Islam mengajarkan untuk menunaikan hak semua orang yang mempunyai hak. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata kepada Abu Darda radhiyallahu'anhu, “Berilah setiap orang haknya masing-masing.”
Dituntunkan dalam Islam untuk menunaikan hak-hak teman. Hak seorang teman atas temannya sangatlah banyak. Diantaranya:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang melepaskan dari orang mukmin satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan dunia, pasti Allah 'Azza wa jalla akan melepaskan darinya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan orang yang kesukaran pasti Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu pasti Allah 'Azza wa jalla akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah Allah, membaca dan mempelajari kitab Allah diantara mereka, kecuali turun kepada mereka sakinah dan mereka diliputi rahmat serta dinaungi malaikat. Allah menyebut mereka di majelis-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalannya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
“Orang yang paling Allah cintai adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Amalan yang paling Allah cintai adalah menimbulkan kegembiraan bagi seorang muslim atau menghilangkan kesulitannya atau membayarkan utangnya atau menghilangkan kelaparan darinya …” (HR. Ath-Thabarani dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 906 dan Shahihul Jami’ no. 176)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
Muwasah kepada kaum mukminin ada beberapa macam:
- Muwasah dengan harta
- Muwasah dengan kedudukan
- Muwasah dengan badan dan bantuan
- Muwasah dengan nasihat dan bimbingan
- Muwasah dengan doa dan memintakan ampun untuknya
- Muwasah dengan menasihati mereka (Lihat Al-Fawaid hal. 168)
“Sesungguhnya para sahabat dari Asy‘ariyin, jika habis perbekalan mereka dalam jihad atau makanan mereka tinggal sedikit di Madinah, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam sebuah kain. Kemudian mereka bagi rata di antara mereka. Mereka dari golonganku dan aku termasuk golongan mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 2486 dan Muslim no. 2500)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu:
Abdurahman bin Auf datang kepada kami dan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam telah mempersaudarakan beliau dengan Sa’d bin Rabi’ –seorang sahabat Anshar yang banyak harta–. Sa’d berkata, “Orang-orang Anshar telah tahu aku adalah orang yang paling banyak hartanya. Aku akan membagi dua hartaku untuk kita berdua. Aku juga punya dua istri. Lihatlah siapa yang paling kau senangi, aku akan menalaknya. Jika telah halal, engkau bisa menikahinya.”
Abdurahman bin Auf berkata: “Semoga Allah memberikan barakah kepadamu, keluarga dan hartamu. (Cukup) tunjukkanlah pasar kepadaku …” (HR. Al-Bukhari no. 3781)
“Hak muslim atas muslim ada enam.” Beliau ditanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika berjumpa dengannya engkau mengucapkan salam kepadanya, ketika mengundang engkau penuhi undangannya, jika minta nasihat engkau nasihati dia, jika bersin dan mengucapkan hamdalah (*Alhamdulillah) engkau mendoakannya (dengan berkata: yarhamukallah), jika dia sakit hendaknya menjenguknya, dan jika meninggal engkau iringi jenazahnya.” (HR. Muslim no. 2162)
Barangsiapa yang menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya, akan ada penyeru yang menyeru dari atas: “Engkau telah berbuat baik dan telah baik perjalananmu. Engkau telah mempersiapkan tempat di surga.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6163)
Ibnu Ruslan rahimahullah berkata: “Karena, menolehnya dia ke kanan ke kiri adalah pemberitahuan bagi yang diajak bicara tentang kekhawatirannya bila ada orang lain yang mendengar ucapannya. Sehingga, artinya dia mengkhususkan rahasia ini untuknya. Tindakannya ke menoleh ke kanan dan ke kiri sama dengan ucapan: ‘Rahasiakan ini dariku,’ yakni ambil dan rahasiakan, ini adalah amanah bagimu.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 70-72)
Termasuk al-wafa adalah tidak berubah tawadhunya kepada temannya, walaupun dia semakin tinggi kedudukannya dan semakin luas kekuasaannya.
Termasuk al-wafa adalah tidak mau mendengarkan cercaan-cercaan orang kepada temannya dan tidak membela musuh temannya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Ketahuilah, bukan termasuk al-wafa bila mencocoki teman dalam perkara yang menyelisihi agama.” (Lihat Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 103)
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
Terlebih lagi seseorang yang terpandang yang kita tidak mengetahui kejelekannya, kita harus menerima udzurnya. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Seorang mukmin mencari udzur bagi temannya. Adapun seorang munafik, dia mencari-cari kesalahan orang lain.”
