menjadi sosok yang paling agung daripada segala-galanya.
Bahkan, tidaklah berhak untuk mendapatkan rasa cinta dan ketundukan yang
sempurna kecuali Allah semata. Segala sesuatu yang dicintai bukan
karena Allah maka kecintaannya adalah kecintaan yang rusak/tidak sah.
Begitu pula tidaklah sesuatu selain Allah diagung-agungkan tanpa
perintah dari-Nya melainkan pengagungan itu adalah sebuah kebatilan
(lihat al-’Ubudiyah, hal. 12)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
memberikan sebuah definisi yang cukup bagus, bahwa ibadah merupakan
perendahan diri kepada Allah yang dilandasi rasa cinta dan pengagungan
dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan dalam syari’at-Nya
(lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 23 cet. Dar al-Kutub al-’Ilmiyah)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Menurut pengertian syari’at ibadah itu adalah suatu ungkapan
yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa
takut.”(lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Ibadah merupakan sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu
yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang
batin maupun lahir. Ini artinya sholat, zakat, puasa, haji, jujur dalam
berbicara, menunaikan amanat, berbakti kepada kedua orang tua,
menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf,
melarang yang mungkar, berjihad memerangi orang kafir dan munafik,
berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil,
maupun kepemilikan dari kalangan manusia (budak) atau binatang piaraan,
berdoa, berdzikir, membaca al-Qur’an, dan lain sebagainya itu semua
adalah ibadah. Demikian juga kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, rasa
takut kepada Allah, inabah kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya,
bersabar menghadapi ketetapan-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, ridha dengan
takdir-Nya, bertawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada
azab-Nya, dan semisalnya [itu semua juga] termasuk ibadah kepada
Allah.”(lihat al-’Ubudiyah, hal. 6 cet. Maktabah al-Balagh)
Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah
menerangkan, “Dengan ungkapan lain, dapat dikatakan bahwa ibadah adalah
melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Tercakup di dalamnya menunaikan
kewajiban-kewajiban dan menjauhkan diri dari berbagai hal yang
diharamkan. Melakukan hal-hal yang wajib dan meninggalkan hal-hal yang
diharamkan; yaitu dengan melakukan kewajiban-kewajiban yang Allah
wajibkan baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang bersifat batin maupun
lahir. Meninggalkan hal-hal yang diharamkan, baik yang berupa ucapan
maupun perbuatan, yang batin maupun yang lahir.” (lihat Syarh al-’Ubudiyah, hal. 5)
Dengan ungkapan yang lebih sederhana, dapat disimpulkan bahwa ibadah adalah melakukan segala sesuatu yang membuat Allah subhanahu wa ta’ala ridha (lihat al-Qamus al-Mubin fi Ishthilahat al-Ushuliyyin karya Dr. Mahmud Hamid ‘Utsman, hal. 204)
Pilar-Pilar Ibadah
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan
pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang akan berjuang menggapai
keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan
menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu
mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu
mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,
“Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan.
Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga
pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah
satunya maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah
kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah
kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun
beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah
jalannya kaum Khawarij.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah
berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang
meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia condong beribadah kepada
selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala.
Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia
sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga
memalingkannya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)
Syarat Diterimanya Ibadah
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan
dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak
mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.”
(QS. Al-Kahfi: 110).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at
Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan
yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal
yang akan diterima di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan
diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga
tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan
bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.”
(lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
Oleh sebab itu, seorang muslim tidak akan rela mempersembahkan ibadah
apa pun kepada selain Allah, entah itu sholat, sembelihan, ataupun
ibadah yang lain. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku,
sembelihanku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah Tuhan seru sekalian
alam, tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku
termasuk orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tabaraka wa ta’ala
berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu.
Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia
mempersekutukan selain-Ku bersama diri-Ku maka Kutinggalkan dia bersama
kesyirikannya.” (HR. Muslim)
Dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai dengan niat. Dan setiap
orang akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia
dapatkan atau karena wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada
apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya niat dalam kehidupan seorang
muslim. Ia laksana ruh bagi tubuhnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Innamal a’maalu bin niyaat adalah kalimat yang komprehensif dan sempurna, sebab niat bagi amalan laksana ruh bagi jasad.” (lihat Dhawabith wa Fiqh Da’wah ‘inda Syaikhil Islam, hal. 106)
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa dahulu ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu dia bertanya, “Ada orang yang berperang untuk fanatisme kelompok,
berperang untuk menunjukkan keberanian, dan berperang untuk mendapat
pujian. Manakah diantara itu semua yang berada di jalan Allah?”. Maka
beliau menjawab, “Barangsiapa yang berperang demi meninggikan kalimat
Allah, maka itulah yang berjihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Salman radhiyallahu’anhu.
Dia (Abdurrahman) berkata: Ada orang –dalam riwayat lain disebutkan
bahwa mereka adalah orang-orang musyrik- yang berkata kepada Salman,
“Nabi kalian -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
telah mengajarkan segalanya, sampai urusan tata cara buang air
sekalipun.” Abdurrahman berkata: Maka dia (Salman) pun menjawab, “Ya,
benar. Beliau melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar atau
buang air kecil. Beliau juga melarang kami cebok dengan tangan kanan
atau istinja’ dengan batu yang jumlahnya kurang dari tiga batu. Beliau
pun melarang kami istinja’ dengan kotoran binatang atau tulang.” (HR.
Muslim)
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, hadits yang agung ini merupakan
salah satu dalil yang menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam. Bahkan,
musuh-musuh Islam pun mengakui hal itu, walaupun mereka tidak
menyukainya. Mereka tidak sanggup menyembunyikan keheranan dan kekaguman
mereka terhadap ajaran yang diturunkan dari sisi Rabb alam semesta ini.
Ajaran yang demikian lengkap dan sempurna. Ajaran yang tidak
meninggalkan masalah kecil dan yang besar di dalam lembaran kehidupan
melainkan telah ada aturannya. Aturan yang diajarkan bagi setiap muslim
guna menjalani hidupnya, semenjak hari ia dilahirkan, hingga pada saat
ia diletakkan di liang kubur (lihat al-Bid’ah wa Atsaruha as-Sayyi’ fi al-Ummah karya Syaikh Salim al-Hilali, hal. 14)
Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam
urusan [agama] kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia pasti
tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam riwayat Muslim,
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari
kami, maka ia pasti tertolak.”
