728x90 AdSpace

Pos Terbaru

Sebab Datang dan Hilangnya Hidayah Allah

Sebab Datang dan Hilangnya Hidayah Allah

Berbicara tentang hidayah berarti membahas perkara yang paling penting dan kebutuhan yang paling besar dalam kehidupan manusia. Betapa tidak, hidayah adalah sebab utama keselamatan dan kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Sehingga barangsiapa yang dimudahkan oleh Allah untuk meraihnya, maka sungguh dia telah meraih keberuntungan yang besar dan tidak akan ada seorangpun yang mampu mencelakakannya.
Allah berfirman:

{مَنْيَهْدِاللَّهُفَهُوَالْمُهْتَدِيوَمَنْيُضْلِلْفَأُولَئِكَهُمُالْخَاسِرُونَ}

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi (dunia dan akhirat)” (QS al-A’raaf:178).

Dalam ayat lain, Dia  juga berfirman:

{مَنيَهْدِاللَّهُفَهُوَالْمُهْتَدِوَمَنْيُضْلِلْفَلَنْتَجِدَلَهُوَلِيًّامُرْشِدًا}

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (QS al-Kahf:17).

Kebutuhan manusia kepada hidayah Allah 

Allah  memerintahkan kepada kita dalam setiap rakaat shalat untuk selalu memohon kepada-Nya hidayah ke jalan yang lurus di dalam surah al-Fatihah yang merupakan surah yang paling agung dalam al-Qur-an[1], karena sangat besar dan mendesaknya kebutuhan manusia terhadap hidayah Allah Subhanahu wa ta'ala. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

{اهْدِنَاالصِّرَاطَالْمُسْتَقِيمَ}

“Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seorang hamba senantiasa kebutuhannya sangat mendesak terhadap kandungan doa (dalam ayat) ini, karena sesungguhnya tidak ada keselamatan dari siksa (Neraka) dan pencapaian kebahagiaan (yang abadi di Surga) kecuali dengan hidayah (dari Allah ) ini. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan hidayah ini berarti dia termasuk orang-orang yang dimurkai oleh Allah (seperti orang-orang Yahudi) atau orang-orang yang tersesat (seperti orang-orang Nashrani)”[2].

Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim memaparkan hal ini dengan lebih terperinci, beliau berkata: “Seorang hamba sangat membutuhkan hidayah di setiap waktu dan tarikan nafasnya, dalam semua (perbuatan)yang dilakukan maupun yang ditinggalkannya. Karena hamba tersebut berada di dalam beberapa perkara yang dia tidak bisa lepas darinya:

– Yang pertama; perkara-perkara yang dilakukannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayah (petunjuk Allah ) karena kebodohannya, maka dia butuh untuk memohon hidayah Allah kepada kebenaran dalam perkara-perkara tersebut.

– Atau dia telah mengetahui hidayah (kebenaran) dalam perkara-perkara tersebut, akan tetapi dia mengerjakannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayah secara sengaja, maka dia butuh untuk bertaubat dari (kesalahan) tersebut.

– Atau perkara-perkara yang dia tidak mengetahui segi hidayah (kebenaran) padanya, baik dalam ilmu dan amal, sehingga luput darinya hidayah untuk mengenal dan mengetahui perkara-perkara tersebut (secara benar), serta untuk meniatkan dan mengerjakannya.

– Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain, maka dia butuh kesempurnaan hidayah padanya.

– Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya secara asal (garis besar), tapi tidak secara detail, sehingga dia butuh hidayah (pada) perincian (perkara-perkara tersebut).

– Atau jalan (kebenaran) yang dia telah mendapat hidayah kepadanya, tapi dia membutuhkan hidayah lain di dalam (menempuh) jalan tersebut. Karena hidayah (petunjuk) untuk mengetahui suatu jalan berbeda dengan petunjuk untuk menempuh jalan tersebut. Bukankah anda pernah mendapati seorang yang mengetahui jalan (menuju) kota tertentu yaitu jalur ini dan itu, akan tetapi dia tidak bisa menempuh jalan tersebut (tidak bisa sampai pada tujuan)? Karena untuk menempuh perjalanan itu sendiri membutuhkan hidayah (petunjuk) yang khusus, contohnya (memilih) perjalanan di waktu tertentu dan tidak di waktu lain, mengambil (persediaan) di tempat tertentu dengan kadar yang tertentu, serta singgah di tempat tertentu (untuk beristirahat) dan tidak di tempat lain. Petunjuk untuk menempuh perjalanan ini terkadang diabaikan oleh orang yang telah mengetahui jalur suatu perjalanan, sehingga (akibatnya) diapun binasa dan tidak bisa mencapai tempat yang dituju.

