728x90 AdSpace

Pos Terbaru

Siapa Wali Allah? Menggapai Jenjang Perwalian


Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para shahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.

عَن أبي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله  صلى الله عليه وسلم: قال: إنَّ اللهَ قال مَنْ عادَى لِيْ وَلِياً فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبُّ إلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَ لاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَى أُحِبُّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعُهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرُهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدُهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلُهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ لَأُعِيْذَنَّهُ رواه البخاري


Terjemahan hadits:
“Dari Abu Hurairah رضي الله عنه ia berkat, ‘Telah bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم; “Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan Sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai  tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya.’”

Hadits ini dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahinya, hadits no: 6137.

Hadits ini disebut juga hadits qudsi, karena Nabi صلى الله عليه وسلم meriwayatkan perkataan Allah secara langsung. Adapun perbedaan antara hadits qudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat; yang masyhur dikalangan para ulama adalah bahwa hadits qudsi lafadz dan maknanya datang langsung dari Allah adapun hadits biasa lafadznya dari Nabi صلى الله عليه وسلم sedangkan maknanya dari Allah subhaanahu wa Ta’ala. Kemudian apa perbedaan antara hadits qudsi dengan Alquran? Karena keduanya sama-sama datang dari Allah baik lafadz maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaanya adalah Alquran mendapat pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits qudsi mendapat pahala dengan memahami dan mengamalkannya. Namun sebagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tampa ilmu. Wallahu a’alam bissawaab.

Shahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah Abu Hurairah رضي الله عنه, shahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

Nama beliau: Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang khaibar tahun ke 7 H. dan meninggal dunia pada tahun 57 H.

Mengapa beliau shahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits?
  • Pertama: berkat doa Nabi صلى الله عليه وسلم kepadanya, agar setiap hadits yang ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya.
  • Kedua: ia selalu bersama Nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari Nabi  adapun para shahabat yang lain mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka.
Imam Adz Dzahaby menyebutkan dalam kitab “Siyyar”, seseorang bertanya kepada Thalhah bin Ubaidillah: Kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Thalhah: adapun tentang ia mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan pekerjaan, kami datang menemui Rasululllah صلى الله عليه وسلم hanya pada dua penghujung hari (pagi dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu dipintu rumah Rasululllah صلى الله عليه وسلم, tangannya selalu bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami tidak mendegarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatan Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya: aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya kerumah-rumah istri Beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang beliau,  maka oleh sebab itu (demi Allah) aku menjadi orang yang paling tahu dengan hadits-hadits beliau.

Kandungan hadits
Hadits diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:

Pertama: Tentang al wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri).
Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya.”

Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Allah dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para shahabat, sebab Mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya Mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar. atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang Shiffin dan Jamal.

Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang –orang Ahlu bid’ah kepada AhlusSunah, atau kebencian orang-orang munafiqin dan kafirin kepada umat Islam. Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan Sunah tersebar dikalangan umat manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh AhlusSunah. Orang yang paling nomor satu dalam memusuhi wali-wali Allah adalah kaum Rafihdah (Syi’ah), Mereka sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari seluruh wali Allah setelah para Nabi dan Rasul yaitu para shahabat yang mulia. Mereka orang-orang Rafidhah mengkafirkan dan mencaci para shahabat yang telah berjuang dijalan Allah untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga Mereka.

Imam Asy Sya’by mengungkapakan bahwa kebencian Rafidhah kepada para wali Allah melebihi kebencian Yahudi dan Nasrani kepada para wali Allah, “Bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu?” Ia akan menjawab, “Sahabat Musa”. Begitu pula bila engkau bertanya kepada seorang nasrani, “Siapa generasi terbaik agamamu?” Ia akan menjawab: “Sahabat Isa”. Tapi bila engakau bertanya kepada seorang Rafidhah, “Siapa generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab, “Shahabat Muhammad.”

Oleh sebab itu, Imam Abu Hatim Arraazy berkata, “Sebetulnya mereka itu ingin membatalkan Alquran dan Sunah, tapi Mereka tidak mampu maka mereka ingin mencela orang yang menyampai Alquran dan Sunah supaya bisa membatalkan Alquran dan Sunah, tapi mereka (orang syi’ah) itu lebih berhak untuk dicela, mereka itu adalah orang-orang zindik.

Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai kelompok yang melenceng dari Sunah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama mereka bisa bertukar disetiap tempat dan disetiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau pengikut Sunah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu Mereka baru bisa memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu melecehkan atau meremehkan para penegak Sunah, supaya bila label jelek ini sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar nasehat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkan kepada mereka.

Sekarang kita kembali kepada taufik utama kita, yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Allah itu? bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, adapula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu disini.

Pengertian wali


Wali secara etimologi berarti dekat.
Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama Ahlussunah, Wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan Nabi.

