Mengapa Aku Cinta Islam?
Di
antara alasan kenapa aku cinta Islam adalah karena kesempurnaan
syari’at Islam dan keridhoan Allah pada ajaran ini. Jika Allah sudah
ridho, tentu tidak boleh ada yang tidak suka karena langsung keridhoan
itu datang dari Sang Kholiq yang berada di atas langit.
Dan ayat ini sudah menunjukkan keistimewaan ajaran Islam dibanding ajaran lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu” (QS. Al Ma’idah: 3).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat di atas,
وقوله:
{ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا } هذه أكبر نعم الله ، عز
وجل، على هذه الأمة حيث أكمل تعالى لهم دينهم ، فلا يحتاجون إلى دين غيره،
ولا إلى نبي غير نبيهم، صلوات الله وسلامه عليه؛ ولهذا جعله الله خاتم
الأنبياء، وبعثه إلى الإنس والجن، فلا حلال إلا ما أحله، ولا حرام إلا ما
حرمه، ولا دين إلا ما شرعه، وكل شيء أخبر به فهو حق وصدق لا كذب فيه ولا
خُلْف، كما قال تعالى: { وَتَمَّتْ كَلِمَتُ (1) رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا }
[ الأنعام : 115 ] أي: صدقا في الأخبار، وعدلا في الأوامر والنواهي، فلما
أكمل (2) الدين لهم تمت النعمة عليهم (3) ؛ ولهذا قال [تعالى] (4) {
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا } أي: فارضوه أنتم لأنفسكم، فإنه الدين
الذي رضيه الله وأحبه (5) وبعث به أفضل رسله الكرام، وأنزل به أشرف كتبه.
“Ayat ini sudah menunjukkan bahwa inilah
nikmat terbesar dari Allah terhadap umat Islam, di mana Allah telah
menyempurnakan agama ini pada Islam sehingga mereka tidak butuh pada
agama selain Islam. Begitu pula mereka tidak butuh pada Nabi selain Nabi
mereka. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan
penutup para Nabi. Dan beliau diutus pada manusia dan jin. Tidak ada
suatu yang halal dan yang haram kecuali yang beliau tunjukkan. Begitu
pula tidak ada syari’at (ajaran) yang diikuti kecuali syari’at dari
beliau. Dan setiap yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan
selalu benar dan tidak ada dusta.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil.”
(QS. Al An’am: 115). Yang dimaksud ayat ini adalah benar dalam berita
dan adil dalam setiap perintah dan larangan. Ketika dikatakan bahwa
Islam telah disempurnakan, itu pertanda bahwa nikmat telah sempurna.
Oleh karena itu disebutkan dalam ayat ini (yang artinya), “Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. Ini berarti
kalian wahai umat Islam telah diridhoi. Agama kalian pun diridhoi dan
dicintai. Lalu telah turun pada kalian Rasul yang mulia, begitu pula
kitab yang penuh kemuliaan.”
‘Ali bin Abi Tholhah berkata dari Ibnu ‘Abbas ketika menerangkan ayat di atas,
وهو
الإسلام، أخبر الله نبيه صلى الله عليه وسلم والمؤمنين أنه أكمل لهم
الإيمان، فلا يحتاجون إلى زيادة أبدا، وقد أتمه الله فلا ينقصه أبدا، وقد
رضيه الله فلا يَسْخَطُه أبدا.
“Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Islam. Allah telah
mengabarkan pada Nabinya dan orang-orang beriman bahwa agama mereka
telah disempurnakan sehingga mereka tidak butuh lagi pada penambahan
selamanya. Allah telah menyempurnakan agama mereka berarti pula tidak
boleh dikurangi. Dan Allah pun ridho, maka tidak boleh ada yang murka
selamanya.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobary dengan sanad yang shahih dari
jalur Ibnu Abi Tholhah darinya)
Asbath berkata dari As Sudi, ia berkata, “Ayat ini turun pada hari
Arafah, setelah itu tidak turun penghalalan atau pengharaman.”
Ibnu Juraij berkata,
مات رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد يوم عرفة بأحد وثمانين يوما.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia 81 hari setelah hari ‘Arafah.
