Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya al-Arba’in an-Nawawiyah [hadits ke-2] dari ‘Umar radhiyallahu’anhu beliau berkata :
Pada suatu hari, ketika kami sedang duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki di hadapan kami. Bajunya sangat putih. Rambutnya sangat hitam. Tidak terlihat pada dirinya bekas perjalanan jauh. Akan tetapi tidak ada seorang pun diantara kami yang mengenalinya.
Hingga, akhirnya dia pun duduk di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia meletakkan kedua lututnya di depan kedua lutut beliau. Dia letakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha beliau.
Dia pun berkata, “Wahai Muhammad. Kabarkanlah kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang haq selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, kamu mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah apabila kamu memiliki kemampuan untuk mengadakan perjalanan ke sana.”
Lelaki itu berkata, “Kamu benar.”
Kami pun merasa heran kepadanya. Dia bertanya dan dia juga membenarkan jawabannya. Lalu dia berkata, “Kalau begitu, kabarkanlah kepadaku tentang iman.”
Beliau menjawab, “Iman adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir; yang baik maupun yang buruk.”
Lelaki itu berkata, “Kamu benar.”
Lalu dia berkata, ”Kabarkan kepadaku tentang ihsan.”
Beliau menjawab, “Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan apabila kamu tidak sanggup -beribadah seolah-olah melihat-Nya- maka sesungguhnya Dia pasti melihatmu.”
Lalu dia berkata, “Kabarkan kepadaku tentang waktu kiamat.”
Beliau menjawab, “Tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui daripada yang bertanya.”
Lalu dia berkata, “Kala begitu, kabarkanlah kepadaku mengenai tanda-tandanya.”
Beliau menjawab, ”Yaitu ketika seorang budak perempuan melahirkan tuannya, dan kamu akan melihat orang-orang yang tidak mengenakan alas kaki, tidak berpakaian, miskin, yang bekerja menggembalakan kambing kemudian mereka bisa berlomba-lomba meninggikan bangunan.”
Kemudian dia pun pergi. Aku tetap dalam keadaan itu -tidak mengetahui siapakah orang itu- selama beberapa waktu lamanya. Kemudian suatu saat beliau [Nabi] bertanya, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu?”
Aku katakan, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”
Beliau bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang agama kalian.”
Hadits Riwayat Muslim.
[lihat Syarh al-Arba’in oleh Imam Ibnu Daqieq al-‘Ied, hal. 12-13]
Hadits ini juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu di dalam Sahih Bukhari dan Muslim dengan redaksi sebagai berikut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata :
Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari tampak sedang berada di tengah-tengah manusia. Lalu datanglah kepadanya Jibril dan bertanya,”Apa itu iman?”
Beliau menjawab, ”Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, perjumpaan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kamu beriman terhadap hari kebangkitan.”
Lalu dia bertanya, ”Apa itu Islam?”
Beliau menjawab, “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan dengan-Nya, kamu mendirikan sholat, kamu menunaikan zakat yang wajib, dan kamu berpuasa Ramadhan.”
Lalu dia berkata, “Apa itu ihsan?”
Beliau menjawab, “Yaitu kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Kalau kamu tidak bisa -beribadah seolah melihat-Nya- maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Dia pun bertanya, “Kapankah hari kiamat tiba?”
Beliau menjawab, “Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui daripada si penanya. Namun akan kukabarkan kepadamu mengenai tanda-tandanya. Yaitu ketika budak perempuan melahirkan tuannya, dan apabila para penggembala unta yang hitam saling bersaing meninggikan bangunan. Ini termasuk lima hal yang tidaklah diketahui kecuali oleh Allah.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat, (yang artinya) “Sesungguhnya Allah, di sisi-Nya lah imu tentang hari kiamat…” Kemudian dia [Jibril] pun pergi.
Nabi bersabda, “Suruhlah dia kembali kemari.”
