Orang-orang yang Mendapatkan Pahala Dua Kali
Oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc
Sesungguhnya setiap amal kebaikan ada pahalanya. Sesuai dengan kadar ketulusan niat dan besarnya manfaat yang dihasilkan, sebesar itulah ganjaran yang akan didapatkannya. Sungguh, Allah Maha Pemurah. Ia memberi pahala amal kebaikan dua kali lipat, tiga kali lipat, bahkan lebih dari itu. Ada beberapa golongan yang mendapatkan pahala dua kali lipat yang disebutkan oleh hadits Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ
يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ: رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمَنَ
بِنَبِيِّهِ وَأَدْرَكَ النَّبِيَّ, فَآمَنَ بِهِ وَاتَّبَعَهُ
وَصَدَّقَهُ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَعَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَدَّى حَقَّ اللهِ
تَعَالَى وَحَقَّ سَيِّدِهِ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَرَجُلٌ كَانَتْ لَهُ
أَمَةٌ فَغَذَاهَا فَأَحْسَنَ غِذَاءَهَا ثُمَّ أَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ
أَدَبَهَا ثُمَّ أَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ أَجْرَانِ
“Tiga orang yang mereka diberi pahala dua kali: (1) Seorang ahli
kitab yang beriman kepada nabinya dan mendapati Nabi (Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu
beriman kepada beliau, mengikutinya, dan memercayainya, maka dia
mendapatkan dua pahala; (2) budak sahaya yang menunaikan kewajiban
terhadap Allah Ta'ala dan kewajiban terhadap tuannya, ia mendapatkan
dua pahala; dan (3) seseorang yang memiliki budak perempuan lalu
memberinya makan dan bagus dalam hal memberi makannya, kemudian
mendidiknya dan bagus dalam mendidiknya, lalu dia memerdekakannya dan
menikahinya, maka dia mendapat dua pahala.” (HR. al-Bukhari no. 3011 dan Muslim dalam “Kitabul Iman”, dan hadits ini lafadz Muslim)
Hadits di atas menjelaskan bahwa ada tiga golongan manusia yang berhak meraih pahala dua kali, yaitu:
1. Seorang ahli kitab (Yahudi atau Nasrani) yang beriman
kepada rasul yang diutus kepadanya, mengimani kitab yang diturunkan
kepada rasulnya, dan mengamalkan kandungannya. Ketika mendengar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, dia beriman kepada beliau dan mengikuti ajarannya.
Orang yang seperti ini mendapatkan dua pahala, yaitu pahala mengimani
rasul yang diutus kepadanya dan pahala mengimani rasul yang diutus
setelahnya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini tentu
mendorong ahli kitab untuk bersegera memeluk agama Islam yang merupakan
penutup agama-agama yang ada dan satu-satunya agama yang diterima oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sungguh, mereka akan mendapatkan pahala yang mereka harapkan
saat menjaga agamanya, ditambah pahala yang lain saat memeluk Islam.
Sebab, Islam tidak akan mengurangi hak seorang pun, sebagaimana halnya
Islam juga tidak menghalangi pahala orang yang beramal.
Jika ahli kitab menolak masuk Islam dan enggan beriman kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti mereka telah mengingkari kitab-kitab mereka yang
menyebutkan sifat-sifat beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
secara jelas dan perintah untuk mengikutinya bila diutus kelak. Padahal,
seandainya Nabi Musa ‘Alaihissalam masih hidup di kala Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, niscaya Nabi Musa ‘Alahissalam akan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Seandainya saudaraku, Musa, masih hidup, tidak ada kesempatan selain mengikutiku.” (HR. Ahmad dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa al-Ghalil)
Ketika turun nanti di akhir zaman, Nabi Isa ‘Alaihissalam pun akan
menjadi bagian umat ini dan berhukum dengan syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا
يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا
نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Tidak ada seorang pun dari umat ini yang mendengar aku (diutus),
baik dia Yahudi maupun Nasrani, lantas ia mati dalam keadaan tidak
beriman dengan apa yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka.”
