Siapapun yang mengetahui hakikat tasawwuf (Sufi) dan tasyayyu’
(Syi’ah), ia akan mendapatkan keduanya seperti pinang dibelah dua.
Keduanya berasal dari sumber yang sama, dan memiliki tujuan yang sama.
Oleh karena itu, kedua firqah ini memiliki kesamaan dalam pemikiran dan
aqidah. Di antara persamaan dua golongan tersebut, ialah:
Pertama. Kaum Syi’ah mengaku memiliki ilmu khusus yang tidak dipunyai
kaum muslimin selain mereka. Mereka menisbatkan kedustaan ini kepada
Ahlul bait dengan seenak perutnya. Mereka juga mengklaim memiliki mushaf
(Al-Qur‘ân) tersendiri, yang mereka sebut Mushaf Fathimah. Menurut
keyakinan mereka, mushaf ini memiliki kelebihan tiga kali lipat lebih
besar dibandingkan dengan Al- Qur‘ân yang ada di tangan kaum muslimin.[2]
Mereka menganggap Muhammad diutus dengan tanzil, sedangkan Ali diutus
dengan takwil.[3]
Demikian pula orang-orang Sufi, mereka menganggap memiliki ilmu
hakikat. Sedangkan orang dari luar kalangan mereka, hanya baru sampai
pada tingkat ilmu syariat. Mereka beranggapan, bahwasanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan ilmu laduni kepada mereka, saat
orang-orang selain mereka mesti menimba ilmu dengan susah payah dari
para ulama. Bahkan salah seorang tokoh Sufi , yaitu al-Busthami sampai
berkoar: “Kami telah menyelam di dalam lautan ilmu, sementara para nabi
(hanya) berdiri di tepinya”.[4] Demikian, persamaan antara Sufi dan Syi’ah
dalam masalah ilmu kebatinan.
Kedua. Orang-orang Syi’ah mengkultuskan imam-imam mereka dan
menempatkan imam-imam itu dengan kedudukan yang lebih tinggi dari para
malaikat dan para rasul. Mereka mengatakan, para imam adalah katub
pengaman bagi penduduk bumi sebagaimana bintang-bintang menjadi pengaman
bagi penduduk langit. Apabila para imam diangkat dari muka bumi
-walaupun sekejap- maka bumi dan para penduduknya ini akan hancur.[5]
Khumaini, salah seorang tokoh besar Syi’ah berkata: “Di antara
keyakinan madzhab (baca: agama) kami, bahwasanya imam-imam kami memiliki
kedudukan yang tidak bisa diraih, sekalipun oleh para malaikat dan para
rasul”.[6]
Bahkan orang-orang Syi’ah memberikan sifat ketuhanan kepada para imam
itu, dan menganggap mereka mengetahui segala sesuatu, meski sekecil
apapun di alam ini.
Sifat seperti ini pula yang disematkan orang-orang Sufi kepada
orang-orang yang mereka anggap sebagai wali. Katanya, “para wali” itu
ikut berperan dalam pengaturan alam semesta ini, dan mengetahui ilmu
ghaib. Oleh karenanya, orang-orang Sufi membentuk suatu badan khusus yang
terdiri dari para wali mereka. Tugas badan khusus ini adalah mengatur
alam dan seisinya.
Dengan pernyataan ini, maka tidak tersisa lagi hak pengaturan alam
semesta bagi Allah Ta’ala. Padahal, hanya milik Allah ‘Azza wa Jalla hak
untuk mencipta dan mengatur segala urusan. Maha suci Allah dari apa
yang mereka katakan.
Ketiga. Anggapan bahwa agama ini memuat perkara zhahir dan batin
telah menjadi kesepakatan antara Syi’ah dan Sufiyyah. Menurut mereka,
hal yang batin adalah suatu hakikat yang tidak diketahuinya kecuali oleh
para imam dan para wali. Sedangkan yang zhahir ialah apa yang terdapat
dalam masalah nash-nash yang dipahami oleh orang kebanyakan.