Namun mereka tidak lagi melihat apa-apa. Maka beliau pun bersabda, “Ini adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan kepada manusia mengenai agama mereka.”
Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.
[lihat al-Jami’ Baina ash-Shahihain, 1/46]
Hadits yang agung ini biasa disebut dengan hadits Jibril. Di dalam hadits ini dikisahkan kedatangan malaikat Jibril ‘alaihis salam dalam bentuk manusia. Kemudian dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang islam, iman, ihsan, dan seputar kiamat.
Banyak sekali pelajaran yang terkandung di dalam hadits ini, sampai-sampai Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah membuat tulisan khusus yang berisi penjabaran kandungan hadits ini dengan judul ‘Syarh Hadits Jibril fi Ta’lim ad-Dien’ [bisa dilihat dalam kumpulan karya beliau, Kutub wa Rasa’il ‘Abdil Muhsin, Juz 3, hal. 7-80]
Saking istimewa dan pentingnya hadits ini pula, Imam Muslim rahimahullah meletakkannya di bagian awal [hadits pertama] di dalam Shahih Muslim, yaitu pada Kitab al-Iman. [bisa dilihat dalam Sahih Muslim yang dicetak bersama Syarah an-Nawawi, Jilid 2, hal. 5-20]
Begitu pula, Imam al-Baghawi rahimahullah yang meletakkan hadits ini di bagian awal [hadits kedua] di dalam kitab beliau Syarh as-Sunnah, yaitu pada Kitab al-Iman. [bisa dilihat dalam Syarh as-Sunnah, Juz 1 hal. 7-9]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam syarah al-Arba’in an-Nawawiyah juga memberikan penjelasan kandungan hadits ini secara panjang lebar hingga mencapai 70 halaman lebih -yang asalnya adalah dalam bentuk ceramah- [bisa dilihat dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, cet. Dar ats-Tsurayya, hal. 19-78]
Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah dalam syarah al-Arba’in beliau berusaha untuk merangkum faidah-faidah yang bisa dipetik dari hadits ini dan terkumpullah 70 faidah atau pelajaran berharga yang bisa diambil darinya [bisa dilihat dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah karya beliau, hal. 38-42]
Sebab Periwayatan
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu ini memiliki sebab atau kejadian yang melatar-belakanginya. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Imam Muslim -dengan sanadnya- dari Yahya bin Ya’mar seorang tabi’in.
Yahya bin Ya’mar mengatakan :
Dahulu, orang yang pertama kali berpendapat tentang qadar [maksudnya menganut paham menolak takdir, aliran Qadariyah] di Bashrah adalah Ma’bad al-Juhani.
Maka berangkatlah aku bersama Humaid bin Abdurrahman al-Himyari dalam rangka menunaikan haji atau umrah. Kami berkata, “Seandainya kita bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan kita tanyakan kepadanya mengenai pendapat yang dilontarkan oleh orang-orang itu dalam masalah takdir.”
Hingga akhirnya, kami pun berpapasan dengan Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab tatkala sedang memasuki masjid. Aku pun memeluk beliau, begitu pula sahabatku itu; yang satu di sebelah kanan dan yang satu di sebelah kiri.
Aku menyangka sahabatku ini menyerahkan pembicaraan kepadaku. Aku berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul di tempat kami orang-orang yang membaca al-Qur’an dan gemar mencari ilmu -lalu disebutkanlah keadaan mereka- namun mereka meyakini bahwa takdir itu tidak ada. Segala urusan terjadi secara tiba-tiba begitu saja.”
Beliau -Ibnu ‘Umar- berkata, “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang itu, kabarkan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka pun tidak ada urusan denganku. Demi dzat yang Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengan nama-Nya, seandainya salah seorang diantara mereka memiliki emas sebesar Uhud lantas dia infakkan. Maka Allah tidak akan menerima amalan itu sampai mereka beriman kepada takdir.”