Ibnul Majisyun berkata: Aku pernah mendengar Malik berkata,
“Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu bid’ah yang dia
anggap baik (baca: bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengkhianati risalah. Sebab Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari
ini telah Aku sempurnakan agama kalian.” Apa-apa yang pada hari itu
bukan termasuk ajaran agama, maka hari ini hal itu bukan termasuk
agama.” (lihat al-I’tisham, [1/64-65])
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
berkata, “Pokok-pokok as-Sunnah dalam pandangan kami adalah berpegang
teguh dengan apa-apa yang diyakini oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneladani mereka dan meninggalkan bid’ah-bid’ah. Kami meyakini bahwa semua bid’ah adalah sesat.” (lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal. 19)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Simpul pokok ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah
kecuali hanya kepada Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan
syari’at-Nya. Kita tidak beribadah kepada-Nya dengan bid’ah-bid’ah. Hal
itu sebagaimana firman Allah ta’ala
(yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan
Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan
sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110).” (lihat
Da’a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 87)
Kedudukan Aqidah Tauhid Di Dalam Islam
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ada tiga perkara; barangsiapa yang ketiga hal itu ada pada
dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. Orang yang menjadikan
Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. Dia
mencintai seseorang semata-mata karena kecintaannya kepada Allah. Dia
tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dia
darinya, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke dalam kobaran api.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang ketiga hal itu ada pada
dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman dan kelezatannya. Yaitu
apabila Allah ‘azza wa jalla
dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. Dia mencintai
karena Allah dan membenci juga karena Allah. Dan tatkala dia lebih suka
untuk dilemparkan ke dalam kobaran api yang menyala-nyala daripada
harus mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (HR. Nasa’i,
disahihkan Syaikh al-Albani)
Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “Para ulama -semoga Allah merahmati mereka- mengatakan bahwa
makna manisnya iman adalah kelezatan di saat melakukan ketaatan dan
sanggup menanggung berbagai kesulitan demi menggapai keridhaan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta lebih mengutamakan itu di atas kesenangan dunia. Kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya subhanahu wa ta’ala adalah dengan taat kepada-Nya dan tidak membangkang kepada-Nya. Serupa dengannya adalah kecintaan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Syarh Muslim [2/96]).
Imam Ibnu Hajar rahimahullah
mengatakan, “Maka barangsiapa yang terjerumus dalam kemaksiatan baik
berupa melakukan perbuatan yang diharamkan atau meninggalkan kewajiban
maka itu terjadi dikarenakan rendahnya kecintaan kepada Allah sehingga
membuatnya lebih mendahulukan hawa nafsunya.” (lihat Fath al-Bari [1/78])
Kelezatan iman inilah yang akan mengokohkan pijakan keislaman seorang
hamba. Sehingga dia tidak akan goyah karena iming-iming dunia atau
ancaman senjata. Heraklius berkata kepada Abu Sufyan, “Aku pun bertanya
kepadamu mengenai apakah ada diantara mereka -pengikut nabi- yang murtad
karena marah terhadap ajaran agamanya setelah dia masuk ke dalamnya?
Kamu menjawab, tidak ada. Maka demikian itulah yang terjadi apabila
kelezatan iman telah merasuk dan teresap di dalam hati.”(HR. Bukhari dan
Muslim)
Imam Ibnu Baththal rahimahullah
mengatakan, “Adapun pertanyaan yang diajukan mengenai kemurtadan
pengikutnya. Latar belakangnya adalah bahwa orang yang masuk (agama)
tanpa dilandasi dengan bashirah/ilmu tentangnya niscaya ia akan mudah
untuk kembali (murtad) dan goyah. Adapun orang yang masuk -ke dalam
Islam- dengan landasan ilmu dan keyakinan yang benar maka hal itu akan
menghalanginya dari kemurtadan.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/46])
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah
dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus
dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan
dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah.
Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka,
tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa
selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia
mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah
menerangkan, bahwa kedudukan aqidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal
yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi
sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri
tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka
demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan
bermanfaat tanpa aqidah yang lurus. Oleh sebab itu perhatian kepada
masalah aqidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada
masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau
pakaian. Karena aqidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin
kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang
dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima,
dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan
Allah ‘azza wa jalla (lihat mukadimah Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8 cet. I, 1424 H)
Kedudukan Amalan Hati Dalam Timbangan Syari’at
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah
kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang
tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan
barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia
telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik
bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah
syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah
semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang
bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum
yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka
tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk
golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85). Ini semua
menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya
adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan
bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang
mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia
akan mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan
amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya.
Dan amalan hati lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apakah yang
membedakan antara mukmin dengan munafik kalau bukan karena amalan yang
tertanam di dalam hati masing-masing di antara mereka berdua?
Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah anggota badan,
lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di sepanjang
waktu.”(lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)
Ibnul Qayyim rahimahullah
juga menegaskan, “Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok,
sedangkan amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna
atasnya. Sebagaimana niat itu menduduki peranan seperti halnya ruh,
sedangkan amalan itu laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari
jasad, maka jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum
yang berkaitan dengan gerak-gerik hati itu lebih penting daripada
mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota
badan.”(lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, barangsiapa yang
mengagungkan perintah-perintah Allah, sesungguhnya hal itu lahir dari
ketakwaan di dalam hati.” (QS. al-Hajj: 32). Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging maupun
darahnya (kurban), akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah
ketakwaan dari kalian.” (QS. al-Hajj: 37).
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Ketakwaan yang hakiki adalah ketakwaan yang berakar dari
dalam hati bukan semata-mata ketakwaan dengan anggota badan.” (lihat al-Fawa’id, hal. 136).
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu
berkata, “Hati ibarat seorang raja, sedangkan anggota badan adalah
pasukannya. Apabila sang raja baik niscaya akan baik pasukannya. Akan
tetapi jika sang raja busuk maka busuk pula pasukannya.”(lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14)
Orang yang bertakwa adalah orang yang menghiasi dirinya dengan aqidah
sahihah dan amal salih; baik amal batin maupun amal lahiriyah.
Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya),
“Yaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara gaib, mendirikan
sholat, dan menyisihkan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan
kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman terhadap apa yang diwahyukan
kepadamu (Muhammad) dan apa yang diwahyukan -kepada nabi-nabi-
sebelummu. Dan terhadap akhirat mereka pun meyakininya.” (QS.