Dr. Abu al-’Ala’ al-’Afifi menjelaskan kronologi munculnya anggapan
batil ini yang merasuki aqidah Islamiyyah dengan berkata : “Munculnya
pembagian agama kepada syariat dan hakikat, ialah ketika ada pembagian
agama menjadi zhahir dan batin. Pembagian seperti ini tidak dikenal oleh
kaum muslimin generasi pertama. Pemikiran seperti ini muncul ketika
Syiah mengatakan bahwa segala sesuatu memuat perkara yang zhahir dan
batin. Al-Qur`ân pun demikian. Bahkan menurut anggapan mereka, setiap
ayat dan kalimat Al-Qur`ân mengandung pengertian zhahir dan yang batin.
Dan hal-hal yang batin ini tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali
orang-orang khusus dari para hamba Allah, yang khusus dipilih untuk
memperoleh keutamaan ini. Semua rahasia Al- Qur`ân akan terbuka untuk
mereka. Oleh karena itu, mereka memiliki metode khusus dalam menafsirkan
Al-Qur`an yang akhirnya melahirkan kumpulan-kumpulan takwil kebatinan
terhadap nash-nash Al-Qur`an dan bisikan-bisikan khayalan mereka yang
dikenal dengan istilah ilmu bathin. Menurut mereka, hasil penafsiran
diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam kepada ‘Ali bin
Abi Thâlib. Lantas diwariskan dari beliau kepada orang orang yang
memiliki ilmu batin yang menamakan diri mereka dengan sebutan
al-Waratsah (para ahli waris).
Demikian pula orang-orang Sufi, mereka menempuh jalan takwil ini
dalam memahami Al- Qur‘ân, dan banyak mengambil istilah yang dipakai
oleh orang-orang Syi’ah. Dengan demikian, kita mengetahui hubungan yang
begitu erat antara orang Syi‘ah dan orang Sufiyyah”.[7]
Keempat. Pengagungan terhadap kuburan serta kunjungan kepada
makam-makam merupakan salah satu dasar akidah Syiah. Mereka itulah
golongan pertama yang membangun kuburan dan menjadikannya sebagai syiar
mereka.[8]
Kemudian muncul orang-orang Sufi yang syiar terbesarnya adalah
pengagungan terhadap kuburan, membangun dan menghiasinya, melakukan
thawaf mengelilinginya meminta berkah dan meminta pertolongan kepada
penghuninya. Bahkan kuburan Ma’rûf Al Kurkhi, seorang tokoh Sufi
diyakini menjadi obat yang mujarab.[9]
Untuk mengetahui lebih mendetail mengenai hubungan erat antara
golongan Syiah dan Tarekat Sufi, Dr. Kâmil Asy Syaiby telah membukukan
sebuah kitab melalui pendekatan historis yang berjudul ash- Shilah
Bainat Tashawwufi Wat Tasyayyu’.
Sisi persamaan antara Syiah dan Sufi tidak terbatas pada dimensi
perkataan dan keyakinan saja. Akan tetapi juga merambah pada sepak
terjang nyata yang dapat disaksikan lewat sejarah.
Kaum Syiah bahu-membahu dengan musuh (pasukan Mongol) untuk
menghancurkan Daulah Islamiyyah ‘Abbasiyyah. Mereka kemudian menyebarkan
ajaran zindîq dan ilhâd (kekufuran). Sampai pada akhirnya, Shalâhuddin
al-Ayyubi Rahimahullah berhasil menumpas salah satu dari kelompok
mereka yaitu rejim al-’Ubaidiyyah yang berakar pada ajaran Majusi
(penyembah api). Maka, kembalilah Daulah Islam ke pangkuan kaum
muslimin.
Dan lagi, ketika kaum muslimin berusaha untuk membersihkan Daulah
Islam dari para Salibis (kaum Nashara), orang syiah Rafidhah, Nashîr
ath-Thûsi dan Ibnul ‘Alqami justru membantu pasukan Mongol untuk masuk
ibukota Daulah Islamiyyah, Baghdad. Maka, timbullah kerusakan dan
pembantaian kaum muslimin dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya.
Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata : “Musuh-musuh Islam, mereka
berhasil masuk Baghdad karena bantuan dari kaum munafikin seperti kaum
Isma’iliyyah dan Nushairiyyah (dari golongan Syiah pent). Mereka
berhasil menguasai negeri Islam, menjadikan para wanita sebagai tawanan,
merampas harta, menumpahkan darah dan kejadian memilukan lainnya. Ini
dialami oleh kaum muslimin karena bantuan yang mereka berikan kepada
musuh-musuh Islam……[10]
Demikian pula yang dilakukan oleh kaum Sufi. Setali tiga uang. Mereka
juga banyak membantu musuh-musuh Islam untuk merebut negeri Islam dari
tangan kaum muslimin. Sebagai contoh, ketika mereka membantu tentara
Perancis untuk merebut kota Qairawân. Begitu pula, campur tangan mereka
dalam mendukung pasukan Perancis menginjakkan kakinya di bumi negeri
Aljazair. Bahkan salah seorang tokoh mereka, Syaikh Muhammad at-Tijâni,
penerima amanat Ahmad At-Tijâni (pendiri golongan Tijâniyyah) untuk
memegang tongkat kepemimpinan setelahnya, mengatakan pada tanggal 28
Dzulhijjah 1350 H : “Sesungguhnya wajib bagi kami untuk membantu tentara
Perancis, yang kami cintai, baik secara materi, maknawi dan politis.
Oleh karena itu, saya nyatakan di sini dengan penuh rasa bangga dan
tanggung jawab bahwa kakek moyangku telah memilih jalan yang benar
ketika mendukung pasukan Perancis sebelum mereka datang ke negeri kita,
dan sebelum menjajah wilayah-wilayah kita”.?!
Masih banyak lagi peristiwa lain yang sangat merugikan kaum muslimin
yang didukung baik dari kaum Syiah ataupun golongan Sufi. Ahli sejarah
Islam, Ibnu Khaldûn Rahimahullah telah menyinggung perihal tersebut
dalam tulisannya. Inilah beberapa titik persamaan Syiah dan Tarekat
Sufiyyah sehingga jelaslah bagi kita bahwa mereka berasal dari sumber
yang satu. Wallahul Musta’ân.
______________
[*1] Dikutip dari al-Jamâ’at Al Islâmiyyah Fi Dhauil Kitâbi Was Sunnah
Bifahmi Salafil Ummah karya Syaikh Saliim bin Id al-Hilâli hlm. 115-127 ,
Dârul Atsariyyah Th. 1425H-2004M dengan ringkasan.
[2]Ad-Dîn Baina Sâil Wal Mujîb karya Al-Hajj Mirza al-Hairi al-Ahqaqi hal 89
[3] Firaq asy-Syîah hal 38
[4] al-Futûhât al-Makkiyah 1/37
[5] Kamâluddin Tamâmunni’mah Ibnu Babuyah al-Qummi 1/208
[6] al-Hukûmah al-Islâmiyah 53
[7] At-Tasawwuf Wats-Tsaurah Ar-Rûhiyyah Fil Islâm
[8] Rasâil Ikhwân Ash Shafâ
[9] Thabaqât as- Shûfiyyah, as-Sulami hal 85
[10] Minhâjus Sunnah An-Nabawiyyah 1/10-11
[2]Ad-Dîn Baina Sâil Wal Mujîb karya Al-Hajj Mirza al-Hairi al-Ahqaqi hal 89
[3] Firaq asy-Syîah hal 38
[4] al-Futûhât al-Makkiyah 1/37
[5] Kamâluddin Tamâmunni’mah Ibnu Babuyah al-Qummi 1/208
[6] al-Hukûmah al-Islâmiyah 53
[7] At-Tasawwuf Wats-Tsaurah Ar-Rûhiyyah Fil Islâm
[8] Rasâil Ikhwân Ash Shafâ
[9] Thabaqât as- Shûfiyyah, as-Sulami hal 85
[10] Minhâjus Sunnah An-Nabawiyyah 1/10-11
http://salafiyunpad.wordpress.com/2009/06/06/beberapa-kesamaan-tarekat-sufiyah-dan-agama-syiah/
0 komentar:
Posting Komentar