Kemudian beliau -Ibnu ‘Umar- berkata :
Ayahku yaitu ‘Umar bin al-Khaththab telah menuturkan hadits kepadaku. Dia berkata : Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Tiba-tiba muncullah di hadapan kami seorang lelaki dst.”
[lihat Shahih Muslim bersama Syarh an-Nawawi, Jilid 2, hal. 10-15]
Faidah Dari Latar Belakang Periwayatan
Dari kisah yang dituturkan oleh Yahya bin Ya’mar ini dapat kita petik faidah, diantaranya adalah sebagai berikut :
Bid’ah yang berupa pendapat/keyakinan menolak takdir ini sudah muncul di Bashrah [Iraq] pada masa sahabat, yaitu pada masa hidupnya Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma. Sementara beliau wafat pada tahun 73 H [lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il, Juz 3 hal. 13]
Bid’ah ini dimunculkan oleh seorang yang bernama Ma’bad bin Khalid al-Juhani. Dulunya dia bermajelis kepada Hasan al-Bashri lalu menyempal dan mengeluarkan pendapat menolak iman kepada takdir. Pendapat ini pun diikuti oleh para penduduk Bashrah tatkala mereka melihat Amr bin ‘Ubaid mendukung keyakinan itu. Demikian sebagaimana diterangkan oleh Imam as-Sam’ani dan dikutip oleh an-Nawawi [lihat Syarh Muslim, 2/12]
Syaikh Yahya hafizhahullah berkata, “Perkataan beliau ‘Orang yang pertama kali menyatakan pendapat menolak takdir di Bashrah adalah Ma’bad al-Juhani’ di dalam kalimat ini terkandung keterangan tentang perlunya mengetahui siapakah orang yang pertama kali menyebarkan keburukan atau pun kebaikan, meskipun orang itu berada di belahan bumi mana pun. Hal ini juga menunjukkan bahwa Ma’bad bin Ghailan al-Juhani salah seorang penganut Mu’tazilah adalah orang yang menyebarkan bid’ah ini yang asalnya bersumber dari Yahudi.” [lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 23]
Kaum penolak takdir kala itu [Qadariyah terdahulu] memiliki keyakinan bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu [perbuatan hamba] kecuali setelah terjadinya hal itu. Sehingga, menurut mereka segalanya terjadi dengan tiba-tiba dan baru. Apa yang terjadi -perbuatan hamba- belum tertulis sebelumnya di dalam lembaran takdir dan Allah belum mengetahui kecuali apabila telah terjadi. Tentu saja keyakinan mereka ini bertentangan dengan keyakinan ahlul haq; para pengikut kebenaran. Karena mengimani takdir -yaitu ilmu dan catatan takdir Allah mengenai segala perbuatan hamba- adalah wajib. Oleh sebab itu pada hakikatnya mereka [Qadariyah] telah berdusta atas nama Allah, Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari pendapat mereka yang batil itu [lihat Syarh Muslim, 2/13]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Mereka -kaum Qadariyah terdahulu yang ekstrim- mengatakan bahwa: Allah tidak mengetahui perbuatan-perbuatan hamba kecuali setelah terjadinya hal itu. Menurut mereka itu semua belum tercatat. Mereka juga mengatakan bahwa: segala urusan terjadi secara tiba-tiba dan baru muncul. Artinya ia muncul dalam keadaan baru. Akan tetapi generasi belakangan diantara mereka -Qadariyah- telah mengakui ilmu dan pencatatan [takdir Allah], namun mereka tetap mengingkari masyi’ah/kehendak Allah dan khalq/bahwa Allah menciptakan segalanya. Ini berkaitan dengan perbuatan makhluk.” [lihat Syarh al-Wasithiyah, 2/203]
Apa hukum orang yang mengingkari ilmu Allah terhadap segala perbuatan hamba sebelum terjadinya -sebagaimana yang diyakini sekte Qadariyah itu-? Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Mereka itu -yaitu orang-orang yang mengingkari ilmu Allah mengenai segala perbuatan hamba- hukum mereka di dalam syari’at adalah berstatus sebagai orang kafir. Sebab mereka telah mendustakan firman Allah ta’ala, (yang artinya) “Allah atas segala sesuatu maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 282). Dan ayat-ayat lainnya. Dan mereka telah menentang suatu perkara yang jelas sekali termasuk masalah mendasar yang pasti dimengerti sebagai bagian dari agama.” [lihat Syarh al-Wasithiyah, 2/204]
Oleh sebab itu wajar apabila Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhu memberikan bantahan yang sangat keras terhadap mereka. Sampai-sampai beliau berkata, “Demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan nama-Nya, seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar Uhud lalu dia infakkan, maka Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada takdir.”