عَنْ
طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْيَهُودِ لِعُمَرَ يَا
أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَوْ أَنَّ عَلَيْنَا نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ (
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى
وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا ) لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ
عِيدًا . فَقَالَ عُمَرُ إِنِّى لأَعْلَمُ أَىَّ يَوْمٍ نَزَلَتْ هَذِهِ
الآيَةُ ، نَزَلَتْ يَوْمَ عَرَفَةَ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ
Dari Thoriq bin Syihab, ia berkata bahwa seorang Yahudi pernah
berkata pada ‘Umar, “Wahai Amirul Mukminin, seandainya ayat (yang
artinya), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu” turun di tengah-tengah kami, maka tentu kami akan
menjadikannya sebagai hari ‘ied (hari raya).” ‘Umar pun berkata, “Aku
mengetahui di hari apa ayat tersebut turun yaitu di hari ‘Arofah di hari
Jum’at.” (HR. Bukhari no. 7268).
قال
كعب: لو أن غير هذه الأمة نزلت عليهم هذه الآية، لنظروا اليوم الذي أنزلت
فيه عليهم، فاتخذوه عيدا يجتمعون فيه. فقال عمر: أي آية يا كعب؟ فقال: {
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } فقال عمر: قد علمت اليوم الذي
أنزلت فيه، والمكان الذي أنزلت (5) فيه، نزلت في يوم جمعة ويوم عرفة،
وكلاهما بحمد الله لنا عيد.
“Ka’ab berkata: seandainya umat selain Islam diturunkan ayat ini,
lalu memperhatikan hari tersebut dan menjadikan hari itu sebagai hari
perayaan. ‘Umar pun berkata, “Hari apa itu wahai Ka’ab?” “Ketika turun
ayat al yauma akmaltu lakum diinakum”, jawab Ka’ab. Lalu ‘Umar berkata,
“Aku tahu hari di mana ayat tersebut turun. Aku pun tahu di mana tempat
ayat tersebut turun. Ayat tersebut turun pada hari Jum’at bertepatan
dengan hari ‘Arofah. Kedua hari tersebut -berkat karunia Allah- adalah
hari ‘ied bagi kami.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobari dengan sanad
shahih).
Semoga dengan mengetahui hal ini semakin membuat kita mencintai Islam yang sempurna.
Keistimewaan Islam dari Sisi Ajaran
1- Ajaran Islam hanya menunggalkan Allah dalam ibadah
Ajaran lainnya menduakan Allah dalam ibadah. Namun ajaran Islam-lah
yang memurnikan ibadah hanya pada Allah. Coba renungkan ayat,
ضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا عَبْدًا مَمْلُوكًا لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَمَنْ
رَزَقْنَاهُ مِنَّا رِزْقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ سِرًّا
وَجَهْرًا هَلْ يَسْتَوُونَ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا
يَعْلَمُونَ (75)
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang
Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari
rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu
sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada
mengetahui. (QS. An Nahl: 75).
Ayat di atas adalah permisalah untuk orang kafir dan orang mukmin.
Budak yang dimiliki yang tidak mampu memanfaatkan sesuatu pun, inilah
ibarat untuk orang mukmin. Sedangkan orang beriman diibaratkan dengan
orang yang diberi rizki yang baik lalu ia infakkan secara diam-diam atau
terang-terangan. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 698.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,
فإذا
كانا لا يستويان، فكيف يستوي المخلوق العبد الذي ليس له ملك ولا قدرة ولا
استطاعة، بل هو فقير من جميع الوجوه بالرب الخالق المالك لجميع الممالك
القادر على كل شيء؟!!
“Jika tidak sama antara budak dan orang yang merdeka tersebut,
bagaimana bisa disamakan antara makhluk yang dikuasai tuannya yang tidak
memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kemampuan, bahkan ia itu fakir
dari berbagai sisi, ini mau disamakan dengan Allah Ta’ala Sang Maha
Pencipta, Maha Memiliki segalanya, dan mampu menguasai segala
sesuatu?!!” (Taisir Karimir Rahman, hal. 445).
Dalam lanjutan ayat disebutkan,
وَضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَم لَا يَقْدِرُ عَلَى
شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ
بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (76)
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang
seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas
penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia
tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan
orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan
yang lurus?” (QS. An Nahl: 76). Syaikh As Sa’di mengatakan mengenai ayat ini
فكما
أنهما لا يستويان فلا يستوي من عبد من دون الله وهو لا يقدر على شيء من
مصالحه، فلولا قيام الله بها لم يستطع شيئا منها، ولا يكون كفوا وندا
“Jika dua orang yang dimisalkan dalam ayat ini (orang yang bisu yang
masih bergantung pada yang lain dan orang yang menyuruh berbuat adil)
tidaklah sama, maka tentu tidak sama antara orang yang menyembah selain
Allah sedangkan ia tidak mampu melakukan yang maslahat untuk dirinya
sendiri. Jika bukan karena kuasa Allah, tentu ia tidak mampu melakukan
sesuatu pun. Ini menunjukkan bahwa tidak ada yang semisal dan jadi
tandingan bagi Allah.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 445).