– Demikian pula perkara-perkara yang dia butuh untuk mendapatkan hidayah dalam mengerjakannya di waktu mendatang sebagaimana dia telah mendapatkannya di waktu yang lalu.

– Dan perkara-perkara yang dia tidak memiliki keyakinan benar atau salahnya (perkara-perkara tersebut), maka dia membutuhkan hidayah (untuk mengetahui mana yang) benar dalam perkara-perkara tersebut.

– Dan perkara-perkara yang dia yakini bahwa dirinya berada di atas petunjuk (kebenaran) padanya, padahal dia berada dalam kesesatan tanpa disadarinya, sehingga dia membutuhkan hidayah dari Allah untuk meninggalkan keyakinan salah tersebut.

– Dan perkara-perkara yang telah dikerjakannya sesuai dengan hidayah (kebenaran), tapi dia butuh untuk memberi bimbingan, petunjuk dan nasehat kepada orang lain untuk mengerjakan perkara-perkara tersebut (dengan benar). Maka ketidakperduliannya terhadap hal ini akan menjadikannya terhalang mendapatkan hidayah sesuai dengan (kadar) ketidakperduliannya, sebagaimana petunjuk, bimbingan dan nasehatnya kepada orang lain akan membukakan baginya pintu hidayah, karena balasan (yang Allah berikan kepada hamba-Nya) sesuai dengan jenis perbuatannya”[3].

Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir ketika menjawab pertanyaan sehubungan dengan makna ayat di atas: bagaimana mungkin seorang mukmin selalu meminta hidayah di setiap waktu, baik di dalam shalat maupun di luar shalat, padahal dia telah mendapatkan hidayah, apakah ini termasuk meminta sesuatu yang telah ada pada dirinya atau tidak demikian?

Imam Ibnu Katsir berkata: “Jawabannya: tidak demikian, kalaulah bukan karena kebutuhan seorang mukmin di siang dan malam untuk memohon hidayah maka Allah tidak akan memerintahkan hal itu kepadanya. Karena sesungguhnya seorang hamba di setiap waktu dan keadaan sangat membutuhkan (pertolongan) Allah Subhanahu wa ta'ala untuk menetapkan dan meneguhkan dirinya di atas hidayah-Nya, juga membukakan mata hatinya, menambahkan kesempurnaan dan keistiqamahan dirinya di atas hidayah-Nya. Sungguh seorang hamba tidak memiliki (kemampuan memberi) kebaikan atau keburukan bagi dirinya sendiri kecuali dengan kehendak-Nya, maka Allah membimbingnya untuk (selalu) memohon kepada-Nya di setiap waktu untuk menganugerahkan kepadanya pertolongan, keteguhan dan taufik-Nya. Oleh karena itu, orang yang beruntung adalah orang yang diberi taufik oleh Allah untuk (selalu) memohon kepadanya, karena Allah  telah menjamin pengabulan bagi orang yang berdoa jika dia memohon kepada-Nya, terutama seorang yang sangat butuh dan bergantung kepada-Nya (dengan selalu bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya) di waktu-waktu malam dan di tepi-tepi siang”[4].

Makna, hakikat dan macam-macam hidayah                

Hidayah secara bahasa berarti ar-rasyaad (bimbingan) dan ad-dalaalah (dalil/petunjuk)[5].
Adapun secara syar’i, maka Imam Ibnul Qayyim membagi hidayah yang dinisbatkan kepada Allah  menjadi empat macam:

1. Hidayah yang bersifat umum dan diberikan-Nya kepada semua makhluk, sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya:

{قَالَرَبُّنَاالَّذِيأَعْطَىكُلَّشَيْءٍخَلْقَهُثُمَّهَدَى}

“Musa berkata: “Rabb kami (Allah ) ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada setiap makhluk bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS Thaahaa: 50).