Imam an-Nawawi rahimahullah mengomentari, “Ucapan yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma ini dengan terang dan jelas menunjukkan bahwa beliau mengkafirkan kaum Qadariyah.” [lihat Syarh Muslim, 2/15]
Syaikh Yahya hafizhahullah berkata, “Di dalam riwayat ini terkandung pelajaran bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma memandang kafirnya para penganut paham Qadariyah itu.” [lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah oleh beliau, hal. 38]
Inilah yang diyakini oleh para ulama salaf. Oleh sebab itu, Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Barangsiapa mendustakan takdir sesungguhnya dia telah mendustakan al-Qur’an.” [lihat Aqwal Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman 1/138]. Sementara perbuatan mendustakan al-Qur’an jelas merupakan suatu kekafiran. Wallahu a’lam.
Kembali Kepada Para Ulama
Demikian pula, diantara faidah berharga dari kisah yang melatarbelakangi periwayatan hadits Jibril di atas ialah kembali kepada para ulama untuk mengetahui hukum atau sikap yang benar dalam menghadapi masalah-masalah pelik.
Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah berkata, “Faidah Kedua. Kembalinya para tabi’in kepada Sahabat Nabi guna mengetahui suatu hukum atas perkara-perkara yang musykil/pelik. Sama saja apakah hal ini berkaitan dengan akidah atau selainnya. Inilah kewajiban setiap muslim yaitu untuk merujuk dalam urusan-urusan agamanya kepada para ulama. Berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” [lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/13]
Berkaitan dengan kisah di atas, Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah memberikan tambahan faidah, “Di dalamnya terkandung keutamaan para ulama, dan bahwasanya mereka itu senantiasa melihat kepada dalil.” [lihat Syarh al-Arba’in, hal. 38]
Mengembalikan urusan ilmu kepada ulama termasuk masalah pokok di dalam manhaj salaf. Syaikh Abdullah bin Shalfiq hafizhahullah berkata, “… Bahwasanya salah satu pokok manhaj salaf adalah keterkaitan erat dengan ilmu dan para ulama. Dan bahwasanya hal ini adalah termasuk perkara yang diwasiatkan Allah. Di dalamnya terkandung kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatan dari segala fitnah. Karena sesungguhnya dengan perginya para ulama atau tidak adanya jalinan dengan mereka menyebabkan lenyapnya ilmu dan agama. Itu pula yang menyebabkan merebaknya kebodohan dan fitnah/kekacauan, sehingga manusia setelah mereka akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang mereka itu sesat lagi menyesatkan.” [lihat Haqiqah al-Manhaj as-Salafi, hal. 14]
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhu, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari)
Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan: Aku mendengar Yahya bin Ja’far al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu [agama].” [lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 118]
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Hasan, bahwa Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan ulama di tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi manusia.” [lihat Akhlaq al-‘Ulama, hal. 29]
Di dalam kisah di atas pula, kita bisa menarik pelajaran bahwa semata-mata menyibukkan diri dengan ilmu namun tidak dibarengi dengan amal dan ittiba’ maka itu bukanlah ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana keadaan kaum Qadariyah yang disebutkan pandai membaca al-Qur’an dan gemar mengumpulkan ilmu, namun menentang akidah Islam.