(Shahih Muslim, “Kitabul Iman”, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hendaknya mereka memeluk agama ini karena besarnya pahala yang telah
menunggu. Lebih-lebih, orang kafir yang berbuat kebaikan di saat
jahiliah lalu masuk Islam, kebaikan di masa jahiliah itu tetap dicatat
sebagai pahala. Dahulu Hakim bin Hizam radhiyallahu'anhu bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
tentang amal kebaikan yang ia lakukan di saat jahiliah, seperti
silaturahim, memerdekakan budak, dan sedekah, apakah ada pahalanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Engkau masuk Islam di atas kebaikan-kebaikan yang kaulakukan.” (Shahih al-Bukhari, “Kitabuz Zakat”)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Apabila seorang hamba masuk Islam kemudian baik keislamannya, Allah Subhanahu wata’ala mencatat segala kebaikan yang telah dilakukannya dan menghapus segala kejelekan yang pernah dikerjakannya.” (HR. Malik dan an-Nasai, lihat Shahih al-Jami’ no. 336)
Dia menjadi pelayan yang taat kepada tuannya dan penjaga yang tepercaya. Dia tulus menjalankan tugas, berusaha mengembangkan harta tuannya, serta menjaga anak-anaknya. Di samping itu, ia juga mengarahkan tuannya ke arah kebaikan dan mengingatkannya dari kejelekan. Tidak hanya itu, ia juga selalu menjaga hukum-hukum Allah Subhanahu wata’ala. Kesibukannya memberi pelayanan yang terbaik kepada tuannya tidak melalaikannya dari kewajibannya kepada Sang Khalik. Apabila panggilan shalat dikumandangkan, ia bergegas mendatanginya. Seandainya disuruh oleh tuannya untuk melakukan pelanggaran agama, dia menasihati tuannya dan lebih memilih taat kepada Rabbnya. Ia melaksanakan kewajiban agama dan menjauhkan diri dari larangannya. Budak yang seperti ini akan meraih dua pahala. (Lihat kitab al-Adab an-Nabawi hlm. 100-101, karya Abdul Aziz al-Khauli)
Karena agungnya sifat budak yang seperti ini, sampai-sampai sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkeinginan meninggal dalam keadaan sebagai budak sahaya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Dzat yang jiwa Abu Hurairah ada di tangan- Nya (demi Allah), kalau bukan karena jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala dan melaksanakan haji serta berbakti kepada ibuku, sungguh aku ingin mati dalam keadaan sebagai budak sahaya.” (HR. Muslim no. 1665)
Tidak tanggung-tanggung, karena kerinduan kepada pahala Allah Subhanahu wata’ala yang berlipat, sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
ingin meninggal dalam keadaan sebagai budak sahaya. Dia tidak peduli
dengan status sosial yang disandangnya asalkan Sang Maula (Allah Subhanahu wata’ala)
ridha kepadanya. Seperti inilah orang yang jauh pandangannya dan tinggi
seleranya. Oleh karena itu, betapa malangnya nasib orang yang mengaku
merdeka dan menghirup alam kebebasan, namun senantiasa menjadi budak
syahwat dan hawa nafsunya. Jangankan berpikir untuk menanam kebajikan,
keluar dari lumpur kesesatan saja tidak mampu. Masihkah orang yang
seperti ini dikatakan sebagai orang yang merdeka dan hidup leluasa?!
Menurut kacamata syariat, kemuliaan terletak kepada ketulusan
mengamalkan kebaikan dan kesiapan menerima aturan agama (takwa).
Kemuliaan tidak berarti memiliki harta yang melimpah, berpenampilan
serba wah, dan jabatan tinggi jabatan yang membuat ngiler orang-orang kelas bawah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian.” (al-Hujarat: 13)
3. Seorang lelaki yang memiliki budak sahaya wanita yang memerhatikan sisi pendidikan agamanya dan mencukupi kebutuhan jasmaninya. Ia bimbing budaknya kepada hal-hal yang bermanfaat, baik dari segi agama maupun dunia. Setelah itu, ia memerdekakan dan menikahinya.
Lelaki seperti ini telah mengangkat kedudukan budaknya dengan
mengubah statusnya menjadi orang yang merdeka. Orang seperti ini pantas
mendapatkan pahala dua kali lipat karena usahanya yang baik. Bagaimana
tidak, dia telah mengeluarkan budaknya dari gelapnya kebodohan kepada
cahaya ilmu. Ia mencukupi kebutuhan hidupnya secara maksimal, sedangkan budak sahaya umumnya mendapatkan perlakuan yang tidak wajar dari
tuannya. Setelah budak sahaya tersebut menjadi mahal nilainya dan tinggi
harganya karena kemuliaan lahiriah dan batiniah yang disandangnya, sang
tuan memerdekakannya. Ia lepaskan sahaya tersebut dari belenggu
perbudakan ketika ia yakin bahwa budaknya telah baik kondisinya.