Inilah hidayah (petunjuk) yang Allah  berikan kepada semua makhluk dalam hal yang berhubungan dengan kelangsungan dan kemaslahatan hidup mereka dalam urusan-urusan dunia, seperti melakukan hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi hal-hal yang membinasakan untuk kelangsungan hidup di dunia.

2. Hidayah (yang berupa) penjelasan dan keterangan tentang jalan yang baik dan jalan yang buruk, serta jalan keselamatan dan jalan kebinasaan. Hidayah ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna, karena ini hanya merupakan sebab atau syarat, tapi tidak mesti melahirkan (hidayah Allah Subhanahu wa ta'ala yang sempurna). Inilah makna firman Allah:

{وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى}

“Adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk” (QS Fushshilat: 17).

Artinya: Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mereka (jalan kebenaran) tapi mereka tidak mau mengikuti petunjuk.

Hidayah inilah yang mampu dilakukan oleh manusia, yaitu dengan berdakwah dan menyeru manusia ke jalan Allah, serta menjelaskan kepada mereka jalan yang benar dan memperingatkan jalan yang salah, akan tetapi hidayah yang sempurna (yaitu taufik) hanya ada di tangan Allah Subhanahu wa ta'ala, meskipun tentu saja hidayah ini merupakan sebab besar untuk membuka hati manusia agar mau mengikuti petunjuk Allah  dengan taufik-Nya. Allah  berfirman tentang Rasul-Nya:

{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}

“Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah ) benar-benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52).

3. Hidayah taufik, ilham (dalam hati manusia untuk mengikuti jalan yang benar) dan kelapangan dada untuk menerima kebenaran serta memilihnya. inilah hidayah (sempurna) yang mesti menjadikan orang yang meraihnya akan mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa ta'ala. Inilah yang disebutkan dalam firman-Nya:
{فإن الله يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ}
“Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir: 8).

Dan firman-Nya:

{إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ}

“Jika engkau (wahai Muhammad) sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya dan mereka tidak mempunyai penolong” (QS an-Nahl: 37).

Juga firman-Nya:

{إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ}

“Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS al-Qashash: 56).

Maka dalam ayat ini Allah menafikan hidayah ini (taufik) dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dan menetapkan bagi beliau Shallallahu'alaihi wa sallam hidayah dakwah (bimbingan/ajakan kepada kebaikan) dan penjelasan dalam firman-Nya:

{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}

“Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah) benar-benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52).

4. Puncak hidayah ini, yaitu hidayah kepada Surga dan Neraka ketika penghuninya digiring kepadanya.

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman tentang ucapan penghuni Surga:

{وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ}

“Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke Surga) kalau sekiranya Allah tidak menunjukkan kami” (QS al-A’raaf: 43).

Adapun  tentang penghuni Neraka, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

{احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ. مِنْ دُونِ اللهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ}

“Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman-teman yang bersama mereka dan apa yang dahulu mereka sembah selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke Neraka” (QS ash-Shaaffaat: 22-23)”[6].

Dari sisi lain, Imam Ibnu Rajab al-Hambali membagi hidayah menjadi dua:
  1. Hidayah yang bersifat mujmal (garis besar/global), yaitu hidayah kepada agama Islam dan iman, yang ini dianugerahkan-Nya kepada setiap muslim.
  2. Hidayah yang bersifat rinci dan detail, yaitu hidayah untuk mengetahui perincian cabang-cabang imam dan islam, serta pertolongan-Nya untuk mengamalkan semua itu. Hidayah ini sangat dibutuhkan oleh setiap mukmin di siang dan malam”[7].

Sebab datang dan hilangnya hidayah Allah

Dikarenakan inti dan hakikat hidayah adalah taufik dari Allah Subhanahu wa ta'ala, sebagaimana penjelasan di atas, maka berdoa dan memohon hidayah kepada Allah  merupakan sebab yang paling utama untuk mendapatkan hidayah-Nya.
 
Dalam hadits Qudsi yang shahih, Allah  berirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan berikan petunjuk kepada kalian”[8].