Al-Baqarah: 3-4)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ciri utama orang yang
bertakwa adalah mengimani perkara yang gaib. Hakikat iman itu sendiri
adalah membenarkan secara pasti terhadap segala yang diberitakan oleh
para rasul, yang di dalam pembenaran itu telah terkandung ketundukan
anggota badan terhadap ajaran mereka. Memang, yang menjadi ukuran utama
keimanan bukanlah keyakinan terhadap perkara yang terjangkau oleh
indera. Sebab hal itu tidaklah membedakan antara orang yang muslim
dengan yang kafir. Sesungguhnya yang menjadi karakter ketakwaan yang
paling utama adalah iman terhadap perkara gaib; sesuatu yang tidak bisa
kita lihat secara langsung dan tidak kita saksikan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 40 cet. Ar-Risalah)
Pokok Amal Ketaatan dan Ruh Ketauhidan
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Kecintaan merupakan pokok agama Islam yang menjadi poros
segala ajaran agama. Dengan kesempurnaan cinta maka sempurnalah agama
islam, dan dengan berkurangnya cinta maka berkuranglah tauhid seorang
insan. Yang dimaksud dengan cinta di sini adalah kecintaaan penghambaan
yang mengandung perendahan diri dan ketundukan serta ketaatan secara
mutlak dan lebih mendahulukan sosok yang dicintai dari segala sesuatu
selain-Nya. Kecintaan semacam ini murni untuk Allah, tidak boleh
dipersekutukan dengan-Nya dalam hal ini sesuatu apapun.”(lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 84)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak
akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa
berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat.
Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena
untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya
makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya
mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas
kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/intisari ibadah. Sebab seandainya
kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu
akan terasa hampa tak ada ruhnya sama sekali padanya…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Maktabah al-’Ilmu)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk
Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan
kepada-Nya. Bahkan, itulah hakikat dari ibadah. Tauhid tidak akan
sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi
sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada
segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah
mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya,
yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti
kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai
kebahagiaan dan kemenangannya.” (lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menjelaskan, “Kelezatan mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti
menguatnya cinta dan melemah pula seiring dengan melemahnya cinta.
Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub (sosok yang dicintai) serta
kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna pula kelezatan yang
akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut. Sementara rasa
cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada ma’rifah/pengenalan dan
ilmu tentang sosok yang dicintai. Setiap kali ilmu yang dimiliki
tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun
semakin sempurna. Apabila kenikmatan yang sempurna di akherat serta
kelezatan yang sempurna berporos kepada ilmu dan kecintaan, maka itu
artinya barangsiapa yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada
Allah, nama-nama, sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya
niscaya kelezatan yang akan dia rasakan tatkala berjumpa,
bercengkerama, memandang wajah-Nya dan mendengar ucapan-ucapan-Nya juga
semakin sempurna. Adapun segala kelezatan, kenikmatan, kegembiraan, dan
kesenangan -duniawi yang dirasakan oleh manusia- apabila dibandingkan
dengan itu semua laksana setetes air di tengah-tengah samudera. Oleh
sebab itu, bagaimana mungkin orang yang berakal lebih mengutamakan
kelezatan yang amat sedikit dan sebentar bahkan tercampur dengan
berbagai rasa sakit di atas kelezatan yang maha agung, terus-menerus dan
abadi. Kesempurnaan seorang hamba sangat tergantung pada dua buah
kekuatan ini; kekuatan ilmu dan rasa cinta. Ilmu yang paling utama
adalah ilmu tentang Allah, sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah
kecintaan kepada-Nya. Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan
bisa digapai berbanding lurus dengan dua hal ini, Allahul musta’aan.” (lihat al-Fawa’id, hal. 52 cet. Dar al-’Aqidah)
Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah
berkata, “Sesungguhnya rasa cinta kepada sesuatu adalah cabang
pengenalan terhadapnya. Manusia yang paling mengenal Allah adalah orang
yang paling mencintai-Nya. Setiap orang yang mengenal Allah pasti akan
mencintai-Nya. Tidak ada jalan untuk menggapai ma’rifat ini kecuali
melalui pintu ilmu nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak akan kokoh
ma’rifat seorang hamba terhadap Allah kecuali dengan berupaya mengenali
nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang disebutkan di dalam al-Qur’an maupun
as-Sunnah…” (lihat Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 16)
Malik bin Dinar rahimahullah
berkata, “Pemuja dunia telah keluar dari dunia, sedangkan mereka belum
merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya,
“Apakah hal itu wahai Abu Yahya?”. Beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 28 cet. Dar al-Imam Ahmad).
Yang dimaksud mengenal Allah di sini bukan sekedar wawasan, dimana
orang yang taat dan durhaka sama-sama memilikinya. Namun, yang dimaksud
adalah pengenalan yang diiringi dengan perasaan malu kepada Allah, cinta
kepada-Nya, ketergantungan hati kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya,
takut kepada-Nya, bertaubat dan meningkatkan ketaatan kepada-Nya, merasa
tentram dengan-Nya, dan rela meninggalkan makhluk untuk mengabdi
kepada-Nya (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 22)
Jalan Untuk Merealisasikan Tauhid
Cara mengagungkan Allah adalah dengan merealisasikan tauhid. Inilah hakikat ketakwaan yang membuat hamba menjadi mulia di sisi-Nya. Syaikh Shalihbin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah
berkata, “Sesungguhnya cara mengagungkan Allah adalah dengan
merealisasikan tauhid. Barangsiapa yang merealisasikan tauhid berarti
dia telah mengagungkan-Nya. Dan barangsiapa yang menyia-nyiakan tauhid
sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan hak Allah, meskipun sujud telah
membekas di dahinya, walaupun puasa telah meninggalkan bekas di kulit
yang membungkus tulangnya. Maka itu semua tidak ada artinya…” (lihat Syarh Kasyfu asy-Syubuhat fi at-Tauhid, hal. 4)
Merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan diri dari tiga hal: syirik, bid’ah, dan maksiat. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah
menjelaskan, “Yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah dengan
membersihkan dan memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid’ah, dan
terus menerus dalam perbuatan dosa. Barangsiapa yang melakukannya maka
berarti dia telah merealisasikan tauhidnya…” (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 23).
