Sungguh kita menemukan permusuhan yang sangat sengit dari kaum syi'ah
dan aswaja imitasi (baca : sufi) terhadap aswaja asli (baca : salafy
atau yang dinamakan oleh kaum sufi sebagai wahabi). Seakan-akan musuh
mereka hanyalah kaum wahabi. Ada apa gerangan antara Syi'ah dan Aswaja,
kenapa sama-sama bersepakat memusuhi kaum wahabi..??!!
Rahasianya adalah adanya kesamaan antara dua kelompok ini, terutama dalam peribadatan kepada penghuni kuburan dan para wali !!!
Tidak heran jika SYI'AH & ASWAJA SUFI :
- Sama-sama hobi meninggikan kuburan
- Sama-sama hobi beribadah di kuburan
- Sama-sama hobi meminta dan beristighotsah kepada penghuni kuburan.
- Sama-sama hobi mencari barokah dari pasir yang ada dikuburan para wali??
- Sama-sama berlindung dibalik topeng "cinta kepada Ahlul Bait…", atau "Demi menghormati Ahlul Bait", seakan-akan kecintaan kepada Ahlul Bait dan kesyirikan adalah dua perkara yang saling melazimkan !
Entah…apakah kaum aswaja sufi yang ikut-ikutan taqlid buta kepada kaum syi'ah??, ataukah sebaliknya??!!
Seharusnya kepanjangan ASWAJA (Ahlus Sunnah…. = Pelaku sunnah….) menunjukkan tidak mungkinnya bersatu atau bersepakat antara Aswaja dan Syi'ah, karena syi'ah adalah lawan dari sunnah. Akan tetapi kenyataan yang terjadi justru Aswaja dekat dengan Syi'ah dan sama-sama memusuhi wahabi. Rahasianya… karena Aswaja ternyata tidak menjalankan sunnah-sunnah Nabi, bahkan ibadah-ibadah yang mereka lakukan adalah kreasi-kreasi ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.
Bukankah sunnah adalah perkara-perkara yang disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam?, lantas kenapa Aswaja doyan mepraktekan kreasi-kreasi ibadah yang sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh Nabi??...Bahkan aswaja menjadikan ibadah-ibadah hasil kreasi tersebut sebagai tolak ukur kecintaan kepada Nabi??, bahkan memusuhi orang-orang yang berpegang teguh dan tidak mau beribadah kecuali dengan sunnah Nabi??!!
Karenanya bagaimana mungkin aswaja bisa membantah syi'ah jika mereka sendiri menjauhkan diri dari sunnah??!!
Terlebih lagi ternyata…..kesyirikan yang diperjuangkan oleh kaum syi'ah sama dengan kesyirikan yang diperjuangkan oleh sebagian kaum aswaja sufiyah.
KESYIRIKAN MENURUT AL-KHUMAINI…
Adapun Kesyirikan menurut Al-Khumaini hanyalah jika seseorang meyakini adanya Rob (Tuhan/Pencipta) selain Allah, adapun jika seseorang sujud dan berdoa kepada makhluk –selama tanpa disertai keyakinan bahwa makhluk tersebut adalah Rob Pencipta- maka hal ini bukanlah kesyirikan !!!
Perhatikanlah pernyataan-pernyataan Al-Khumaini berikut ini :
PERTAMA : Meminta kepada makhluk bukanlah kesyirikan selama meyakini bahwa makhluk tersebut bukanlah Tuhan Pencipta, akan tetapi telah diberi kekuatan oleh Allah
"Karenanya jika seseorang meminta kepada seseorang selain Allah suatu amal yang penting baik amalan kecil dengan menjadikan orang tersebut sebagai Rob maka ia adalah seorang musyrik berdasarkan hukum akal dan Al-Qur'an. Adapaun jika ia meminta kepadanya dengan dasar bahwa Rob Pencipta alam telah memberikan kepadanya kekuatan dan ia butuh kepada Allah serta tidak independent dalam amalan ini maka ini bukanlah amal ketuhanan, dan meminta dipenuhinya hajat darinya tatkala itu bukanlah keysirikan" (Kasyful Asroor hal 54-55)
KEDUA : Meminta kepada mayat bukanlah kesyirikan. Bahkan meminta kepada BATU bukanlah kesyirikan!!!
Al-Khumainy berkata :
"Bisa jadi dikatakan bahwasanya kesyirikan adalah meminta mayat-mayat untuk menunaikan hajat, karena mayat tidak memberi manfaat dan mudhorot, baik mayat seorang nabi maupun seorang imam, karena mayat-mayat seperti benda-benda mati.
Jawaban atas persangkaan ini :
Pertama : Kalian tidak menjelaskan kepada kami makna kesyirikan dan kekufuran hingga kalian menganggap semua yang kami inginkan merupakan kesyirikan–berdasarkan pendapat kalian-. Dan setelah jelas bahwasanya kesyirikan adalah meminta sesuatu kepada seseorang selain Allah
atas dasar ia adalah Rob (Tuhan/Pencipta), adapun selain ini maka
bukanlah kesyirikan. Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara yang hidup
dan yang mati. Bahkan meminta dipenuhi hajat dari batu dan tanah maka
bukanlah kesyirikan, meskipun hal ini adalah perbuatan yang sia-sia dan
batil" (Kasyful Asroor hal 56)
Subhaanallah…meminta kepada batu bukanlah kesyirikan ?? inilah hakekat agama syi'ah !!!
KETIGA : Ruh seseorang setelah mati maka semakin hebat dan semakin diberi kekuatan oleh Allah dan semakin tinggi kedudukannya.