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta'ala yang maha sempurna rahmat dan kebaikanNya, memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk selalu berdoa memohon hidayah taufik kepada-Nya, yaitu dalam surah al-Fatihah:

{اهْدِنَاالصِّرَاطَالْمُسْتَقِيمَ}

“Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Doa (dalam ayat ini) termasuk doa yang paling menyeluruh dan bermanfaat bagi manusia, oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk berdoa kepada-Nya dengan doa ini di setiap rakaat dalam shalatnya, karena kebutuhannya yang sangat besar terhadap hal tersebut”[9].

Dalam banyak hadits yang shahih, Rasulullah  mengajarkan kepada kita doa memohon hidayah kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Misalnya doa yang dibaca dalam qunut shalat witir:

(( اللَّهُمَّاهْدِنَافِيمَنْهَدَيْت))

“Ya Allah, berikanlah hidayah kepadaku di dalam golongan orang-orang yang Engkau berikan hidayah”[10].

Juga doa beliau :

(( اللَّهُمَّإِنِّيأَسْأَلُكَالْهُدَىوَالتُّقَى،وَالْعِفَّةَوَالْغِنَى ))

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, penjagaan diri (dari segala keburukan) dan kekayaan hati (selalu merasa cukup dengan pemberian-Mu)”[11].

Sebaliknya, keengganan atau ketidak sungguhan untuk berdoa kepada Allah memohon hidayah-Nya merupakan sebab besar yang menjadikan seorang manusia terhalangi dari hidayah-Nya.

Oleh karena itu, Allah  sangat murka terhadap orang yang enggan berdoa dan memohon kepada-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah : “Sesungguhnya barangsiapa yang enggan untuk memohon kepada Allah maka Dia akan murka kepadanya”[12].

Hal-hal lain yang menjadi sebab datangnya hidayah Allah  selain yang dijelaskan di atas adalah sebagai berikut:

1. Tidak bersandar kepada diri sendiri dalam melakukan semua kebaikan dan meninggalkan segala keburukan.
Artinya selalu bergantung dan bersandar kepada Allah  dalam segala sesuatu yang dilakukan atau ditinggalkan oleh seorang hamba, serta tidak bergantung kepada kemampuan diri sendiri.

Ini merupakan sebab utama untuk meraih taufik dari Allah Subhanahu wa ta'ala yang merupakan hidayah yang sempurna, bahkan inilah makna taufik yang sesungguhnya sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama Ahlus sunnah.

Coba renungkan pemaparan Imam Ibnul Qayyim berikut ini: “Kunci pokok segala kebaikan adalah dengan kita mengetahui (meyakini) bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi. Karena pada saat itulah kita yakin bahwa semua kebaikan (amal shaleh yang kita lakukan) adalah termasuk nikmat Allah (karena Dia-lah yang memberi kemudahan kepada kita untuk bisa melakukannya), sehingga kita akan selalu mensyukuri nikmat tersebut dan bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada Allah agar Dia tidak memutuskan nikmat tersebut dari diri kita. Sebagaimana (kita yakin) bahwa semua keburukan (amal jelek yang kita lakukan) adalah karena hukuman dan berpalingnya Allah dari kita, sehingga kita akan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar menghindarkan diri kita dari semua perbuatan buruk tersebut, dan agar Dia tidak menyandarkan (urusan) kita dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan kepada diri kita sendiri.

Telah bersepakat al ‘Aarifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya) bahwa asal semua kebaikan adalah taufik dari Allah Subhanahu wa ta'ala kepada hamba-Nya, sebagaimana asal semua keburukan adalah khidzlaan (berpalingnya) Allah Subhanahu wa ta'ala dari hamba-Nya. Mereka juga bersepakat bahwa (makna) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan kebaikan/keburukan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al khidzlaan (berpalingnya Allah  dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah )”[13].

Inilah yang terungkap dalam doa yang diucapkan oleh Rasulullah : “(Ya Allah), jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata”[14].