Seorang yang hendak merealisasikan tauhid di dalam dirinya maka dia
juga harus berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 32). Sehingga tidak akan terkumpul pada diri seseorang antara keimanan dengan rasa cinta kepada musuh-musuh Allah. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik pada
diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka
berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan
dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan
telah nyata antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk
selamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (QS.
Al-Mumtahanah: 4)
Kunci utama untuk merealisasikan tauhid adalah keikhlasan dan berpegang teguh dengan tuntunan dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya merealisasikan tauhid itu adalah dengan
membersihkan dan memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil
serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun
yang berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal
itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan keikhlasan kepada Allah
dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian membersihkan
diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta
membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta
menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 20)
Merealisasikan tauhid memang bukan perkara yang mudah. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memaparkan bahwa merealisasikan laa ilaha illallah (baca: tauhid) adalah sesuatu yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata, “Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan”. Sebagian salaf juga mengatakan, ”Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada ikhlas”.
Tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun
selain mukmin, tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi menggapai
keikhlasan. Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, “Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat”. Beliau menjawab, ”Apa yang perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah hancur?”.
Setan tidak perlu repot-repot meruntuhkan hati yang sudah hancur. Akan
tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur. Oleh sebab
itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa terkadang seseorang -diantara para sahabat- mendapati di dalam
hatinya sesuatu yang besar dan tidak sanggup untuk diucapkan -karena
buruknya hal itu, pent-. Beliau berkata, ”Benarkah kalian merasakan hal itu?”. Mereka menjawab, “Benar”. Beliau berkata, ”Itulah kejelasan iman.”
(HR. Muslim). Artinya itu adalah bukti keimanan kalian. Karena hal itu
tidak bisa dirasakan kecuali oleh hati yang lurus dan bersih (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/38])
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menjelaskan, bahwa ada empat perkara yang selalu dibutuhkan oleh setiap
insan: 1. Perkara yang dicintai dan dituntut keberadaannya, 2. Perkara
yang dibenci dan dituntut ketiadaannya, 3. Sarana untuk bisa mendapatkan
perkara yang dicintai dan diinginkan tersebut, 4. Sarana untuk menolak
perkara yang dibenci tadi. Keempat perkara ini sangat mendesak
diperlukan oleh setiap hamba, bahkan binatang sekalipun, sebab
keberadaan mereka tidak akan sempurna dan menjadi baik kecuali dengan
terpenuhinya itu semua (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 40).
Apabila hal itu telah jelas, maka patut untuk disadari bahwasanya Allah ta’ala
merupakan Dzat yang paling layak untuk dicintai dan diharapkan.
Sehingga seorang hamba akan senantiasa mencari keridhaan-Nya dan
berusaha sekuat tenaga untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya.
Sementara hanya Allah jua lah yang mampu menolong dirinya untuk
terwujudnya itu semua. Adapun, penghambaan dan ketergantungan hati
kepada selain-Nya jelas merupakan perkara yang dibenci dan membahayakan
diri seorang hamba. Sementara hanya Allah jua lah yang mampu menolong
dirinya untuk menolak bahaya itu darinya. Ini artinya, pada diri Allah ta’ala terkumpul keempat perkara yang diperlukan oleh setiap manusia (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 40).
Oleh sebab itu kebaikan dan kebahagiaan hamba sangat bergantung pada perjuangannya dalam mewujudkan makna Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in,
“Hanya kepada-Mulah kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta
pertolongan”. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah adalah Dzat yang paling
dicari dan dikehendaki, sekaligus menunjukkan hanya Allah yang paling
berhak dimintai pertolongan untuk meraih apa yang dikehendaki oleh
hamba-Nya. Bagian pertama mengandung pokok tauhid uluhiyah, sedangkan
bagian kedua mengandung pokok tauhid rububiyah (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 41)
Tanpa Hidayah-Nya Kita Tidak Bisa Berbuat Apa-Apa
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah
pengetahuan tentang kebenaran yang disertai keinginan untuk mengikutinya
dan lebih mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya. Orang yang
mendapat hidayah adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan
benar-benar menginginkannya. Itulah nikmat paling agung yang
dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Oleh sebab itu Allah subhanahu
wa ta’ala memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju
jalan yang lurus setiap sehari semalam dalam sholat lima waktu yang kita
lakukan. Karena sesungguhnya setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa
mengenal kebenaran yang diridhai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun
batin. Apabila dia telah mengetahuinya dia masih membutuhkan sosok yang
memberikan ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu, sehingga
kemauan itu tertancap kuat di dalam hatinya. Setelah itu, dia juga
masih membutuhkan sosok yang membuatnya mampu melakukan hal itu.
Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak
diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak
daripada apa yang sudah diketahuinya. Disamping itu, tidaklah semua
kebenaran yang diketahuinya itu secara otomatis dikehendaki oleh
jiwanya. Seandainya menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk
mewujudkan banyak hal di dalamnya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/25-26])
Hidayah bisa dibagi menjadi hidayah ‘menuju jalan’ dan hidayah ‘di
atas jalan’. Hidayah menuju jalan adalah hidayah untuk memeluk agama
Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun hidayah di atas
jalan adalah hidayah untuk bisa melaksanakan rincian-rincian ajaran di
dalam agama Islam (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [1/36])
Hidayah juga bisa dibagi menjadi dua macam: Pertama; hidayah berupa
penunjukan, arahan, dan keterangan. Lawan dari hidayah ini adalah
kesesatan (dholal). Kedua; hidayah berupa taufik, ilham, dan keistiqomahan. Lawan dari hidayah ini adalah penyimpangan (ghoyyu) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 20).