Padahal, jika mau menjual budak tersebut, niscaya ia akan mendapat
materi yang tidak sedikit. Akan tetapi, ia dengan tulus memerdekakannya.
Ia hanya mengharap, biaya dan tenaga yang telah ia keluarkan untuk
memperbagus agama dan keterampilan duniawi sang budak, diganti dengan
pahala dan ridha Allah Subhanahu wata’ala.
Tidak hanya itu, bahkan ia menikahinya sehingga menyejajarkannya
dengan istrinya yang lain dalam masalah hak dan menyamakannya dengan
wanita-wanita lain yang merdeka. Padahal, sebelumnya budak wanita ini
dikuasai oleh orang lain, sampai pun anak-anak kecil menyuruh dan
memerintahnya serta memanggilnya sebagai budak. Namun, panggilan yang
seperti itu kini sudah tidak melekat pada dirinya. Setelah penjelasan
yang gamblang seperti ini, masih adakah orang yang menuduh bahwa Islam
menzalimi kaum hawa dan tidak memerhatikan pendidikan para wanita?!
Sungguh, amat keji bualan yang keluar dari mulutnya. Berangkat dari
sini, sudah menjadi kewajiban kita untuk mendidik anak-anak kita,
anak-anak kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga
menjadi generasi yang bermanfaat bagi agama dan masyarakatnya, setelah
bermanfaat bagi dirinya.
Perlu diketahui, perbudakan akan ada selama masih ada orang kafir
yang memerangi kaum muslimin. Kaum muslimin melakukan perlawanan
sehingga sebagian orang kafir ada yang tertawan dan menjadi budak. Akan
tetapi, ketika mereka menjadi budak lalu masuk Islam dan baik
keislamannya, agama Islam menganjurkan pemiliknya untuk memerdekakannya
dengan menjanjikan pahala yang besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Lelaki mana saja yang memerdekakan seorang (budak) muslim, Allah Subhanahu wata’ala akan menyelamatkannya dari neraka setiap anggota tubuh darinya dengan anggota tubuh dari (budak)nya.” (HR. al-Bukhari no. 2517)
Sa’id bin Marjanah, perawi hadits ini, berkata, “Saya bawa hadits ini kepada Ali bin al-Husain rahimahullah
lalu dia (Ali) menuju kepada budaknya yang (akan) dibeli sepuluh ribu
dirham atau seribu dinar oleh Abdullah bin Ja’far, lantas
memerdekakannya.” Seperti inilah bersegeranya generasi awal umat ini
melakukan kebaikan kapan pun ada kesempatan. Ketika budak yang
dimerdekakan itu mahal harganya dan sangat disenangi oleh pemiliknya,
semakin besar pula pahala memerdekakannya. (lihat Shahih al-Bukhari no. 2518)
Islam yang indah ini juga menjadikan memerdekakan budak sebagai
ketentuan dalam beberapa hukumnya. Misalnya, hukuman bagi orang yang
melakukan hubungan suami istri ketika puasa di siang hari Ramadhan, di
antaranya adalah memerdekakan budak. Islam juga telah memberikan bagian
harta zakat untuk memerdekakan budak sahaya. Kata asy-Syaikh Muhibbuddin
al- Khathib, “Sungguh, ketika Islam datang, masalah perbudakan
adalah aturan yang umum pada seluruh umat yang ada di muka bumi.
Perbudakan di Jazirah Arab adalah yang paling minim dan paling lembut
dibandingkan dengan umat-umat yang lain. Di antara tujuan risalah
(syariat) Islami yang terpenting adalah anjuran membebaskan budak dan
memerdekakannya dalam berbagai kondisi dan kesempatan. Sebuah aturan
yang belum pernah ada umat yang bisa menandinginya.” (Ta’liq Shahih al- Bukhari 2/213)
Golongan Lain yang Mendapat Pahala Dua Kali
Orang-orang yang mendapat pahala dua kali tidak terbatas hanya pada
tiga golongan yang tersebut dalam hadits di atas. Ada beberapa golongan
yang lain, di antaranya:
1. Istri-istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَن
يَقْنُتْ مِنكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُّؤْتِهَا
أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا
“Barang siapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) tetap
taat kepada Allah dan rasul-Nya, serta mengerjakan amal yang saleh,
niscaya Kami memberinya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya
rezeki yang mulia.” (al-Ahzab: 31)
2. Orang yang bersedekah kepada karib kerabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya),
“Bersedekah kepada orang miskin adalah sedekah, dan bersedekah kepada kerabat ada dua (pahala): sedekah dan silaturrahim.” ( HR. an-Nasai dan at-Tirmidzi, lihat Shahih at-Targhib no. 879).