Al-Khumaini berkata
"Kami meminta bantuan dari ruh-ruh para nabi dan ruh-ruh para imam yang suci yang telah dianugerahi qudroh (kemampuan/kekuatan) oleh Allah. Dan telah ditetapkan dengan dalil-dalil yang qot'i (pasti) serta dalil-dalil akal yang jelas dalam falsafat yang tinggi bahwasanya ruh itu tetap ada setelah kematian dan kemampuan ruh-ruh untuk meliputi alam ini secara sempurna setelah kematian lebih tinggi. Dan para ahli filsafat meyakini mustahil rusaknya ruh, dan hal ini merupakan perkara filsafat yang –sejak awal munculnya filsafat- jelas diterima oleh para ulama serta para pembesar ahli filsafat sebelum Islam dan sesudah Islam. Kemudian perkara ini jelas diterima oleh seluruh agama, baik kaum yahudi, kaum nasrani, maupun kaum muslimin, dan mereka menganggap perkara ini merupakan doruuri dan badihi (perkara pokok/mendasar/yang harus ada) dalam agama mereka" (Kasyful Asroor hal 56)
Lihatlah bagaimana aqidah Khumaini, untuk melegalkan kesyirikan meminta kepada mayat-mayat. Justru ia meyakini bahwa setelah kematian mayat-mayat lebih hebat karena telah diberi kemampuan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia, bahkan untuk meliputi alam secara sempurna???
Dalilnya apa ..??!! tidak satu ayatpun…apalagi hadits…, yang ada hanyalah keyakinan kaum ahli filsafat yunani yang tidak beragama, bukan yahudi dan juga bukan nasoro. Itulah landasan pijakan Khumaini !!!
Bandingkanlah aqidah Al-Khumaini ini dengan aqidah kaum sufi. Dimana sebagian kaum sufi melegalkan untuk berdoa kepada wali (bahkan kepada wali yang sudah meninggal) dengan dalih bahwasanya wali telah diberi kekuasaan dengan izin Allah. Seorang tokoh sufi besar yang bernama At-Tijaani memperkuat keyakinan ini. Berkata penulis kitab Jawaahirul Ma'aani fi Faydi Sayyidi Abil 'Abaas At-Tiijaani (Ali Al-Faasi) :
Adapun perkataan penanya : Apa makna perkataan Syaikh Abdul Qodir Al-Jailaani radhiallahu 'anhu : "Dan perintahku dengan perintah Allah, jika aku berkata kun (jadi) makan (yakun) terjadilah" …dan juga perkataan sebagian mereka : "Wahai angin tenanglah terhadap mereka dengan izinku" dan perkataan-perkataan para pembesar yang lain radhiallahu 'anhum yang semisal ini, maka berkata
(At-Tijaani) radhiallahu 'anhu : "Maknanya adalah Allah memberikan
kepada mereka Khilaafah Al-'Udzma (kerajaan besar) dan Allah menjadikan
mereka khalifah atas kerajaan Allah dengan penyerahan kekuasaan secara
umum, agar mereka bisa melakukan di kerajaan Allah apa saja yang mereka
kehendaki. Dan Allah memberikan mereka kuasa kalimat "kun", kapan saja
mereka berkata kepada sesuatu "kun" (jadilah) maka terjadilah tatkala
itu" (Jawaahirul Ma'aani wa Buluug Al-Amaani 2/62)
Hal ini juga dikatakan oleh tokoh sufi zaman kita yang bernama Habib Ali Al-Jufri, ia berkata bahwasanya wali bisa menciptakan bayi di rahim seorang wanita tanpa seorang ayah dengan izin Allah (silahkan lihat http://www.youtube.com/watch?v=kDPMBJ7kvfI)
Bandingkan pula aqidah Al-Khumaini ini dengan tokoh sufi zaman sekarang yang sangat digandrungi oleh aswaja Indonesia. Yaitu Muhammad Alwi Al-Maliki, ia berkata di kitabnya mafaahiim yajibu an tushohhah:
فَالْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلاَ يَمْلِكُ أَحَدٌ شَيْئاً إِلاَّ إِذَا مَلَّكَهُ اللهُ ذَلِكَ وَأَذِنَ لَهُ فِي التَّصَرُّفِ فِيْهِ
"Maka yang mengatur di alam semeseta adalah Allah subhaanahu wa ta'aala, dan tidak seorangpun memiliki sesuatupun kecuali jika Allah menjadikannya memilikinya dan mengizinkannya untuk mengaturnya"
Ia juga berkata tentang kondisi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafatnya Nabi :
فَإِنَّهُ حَيِّيُ الدَّارَيْنِ دَائِمُ الْعِنَايَةِ بِأُمَّتِهِ، مُتَصَرِّفٌ بِإِذْنِ اللهِ فِي شُؤُوْنِهَا خَبِيْرٌ بِأَحْوَالِهَا
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hidup di dunia dan akhirat, senantiasa memperhatikan umatnya, mengatur urusan umatnya dengan izin Allah dan mengetahui keadaan umatnya"
Bandingkan pula aqidah Al-Khumaini dengan perkataan Habib Munzir berikut ini :
"Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta
pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di
vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam,
pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya
adalah hal yg diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan
diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia
masih hidup atau telah wafat, karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata,
karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka
kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat
kecuali dengan izin Allah swt, ketika seseorang berkata bahwa orang
mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat,
maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena
menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah
mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan
kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian"
(Kenalilah Aqidahmu 2 hal 75-76)
KEEMPAT : Meminta kesembuhan dari tanah bukanlah kesyirikan
Al-Khumaini berkata :
"Diantara pertanyaan mereka adalah, apakah meminta kesembuhan dari tanah merupakan keysirikan atau tidak?