Hidayah taufik adalah seperti yang dimaksud dalam ayat (yang
artinya), “Sesungguhnya kamu tidak bisa memberikan hidayah kepada orang
yang kamu cintai.” (QS. al-Qoshosh: 56). Adapun hidayah penunjukan
adalah seperti yang dimaksud dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya
kamu benar-benar memberikan hidayah menuju jalan yang lurus.” (QS.
asy-Syura: 52) (lihat at-Tas-hil li Ta’wil at-Tanzil [1/109])
Asas segala kebaikan adalah pengetahuanmu bahwasanya apa pun yang
Allah kehendaki pasti terjadi dan apa saja yang tidak Allah kehendaki
tidak akan bisa terjadi. Pada saat itulah akan tampak jelas bahwa
sesungguhnya segala kebaikan bersumber dari nikmat-Nya sehingga kamu
harus bersyukur atasnya. Kamu harus merendahkan dirimu dan memohon
kepada-Nya jangan sampai Dia memutus kenikmatan itu darimu. Begitu pula,
akan tampak jelas bahwasanya segala keburukan karena Allah tidak lagi
memperdulikan dan bentuk hukuman dari-Nya. Oleh sebab itu seharusnya
kamu pun berdoa dan berlindung kepada-Nya agar Dia menjagamu dari
terjerumus ke dalamnya dan supaya Allah tidak membiarkan kamu sendirian
tanpa bantuan dalam melakukan kebaikan maupun meninggalkan keburukan.
Semua orang yang arif pun telah sepakat bahwasanya segala kebaikan
bersumber dari taufik Allah kepada hamba. Dan segala keburukan sumbernya
adalah ketika Allah tidak mau lagi memperhatikan keadaan hamba-Nya.
Mereka pun sepakat bahwa hakikat taufik itu adalah Allah tidak
menyandarkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Adapun khudzlan/diabaikan
itu adalah tatkala Allah membiarkan kamu mengurus dirimu sendiri tanpa
bantuan-Nya. Apabila semua kebaikan bersumber dari taufik, sementara ia
ada di tangan Allah bukan di tangan hamba. Maka kunci untuk membukanya
adalah dengan berdoa, merasa butuh di hadapan-Nya, memulangkan segala
permasalahan kepada-Nya, dan senantiasa menyimpan harap dan takut
kepada-Nya. Demikian keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (lihat al-Fawa’id, hal. 94 cet. Dar al-’Aqidah)
Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah berkata,
“Kebutuhan seorang muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih
besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan
dan minuman adalah bekal untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan
hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk negeri akherat. Oleh
sebab itulah terdapat doa untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus
ini di dalam surat al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam setiap
raka’at sholat; baik sholat wajib maupun sholat sunnah.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 114)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan [menuju keridhaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah akan
bersama dengan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. al-’Ankabut: 69)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menafsirkan, “Allah mengaitkan
antara hidayah dengan jihad/kesungguh-sungguhan. Ini artinya, orang yang
paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan
jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang
mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan syaitan, dan berjihad melawan
[ambisi] dunia. Barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini Allah
tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang mengantarkan ke
surga-Nya. Barangsiapa yang meninggalkan jihad itu maka dia akan
kehilangan hidayah sekadar dengan jihad yang ditelantarkannya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir [4/518])
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tetapi Allah
menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah di
dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan,
dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang
lurus (ar-Rasyiduun).” (QS. al-Hujurat: 7).
Orang-orang yang lurus (ar-Rasyiduun) adalah orang-orang yang
Allah perindah keimanan di dalam hatinya, yang membenci kekafiran,
kefasikan, dan kemaksiatan. Mereka itu adalah orang-orang yang ilmu dan
amalnya benar. Mereka istiqomah di atas agama yang lurus ini dan meniti shirathul mustaqim. Kebalikan dari ar-Rasyiduun adalah al-Ghawuun (orang-orang
yang menyimpang). Mereka justru menikmati berbagai kekafiran,
kefasikan, dan kedurhakaan dan malah membenci keimanan. Tatkala
kebenaran datang mereka tidak mau menerimanya, maka Allah membalikkan
hati mereka sebagai balasan setimpal atas perbuatan mereka (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 800)
Hati yang sehat dan sempurna memiliki dua karakter utama. Pertama;
kesempurnaan ilmu, pengetahuan, dan keyakinan yang tertancap di dalam
hatinya. Kedua; kesempurnaan kehendak hatinya terhadap segala perkara
yang dicintai dan diridhai Allah ta’ala. Dengan kata lain,
hatinya senantiasa menginginkan kebaikan apapun yang dikehendaki oleh
Allah bagi hamba-Nya. Kedua karakter ini akan berpadu dan melahirkan
profil hati yang bersih, yaitu hati yang mengenali kebenaran dan
mengikutinya, serta mengenali kebatilan dan meninggalkannya. Orang yang
ilmunya dipenuhi dengan syubhat/kerancuan dan keragu-raguan, itu artinya
dia telah kehilangan karakter yang pertama. Adapun orang yang keinginan
dan cita-citanya selalu mengekor kepada hawa nafsu dan syahwat, maka
dia telah kehilangan karakter yang kedua. Seseorang bisa tertimpa salah
satu perusak hati ini, atau bahkan -yang lebih mengerikan lagi- tatkala
keduanya bersama-sama menggerogoti kehidupan hatinya (lihat al-Qawa’id al-Hisan, hal. 86)
Mewaspadai Bahaya Syirik
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Allah berkata kepada penghuni neraka yang paling ringan
siksaannya, ‘Seandainya kamu memiliki kekayaan seluruh isi bumi ini
apakah kamu mau menebus siksa dengannya?’. Dia menjawab, ‘Iya.’ Allah
berfirman, ‘Sungguh Aku telah meminta kepadamu sesuatu yang lebih ringan
daripada hal itu tatkala kamu masih berada di tulang sulbi Adam yaitu
agar kamu tidak mempersekutukan-Ku, akan tetapi kamu tidak mau patuh
(enggan) dan justru memilih untuk berbuat syirik.’.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
“Apabila engkau telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan dirimu
supaya beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah
disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid.
Sebagaimana halnya sholat tidak dinamakan sholat tanpa thaharah/bersuci.
Apabila syirik mencampuri ibadah niscaya ibadah itu akan rusak (tidak
sah) sebagaimana halnya apabila hadats masuk kepada thaharah.” (lihat Mu’allafat asy-Syaikh al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 199)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata,
“Sesungguhnya persyaratan ikhlas dan tauhid untuk diterimanya ibadah
lebih agung daripada persyaratan thaharah untuk diterimanya sholat.