Ketika ditanya oleh dua wanita kalangan sahabat tentang sedekah
kepada suami dan anak-anak yatim yang berada dalam asuhannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Keduanya mendapat pahala (menyambung) kekerabatan dan pahala sedekah.” (Shahih Muslim, “Kitab Zakat” no. 1000)
3. Seorang hakim dan ulama ahli ijtihad yang keputusan / hukumnya sesuai dengan hukum Allah Ta'ala setelah berusaha mencapai hukum yang benar .
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَاحَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَاحَكَمَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌوَاحِدٌ
“Ketika seorang hakim (akan) menghukumi lalu bersungguh-sungguh
kemudian benar (hukumannya) maka dia mendapat dua pahala. Apabila
keliru, dia mendapat satu pahala.” (HR. Muslim dan selainnya)
Dua pahala tersebut karena hukumnya sesuai dengan hukum Allah Subhanahu wata’ala
dan karena usaha kerasnya untuk mencapai kebenaran. Hakim yang dimaksud
dalam hadits di atas adalah yang memang memiliki ilmu alat yang cukup
untuk menghukumi dan mengerti kaidah-kaidah syariat serta qiyas (kias). Adapun orang yang bodoh lantas menghukumi, dia tidak dapat pahala. Ia
justru berdosa karena bukan ahlinya. (Lihat penjelasan al-Imam
al-Khaththabi rahimahullah tentang masalah ini dalam ‘Aunul Ma’bud 9/488-489, Maktabah Ibnu Taimiyah)
4. Orang yang memberi contoh / keteladanan dalam hal yang baik menurut kacamata agama
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Barang siapa memberi contoh yang baik dalam Islam, dia mendapatkan pahala (amalnya) dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa berkurang sedikit pun pahala orang yang mengikutinya.” (HR. Ahmad, Muslim, dll, dari sahabat Jarir radhiyallahu ‘anhu)
5. Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dua orang lelaki keluar untuk bepergian (safar). Waktu shalat tiba padahal keduanya tidak membawa air. Keduanya lantas bertayamum dengan tanah yang suci lalu shalat. Setelah shalat, keduanya mendapatkan air pada waktu (shalat tersebut). Salah satunya mengulangi shalatnya dengan berwudhu, sedangkan yang satunya tidak mengulangi. Keduanya kemudian mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal tersebut. Beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, ‘Engkau sesuai dengan sunnah dan shalatmu telah sah.’ Adapun kepada yang berwudhu dan mengulangi shalatnya, Nabi n bersabda, “Engkau mendapat pahala dua kali.” (HR. Abu Dawud dan ad-Darimi. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Sanadnya lemah. Padanya ada Abdullah bin Nafi’ ash-Shaigh, ia lemah hafalannya… Tetapi, Ibnu as-Sakan meriwayatkannya dengan sanad yang sahih secara bersambung sebagaimana yang saya jelaskan dalam Shahih Abu Dawud no. 365.” Lihat ta’liq asy-Syaikh al-Albani terhadap al-Misykat, 1/166, cetakan al-Maktabul Islami)
6. Orang yang berusaha membaca al-Qur’an dengan benar meskipun terbata-bata.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمَاهِرُ
بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِى
يَقْرَؤُهُ وَيَتَعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang pandai membaca al- Qur’an akan bersama malaikat
pencatat yang mulia lagi baik. Sementara itu, yang membaca al-Qur’an
dengan terbatabata dalam keadaan merasa berat, ia mendapatkan dua
pahala.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dua pahala di sini yaitu pahala membaca al-Qur’an dan pahala atas
kesulitan yang dihadapinya. Dengan mencermati penjelasan di atas, tentu
kita semakin mengetahui besarnya kasih sayang Allah Subhanahu wata’ala terhadap para hamba-Nya. Semoga kita senantiasa mendapatkan limpahan rahmat dan ampunan-Nya. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber: http://asysyariah.com/
Baca Juga :
Sumber: http://asysyariah.com/
Baca Juga :
0 komentar:
Posting Komentar