Sedangkan ajaran Islam yang paling agung adalah memerintahkan untuk
mentauhidkan Allah sebagaimana ajaran yang para Rasul lainnya ajarkan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut” (QS. An Nahl: 36). Sedangkan makna thoghut disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in (1: 50),
كل ما تجاوز به العبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع
“Segala sesuatu yang membuat hamba melampaui batas baik sesuatu yang disembah, sesuatu yang diikuti atau sesuatu yang ditaati.”
Perintah tauhid ini berisi ajaran agar Allah tidak diduakan, ibadah
hanya boleh ditujukan pada Allah saja. Tauhid ini adalah maksud dari
kalimat laa ilaha illallah yaitu menetapkan sesembahan hanya Allah dan
meniadakan sesembahan selain Allah. Sebagaimana kata Ibrahim pada
ayahnya yang disebutkan dalam ayat berikut ini,
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا
تَعْبُدُونَ (26) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (27)
وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (28)
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
“Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah. Tetapi
(aku menyembah) Rabb Yang telah menciptakanku; karena sesungguhnya Dia
akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (lbrahim ‘alaihis salam) menjadikan
kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka
kembali kepada kalimat tauhid itu” (QS. Az Zukhruf: 26-28).
Begitu pula disebutkan dalam ayat lainnya,
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا
وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih
putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Rabb yang Esa,
tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
2- Allah benar-benar diagungkan dalam Islam
Allah itu begitu besar sehingga patut kita agungkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini,
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ – رضى الله عنه – قَالَ جَاءَ حَبْرٌ مِنَ الأَحْبَارِ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ ،
إِنَّا نَجِدُ أَنَّ اللَّهَ يَجْعَلُ السَّمَوَاتِ عَلَى إِصْبَعٍ
وَالأَرَضِينَ عَلَى إِصْبَعٍ ، وَالشَّجَرَ عَلَى إِصْبَعٍ ، وَالْمَاءَ
وَالثَّرَى عَلَى إِصْبَعٍ ، وَسَائِرَ الْخَلاَئِقِ عَلَى إِصْبَعٍ ،
فَيَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ . فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم –
حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ تَصْدِيقًا لِقَوْلِ الْحَبْرِ ثُمَّ قَرَأَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ( وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ
قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا
يُشْرِكُونَ )
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu, ia berkata, “Salah seorang pendeta Yahudi pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
seraya berkata”, Wahai Muhammad, sesungguhnya kami dapati (dalam kitab
suci kami) bahwa Allah akan meletakkan langit di atas satu jari, bumi di
atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari,
tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari, kemudian
Allah berfirman, “Akulah Penguasa (raja)”, maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
tertawa (lebar) sampai nampak gigi geraham beliau dalam rangka
membenarkan ucapan pendeta Yahudi tadi, kemudian beliau membacakan
firman Allah (yang artinya), “Dan mereka (orang-orang musyrik) tidak
mengagung-agungkan Allah dengan pengagungan yang sebenar-benarnya,
padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat.” (QS. Az Zumar: 67). (HR. Bukhari no. 4811 dan Muslim no. 2786).
Pengagungan pada Allah di sini seperti yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah,
وَمِنَ
الْإِيمَانِ بِاللَّهِ : الْإِيمَانُ بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ فِي
كِتَابِهِ الْعَزِيزِ ، وَبِمَا وَصَفَهُ بِهِ رَسُولُهُ مُحَمَّدٌ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَيْرِ تَحْرِيفٍ وَلَا تَعْطِيلٍ ،
وَمِنْ غَيْرِ تَكْيِيفٍ وَلَا تَمْثِيلٍ .
“Di antara bentuk iman: iman terhadap apa yang Allah sifatkan bagi
diri-Nya di dalam kitabnya, begitu pula yang disifati oleh Rasul-Nya
Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tanpa merubah maknanya, tanpa
menolak maknanya, tanpa menanyakan hakikat sifat Allah, dan tanpa
memisalkan dengan makhluk.”
Jadi, yang namanya seseorang mengangungkan Allah adalah dengan ia
menetapkan nama dan sifat bagi Allah namun tidak menyamakannya dengan
makhluk, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan Allah, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 11).