Syaikh Yahya hafizhahullah berkata, “Di dalamnya terkandung pelajaran, bahwa bisa jadi seorang insan pandai membaca al-Qur’an padahal dia jahil/bodoh. Yaitu tatkala ia tidak terbimbing di bawah asuhan ulama Sunnah.” [lihat Syarh al-Arba’in, hal. 38]
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” [lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163]
Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya, pen) maka dia adalah pembela Sunnah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk memperkuat pendapatnya semata maka dia adalah pembela bid’ah.” [lihat Mukadimah Tahqiq Kitab az-Zuhd, hal. 69]
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim [ahli ilmu] orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan akan tetapi sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” [lihat Min A’lam as-Salaf 2/81]
Kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak mendaku sesuatu yang tidak ada pada diri kita. Kalau kita bukan ulama maka kembalikanlah urusan itu kepada ahlinya, yaitu para ulama. Sehingga sudah semestinya setiap orang menyadari kapasitas dan kedudukan dirinya masing-masing serta tidak melampaui batas wewenangnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya…” [lihat Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, karya Syaikh Abdurrahman bin Mu’alla. Hal. 28]
Kisah di atas juga menunjukkan kepada kita tentang keutamaan menimba ilmu dan belajar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dengan sebab itu kita akan bisa mengenal agama dan selamat dari kesesatan. Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui di atas muka bumi ini suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu dan mempelajari hadits yaitu bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan lurus niatnya.” [lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27]
Ja’far ash-Shadiq rahimahullah berkata, “Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya di tengah-tengah umat manusia itu jauh lebih utama daripada ibadah yang dilakukan oleh seribu ahli ibadah.” [lihat Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131]
Suatu saat Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah dicela karena sedemikian sering mencari hadits. Beliau pun ditanya, “Sampai kapan kamu akan mendengar hadits?”. Beliau menjawab, “Sampai mati.” [lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 58]
Kisah di atas juga menunjukkan tentang keutamaan seorang ahli ilmu bagi umat manusia. Abu Ja’far al-Baqir Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain rahimahullah berkata, “Seorang alim [ahli ilmu] yang memberikan manfaat dengan ilmunya itu lebih utama daripada tujuh puluh ribu orang ahli ibadah.” [lihat Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131]
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Para malaikat adalah para penjaga langit sedangkan ashabul hadits adalah para penjaga bumi.” [lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 31]
Kembali Kepada Manhaj Salaf
Kisah di atas juga memberikan pelajaran berharga kepada kita untuk senantiasa kembali kepada pemahaman salafus shalih dalam memahami agama.
Syaikh Yahya hafizhahullah berkata, “Di dalamnya terkandung keutamaan para sahabat dan keutamaan ilmu yang mereka miliki.” [lihat Syarh al-Arba’in, hal. 39]
Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu yang sebenarnya adalah apa-apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.” [lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391]
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu tetap berpegang dengan atsar dan jalan kaum salaf, dan jauhilah olehmu segala ajaran yang diada-adakan, karena itu adalah bid’ah.” [lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 46]
Imam Abul Qasim at-Taimi rahimahullah berkata, “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah komitmen mereka untuk ittiba’ kepada salafus shalih dan meninggalkan segala ajaran yang bid’ah dan diada-adakan.” [lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 49]
Memang sudah semestinya kita kembali kepada pemahaman salaf dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab mereka -yaitu para Sahabat, sebagai barisan terdepan salafus shalih- adalah generasi terbaik di dalam umat ini. Di samping itu, mereka -para sahabat Nabi- adalah orang-orang yang menyaksikan secara langsung turunnya wahyu dan mereka hidup di masa itu. Mereka juga mendengar langsung hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengambil ilmu darinya. Mereka menghafal dan menjaga ucapan-ucapan beliau. Kemudian mereka pula yang menukilnya dan men-transfer ilmu tersebut kepada generasi sesudahnya sebagaimana yang mereka dengar dan pahami.