Jawabannya telah jelas setelah memperhatikan makna syirik. Kesyirikan –sebagaimana yang kalian ketahui- adalah keyakinan bahwasanya seseorang adalah Rob (Tuhan/Pencipta) atau ia diibadahi atas dasar ia adalah Rob, atau meminta dipenuhinya hajat kepada seseorang atas dasar keyakinan bahwa ia independent dalam memberikan pengaruh…
Jika seseorang meminta kesembuhan dari tanah atau dari apapun dengan dasar ia adalah Rob atau Syarikat Allah atau Rob lain yang berlawanan dengan Allah yang independent dalam memberi pengaruh atau atas dasar keyakinan bahwasanya penghuni kuburan adalah Rob maka ini merupakan kesyirikan, bahkan kegilaan. Adapun jika karena meyakini bahwasanya Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan telah menjadikan kesembuhan pada semangkuk pasir untuk memuliakan orang yang mati syahid yang telah mengorbankan kehidupannya untuk di jalan Allah, maka hal ini sama sekali tidak melazimkan adanya kesyirikan dan kekufuran" (Kasyful Asroor hal 65)
Karenanya kita tidak heran jika melihat kaum syi'ah berebutan mengambil pasir yang ada di kuburan ahlul bait di Baqii' di kota Madinah.
Khumaini berdalil sesukanya…, tidak ada seorangpun yang meragukan kekuasaan Allah. Jangankan pasir…bahkan jika Allah berkehendak tentunya Allah mampu menjadikan apapun sebagai obat –bahkan kotoran-!!. Akan tetapi mana dalilnya…?, mana ayatnya…?, mana haditsnya…?, mana amal perbuatan/perkataan sahabat…?, mana perbuatan tabi'in…?, mana perbuatan/perkataan 4 imam madzhab…?, yang menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan pasir di kuburan orang sholeh sebagai obat??
Ternyata : aqidah ini juga tersebar di kalangan sebagian aswaja yang berebut-rebutan mengambili pasir dari kuburan Gus….!!!!
KELIMA : Aqidah Syiah : meminta syafaat kepada mayat
Al-Khumaini berkata :
"Meminta syafaat kepada mayat adalah kesyirikan"
Jawabannya sebagaimana telah lalu secara terperinci bahwasanya para pemberi syafaat setelah meninggalkan dunia ini mereka bukanlah mayat. Bahkan –sebagaimana telah kami jelaskan- akan hidupnya ruh-ruh mereka dan abadinya ruh-ruh tersebut di alam serta meliputinya ruh-ruh tersebut terhadap alam ini merupakan perkara yang jelas diterima dalam filsafat kuno dan filsafat eropa ar-ruhiyah.
Kalaulah seandainya Nabi dan Imam setelah meninggal menjadi kayu dan batu dan benda mati lainnya –sebagaimana ungkapan mereka (*yaitu kaum wahabi)-, maka lantas kenapa meminta syafaat menjadi kesyirikan?, paling parah ini hanyalah merupakan perbuatan yang tidak ada faedahnya" (Kasyful Asroor hal 93)
Perhatikanlah para pembaca, Al-Khumaini menegaskan kembali bahwasanya meminta syafaat kepada kayu, batu, dan benda-benda mati bukanlah kesyirikan, akan tetapi hanya sekedar perbuatan yang tidak berfaedah. Hanya menjadi kesyirikan menurut Al-Khumaini jika meyakini bahwa batu tersebut adalah Rob/pencipta.
Dari pernyataan Al-Khumaini ini jelas bagi kita bahwa meminta syafaat kepada mayat merupakan aqidah orang syi'ah…. Ternyata aqidah ini sangat laris di kalangan kaum sufi !!!
KEENAM : Berdoa kepada Nabi atau Imam agar Allah mengampuni dosa merupakan aqidah Syi'ah
Al-Khumaini berkata ;
"Jawabannya, sesungguhnya syafaat bukanlah amalan ilahiyah (ketuhanan), karena pada hakekatnya adalah berdoa kepada Nabi dan Imam agar Allah mengampuni dosa orang ini. Dan ini adalah perbuatan seorang hamba dan bukan perbuatan Allah" (Kasyful Asroor hal 93).
[Sumber: www.firanda.com]
Percumbuan Antara SYI’AH dan SUFI
Risalah ini saya tujukan untuk Anda, orang yang terlanjur ikut Syi’ah
atau Sufi. Sebagai seorang Syi’ah atau Sufi, tentu saja Anda tidak
berkenan dengan judul status di atas. Anda akan berkata, “Judulnya
sangat lebay dan hiperbola.” Tidak usah berkata begitu. Coba tengok
golongan Anda yang sesat itu. Syi’ah dan Sufi itu isinya cetar
melebai-lebai. Selain itu, banyak kedustaan yang penganutnya sudah tahu
itu dusta, namun karena syahwat perut dan syahwat kemaluan lebih
ditonjolkan, maka kedustaan bisa dikompromikan, asal perut kekenyangan
(setelah haulan) atau kemaluan terpuaskan (setelah mut’ahan).
Kalau bukan bergelimang dusta, bukan Syi’ah namanya. Juga Sufi mempunyai
karakter berdusta. Semua dari mereka mudah menelan kabar dusta, entah
berupa hadits maudlu’ yang secara sanad tak bisa dipertanggungjawabkan,
maupun berupa cerita-cerita khurafat yang secara nalar tak bisa
dinalarkan. Bukan yang termaksud dari Syi’ah di sini: Syi’ah Zaidiyyah
(selama ia bukan Hautsiy berkedok Zaidiyyah padahal intinya berkiblat
pada Itsna Asyariyyah). Bukan yang termaksud dari Sufi di sini: Sufi
non-ekstrim yang hanya mempelajari akhlak tasawuf saja tanpa menyentuh
ranah aqidah atau inovasi dalam ibadah.
Saya tertarik untuk menjabarkan sedikit tentang kesamaan antara Syi’ah
dan Sufi. Terima atau tidak terima, itu urusan Anda. Tetapi sebaiknya
Anda terima saja, wahai penganut Syi’ah atau penganut Sufi. Daripada
Anda tambah repot. Anda ini sudah repot-repot memeluk agama sesat, jadi
jangan merasa direpotkan dengan tulisan saya. Oke, kita mulai persamaan
kalian berdua:
KLAIM ILMU KHUSUS
Orang Syi’ah paling getol membicarakan keistimewaan imam mereka dari
segi kepemilikan ilmu-ilmu khusus yang tidak diberikan kepada umat
manusia pada umumnya, baik muslim maupun kafirnya. Mereka akan
menisbatkan ilmu khusus ini pada Ali bin Abi Thalib, berdasarkan hadits
yang dianggap palsu oleh mayoritas ulama hadits, yang menyatakan bahwa
Nabi Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam- adalah kota ilmu dan Ali
adalah pintunya. Jadi, Ali –radhiyallahu anh- memiliki rahasia-rahasia
agama. Diklaim oleh Syi’ah bahwa beliau adalah penerima wasiat Rasul
yang menyimpan rahasia yang tidak diketahui umat Islam.