Oleh karena inilah makna dan hakikat taufik, maka kunci untuk mendapatkannya adalah dengan selalu bersandar dan bergantung kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dalam meraihnya dan bukan bersandar kepada kemampuan diri sendiri.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Kalau semua kebaikan asalnya (dengan) taufik yang itu adanya di tangan Allah (semata) dan bukan di tangan manusia, maka kunci (untuk membuka pintu) taufik adalah (selalu) berdoa, menampakkan rasa butuh, sungguh-sungguh dalam bersandar, (selalu) berharap dan takut (kepada-Nya). Maka ketika Allah telah memberikan kunci (taufik) ini kepada seorang hamba, berarti Dia ingin membukakan (pintu taufik) kepadanya. Dan ketika Allah memalingkan kunci (taufik) ini dari seorang hamba, berarti pintu kebaikan (taufik) akan selalu tertutup baginya”[15].

2. Selalu mengikuti dan berpegang teguh dengan agama Allah secara keseluruhan lahir dan batin.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

{فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى}

“Maka jika datang kepadamu (wahai manuia) petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan tidak akan sengsara (dalam hidupnya)” (QS Thaahaa: 123).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa orang yang mengikuti dan berpegang teguh dengan petunjuk Allah Subhanahu wa ta'ala yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Shallallahu'alaihi wa sallam, dengan mengikuti semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, maka dia tidak akan tersesat dan sengsara di Dunia dan Akhirat, bahkan dia selalu mendapat bimbingan petunjuk-Nya, kebahagiaan dan ketentraman di Dunia dan Akhirat[16].

Dalam ayat lain, Allah  berfirman:

{وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ}

“Dan orang-orang yang selalu mengikuti petunjuk (agama Allah ) maka Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketaqwaannya” (QS Muhammad: 17).

3. Membaca al-Qur-an dan merenungkan kandungan maknanya.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

{إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا}

“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS al-Israa’: 9).

Imam Ibnu Katsir berkata: “(Dalam ayat ini) Allah  memuji kitab-Nya yang mulia yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Shallallahu'alaihi wa sallam, yaitu al-Qur-an, bahwa kitab ini memberikan petunjuk kepada jalan yang paling lurus dan jelas”[17].

Maksudnya: yang paling lurus dalam tuntunan berkeyakinan, beramal dan bertingkah laku, maka orang yang selalu membaca dan mengikuti petunjuk al-Qur-an, dialah yang paling sempurna kebaikannya dan paling lurus petunjuknya dalam semua keadaannya[18].

4.Mentaati dan meneladani sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa ta'ala menamakan wahyu yang diturunkan-Nya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam sebagai al-huda (petunjuk) dan dinul haq (agama yang benar) dalam firman-Nya:

{هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا}

“Dialah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi” (QS al-Fath: 28).

Para ulama Ahli Tafsir menafsirkan al-huda (petunjuk) dalam ayat ini dengan ilmu yang bermanfaat dan dinul haq (agama yang benar) dengan amal shaleh[19].

Ini menunjukkan bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk yang akan selalu membimbing manusia untuk menetapi jalan yang lurus dalam ilmu dan amal.

Dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah kitab Allah (al-Qur-an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan (baru dalam agama)”[20].

Inilah makna firman Allah :

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

5. Mengikuti pemahaman dan pengamalan para Shahabat dalam beragama.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

{فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ}

“Jika mereka beriman seperti keimanan yang kalian miliki, maka sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam perpecahan” (QS al-Baqarah: 137).

Ayat ini menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman para Shahabat dalam keimanan, ibadah, akhlak dan semua perkara agama lainnya, karena inilah sebab untuk mendapatkan petunjuk dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Para Shahabat y adalah yang pertama kali masuk dalam makna ayat ini, karena merekalah orang-orang yang pertama kali memiliki keimanan yang sempurna setelah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam.[21].

6. Meneladani tingkah laku dan akhlak orang-orang yang shaleh sebelum kita.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

{أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ}

“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka” (QS al-An’aam: 90).

Dalam ayat ini Allah  memerintahkan kepada Nabi Muhammad Subhanahu wa ta'ala untuk meneladani petunjuk para Nabi u yang diutus sebelum beliau, dan ini juga berlaku bagi umat Nabi Muhammad Subhanahu wa ta'ala [22].

7. Mengimani takdir Allah  dengan benar.

{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}

“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS at-Taghaabun:11).

Imam Ibnu Katsir berkata: “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya”[23].