Oleh sebab itu mereka adalah orang-orang yang paling fakih/paham diantara umat ini mengenai maksud Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, di dalam al-Qur’an al-Karim terdapat ketetapan syari’at yang diturunkan bersesuaian dengan pendapat dari sebagian mereka. Seluruh makna ayat al-Qur’an telah ada bersama mereka. Apabila ada suatu makna yang luput dari sebagian mereka, maka hal itu tidak akan luput dari keseluruhan dari mereka. Oleh sebab itu kita dapati Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata sembari menjelaskan pentingnya mengambil pendapat para Sahabat Nabi, “Pendapat mereka untuk kita itu jauh lebih baik daripada pendapat kita untuk diri kita sendiri.”
[lihat dalam al-Manhaj as-Salafi karya Dr. Mafrah bin Sulaiman al-Qusi hal. 361-363, asal kitab ini adalah tesis doktoral beliau]
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka mereka itu -sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in/salafus shalih, pent- adalah teladan bagi umat ini. Dan yang dimaksud manhaj mereka ialah jalan yang mereka berjalan di atasnya; yaitu dalam hal akidah mereka, dalam hal mu’amalah mereka, di dalam akhlak mereka, dan dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah. Karena begitu dekatnya mereka -salafus shalih- dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Dan karena mereka mengambilnya langsung dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu mereka menjadi generasi yang terbaik, dan manhaj/jalan mereka adalah sebaik-baik jalan…” [lihat Manhaj as-Salaf ash-Shalih wa Haajatul Ummah Ilaih, hal. 2-3]
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mewasiatkan, “Barangsiapa yang menginginkan keselamatan wajib atasnya untuk mengenali madzhab salaf dan berpegang teguh dengannya, serta mendakwahkan kepadanya. Inilah jalan keselamatan. Ia laksana bahtera Nuh ‘alaihis salam; barangsiapa menaikinya maka dia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal darinya pasti binasa dan tenggelam dalam kesesatan. Oleh sebab itu tiada keselamatan bagi kita kecuali dengan madzhab salaf.”
“Dan tidak mungkin kita mengerti madzhab salaf kecuali dengan belajar [baca; ngaji], yaitu menimba ilmu, mengajarkan, dan mengkajinya. Di samping itu, kita juga harus senantiasa memohon kepada Allah, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka.” Yaitu kita memohon kepada Allah agar selalu memberikan taufik kepada kita untuk berjalan di atasnya [jalan yang lurus] dan meneguhkan kita di atasnya. Inilah yang harus kita lakukan.”
“Bukanlah yang menjadi permasalahan itu perkara pengakuan -mengaku ahlus sunnah atau pengikut salaf, pent- sebab ‘pengakuan yang tidak ditopang dengan bukti-bukti itu hanya akan jadi omong kosong belaka’ [kata pepatah arab, pent]. Jadi, bukanlah yang menjadi sumber masalah adalah persoalan intisab/penyandaran diri. Sedangkan Allah jalla wa ‘ala menyatakan (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengikuti mereka [sahabat] dengan ihsan/baik.” (QS. At-Taubah: 100). Artinya -mengikuti- dengan itqan/mapan dan benar. Dan anda tidak akan bisa mapan dan benar dalam meniti madzhab salaf kecuali apabila anda mengenali dan mempelajarinya. Dan anda tidaklah [disebut] berpegang teguh dengannya kecuali apabila anda bersabar di atasnya…” [lihat Manhaj as-Salaf ash-Shalih wa Haajatul Ummah Ilaih, hal. 11]
Syaikh Abdullah bin Shalfiq azh-Zhafiri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya manhaj salaf inilah Islam, dan Islam itulah manhaj salaf. Imam al-Barbahari rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa Islam adalah Sunnah, dan Sunnah itulah Islam. Tidak akan bisa tegak salah satunya kecuali bersama pasangannya.” Kebenaran yang diturunkan Allah itu satu, tidak berbilang. Demikian pula kelompok yang selamat [al-Firqah an-Najiyah] pun hanya ada satu. Manhaj salaf ini adalah manhaj/jalan yang dipegang oleh al-Firqah an-Najiyah yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kelompok yang mendapatkan pertolongan hingga tegaknya hari kiamat.” [lihat Haqiqah al-Manhaj as-Salafi, hal. 25]