Orang Sufi juga tidak jauh beda. Mereka paling getol menonjolkan
keistimewaan imam mereka dari segi ini, yang biasa mereka sebut 'wali'.
Makanya, banyak dari Anda, wahai anak-anak Sufi, mengimani pula bahwa
Ali adalah pintu gerbang ilmu Nabi. Iya, toh? Masa bodoh lah dengan
hadits yang diklaim maudlu oleh mayoritas ulama hadits. Mengimani dulu
baru setelah dikritik, langsung mengorek-ngorek dalil dan bukti. Jika
ternyata tidak ketemu pembuktian yang valid, kotoran pun bisa dijadikan
barang bukti. Tentu saja, sebelum dijadikan barang bukti, kotoran harus
diendus dulu agar aroma busuknya bisa diukur, atau diraba dulu apakah
terlalu empuk sehingga gampang hancur, atau dijilat dulu agar ketahuan
seberapa rasa di lidah terjulu . Bukankah begitu?
Syi’ah mengklaim bahwa hanya para imam yang mengetahui rahasia Al-Qur’an
dan hakikat agama. Adapun awam Syi’ah yang bukan imam, dan bukan juga
mullah, tidak sampai derajat atau maqamnya. Awam Syi’ah hanya tahu
sebatas kulit atau zahir syariat saja. Adapun imam dan ulama Syi’ah,
terkadang mereka diklaim memiliki Al-Qur’an khusus yang mereka sebut
Al-Qur’an Fathimah.
11/12 dengan Sufi. Sufi mengklaim bahwa hanya mursyid mereka yang
mengetahui rahasia Al-Qur’an dan hakikat agama. Adapun awam Sufi, baik
ia dikatakan ‘murid’ ataupun mutlak awam, tidak memahami itu semua.
Mengkenye, ada tingkatan ‘hakekat’ untuk orang-orang Sufi kelas tinggi,
yang ngemengnya sudah melewati tingkat syariat yang basic itu.
Mengkenye, kalau ada pelajar yang meskipun hafal banyak dari ayat dan
hadits namun belum mengamalkan ritual tarekat khusus, bakal dibilang
begini,
“Wan, ilmu ente tu masih syareat. Ente belon kayak ane yang udah
mencapai hakekat atau makrefat.” Halah. Emeng keseng seje!
Sebagian dari Syi’ah mengklaim bahwa Allah mengutus Muhammad dengan
‘tanziil’ (yakni: huruf-huruf Al-Qur’an) saja dan mengutus Ali dengan
‘ta’wiil’ (yakni: tafsiir). Berarti Ali lebih faham daripada Nabi
Muhammad tentang Al-Qur’an? Ckck.
Ada miripnya dengan sebagian Sufi, terutama pemuja Abu Yazid
Al-Busthamy. Ada dari mereka meyakini bahwa Rasulullah tidak mencapai
martabat dan kondisi para sufi. Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu
para sufi, seperti yang diocehkan oleh Al-Busthamy,
“Kami menyelami
lautan yang para nabi berhenti di pantainya.”
Makanya, banyak dari ulama Sufi yang sudah mencapai maqam tertentu,
mengklaim diri sebagai ahli ‘kasyf’. Yang dimaksud ‘kasyf sufistik’ ini
adalah ‘diangkatnya hijab (penutup/pembatas) di depan hati dan
penglihatan seorang sufi, agar dapat mengetahui apa yang ada di langit
dan di bumi seluruhnya. Sebagian mengklaim Khidhir adalah penyampai
semua itu. Pokoknya, dengan kasyf sufistik ini, mereka mengetahui lahir
dan batin. Tapi, kalau bagi saya, mereka cuma sedang berdusta atau
melawak saja. Mohon mangap lahir batin.
Makanya pula, hal terbesar yang dikumandangkan dan dibanggakan kaum sufi
adalah bahasa mereka memiliki ilmu ‘laduni’ yang tidak diketahui siapapun
kecuali mereka, dan tidak bisa dicapai kecuali oleh yang menelusuri
jalan (tarekat) mereka. Kadang mereka mengaku menerima ta’wil ayat-ayat
Al-Qur’an dari Allah, kadang dari malaikat, dan lain waktu dari ilham.
Mungkin besok wahyu dan ilham itu datang melalui asap rokok. Wkwk.
Syi’ah ga kalah. Kenal dengan Al-Kulainy? Jika Anda tidak kenal, maka
samalah kita. Saya juga ga kenal. Ga pernah kenalan. Tapi, kita kenal
nama ‘Al-Kaafy’ karya si pendusta ini. Kitab Al-Kaafy adalah referensi
paling sehat bagi kaum Syi’ah Rafidhah; namun isinya semuanya kecacatan;
terutama dari segi sanad (rantai periwayatan). Dari Ja’far, dia
berkata:
“Imam itu, jika ia menghendaki untuk tahu, maka ia pasti tahu.”
[Al-Kaafy, 1/258] Di halaman yang sama dalam kitab yang sama, disebutkan
bahwa para imam itu mengetahui kapan mereka akan mati. Dan mereka akan
mati dengan pilihan mereka sendiri.
Yang paling jelek adalah kedustaan yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi
Thalib, bahwa beliau berkata:
“Aku telah diberi beberapa perkara yang
belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelum aku, hingga para Nabi.