Seandainya ada orang yang sengaja mengerjakan sholat dalam keadaan
berhadats maka perihal pengkafiran orang ini masih terdapat perbedaan
pendapat di antara para ulama. Adapun mengenai orang yang beribadah
kepada Allah dalam keadaan musyrik maka semua ulama sepakat bahwa
ibadahnya tidak diterima. Bahkan, berdasarkan ijma’ dia digolongkan
sebagai orang kafir karena dia telah mempersekutukan Allah jalla wa ‘ala -yaitu syirik akbar- yang menyebabkan amal tidak diterima karenanya.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 5 cet. Dar Jamilurrahman as-Salafi)
Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah dalam
hal-hal yang menjadi kekhususan bagi Allah. Syirik ini terbagi menjadi
dua:
- Syirik akbar; yaitu segala sesuatu yang disebut sebagai kesyirikan
oleh pembuat syari’at dan menyebabkan pelakunya keluar dari agama
- Syirik asghar; yaitu segala perbuatan atau ucapan yang disebut
sebagai syirik atau kekafiran namun berdasarkan dalil-dalil diketahui
bahwa hal itu tidak sampai mengeluarkan dari agama (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 20)
Bahaya syirik [besar] banyak sekali, diantaranya adalah:
- Pelakunya tidak akan diampuni apabila mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (an-Nisaa’: 48)
- Pelakunya keluar dari Islam, menjadi halal darah dan hartanya (at-Taubah: 5)
- Amalan apa saja yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah, ia
hanya akan menjadi sia-sia bagaikan debu yang beterbangan (al-Furqan:
23)
- Pelakunya haram masuk surga (al-Ma’idah: 72) (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 26)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”. Maka beliau menjawab,
“Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah
menciptakanmu.” Abdullah berkata, “Kukatakan kepadanya; Sesungguhnya itu
benar-benar dosa yang sangat besar.” Abdullah berkata, “Aku katakan;
Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau menjawab, “Lalu, kamu
membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.” Abdullah
berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau
menjawab, “Lalu, kamu berzina dengan istri tetanggamu.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sungguh, aku
bersumpah dengan nama Allah tapi dusta itu lebih aku sukai daripada
bersumpah dengan selain nama Allah meskipun jujur.” Syaikh Abdurrahman
bin Hasan rahimahullah berkata, “Kalau sikap seperti itu yang
diterapkan terhadap syirik ashghar, lantas bagaimanakah lagi sikap
terhadap syirik akbar yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka?”
(lihat Fath al-Majid, hal. 402).
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata,
“Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau
pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan
tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah
disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak
disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras dalam
melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah,
memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang
dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya,
maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla
(yang artinya), “Kami tampakkan kepada mereka segala sesuatu yang telah
mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan amal-amal itu laksana
debu yang beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa
yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu
yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu
telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai
makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau
menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika
dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa’dul Masir, hal. 1014)
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari
kiamat adalah:
[1] Seorang lelaki yang berjuang mencari mati syahid.
Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang
sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah
bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu
semua?”. Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku menemui
mati syahid.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu
berperang agar disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah
kamu peroleh di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk
menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya
dia dilemparkan ke dalam api neraka.
[2] Seorang lelaki yang menimba
ilmu dan mengajarkannya serta pandai membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu
dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya
akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya
kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”.
Dia menjawab, “Aku menimba ilmu dan mengajarkannya serta aku
membaca/menghafal al-Qur’an di jalan-Mu.” Allah menimpali jawabannya,
“Kamu dusta. Sebenarnya kamu menimba ilmu agar disebut-sebut sebagai
orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an agar disebut sebagai qari’. Dan
sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan
malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya
hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.
[3] Seorang lelaki
yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia berupa
segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya
nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa
mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan
untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Tidak ada satupun
kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak padanya melainkan
aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali
jawabannya, “Kamu dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi
mendapatkan sebutan sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah
kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk
menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya
dia dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)
Khawatir Terjerumus Dalam Syirik
Sebagai seorang muslim, semestinya kita merasa takut terjatuh ke dalam syirik. Allah ta’ala berfirman tentang doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam (yang artinya), “Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (QS. Ibrahim: 35)
Ibrahim at-Taimi rahimahullah -salah seorang ulama ahli ibadah
dan zuhud yang meninggal di dalam penjara al-Hajjaj pada tahun 92 H-
mengatakan, “Maka, siapakah yang bisa merasa aman [terbebas] dari
musibah [syirik] setelah Ibrahim -‘alaihis salam-?” (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan alusy Syaikh, hal. 32)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam
bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah
kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif/bertauhid. Lalu
bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah
kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari
kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang
munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang
mukmin.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/72] cet. Maktabah al-’Ilmu)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Apabila Ibrahim ‘alaihis salam;
orang yang telah merealisasikan tauhid dengan benar dan mendapatkan
pujian sebagaimana yang telah disifatkan Allah tentangnya, bahkan beliau
pula yang telah menghancurkan berhala-berhala dengan tangannya,
sedemikian merasa takut terhadap bencana (syirik) yang timbul karenanya
(berhala). Lantas siapakah orang sesudah beliau yang bisa merasa aman
dari bencana itu?!” (lihat at-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 50)
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata,
“Syirik adalah perkara yang semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada
seorang hamba. Karena sebagian bentuk syirik itu adalah berupa
amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak
ada yang mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata.
Sebagian syirik itu muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau
rasa harap. Atau berupa inabah/mengembalikan urusan kepada selain Allah jalla wa ‘ala.
Atau terkadang berupa tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam
bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Atau karena amal-amal
yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau riya’. Ini semuanya
tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab
itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang
lainnya…” (lihat Transkrip ceramah Syarh al-Qawa’id al-Arba’ 1425 H oleh beliau, hal. 6)
Teladanilah Mereka…
Orang yang benar-benar ikhlas merasa dirinya belum ikhlas. as-Susi
berkata, “Ikhlas itu adalah dengan tidak memandang diri telah ikhlas.
Karena barangsiapa yang mempersaksikan kepada orang lain bahwa dirinya
benar-benar telah ikhlas itu artinya keikhlasannya masih belum
sempurna.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 86).
Hisyam ad-Dastuwa’i rahimahullah berkata, “Demi Allah, aku
tidak sanggup untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat
menimba ilmu hadits ikhlas karena mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)
al-Mu’alla bin Ziyad berkata: Aku mendengar al-Hasan bersumpah di
dalam masjid ini, “Demi Allah, yang tidak ada sesembahan -yang benar-
selain Dia. Tidaklah berlalu dan hidup seorang mukmin melainkan dia
pasti merasa takut dari kemunafikan. Dan tidaklah berlalu dan hidup
seorang munafik melainkan dia pasti merasa aman dari kemunafikan.”