8. Berlapang dada menerima keindahan Islam serta meyakini kebutuhan manusia lahir dan batin terhadap petunjuknya yang sempurna.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

{فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ}

“Barangsiapa yang Allah kehendaki untuk Allah berikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS al-An’aam: 125).

Ayat ini menunjukkan bahwa tanda kebaikan dan petunjuk Allah  bagi seorang hamba adalah dengan Allah Subhanahu wa ta'ala menjadikan dadanya lapang dan lega menerima Islam, maka hatinya akan diterangi cahaya iman, hidup dengan sinar keyakinan, sehingga jiwanya akan tentram, hatinya akan mencintai amal shaleh dan jiwanya akan senang mengamalkan ketaatan, bahkan merasakan kelezatannya dan tidak merasakannya sebagai beban yang memberatkan[24].

9. Bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah  dan selalu berusaha mengamalkan sebab-sebab yang mendatangkan dan meneguhkan hidayah Allah Subhanahu wa ta'ala.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

{وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ}

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS al-‘Ankabuut: 69).

Imam Ibnu Qayyimil Jauziyah berkata: “(Dalam ayat ini) Allah  menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah) adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya”[25].

Demikianlah pemaparan ringkas tentang sebab-sebab datangnya hidayah Allah Subhanahu wa ta'ala, dan tentu saja kebalikan dari hal-hal tersebut di atas itulah yang merupakan sebab-sebab hilangnya/tercabutnya hidayah Allah Subhanahu wa ta'ala, semoga Allah  melindungi kita dari segala keburukan dan fitnah.

Penutup
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk lebih semangat mengusahakan sebab-sebab datangnya hidayah dari Allah Subhanahu wa ta'ala.

Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah  dengan semua nama-Nya yang maha indah dan sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia senantiasa melimpahkan, menyempurnakan dan menjaga taufik-Nya kepada kita semua sampai kita berjumpa dengan-Nya di surga-Nya kelak, sesungguhnya Dia maha mendengar lagi maha mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


Kota Kendari, 1 Muharram 1435 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
http://manisnyaiman.com/

[1] Sebagaimana dalamHR Ahmad (2/357) dari Abu Hurairah t dengan sanad yang shahih.
[2] Kitab “Majmuu’ul fata-wa” (14/37).
[3] Kitab “Risaalatu Ibnil Qayyim” (hal. 8-9).
[4] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/50).
[5] Lihat kitab “al-Qaamuushul muhiith” (hal. 1733).
[6] Lihat kitab “Bada-i’ul fawa-id” (2/271-273) dengan ringkasan dan tambahan.
[7] Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 225).
[8] HSR Muslim (no. 2577).
[9] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 39).
[10] HR Abu Dawud (no. 1425), at-Tirmidzi (no. 464) dan an-Nasa-i (3/248), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[11] HSR Muslim (no. 2721).
[12] HR at-Tirmidzi (no. 3373) dan al-Hakim (1/667), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[13] Kitab “Al Fawa-id” (hal. 133- cet. Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H).
[14] HR an-Nasa-i (6/147) dan al-Hakim (no. 2000), dishahihkan oleh Imam al-Hakim, disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahihah” (1/449, no. 227).
[15] Kitab “Al Fawa-id” (hal. 133- cet. Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H).
[16]Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 515).
[17]Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/39).
[18]Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 454).
[19]Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/209) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 335).
[20]HSR Muslim (no. 867).
[21]Demikian makna penjelasan yang penulis pernah dengar dari salah seorang syaikh di kota Madinah, Arab Saudi.
[22]Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/208).
[23]Tafsir Ibnu Katsir (8/137).
[24]Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 272).
[25] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 59).

Menggapai Hidayah Allah 


Ustadz Ramli bin Haya  Al-Kandary 

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, amma ba’du:

Setiap orang yang memiliki fitrah yang bersih pastilah dia senantiasa mengharapkan hidayah itu ada pada dirinya.  Banyak orang yang ingin mendapatkan hidayah, tetapi hidayah itu jauh darinya, disebabkan karena dia tidak mengetahui hidayah yang sebenarnya dan cara untuk mendapatkannya. Sebagian orang mencari hidayah dengan melakukan amalan yang sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan amalannya itu sesuai dengan sunnah yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak, sebagian lagi orang menganggap jika dia berada dalam kelompok/golongan tertentu berarti dia telah berada diatas hidayah, sebagian yang lain lagi mereka meremehkan dalam masalah usaha untuk mendapatkan hidayah. Mereka menganggap bahwa walaupun tidak melakukan usaha, jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki hidayah, maka Allah akan memberikannya.  Maka ketiganya adalah anggapan yang salah.