Aku mengetahui kematian, musibah, nasab, dan kata putus. Maka tidak
lepas dariku apa yang mendahului aku dan tidak samar dariku apa yang
ghaib bagiku.”
Bokis abis. Yang benar, seharusnya Syi’ah berkata begini: “Kami telah
diberi beberapa perkara yang belum pernah diberikan kepada satu umat pun
sebelum kami, hingga para Yahudi. Kami mengetahui kapan kami harus
bermut’ah dan kapan selesainya, dan kami adalah kompilasi antara Yahudi,
Nasrani dan Majusi, memakai jubah Islami. Belum ada umat sebelum kami
yang punya prestasi Zindiqiyyah seperti kami. Inilah kami, Syi’ah
Imamiyyah ala manhaj At-Taqiyyah,
penganut paham neo-Syaithaniyyah.”
IMAMAH SYI’AH dan KEWALIAN SUFI
Mirip. Keyakinan Syi’ah perihal imam mereka serupa dengan keyakinan Sufi perihal apa yang mereka sebut wali.
Bagi Syi’ah Rafidhah, para imam itu adalah manusia-manusia pilihan di
sisi Allah untuk memimpin umat Islam setelah Rasul, memiliki ilmu-ilmu
khusus, tidak pernah salah dan tidak tahu lupa. Bahkan, kadang mereka
menjadikan imam sebagai tuhan. Al-Kuuraany pun menyatakan,
“Mentauhidkan
Allah adalah dengan berdoa memohon kepada Ali, kemudian Allah.
Barangsiapa yang berdoa memohon kepada Allah tanpa menyebut Ali, maka ia
telah berbuat syirik.” Kebalik, kan? Inilah dia salah satu bentuk
mempertuhankan imam.
Bagi Sufi Khurafiyyah, para wali itu adalah manusia-manusia pilihan di
sisi Allah untuk memimpin umat Islam setelah Rasul, memiliki ilmu-ilmu
khusus, tidak pernah salah dan tidak tahu lupa. Bahkan, kadang mereka
menjadikan imam sebagai tuhan. Makanya, anak-anak pengajian sufi dari
dulu sampai sekarang dan jangan-jangan masih terus berlanjut, paling
takjub dengan cerita-cerita khurafat tak masuk akal berkaitan dengan
para wali. Wah wah. Bisa terbang lah. Bisa berjalan sangat cepat lah.
Kecoa bisa terbang dan jika berjalan, cepat sekali.
At-Tsaiby dalam Ash-Shilah baina At-Tashawwuf wa At-Tasyayyu'
mengatakan:
"Tampaklah bahwa pengaruh Syi'ah atas Tasawwuf dalam
memutlakkan gelar wali kepada seorang guru atau orang alim. Kelompok
Rafidhah adalah yang pertama kali gunakan istilah wali kepada para imam
mereka yang dimulai dari Ali bin Abi Thalib, kemudian imam-imam lain
sesudahnya. Mereka menganggap bahwa para wali itu mempunyai ilmu laduni
dan terjaga dari dosa. Lalu anggapan ini juga digunakan oleh orang-orang
sufi. Mereka mengatakan bahwa para wali mendapatkan ilmu langsung dari
Allah dan mereka terjaga (ma'shum) dari kesalahan." [2/10]
Tetapi ketika kita bertemu dengan Anda yang seorang Sufi tulen, bukan
Sufi tumben, bukan Sufi beken dan bukan pula Sufi ngetren, jika kita
katakan, "Anda telah menganggap wali Allah itu ma'shum!", pasti Anda
akan menyangkal, "Kami tidak menganggap seperti itu!"
Dan Anda akan menggunakan istilah lain: "Mahfuuzh". Ya, para wali itu mahfuuzh, sedangkan Nabi lah yang "ma'shuum"!
Beda lafal, kosakata, huruf dan jumlahnya saja. Substansinya sama.
Menggunakan istilah 'Mahfuuzh' untuk mengecoh saja. Mahfuuzh artinya:
terjaga. Ma'shuum artinya: terjaga. Podo baek. Dua-duanya: TERJAGA (dari
kesalahan).
Bahkan, para wali malah diyakini oleh banyak dari golongan Anda (Sufi)
memiliki kelebihan, baik ritual, spiritual maupun habitual, yang tidak
pernah teriwayatkan ada pada para Nabi. Para wali ada yang bisa terbang,
misalnya. Maka, itu dianggap karamah. Jadinya, wali itu keramat. Wali
tersebut hebat sekali, bisa terbang. Pasti ajiannya mantabs jaya. Secara
spiritual, katanya wali bisa mengetahui batin muridnya. Keramat sekali.
Dapat wahyu dan bisikan dari mana? Secara habitual atau ritual, katanya
ada wali yang cukup duduk tertidur, bisa shalat Jum'at di Mekkah secara
live on the ground.
Apakah para imam dan para wali lebih keramat dari para Nabi?
Tanyakan pada Ahli Khurafat: Syi'ah dan Sufi.
KONSEP HULULIYYAH DAN WIHDATUL WUJUD
Dalam Al-Luma’, sebuah kitab yang Sufi bangeeeet, diceritakan bahwa Abu
Yazid Al-Busthamy berkisah,
“Suatu kali Allah mengangkatku dan
mendirikanku di hadapan-Nya. Dia berfirman padaku, “Wahai Abu Yazid,
sesungguhnya makhluk-Ku cinta melihatmu.” Lalu aku (Al-Busthamy)
berkata,
“Hiasilah diriku dengan keesaan-Mu, kenakanlah padaku ego-Mu,
dan angkatlah aku kepada ketunggalan/keesaan-Mu! Sehingga, ketika
makhluk-Mu melihatku, mereka berkata, “Kami melihat-Mu”. Sehingga Engkau
ada di sana, dan tiada aku di sini.”