Bagaimana jika orang yang minta udzur berdusta dalam udzur yang disampaikannya?
Jika terjadi hal demikian, maka bersikaplah seperti yang diajarkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Barangsiapa yang berbuat jelek kepadamu kemudian datang untuk minta udzur atas kejelekannya kepadamu maka sifat tawadhu’ mengharuskan engkau menerima udzurnya –baik udzur tersebut benar atau batil (dusta) – dan kau serahkan isi hatinya kepada Allah 'Azza wa jalla.”
Dari Abud Darda radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
“Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya maka Allah 'Azza wa jalla akan memalingkan wajahnya dari neraka di hari kiamat nanti.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, serta dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6262)
Dalam hadits Ka’b bin Malik radhiyallahu'anhu tentang kisah taubatnya, Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam berkata di Tabuk ketika beliau sedang duduk, “Apa yang dilakukan Ka’b?” Seseorang dari Bani Salamah berkata, “Dia tertahan burdahya dan melihat dua sisinya, ya Rasulullah.” Mu’adz bin Jabal radhiyallahu'anhu berkata kepadanya, “Alangkah jeleknya yang kau ucapkan. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahuinya kecuali kebaikan.” Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam pun diam. (HR. Al-Bukhari no. 4418 dan Muslim no. 2769)
Al-Imam An-Nawawi rahimahulah berkata: “Ketahuilah, seseorang yang mendengar ghibah terhadap seorang muslim hendaknya membantahnya dan menghardik pelakunya. Jika tidak bisa dihentikan dengan lisan, maka hentikanlah dengan tangan. Jika tidak mampu dengan lisan ataupun dengan tangan, hendaknya dia keluar untuk memisahkan diri dari majelis tersebut. Jika mendengar ghibah terhadap syaikhnya atau orang yang mempunyai hak atasnya atau orang yang punya keutamaan dan shalih, maka mengingkari pelakunya lebih ditekankan.” (Al-Adzkar)
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
Dalam Shahih Muslim dari hadits Abud Darda radhiyallahu'anhu, Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
Doa seorang muslim bagi saudaranya yang sedang tidak bersamanya adalah doa mustajab. Di sisinya ada malaikat yang ditugaskan setiap kali dia berdoa kebaikan bagi saudaranya, malaikat berkata, “Amin, dan engkau mendapatkan yang semisalnya.”
Abud Darda radhiyallahu'anhu mendoakan banyak sahabatnya dalam doanya. Beliau selalu menyebut nama-nama mereka dalam doanya. Demikian pula Al-Imam Ahmad rahimahullah berdoa di waktu sahur untuk enam orang. (Lihat Mukhtahar Minhajul Qashidin hal. 103)
Nasihat termasuk hak persahabatan. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam menyatakan:
Bagaimana bentuk nasihat seorang muslim kepada saudaranya agar mendatangkan manfaat yang besar?
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Seyogianya, nasihat engkau sampaikan ketika sedang sendirian (tidak di hadapan orang banyak). Beda antara nasihat dengan menjatuhkan (kehormatan) orang lain adalah dalam masalah ini (dilakukan dengan tertutup atau di hadapan orang banyak).” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 102)
Ibnu Hibban rahimahullah berkata: “Tanda seorang pemberi nasihat yang menginginkan kebaikan bagi yang dinasihatinya adalah nasihat tersebut dilakukan tidak di hadapan orang lain. Tanda orang yang ingin menjelekkan (menjatuhkan) yang dinasihati adalah menasihatinya di hadapan banyak orang.”
Mis’ar bin Kidam rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa ta'ala merahmati seseorang yang membeberkan aibku secara sembunyi-sembunyi antara aku dan dia saja. Karena nasihat di hadapan orang banyak adalah celaan.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 86-87)
Seseorang yang dinasihati hendaknya menerima nasihat yang baik
Seseorang belum disebut memiliki sifat tawadhu’ hingga dia menerima al-haq dari orang yang menyampaikannya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
Al-Imam Waki’ berkata: “Seseorang tidak akan pandai sampai mengambil ilmu dari orang yang di atasnya, atau selevel dengannya, juga dari orang yang lebih rendah darinya.”
Fudhail bin Iyadh rahimahullah ditanya tentang tawadhu. Beliau berkata, “Tunduk kepada al-haq, patuh dan menerimanya dari orang yang membawakannya.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 86-87)
****
Sumber: http://asysyariah.com/hak-hak-dalam-berteman.html
0 komentar:
Posting Komentar