Di antara keistimewaan ajaran Islam lainnya, ajarannya tidak perlu
ditambah atau pun dikurangi. Artinya Islam tidak mengizinkan adanya
ibadah baru dalam agama, Di samping itu pula, Islam melindungi
kehormatan wanita dengan memerintahkan mereka untuk mengenakan jilbab.
3- Ajaran Islam itu telah sempurna, tidak perlu ditambah atau pun dikurangi
Suatu ajaran jika sudah dikatakan telah sempurna, maka tidak butuh
adanya tambahan. Kalau ditambah, itu sama saja menyatakan bahwa ajaran
tersebut tidaklah sempurna. Coba perhatikan kisah ‘Umar berikut,
لما
نزلت { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } وذلك يوم الحج الأكبر،
بكى عمر، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم : “ما يبكيك؟” قال: أبكاني أنّا
كنا في زيادة من ديننا، فأما إذْ أكمل فإنه لم يكمل شيء إلا نقص. فقال:
“صدقت”
“Ketika turun ayat ‘pada hari ini telah kusempurnakan agama kalian
untuk kalian’ yaitu pada haji akbar, maka ‘Umar pun menangis. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
berkata padanya, “Apa yang membuatmu menangis?” ‘Umar menjawab, “Yang
membuatku menangis karena kami menambah ajaran pada agama yang telah
sempurna. Yang namanya sesuatu yang telah sempurna tentu jika ditambah
malah jadi tidak sempurna dan malah jadi disebut kurang.” “Engkau
benar”, ujar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
3: 315. Dikeluarkan oleh Ath Thobari dengan sanad dan matan darinya.
Sanadnya dho’if karena dho’ifnya Sufyan). Meskipun riwayatnya dho’if,
namun maknanya shahih.
Sehingga hal ini menunjukkan tercelanya bid’ah karena telah
menganggap ajaran Islam itu kurang dan perlu ditambah. Dalil-dalil yang
mencela bid’ah dapat dilihat dalam hadits berikut,
1- Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut disebutkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap
perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih).
2- Hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى
هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan
setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
3- Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan apa yang dimaksud bid’ah yang terlarang dalam agama, yaitu:
1- Sesuatu yang baru (dibuat-buat).
2- Sesuatu yang baru dalam agama.
3- Tidak disandarkan pada dalil syar’i.
Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
“Yang dimaksud setiap bid’ah adalah sesat yaitu setiap amalan yang
dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil khusus atau umum.” (Fathul Bari, 13: 254)
Coba bayangkan bagaimana jika dalam ibadah dan amalan terus dibuat
inovasi baru, tentu ajaran Islam yang asli bisa rusak bahkan punah
karena tidak lagi dikenal.
Dahulu wanita begitu dilecehkan. Namun ketika Islam itu datang,
wanita itu begitu dihormati dengan diperintahkan untuk berjilbab. Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى
أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al
Ahzab: 59). Apakah ada ajaran yang ingin melindungi wanita seperti ini,
yaitu supaya tidak diganggu dan untuk membedakan manakah wanita yang
mulia dan bukan?
Lalu apa yang dimaksud dengan jilbab?
Asy Syaukani rahimahullah berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari khimar. Lihat Fathul Qodir karya Asy Syaukani, 6: 79.
Ada ulama yang katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi
seluruh badan wanita. Dalam hadits shahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia
berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki
jilbab.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Hendaklah saudaranya mengenakan jilbab untuknya.” (HR.
Muslim no. 890). Hadits ini pun menunjukkan bahwa pakaian wanita
muslimah itu lebar (bukan ketat). Karena saking lebarnya pakaian wanita
yang disebutkan dalam hadits ini, maka terkadang bisa cukup untuk
menutupi dua orang wanita sekaligus.
Di antara keistimewaan ajaran Islam, sudah diajarkan mengenai
romantisme dalam rumah tangga. Islam pun mengajarkan sikap jujur dan
adil dalam muamalah. Di samping itu Islam mengajarkan pula kebersihan
dan akhlak mulia terutama pada orang tua.
5- Islam mengajarkan romantisme dan hubungan yang baik dalam rumah tangga
Dari hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, ia berkata,
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ
بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ يَغْتَسِلَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ
وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang
perempuan mandi dari sisa laki-laki atau seorang laki-laki mandi dari
sisa perempuan. Namun hendaklah mereka mandi berbarengan.” (HR. Abu Daud no. 81 dan An Nasai no. 239. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Hadits ini menunjukkan didikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang sangat bagus karena seorang suami atau istri tidak baik jika mandi
sendiri ketika junub, lalu datang pasangannya setelah itu. Namun yang
lebih bagus ketika mereka mandi junub bisa berbarengan. Dan hadits ini
menunjukkan pula bahwa Islam mengajarkan romantisme antara pasangan
suami-istri.