Di antara aliran Syi’ah Rafidhah, ada yang menilai bahwa Ruh Allah
bersemayam dalam diri para imam, seperti yang dikatakan oleh Ismailiyyah
dan Nashiriyyah. Aqidah ini sendiri dianut oleh kaum Sufi berkenaan
dengan orang yang mereka sebut wali. Sebagaimana Syi’ah Rafidhah
mencomot sifat-sifat ketuhanan untuk para imam, demikian pula kaum sufi
mencomot sifat-sifat ketuhanan untuk para wali yang mereka percayai.
Pernah saya mendengar Syi’ah Rafidhah mengimani bahwa para imam Syi’ah
itu terkandung di dalam diri mereka asmaa’ (nama-nama) Allah; sehingga
mereka pun seolah bisa disifati sebagaimana sifat-sifat Allah. Contoh:
- Allah adalah AR-RAHIIM, Maha Penyayang, maka sifat itu ada pada
diri para imam, menurut mereka. Adapun ulama mereka saat ini memang
sangat penyayang. Ya, penyayang pada istri-istri orang. Sekali naksir
langsung lamar mut’ah semaunya.
- Allah adalah AL-GHANIY, Maha Kaya, maka sifat itu ada pada diri
imam, menurut mereka. Adapun ulama mereka saat ini memang sangat kaya,
karena menarik ‘pajak’ khumus dari setiap pengikutnya. Benar-benar
lintah.
Nah, sekarang bagaimana dengan nama-nama Allah berikut:
- Allah adalah AL-MUTAKABBIR. Hanya Allah yang patut untuk
takabbur; karena Dia-lah pemilik segala keagungan. Apakah imam-imam
Syi’ah itu punya sifat takabbur? Ayo, jawablah, Syi’ah. Imam-imam kalian
apakah sombong? Kalau ulama kalian memang somse (sombong sekali);
secara tidak akan mau mengambil dalil.
- Allah adalah ILAAH, Yang Berhak Disembah. Nah, sekarang, apakah
imam-imam kalian memiliki sifat ‘berhak disembah’? Jawablah, wahai
Syi’ah. Tapi, memang sebenarnya Anda menyembah imam-imam Anda, bukan?
Anda mengagungkan kuburan mereka, bukan? Jikalau belum kesampaian, Anda
berharap bisa pergi ke kuburan mereka untuk ‘menyembah’nya, bukan?
Berawal dari konsep hulul (Inkarnasi), kaum Sufi menentukan tujuan
tasawufnya untuk berserupa dengan sifat-sifat Allah menurut kepercayaan
mereka. Sehingga, setiap sufi dari mereka menjadi tuhan yang mengetahui
setiap sesuatu dan mengaturnya. Keadaan ini berlangsung pada mereka
hingga pada akhirnya mereka sampai pada paham wihdatul wujud. Ia adalah
paham yang menyatakan bahwa sesungguhnya setiap sesuatu adalah Allah!
Dan Allah adalah yang ada di alam wujud seorang diri, yang tiada sesuatu
lain bersamanya.
Keyakinan tercela semacam ini selalu saja diklaim ‘hanya dimengerti oleh
orang tertentu yang telah mencapai maqam puncak ajaran sufistik’. Cuih.
Jeleknya, mereka selalu saja tidak mengungkapkannya kecuali dengan
ungkapan-ungkapan samar yang tidak dapat dipahami orang berakal, kecuali
orang yang mengikuti titian mereka.
Konsep yang dahulu pada zamannya dipropagandakan oleh Al-Hallaj dan Ibnu
Araby ini pun merasuk ke Indonesia. Orang-orang inilah yang dahulu
berjasa menyebarkan paham ihdatul Wujud:
- HAMZAH FANSURI, salah satu tokoh sufi penting di Nusantara yang
hidup pada abad ke-16 Masehi. Diklaim sebagai pembawa doktrin
Wujudiyyah. Terpengaruh besar oleh para sufi Persia, seperti
Al-Busthamy, Al-Hallaj, Fariduddin Aththar, Al-Junaid, Ibn Araby, dan
Jalaluddin Rumi. Salah satu bagian syairnya:
Tuhan kita tiada bermakan
Zahir-Nya nyata dengan rupa insan
Man arafa nafsahu suatu burhan
Faqad Arafa Rabbahu terlalu bayan
Terinspirasi dari hadits palsu: “Man Arafa Nafsahu faqad Arafa Rabbahu”
(Barangsiapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan kenal Rabb-nya).
Buka:
http://dirasat-hadits-dan-tarikh.blogspot.com/2013/02/hadits-palsu-populer-005-siapa-kenal.html
- SYAMSYUDDIN AS-SUMATRANY, merupakan tokoh penting setelah masa Hamzah Fansuri. Dalam salah satu risalahnya, dia berkata:
“Segala sesuatu tidaklah berwujud kecuali dengan Dia karena semuanya itu
hanya berwujud dengan Allah. Dan Allah membuat segala sesuatu itu
berdiri tegak atau berwujud. Segala sesuatu (dari alam) pada esensinya
adalah fana (tidak ada), tapi berwujud dengan Tuhan. Tuhan berwujud
dengan zat-Nya sendiri. Dialah tegaknya segala sesuatu, maka Dia adalah
penegak segala sesuatu.”
Ada tokoh lain sebenarnya, seperti Syaikh Al-Mutamakkin. Namun, dua tokoh di atas lebih masyhur.
Ada juga satu tokoh yang justru sebenarnya paling masyhur, yaitu Syaikh
Siti Jenar, atau seringkali dikenal sebagai Syaikh Lemahabang. Namun,
sebenarnya, cerita tentang Syaikh ini penuh distorsi dan tak ada satu
pun warisan kuno yang secara absolut, meyakinkan dan tak tersangkalkan
menjabarkan kenyataan sebenarnya tentang jati dirinya. Apakah dia ini
memang penganut paham Wihdatul Wujud, sebagaimana yang selama ini
diyakini banyak orang? Justru buramnya literatur mengenai orang ini,
tidak menegaskan hal itu. Meskipun masyhurnya dia dihukum mati oleh
beberapa dari Wali Songo disebabkan ajaran sesatnya yang menular banyak
ke manusia. Tapi, ini tidak bisa dipastikan benarnya. Semua cerita
tentang Syaikh Siti Jenar sebenarnya simpang siur. Kemasyhuran cerita
Syaikh Siti Jenar dimanfaatkan oleh para pemilik syahwat perut dan
kemaluan berkedok kewalian dan keturunan suci saat ini. Dimanfaatkan
pula oleh antek-antek liberal; karena konsep liberalisme telanjang yang
mereka pesonakan beberapa tahun silam sudah mulai menjenuhkan dan basi.