Beliau (Hasan al-Bashri) berkata, “Barangsiapa yang tidak khawatir
dirinya tertimpa kemunafikan maka justru dialah orang munafik.” (lihat Fath al-Bari [1/137])
Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in- mengatakan, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada
seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa imannya sebagaimana
iman Jibril dan Mika’il.” (HR. Bukhari secara mu’allaq, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar al-Hadits)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah tatkala
Ibrahim membangun pondasi Ka’bah dan juga Isma’il, mereka berdua berdoa;
‘Wahai Rabb kami terimalah amal kami’.” (QS. al-Baqarah: 127). Wuhaib
bin al-Ward rahimahullah ketika membaca ayat ini maka ia menangis
dan berkata, “Wahai kekasih ar-Rahman! Engkau bersusah payah mendirikan
pondasi rumah ar-Rahman, namun engkau tetap khawatir amalmu tidak
diterima!” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal karya Syaikh Dr. Abdurrazzaq al-Badr, hal. 17)
Isma’il bin Ishaq menyebutkan riwayat dengan sanadnya dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa suatu ketika dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang orang-orang yang dimaksud oleh ayat (yang artinya),
“Orang-orang yang memberikan apa yang telah berikan, sedangkan hati
mereka merasa takut.” (QS. al-Mukminun: 60). Maka Nabi menjawab, “Mereka
itu adalah orang-orang yang rajin menunaikan sholat, berpuasa, dan
bersedekah. Meskipun demikian, mereka merasa takut apabila amal-amal
mereka tidak diterima di sisi-Nya.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/110])
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bersama dengan
kebaikan, keimanan, dan amal saleh yang ada pada diri mereka ternyata
mereka juga senantiasa merasa takut dan khawatir akan hukuman Allah
serta makar-Nya kepada mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan
al-Bashri, “Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dan
rasa takut. Adapun orang kafir memadukan antara berbuat jelek/dosa dan
rasa aman.”.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/350] cet. at-Taufiqiyah).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau mengisahkan:
Tatkala turun ayat ini (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman
janganlah kalian mengangkat suara kalian lebih tinggi daripada suara
Nabi. Dan janganlah kalian mengeraskan suara kalian di hadapannya
sebagaimana kalian ketika kalian berbicara satu dengan yang lain, karena
hal itu akan membuat amal kalian menjadi terhapus dalam keadaan kalian
tidak menyadari.” (QS. al-Hujurat: 2). Maka Tsabit bin Qais pun hanya
duduk di rumahnya dan berkata, “Aku termasuk penghuni neraka.” Dan dia pun menutup diri tidak mau berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Wahai Abu ‘Amr, ada apa dengan
Tsabit? Apakah dia sedang sakit?”. Sa’ad menjawab, “Sesungguhnya dia
adalah tetanggaku. Dan sepengetahuanku dia tidak sakit.” Anas berkata:
Maka Sa’ad bin Mu’adz mendatanginya lalu menceritakan kepadanya
perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.
Tsabit pun menjawab, “Telah turun ayat ini. Dan kalian pun mengetahui
bahwasanya aku adalah orang yang paling tinggi suaranya dibandingkan
kalian di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau begitu berarti aku termasuk penghuni neraka.” Kemudian, Sa’ad menceritakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bahkan dia termasuk penghuni surga.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila dengan mengangkat
suara mereka lebih tinggi daripada suara beliau itu menjadi sebab
terhapusnya amalan mereka, maka bagaimana lagi dengan orang yang lebih
mendahulukan pendapat mereka, akal mereka, perasaan mereka, politik
mereka, atau pengetahuan mereka daripada ajaran beliau bawa dan
mengangkat itu semua di atas sabda-sabda beliau? Bukankah itu semua
lebih pantas lagi untuk menjadi sebab terhapusnya amal-amal mereka?”
(lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/407])
Perusak Tauhid dan Keikhlasan
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya
keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang
ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang
menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya menjadi terhapus.” (lihat
Ta’thir al-Anfas, hal. 584)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak orang yang
mengidap riya’ dan ujub. Riya’ itu termasuk dalam perbuatan
mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub merupakan bentuk
mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang yang
sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat
Iyyaka na’budu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan
kandungan ayat Iyyaka nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat
Iyyaka na’budu maka dia terbebas dari riya’. Dan barangsiapa yang
berhasil mewujudkan maksud ayat Iyyaka nasta’in maka dia akan terbebas
dari ujub. Di dalam sebuah hadits yang terkenal disebutkan, “Ada tiga
perkara yang membinasakan; sikap pelit yang ditaati, hawa nafsu yang
selalu diperturutkan, dan sikap ujub seseorang terhadap dirinya
sendiri.”(lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 83 cet. al-Maktab al-Islami)
Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya tercampuri riya’ walaupun hanya sekecil biji tanaman.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 572)
Diriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu
pernah berkata, “Amal yang salih adalah amalan yang kamu tidak
menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali dari Allah.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 35)
Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
diantara manusia ada orang yang sangat menggandrungi pujian kepada
dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga daripada sayap
seekor nyamuk.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 573)
Perkataan Ulama Tentang Ikhlas
Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah mengatakan,
“Orang-orang yang cerdas memandang tentang hakikat ikhlas ternyata
mereka tidak menemukan kesimpulan kecuali hal ini; yaitu hendaklah
gerakan dan diam yang dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak,
semuanya dipersembahkan untuk Allah ta’ala semata. Tidak dicampuri apa pun; apakah itu kepentingan pribadi, hawa nafsu, maupun perkara dunia.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 7-8)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah aku
mengobati suatu penyakit yang lebih sulit daripada masalah niatku.