Inilah yang dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّهَا
كَانَتْ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ قَالَتْ
فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ
سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِى فَقَالَ « هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ ».
Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar.
‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia
berlomba lari lagi bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun
kala itu ia kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad
6: 264. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menyempatkan diri untuk bermain dan bersenda gurau dengan istrinya tercinta.
Di antara yang menunjukkan Islam mengajarkan hubungan yang baik
antara suami-istri adalah ketika suami menasehati istri maka harus
melalui tahapan berikut.
وَاللَّاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).
Tahapan dalam menasehati istri yang membangkang yang diajarkan Islam:
1. Memberi nasehat
Hendaklah suami menasehati istri dengan lemah lembut. Suami
menasehati istri dengan mengingatkan bagaimana kewajiban Allah padanya
yaitu untuk taat pada suami dan tidak menyelisihinya. Ia pun mendorong
istri untuk taat pada suami dan memotivasi dengan menyebutkan pahala
besar di dalamnya. Wanita yang baik adalah wanita sholehah, yang taat,
menjaga diri meski di saat suami tidak ada di sisinya. Kemudian suami
juga hendaknya menasehati istri dengan menyebutkan ancaman Allah bagi
wanita yang mendurhakai suami.
Jika istri telah menerima nasehat tersebut dan telah berubah, maka
tidak boleh suami menempuh langkah selanjutnya. Karena Allah Ta’ala
berfirman,
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (QS. An Nisa’: 34).
Namun jika nasehat belum mendapatkan hasil, maka langkah berikutnya yang ditempuh, yaitu hajr.
2. Melakukan hajr
Hajr artinya memboikot istri dalam rangka menasehatinya
untuk tidak berbuat nusyuz. Langkah inilah yang disebutkan dalam
lanjutan ayat,
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“Dan hajarlah mereka di tempat tidur mereka” (QS. An Nisa’: 34).
Mengenai cara menghajr, para ulama memberikan beberapa cara sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Jauzi:
- Tidak berhubungan intim terutama pada saat istri butuh
- Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim
- Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
- Pisah ranjang (Lihat Zaadul Masiir, 2: 76).
Cara manakah yang kita pilih? Yang terbaik adalah cara yang sesuai dan lebih bermanfaat bagi istri ketika hajr.
Namun catatan penting yang perlu diperhatikan, tidak boleh seorang
suami memboikot istri melainkan di rumahnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya mengenai kewajiban suami pada istri oleh Mu’awiyah Al Qusyairi,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan
pula menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Karena jika seorang suami melakukan hajr di hadapan orang lain, maka si
wanita akan malu dan terhinakan, bisa jadi ia malah bertambah nusyuz.
Namun jika melakukan hajr untuk istri di luar rumah itu terdapat maslahat, maka silakan dilakukan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hajr terhadap istri-istri beliau di luar rumah selama sebulan.
Juga perlu diperhatikan bahwa hajr di sini jangan ditampakkan di
hadapan anak-anak karena hal itu akan sangat berpengaruh terhadap
mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek dan rusak atau menjadi anak
yang broken home yang terkenal amburadul dan nakal.
Berapa lama masa hajr?
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa masa hajr maksimal adalah empat
bulan. Namun yang lebih tepat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama
dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah bahwa masa hajr adalah
sampai waktu istri kembali taat (tidak nusyuz). Karena dalam ayat hanya
disebutkan secara mutlak, maka kita pun mengamalkannya secara mutlak dan
tidak dibatasi.
Namun jumhur ulama berpandangan bahwa jika hajr yang dilakukan adalah
dengan tidak berbicara pada istri, maka maksimal hajr adalah tiga hari,
meskipun istri masih terus-terusan nusyuz karena suami bisa melakukan
cara hajr yang lain. Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ
“Tidak halal bagi seorang muslim melakukan hajr (boikot dengan tidak mengajak bicara) lebih dari tiga hari” (HR. Bukhari no. 6076 dan Muslim no. 2558).
Jika tidak lagi bermanfaat cara kedua ini, maka ada langkah berikutnya.