Kini mereka sedang ingin menggunakan gaun kewalian, merangkul ormas yang
konon cuma satu-satunya golongan Ahlus Sunnah di negeri ini dan paling
punya wali. Aaargh!
Penulis: Ustadz Hasan Al Jaizy
Sumber : Alamiry.net
Beberapa Kesamaan Lainnya
- Kaum Syi’ah mengaku memiliki ilmu khusus yang tidak dipunyai kaum muslimin selain mereka. Mereka menisbatkan kedustaan ini kepada Ahlul bait dengan seenak perutnya. Mereka juga mengklaim memiliki mushaf (Al-Qur‘ân) tersendiri, yang mereka sebut Mushaf Fathimah. Menurut keyakinan mereka, mushaf ini memiliki kelebihan tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan Al- Qur‘ân yang ada di tangan kaum muslimin.[2] Mereka menganggap Muhammad diutus dengan tanzil, sedangkan Ali diutus dengan takwil.[3]
- Demikian pula orang-orang Sufi, mereka menganggap memiliki ilmu hakikat. Sedangkan orang dari luar kalangan mereka, hanya baru sampai pada tingkat ilmu syariat. Mereka beranggapan, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan ilmu laduni kepada mereka, saat orang-orang selain mereka mesti menimba ilmu dengan susah payah dari para ulama. Bahkan salah seorang tokoh Sufi , yaitu al-Busthami sampai berkoar: “Kami telah menyelam di dalam lautan ilmu, sementara para nabi (hanya) berdiri di tepinya”.[4] Demikian, persamaan antara Sufi dan Syi’ah dalam masalah ilmu kebatinan.
=============
- Orang-orang Syi’ah mengkultuskan imam-imam mereka dan menempatkan imam-imam itu dengan kedudukan yang lebih tinggi dari para malaikat dan para rasul. Mereka mengatakan, para imam adalah katub pengaman bagi penduduk bumi sebagaimana bintang-bintang menjadi pengaman bagi penduduk langit. Apabila para imam diangkat dari muka bumi -walaupun sekejap- maka bumi dan para penduduknya ini akan hancur.[5]
Khumaini, salah seorang tokoh besar Syi’ah berkata: “Di antara keyakinan madzhab (baca: agama) kami, bahwasanya imam-imam kami memiliki kedudukan yang tidak bisa diraih, sekalipun oleh para malaikat dan para rasul”.[6]
Bahkan orang-orang Syi’ah memberikan sifat ketuhanan kepada para imam itu, dan menganggap mereka mengetahui segala sesuatu, meski sekecil apapun di alam ini.
- Sifat seperti ini pula yang disematkan orang-orang Sufi kepada orang-orang yang mereka anggap sebagai wali. Katanya, “para wali” itu ikut berperan dalam pengaturan alam semesta ini, dan mengetahui ilmu ghaib. Oleh karenanya, orang-orang Sufi membentuk suatu badan khusus yang terdiri dari para wali mereka. Tugas badan khusus ini adalah mengatur alam dan seisinya.
Dengan pernyataan ini, maka tidak tersisa lagi hak pengaturan alam semesta bagi Allah Ta’ala. Padahal, hanya milik Allah ‘Azza wa Jalla hak untuk mencipta dan mengatur segala urusan. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.
- Anggapan bahwa agama ini memuat perkara zhahir dan batin telah menjadi kesepakatan antara Syi’ah dan Sufiyyah. Menurut mereka, hal yang batin adalah suatu hakikat yang tidak diketahuinya kecuali oleh para imam dan para wali. Sedangkan yang zhahir ialah apa yang terdapat dalam masalah nash-nash yang dipahami oleh orang kebanyakan.
Dr. Abu al-’Ala’ al-’Afifi menjelaskan kronologi munculnya anggapan batil ini yang merasuki aqidah Islamiyyah dengan berkata :
“Munculnya pembagian agama kepada syariat dan hakikat, ialah ketika ada pembagian agama menjadi zhahir dan batin. Pembagian seperti ini tidak dikenal oleh kaum muslimin generasi pertama. Pemikiran seperti ini muncul ketika Syiah mengatakan bahwa segala sesuatu memuat perkara yang zhahir dan batin. Al-Qur`ân pun demikian. Bahkan menurut anggapan mereka, setiap ayat dan kalimat Al-Qur`ân mengandung pengertian zhahir dan yang batin. Dan hal-hal yang batin ini tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali orang-orang khusus dari para hamba Allah, yang khusus dipilih untuk memperoleh keutamaan ini. Semua rahasia Al- Qur`ân akan terbuka untuk mereka. Oleh karena itu, mereka memiliki metode khusus dalam menafsirkan Al-Qur`an yang akhirnya melahirkan kumpulan-kumpulan takwil kebatinan terhadap nash-nash Al-Qur`an dan bisikan-bisikan khayalan mereka yang dikenal dengan istilah ilmu bathin. Menurut mereka, hasil penafsiran diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam kepada ‘Ali bin Abi Thâlib. Lantas diwariskan dari beliau kepada orang orang yang memiliki ilmu batin yang menamakan diri mereka dengan sebutan al-Waratsah (para ahli waris).