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sunnah adalah jalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin; mereka itu adalah para sahabat, dan para pengikut setia mereka hingga hari kiamat. Mengikuti mereka adalah petunjuk, sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan.” [lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, takhrij Syaikh al-Albani, hal. 382 cet. al-Maktab al-Islami]
Islam yang sahih yaitu mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para sahabat, keislaman semacam inilah yang kini menjadi terasing di tengah-tengah umat manusia, bahkan kaum muslimin. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menuturkan :
Islam yang sahih pada masa sekarang ini adalah terasing. Adapun islam yang hanya sekedar pengakuan, maka lihatlah jumlah umat Islam sekarang ini. Jumlah mereka lebih dari 1 milyar. Meskipun demikian Islam yang sahih itu telah mengalami keterasingan.
Karena seandainya jumlah 1 milyar umat ini mereka berada di atas Islam yang sahih/jernih niscaya tidak ada seorang pun [umat manapun] di dunia ini yang berani menghadapi mereka!! Lihatlah, orang-orang Yahudi -yang mereka itu adalah saudara dari kera-kera dan babi-babi- suatu kaum yang telah ditimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan [oleh Allah]. Bukankah saat ini mereka ‘menguasai’ berbagai negeri kaum muslimin.
Bandingkanlah dengan kaum muslimin yang bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Badar. Ketika itu jumlah mereka hanya sekitar tiga ratus belasan orang. Saksikanlah apa yang berhasil mereka lakukan?
Para sahabat dibandingkan dengan seluruh penduduk bumi; berapa jumlah mereka? Meskipun demikian [yaitu mereka sedikit, pent], mereka berhasil menaklukkan berbagai kota dan negeri. Mereka pun berhasil menundukkan Kisra dan Kaisar. Mereka sanggup untuk memimpin seluruh dunia. Hal itu dikarenakan mereka berada di atas Islam yang sahih/jernih dan lurus, bukan Islam yang berhenti pada pengakuan belaka.
[lihat Syarh Tafsir Kalimah at-Tauhid, hal. 32]
Sebagian ulama salaf berkata, “Hendaklah kamu mengikuti jalan kebenaran, dan janganlah merasa sedih karena sedikitnya orang yang berjalan di atasnya. Jauhilah jalan kebatilan, dan janganlah kamu merasa gentar karena banyaknya orang yang binasa.” [lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 21]
Imam Abu ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Seorang yang setia mengikuti Sunnah laksana orang yang menggenggam bara api. Dan pada masa ini, aku memandang bahwa hal itu jauh lebih utama daripada menyabetkan pedang dalam jihad fi sabilillah.” [lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 79]
Kisah di atas juga menunjukkan kepada kita tentang bahaya mengedepankan ra’yu/pendapat akal di atas dalil al-Kitab atau as-Sunnah. Karena hal itu akan menyeret kepada kekafiran dan kerugian. Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata, “Tiga hal yang menyebabkan amalan tidak akan diterima apabila disertai olehnya, yaitu; syirik, kekafiran, dan ra’yu.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud ra’yu.” Beliau menjawab, “Yaitu apabila dia meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya dan beramal dengan ra’yu/pendapatnya sendiri.” [lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 359]
Sumber: TerjemahKitabSalaf.Wordpress.Com
0 komentar:
Posting Komentar