3. Memukul istri
Memukul istri yang nusyuz dalam hal ini dibolehkan ketika nasehat dan
hajr tidak lagi bermanfaat. Namun hendaklah seorang suami memperhatikan
aturan Islam yang mengajarkan bagaimanakah adab dalam memukul istri:
a. Memukul dengan pukulan yang tidak membekas
Sebagaimana nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’,
وَلَكُمْ
عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ
فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian
ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka
melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).
Jika seorang suami memukul istri layaknya petinju –Mike Tyson-, maka
ini bukanlah mendidik. Sehingga tidak boleh pukulan tersebut
mengakibatkan patah tulang, memar-memar, mengakibatkan bagian tubuh
rusak atau bengkak.
b. Tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan, sebagaimana pendapat
madzhab Hambali. Dalilnya disebutkan dalam hadits Abu Burdah Al Anshori,
ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْلِدُوا فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ
“Janganlah mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam had dari aturan Allah” (HR. Bukhari no. 6850 dan Muslim no. 1708).
c. Tidak boleh memukul istri di wajah
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ
“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
‘Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ
قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ
إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau
tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad
(berperang) di jalan Allah”. (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
d. Yakin bahwa dengan memukul istri itu akan bermanfaat untuk
membuatnya tidak berbuat nusyuz lagi. Jika tidak demikian, maka tidak
boleh dilakukan.
e. Jika istri telah mentaati suami, maka tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).
6- Islam mengajarkan muamalah yang jujur dan adil
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ
فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا
هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ
النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati
setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian
tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya,
“Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan
tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa
kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat
melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan
kami.” (HR. Muslim). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban, shahih).
Bentuk adil dalam muamalah disebutkan dalam hadits berikut,
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا،
فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ
عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ
عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ
غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: (الْخَرَاجُ
بِالضَّمَانِ).
“Dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya seorang
lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut
tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli
mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli
mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka penjual
berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.'”
(HR. Abu Daud no. 3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu
Majah no. 2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan).
7- Islam cinta akan kebersihan
Islam mengajarkan kebersihan celana dengan memerintahkan celana supaya dipakai di atas mata kaki.
Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata,
سَمِعْتُ
عَمَّتِي، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ: بَيْنَا أَنَا أَمْشِي
بِالمَدِيْنَةِ، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ: « اِرْفَعْ إِزَارَكَ،
فَإِنَّهُ أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ)
قَالَ: « أَمَّا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارَهُ
إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ
Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang
berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Madinah, tiba-tiba seorang
laki-laki di belakangku berkata, ‘Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (HR.
An Nasai dalam Sunan Al Kubro. Lihat Asy Syama’il Al Muhammadiyyah no.
121, hal. 108-109. Said bin ‘Abbas Al Jalimiy mengatakan bahwa sanad
hadits ini dho’if. Syaikh Al Albani dalam Mukhtashor Asy Syamail no. 97
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
8- Islam mengajarkan berbakti pada orang tua
Inilah sifat para Nabi sebagaimana disebutkan mengenai Nabi Yahya dan Nabi ‘Isa ‘alaihimas salam yang masing-masing berbakti pada orang tuanya. Tentang Nabi Yahya, Allah Ta’ala berfirman,
وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا
“Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam: 14)
Begitu juga Allah menceritakan tentang Nabi Isa ‘alaihis salam,
قَالَ
إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آَتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا (30)
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ مَا دُمْتُ حَيًّا (31) وَبَرًّا
بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا (32
“Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al
Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan
aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama
aku hidup; berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang
yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 30-32)
Amalan bakti pada orang tua adalah amalan yang utama. Kita dapat melihat pada hadits dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan,
سَأَلْتُ
النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ
قَالَ « الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا » . قَالَ ثُمَّ أَىُّ قَالَ « ثُمَّ
بِرُّ الْوَالِدَيْنِ » .قَالَ ثُمَّ أَىّ قَالَ « الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ
اللَّهِ » . قَالَ حَدَّثَنِى بِهِنَّ وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِى
“Aku bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah ‘azza wa jalla?’ Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya’. Lalu aku
bertanya, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, ‘Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.’ Lalu aku
mengatakan, ‘Kemudian apa lagi?’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan, ‘Berjihad di jalan Allah’.”
Lalu Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberitahukan hal-hal tadi kepadaku. Seandainya aku bertanya
lagi, pasti beliau akan menambahkan (jawabannya).” (HR. Bukhari no. 527 dan Muslim no. 85). Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
—
Sumber: www.rumaysho.com
0 komentar:
Posting Komentar