Demikian pula orang-orang Sufi, mereka menempuh jalan takwil ini dalam memahami Al- Qur‘ân, dan banyak mengambil istilah yang dipakai oleh orang-orang Syi’ah. Dengan demikian, kita mengetahui hubungan yang begitu erat antara orang Syi‘ah dan orang Sufiyyah”.[7]
- Pengagungan terhadap kuburan serta kunjungan kepada makam-makam merupakan salah satu dasar akidah Syiah. Mereka itulah golongan pertama yang membangun kuburan dan menjadikannya sebagai syiar mereka.[8]
Kemudian muncul orang-orang Sufi yang syiar terbesarnya adalah pengagungan terhadap kuburan, membangun dan menghiasinya, melakukan thawaf mengelilinginya meminta berkah dan meminta pertolongan kepada penghuninya. Bahkan kuburan Ma’rûf Al Kurkhi, seorang tokoh Sufi diyakini menjadi obat yang mujarab.[9]
Untuk mengetahui lebih mendetail mengenai hubungan erat antara golongan Syiah dan Tarekat Sufi, Dr. Kâmil Asy Syaiby telah membukukan sebuah kitab melalui pendekatan historis yang berjudul ash- Shilah Bainat Tashawwufi Wat Tasyayyu’.
Sisi persamaan antara Syiah dan Sufi tidak terbatas pada dimensi perkataan dan keyakinan saja. Akan tetapi juga merambah pada sepak terjang nyata yang dapat disaksikan lewat sejarah.
Kaum Syiah bahu-membahu dengan musuh (pasukan Mongol) untuk menghancurkan Daulah Islamiyyah ‘Abbasiyyah. Mereka kemudian menyebarkan ajaran zindîq dan ilhâd (kekufuran). Sampai pada akhirnya, Shalâhuddin al-Ayyubi Rahimahullah berhasil menumpas salah satu dari kelompok mereka yaitu rejim al-’Ubaidiyyah yang berakar pada ajaran Majusi (penyembah api). Maka, kembalilah Daulah Islam ke pangkuan kaum muslimin.
Dan lagi, ketika kaum muslimin berusaha untuk membersihkan Daulah Islam dari para Salibis (kaum Nashara), orang syiah Rafidhah, Nashîr ath-Thûsi dan Ibnul ‘Alqami justru membantu pasukan Mongol untuk masuk ibukota Daulah Islamiyyah, Baghdad. Maka, timbullah kerusakan dan pembantaian kaum muslimin dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya.
Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata :
“Musuh-musuh Islam, mereka berhasil masuk Baghdad karena bantuan dari kaum munafikin seperti kaum Isma’iliyyah dan Nushairiyyah (dari golongan Syiah pent). Mereka berhasil menguasai negeri Islam, menjadikan para wanita sebagai tawanan, merampas harta, menumpahkan darah dan kejadian memilukan lainnya. Ini dialami oleh kaum muslimin karena bantuan yang mereka berikan kepada musuh-musuh Islam……[10]
- Demikian pula yang dilakukan oleh kaum Sufi. Setali tiga uang. Mereka juga banyak membantu musuh-musuh Islam untuk merebut negeri Islam dari tangan kaum muslimin. Sebagai contoh, ketika mereka membantu tentara Perancis untuk merebut kota Qairawân. Begitu pula, campur tangan mereka dalam mendukung pasukan Perancis menginjakkan kakinya di bumi negeri Aljazair. Bahkan salah seorang tokoh mereka, Syaikh Muhammad at-Tijâni, penerima amanat Ahmad At-Tijâni (pendiri golongan Tijâniyyah) untuk memegang tongkat kepemimpinan setelahnya, mengatakan pada tanggal 28 Dzulhijjah 1350 H : “Sesungguhnya wajib bagi kami untuk membantu tentara Perancis, yang kami cintai, baik secara materi, maknawi dan politis. Oleh karena itu, saya nyatakan di sini dengan penuh rasa bangga dan tanggung jawab bahwa kakek moyangku telah memilih jalan yang benar ketika mendukung pasukan Perancis sebelum mereka datang ke negeri kita, dan sebelum menjajah wilayah-wilayah kita”.?!
Masih banyak lagi peristiwa lain yang sangat merugikan kaum muslimin yang didukung baik dari kaum Syiah ataupun golongan Sufi. Ahli sejarah Islam, Ibnu Khaldûn Rahimahullah telah menyinggung perihal tersebut dalam tulisannya. Inilah beberapa titik persamaan Syiah dan Tarekat Sufiyyah sehingga jelaslah bagi kita bahwa mereka berasal dari sumber yang satu. Wallahul Musta’ân.
[Dikutip dari al-Jamâ’at Al Islâmiyyah Fi Dhauil Kitâbi Was Sunnah Bifahmi Salafil Ummah karya Syaikh Saliim bin Id al-Hilâli hlm. 115-127 , Dârul Atsariyyah Th. 1425H-2004M dengan ringkasan.]
2 Ad-Dîn Baina Sâil Wal Mujîb karya Al-Hajj Mirza al-Hairi al-Ahqaqi hal 89
3 Firaq asy-Syîah hal 38
4 al-Futûhât al-Makkiyah 1/37
5 Kamâluddin Tamâmunni’mah Ibnu Babuyah al-Qummi 1/208
6 al-Hukûmah al-Islâmiyah 53
7 At-Tasawwuf Wats-Tsaurah Ar-Rûhiyyah Fil Islâm
8 Rasâil Ikhwân Ash Shafâ
9 Thabaqât as- Shûfiyyah, as-Sulami hal 85
10 Minhâjus Sunnah An-Nabawiyyah 1/10-11
Sumber: Salafiyunpad.wordpress.com
Emang kembar tiga Aswaja,Sufi,Tariqah,senangnya dengan alam kubur/alam Jin,tetapi kalau ngomong katanya ala gaib,padadal yg mengetahui alam gaib itu Allah saja.Ayat ayat Al Qur'an dirumuskan untuk Mujarobat,dicampur aduk antara yang haq sama Ra'yu.
BalasHapus