Karena ia sering berbolak-balik.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)
Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan, “Ikhlas
adalah menunggalkan al-Haq (Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan,
yaitu dia berniat dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah ta’ala. Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal
mencari kedudukan di hadapan manusia, mengejar pujian orang-orang,
gandrung terhadap sanjungan, atau tujuan apapun selain mendekatkan diri
kepada Allah ta’ala.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)
Abu ‘Utsman rahimahullah mengatakan, “Ikhlas adalah melupakan
pandangan orang dengan senantiasa memperhatikan bagaimana pandangan
(penilaian) al-Khaliq.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Meninggalkan
amal karena manusia adalah riya’ sedangkan beramal untuk dipersembahkan
kepada manusia merupakan kemusyrikan. Adapun ikhlas itu adalah tatkala
Allah menyelamatkan dirimu dari keduanya.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)
Yusuf bin al-Husain rahimahullah berkata, “Sesuatu yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Dahulu dikatakan:
Bahwa seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan, selama jika
dia berkata maka dia berkata karena Allah, dan apabila dia beramal maka
dia pun beramal karena Allah.” (lihat Ta’thir al-Anfas min Hadits al-Ikhlas, hal. 592)
Seorang lelaki berkata kepada Muhammad bin Nadhr rahimahullah,
“Dimanakah aku bisa beribadah kepada Allah?” Maka beliau menjawab,
“Perbaikilah hatimu, dan beribadahlah kepada-Nya di mana pun kamu
berada.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 594)
Abu Turab rahimahullah mengatakan, “Apabila seorang hamba
bersikap tulus/jujur dalam amalannya niscaya dia akan bisa merasakan
kelezatan amal itu sebelum melakukannya. Dan apabila seorang hamba
ikhlas dalam beramal, niscaya dia akan merasakan kelezatan amal itu di
saat sedang melakukannya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 594)
Sufyan bin Uyainah berkata: Abu Hazim rahimahullah berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu lebih daripada kesungguhanmu dalam menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 231).
Ibnul Qayyim menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya
diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu: Untuk
siapa? dan Bagaimana? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang
keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan
terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 113).
Melandasi Tauhid Dengan Ilmu
Sebagian salaf berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah
tanpa ilmu maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.”
(lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93). Sa’id bin Jubair rahimahullah
berkata, “Tidak akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan
amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi
dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali
apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)
Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Shahihnya di dalam Kitab al-’Ilmu sebuah bab dengan judul ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal, berdasarkan firman Allah ta’ala
(yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan -yang
benar- selain Allah.”(QS. Muhammad: 19).’ Lalu beliau [Imam Bukhari]
berkata, “Allah memulai dengan ilmu.” (lihat Fath al-Bari [1/194])
Imam al-’Aini rahimahullah
berkata, “Artinya: Ini adalah bab yang akan menerangkan bahwasanya ilmu
didahulukan sebelum perkataan dan perbuatan. Beliau bermaksud untuk
menjelaskan bahwa sesuatu itu hendaknya diilmui terlebih dahulu, baru
kemudian diucapkan dan diamalkan. Sehingga ilmu lebih dikedepankan
daripada keduanya secara hakikatnya. Demikian pula ilmu lebih diutamakan
di atas keduanya dari sisi kemuliaan. Sebab ilmu adalah amalan hati,
sementara hati adalah anggota badan yang paling mulia.” (lihat ‘Umdat al-Qari [2/58])
Ibnul Munayyir rahimahullah
berkata, “Beliau -Imam Bukhari- bermaksud menjelaskan bahwa ilmu
merupakan syarat benarnya ucapan dan amalan. Sehingga keduanya tidak
dianggap tanpanya. Maka ilmu itu lebih didahulukan daripada keduanya,
sebab ilmu menjadi faktor yang meluruskan niat, sedangkan lurusnya niat
itulah yang meluruskan amalan. Penulis ingin menggarisbawahi hal itu
supaya tidak muncul anggapan dari sebagian orang bahwa ‘ilmu tidak ada
gunanya tanpa amalan’ yang menimbulkan sikap meremehkan ilmu dan
bermudah-mudahan dalam mempelajarinya.” (lihat Fath al-Bari [1/195])
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tauhid tidak akan terealisasi pada diri seseorang kecuali dengan tiga perkara:
- Pertama, ilmu; karena kamu tidak mungkin mewujudkan sesuatu sebelum mengetahui/memahaminya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).
- Kedua,
i’tiqad/keyakinan, apabila kamu telah mengetahui namun tidak meyakini
dan justru menyombongkan diri/angkuh maka itu artinya kamu belum
merealisasikan tauhid. Allah ta’ala
berfirman mengenai orang-orang kafir (yang artinya), “Apakah dia
-Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan -yang banyak- itu
menjadi satu sesembahan saja, sungguh ini merupakan perkara yang sangat
mengherankan.” (QS. Shaad: 5). Mereka -orang kafir- tidak meyakini
keesaan Allah dalam hal peribadahan -meskipun mereka memahami seruan
Nabi tersebut, pent-.
- Ketiga,
inqiyad/ketundukan, apabila kamu telah mengetahui dan meyakini namun
tidak tunduk maka itu artinya kamu belum mewujudkan tauhid. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu dahulu apabila
dikatakan kepada mereka bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah
maka mereka pun menyombongkan diri/bersikap angkuh dan mengatakan;
apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya
gara-gara seorang penyair gila?” (QS. ash-Shaffat: 35-36) (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/55])
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk
mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi
itu ada tanah yang baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan
berbagai jenis pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang tandus
sehingga bisa menampung air saja dan orang-orang mendapatkan manfaat
darinya. Mereka mengambil air minum untuk mereka sendiri, untuk ternak,
dan untuk mengairi tanaman. Hujan itu juga menimpa tanah yang licin, ia
tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanam-tanaman.
Demikian itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah
kemudian ajaran yang kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya.
Dia mengetahui ilmu dan mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang
tidak mau peduli dengan agama dan tidak mau menerima hidayah Allah yang
aku sampaikan.” (HR. Bukhari)
Imam al-Qurthubi rahimahullah
menjelaskan segi keserupaan antara hujan dengan ilmu agama. Beliau
berkata, “Sebagaimana hujan akan menghidupkan tanah yang mati (gersang),
demikian pula ilmu-ilmu agama akan menghidupkan hati yang mati.” (lihat
Fath al-Bari [1/215]). Imam Ibnu Baththal rahimahullah
menjelaskan, “Di dalam hadits ini juga terkandung pelajaran bahwa tidak
akan bisa menerima petunjuk dan agama yang diturunkan Allah kecuali
orang yang hatinya bersih dari syirik dan keragu-raguan.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal [1/163])
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan,
bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami
orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya.
Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh
sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata
sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya
jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada
binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih
rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
__________
Artikel Oleh: Al-Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi Hafizdahullah
Semoga Bermanfaat..
0 komentar:
Posting Komentar