Ketahuilah bahwa hidayah itu ada dua, yang pertama yaitu hidayah Rasul, berupa bimbingan dan penjelasan menuju jalan yang lurus, dan yang kedua hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala yakni berupa taufiq pada hati untuk menerima dan mengamalkan kebenaran, hidayah taufiq inilah yang hanya dimiliki oleh Allah dan Allah yang akan memberikannya kepada siapa saja dari hambaNya yang dikehendaki-Nya.

Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan tentang perkataan orang-orang penghuni surga yang telah mendapatkan hidayah dari Allah Ta’ala dalam surat Al-A’raf :43:

Mereka berkata: segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah ini kepada kami dan tidaklah kami mendapatkan hidayah jika seandainya Allah tidak memberikan hidayah kepada kami”

Dalam tafsir As-Sa’di rahimahullah dijelaskan makna ayat di atas : Jiwa-jiwa kami tidak dapat menerima hidayah kalau bukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang memberi karunia kepada kami dengan hidayah-Nya dan mengikuti Rasul-Nya

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa hidayah itu adalah milik Allah dan Allah yang berkehendak untuk memberikan atau menahan hidayah itu kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.  Ini juga menunjukkan bahwa hidayah itu bukanlah didapatkan dari warisan orang tua, atau hubungan nasab dan kekerabatan dengan seorang yang sholeh atau hidayah itu diperoleh dengan kekuasaan dan kepandaian seseorang atau dengan kecintaan orang sholeh kepadanya.  Beberapa bukti yang menunjukkan hal ini diantaranya ;

1. Nabi Nuh ‘alaihis salam tidak bisa memberikan hidayah taufik kepada anaknya sebagaiman firman-Nya:

Dan Nuh memanggil anaknya yang berada ditempat yang jauh “wahai anakku, naiklah( ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir!…. dan dia termasuk orang-orang yang ditenggelamkan” (QS. Hud : 42-43)

2. Kisah seorang anak yang mendapatkan hidayah tapi bapaknya tidak mendapatkannya

Yaitu kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan bapaknya : “Dan tatkala Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar, apakah engkau telah menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan? Sungguh aku memandang kamu dan kaummu di dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Al-An’am :74)

Demikian pula kisah Abdullah seorang anak yang mendapat hidayah sementara ayahnya Abdullah bin Ubay bin Salul adalah gembong munafiq di madinah.

Demikian pula Ikrimah bin Abu Jahal radhiyallahu ‘anhu mendapatkan hidayah Islam dan menjadi seorang sahabat yang mulia sementara bapaknya adalah seorang tokoh musyrikin Quraisiy.

3. Istri-istri Nabi tidak mendapat hidayah seperti istri Nabi Nuh ‘alaihis salam dan Nabi Luth ‘alaihis salam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya):”Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”.( QS. At-Tahrim :10)

Dalam tafsir Ibnu Katsir rahimahullah dijelaskan bahwa istri Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihima salam senantiasa menemani suaminya siang dan malam, makan, tidur, dan hidup bersama suaminya. Namun keadaan keduanya (istrinya) tidak mengikuti dan membenarkan risalah yang dibawa oleh suaminya.

4. Seorang istri yang mendapat hidayah tetapi suaminya tidak mendapatkannya seperti Asiah istri Fir’aun.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang yang beriman, ketika ia berkata:“Ya Rabbku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim”. (QS At-Tahrim:11)

5. Seorang yang diberikan hidayah tapi pamannya yang sangat dicintainya tidak diberikan hidayah sebagaimana paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Tholib tidak mendapatkan hidayah untuk masuk kedalam agama Islam .

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al-Qashas : 56)

Dalam shahih Bukhari dan Muslim telah dijelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kisah Abu Tholib tatkala menjelang kematiannya, Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam mendatanginya untuk mangajak mengucapkan kalimat tauhid “laa illaha Illallah”,  namun dia enggan mengucapkannya, maka pada akhirnya dia mengatakan bahwa dia berada diatas agamanya Abdul Mutholib [1]

6.  Seorang raja yang mendapatkan hidayah Islam namun orang-orang dekatnya dari pembesar-pembesar kerajaan dan para uskup dan penasehatnya tidak mendapatkan hidayah seperti Raja Najasy

7.  Seorang budak mendapatkan hidayah tetapi majikannya tidak mendapatkannya, yaitu Bilal bin Robah radhiyallahu ‘anhu budak dari Umayyah bin Kholaf

Dari kisah-kisah di atas menunjukkan bahwasanya hidayah taufik berada ditangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.   Untuk mendapatkannya kita perlu mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam melakukan sebab-sebab yang telah dituntunkan oleh syariat agar Allah mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS.Al-Ankabut:69)

Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah tatkala mengomentari ayat tersebut dengan berkata : Allah Ta’ala telah menggandengkan antara hidayah dengan jihad (kesungguhan), maka manusia yang paling sempurna hidayahnya adalah manusia yang paling besar kesungguhannya.

Jihad yang paling wajib adalah jihad melawan diri sendiri, jihad melawan keinginan hawa nafsu, jihad melawan syetan dan berjihad terhadap keinginan dunia. Maka siapa yang telah berjihad melawan empat perkara ini di jalan Allah, maka Allah memberikan kepadanya berupa jalan-jalan keridhoanNya yang mengantarkan kepada surga[2]

Diantara cara dan sebab untuk mendapatkan hidayah tersebut adalah

1. Bersungguh-sungguh mempelajari tauhid dan mengamalkannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qs. At-Thaghobun : 11)

Allah Ta’ala berfirman: orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs.  Al-An’am : 82

2. Bersungguh-sungguh mempelajari dan mentadaburi serta mengamalkan Al qur’an

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan,[3] dengan kitab Itulah Allah Ta’ala menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Qs. Al-Maidah :15 16)

3. Berkeinginan kuat untuk selalu kembali dan bertobat kepada Allah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: orang-orang kafir berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat) dari Tuhannya?” Katakanlah: “Sesungguhnya Allah menyesatkan[4] siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya” (Qs. Ar-Ra’du : 27)

Dan dalam sebuah hadits yang shohih yang diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim tentang kisah pembunuh seratus nyawa yang dia bersungguh-sungguh ingin bertobat dari dosanya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq kepadanya dengan mempertemukannya dengan seorang alim yang memberikan arahan kepadanya agar tobatnya diterima, maka pembunuh 100 nyawa tersebut bersungguh-sungguh melakukan arahan orang alim tersebut agar dia meninggalkan kampung halamannya menuju ke tempat yang baik.  Dan akhirnya, Allah menerima tobat orang tersebut.

4. Bersungguh-sungguh dalam berdoa meminta hidayah

Ya Allah, aku memohon kepadaMu petunjuk, ketakwa’an, penjagaan diri dan kecukupan (HR Muslim)

Demikian pula kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau mendoakan ibunya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepadanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakannya, hingga berkat doa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam , ibu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengucapkan kalimat syahadat (HR. Muslim 2491) 

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shohbihi wa sallam

Penulis: Ustadz Ramli bin Haya  Al-Kandary (Pengasuh Madrasah Ibnu Abbas As-Salafy Kendari)

Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com

Catatan Kaki:

[1] Syarhul muyassar li kitaabit tauhid :124 Abdul Malik bin Muhammad Qasimy
[2] Mukhtasar al-fawaid:30 ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah
[3] Cahaya Maksudnya: Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kitab Maksudnya: Al Quran
[4] Disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat.

Faisal Choir Blog :

Blog ini merupakan kumpulan Artikel dan Ebook Islami dari berbagai sumber. Silahkan jika ingin menyalin atau menyebarkan isi dari Blog ini dengan mencantumkan sumbernya, semoga bermanfaat. “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR. Muslim). Twitter | Facebook | Google Plus

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Sebab Datang dan Hilangnya Hidayah Allah Description: Rating: 5 Reviewed By: samudera ilmu
Scroll to Top