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertakwa adalah disebut wali Allah, dan wali Allah yang paling utama adalah para Nabi, yang paling utama diantara para Nabi adalah para Rasul, yang paling utama diantara para Rasul adalah Ulul ‘Azmi, yang paling utama diantara Ulul ‘Azmi adalah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Maka para wali Allah tersebut memiliki perbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Allah.

Maka dapat disimpulkan disini bahwa wali-wali Allah terbagi kepada dua golongan;

Golongan petama: Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang dekat dengan Allah). Yaitu Mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (Sunah) serta menjauhi hal-hal yang makruh disamping melakukan hal-hal yang wajib.

Sebagaimana lanjutan hadits “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan Sunah hingga Aku mencintainya.”

Golongan kedua: Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh.

Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits diatas, “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.”

Kedua golongan ini disebutkan Allah dalan firman-Nya,
{فَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ . فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ . وَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ أَصْحَابِ الْيَمِينِ . فَسَلَامٌ لَّكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ}
“Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan.” (Q.S. Al Waaqi’ah: 88-91).

Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan mereka kepada dua bagian; wali Allah dan wali setan. Maka untuk membedakan diantara kedua jenis wali ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar menurut Alquran dan Sunah maka dia adalah wali Allah sebaliknya bila amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid’ah maka dia adalah wali setan. Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.

Ciri-ciri Wali Allah


Allah telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firman-Nya,
{أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ}
“Ingatlah, sesungguhnya para wali-wali Allah mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertakwa.” (Q.S. Yunus: 62-63).

Ciri pertama: Beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapakan dua kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Allah. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah, atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan penutup segala Rasul dan Nabi.

Ciri kedua: Bertakwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist ini yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan Sunah. Maka oleh sebab itu, kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Allah maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali Setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun zikir, dll.

Ciri-ciri Wali Setan


Adapun ciri wali Setan adalah orang yang mengikuti kemaun Setan, mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk  kemaksiatan. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Allah. Banyak cara Setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdoa atau meminta dikuburan wali, Setan langsung membisikan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.

Sebagaimana Allah terangkan dalam firman-Nya bahwa Setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka,
{وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ}
“Sesunguhnya Setan-setan itu mewahyukankan kepada wali-wali mereka untuk membantahmu, jika kamu mentaati Mereka sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin”. (Q.S. Al-An’aam: 121).

Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdoa dikuburannya, justru ini adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali disisi Allah dengan kehormatan seorang Nabi? Jelas Nabi lebih tinggi.

Jangankan meminta kepada wali kepada Nabi sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja Nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati! Kalau hal itu benar tentulah para shahabat akan berbondong-bondong kekuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat pace klik terjadi di Madinah Umar bin Khatab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan Nabi, bukanya Umar meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam dunia.

Kemudian bentuk lain dari cara Setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotifasi seseorang melakukan amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat masyhur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan Sunah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian diakhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jumat? adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat jum’at.

Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan Setan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan Setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan diatas air atau tahan pedang atau bisa memberi tau tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalanya apakah amalanya sehari-hari menurut Sunah atau tidak?

Sebagaimana dikatakan Imam Syafi’I,
“Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan Sunah (mengikuti ajaran Nabi pent).”

Karena Setan bisa membawa seseorang untuk terbang, atau memberitau para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang diakhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara Setan. Dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad, dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipuan Setan.

Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang Nabi palsu Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, yang mengaku sebagai Nabi. Ketika ia mengaku bahwa dia menerima wahyu, lalu seseorang menceritakannya kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang shahabat tersebut menjawab, “Benar,” Kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman Allah,

{هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ . تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ}
“Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para Setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa. “ (Q.S. Asy Syu’araa: 221-222).

Dan yang lain menbaca firman Allah,
{وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ}
“Dan sesungguhnya para Setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu.” (Q.S. Al An’aam: 121).

Oleh sebab itu, bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenaranya dengan Alquran dan Sunah.

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari Setan dan bisikan dari malaikat.” (H.R. At Tirmizy no: 2988).

Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany, “Boleh jadi terbetik dihatiku apa yang terbetik dihati mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan Sunah.”

 
Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yaitu:
  1. Berasumsi bahwa seorang wali itu maksum (terbebas) dari segala kesalahan,  sehingga Mereka menerima segala apa yang dikatakan wali.
  2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki  karomah (kekuatan luar bisa).
  3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.
Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat jauh dari kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para Nabi dan Rasul dalam hal menyampai wahyu yang Mereka terima.

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat.”  (HR. At Tirmizi no: 2499).

Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang kedalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari Nabi sebagaimana pandangan orang-orang Rafidhah (syi’ah) dan sebagian dari orang-orang sufi. Sebagaimana seorang kyai sufi mengaku bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang mencium lututnya ketika ia saat di Raudhah?! Yang lebih aneh lagi adalah banyaknya orang yang percaya dengan kebohongan yang amat nyata tersebut?! Oleh sebab itu kebanyakan Mereka mengkultuskan sang kyai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh sang kiyai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Alquran dan Sunah.
Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan dokrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.

Bentuk kedua dari kesalahpahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan Setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali.

Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan,
“Jadilah engkau penuntut istiqamah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, dan tuhanmu menuntut darimu istiqomah.”
Betapa banyaknya para shahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia disisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai onta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena Mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula Mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah Mereka menerima waktu  didunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila Mereka di beri karomah, Mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbagga diri dihadapan orang lain.

Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Allah,
{وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُو}
“DisisiNya (Allah) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Allah)”. (Al An’aam: 59).

Dan firman Allah,
{قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّه}
“Katakanlah! Tiada seorangpun di langait maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Allah.” (An Namal: 65).

Termasuk para Nabi dan Rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada Mereka.  Sebagaimana firman Allah kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
{قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ}
“Katakanlah! ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa disisiku gudang-gudang rezki Allah, dan akupun tidak mengetahui hal yang ghaib.’” (Al An’aa: 50)

Dan firman Allah,
{قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ}
“Katakanlah! “Aku tidak memiliki untuk diriku mamfaat dan tidak pula (menolak) mudarat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang ghaib tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekkan.” (Al A’raaf: 188).

Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah, atau meminta dan berdoa kepada wali yang sudah mati yang Mereka sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh 'Alaihissalam.  Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa Mereka pada Allah. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah 'Azza wa jalla dalam firmannya,

{أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى}
“Ingatlah; milik Allah-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata: kami tidak menyembah Mereka melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az Zumar: 3)

Manhaj yang benar dalam beribadah


Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan yang wajib diatas yang mandub (sunah), namun yang sering pula kita saksikan ditengah sebagian masyarakat Mereka sangat antusias melakukan Sunah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh berjamaah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium Hajar Aswat, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri mereka lalaikan seperti tidak mabit di Mina atau melempar jumrah dipagi hari pada hari Tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: “Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan.”

Yang lebih memprihatinkan lagi kalau bersungguh-sungguh dalam amalan yang tidak ada dasarnya (amalan bid’ah), seperti Maulid atau memperingati tahun baru Hijriah, atau Nuzul Qur’an atau Isra’ Mi’raj, sering kita saksikan orang bersemangat melakukan acara-acara bid’ah tersebut yang setiap hari selalu lalai mengerjakan shalat. Begitu pula dalam berdakwah ada yang berpacu bagaimana mendirikan negara Islam tapi meremehkan orang yang mengajak kepada tauhid yang merupakan pondasi Islam itu sendiri. Begitu pula ada kelompok yang mengajak kepada akhlak semata tanpa membicarakan masalah Tauhid, dengan alasan mengkaji tauhid akan memecah belah umat. Betapa kejinya ungkapan tersebut, mengatakan bahwa tauhid sebagai biang keladi perpecahan. Tidakkah Mereka tahu bahwa tauhid adalah tujuan utama dawah para Rasul. Data dan fakta telah membuktikan selama dakwah tidak dilakukan sesuai dengan manhaj yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama itu pula umat ini akan tetap menjadi permainan musuh-musuhnya.

Oleh sebab itu Imam Malik berpesan, “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat jaya generesi sebelum mereka.”

Beberapa kesalahan dalam melakukan ibadah


Diantara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tanpa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid’ah. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Orang beramal tanpa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya”. Oleh sebab itu, setiap  amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya.

Seperti berzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berzikir menurut tuntunan Sunah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh shahabat, jangan ikut sana, ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Allah Ta'ala pesankan kepada kita,

{فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ}
“Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu”. (An Nahl: 43).

Kalau para ikhwan ingin menjadi ahli teknik tentu belajar difakultas teknik yang para dosennya pakar dalam bidang teknik, begitu pula dalam bidang ahli lainnya, tapi saat sekarang banyak orang berani berbicara dalam agama, padahal baca alfatihah saja belum tentu benar. Banyak pakar gadungan sekarang dalam mengajarkan agama karena bisnisnya cukup mengembirakan, dan lebih sangat aneh kalau seseorang belajar Islam kepada orang kafir. Kalau sakit gigi saja kita pasti pilih dokter ahli gigi, tapi dalam hal agama kita justru belajar kepada siapa saja yang tidak tau dari mana rimbanya.

Allah telah berfirman,
{وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً}
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” (Al-Israa’: 36).

Sebaliknya adalah tidak mengamalkan ilmu yang dimiliki. Maka pelakukanya akan siksa sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah hadits bahwa orang tersebut akan mengelilingi sebuah pautan dalam neraka dengan tali perutnya, lalu orang-orang yang melihat keheranan sebab didunia dia adalah orang yang mengajarkan ilmu kepada mereka, lalu mereka bertanya, “Kenapa kamu ya si fulan? Bukankah kamu yang mengajak kami kepada kebaikan?” Ia menjawab, “Aku menyuruh kepada kebaikan tapi aku tidak melakukannya, aku mencegah dari kemungkaran tapi aku melakukannya”. Na’uzubillah min haza haal.

Allah telah berfirman,
{أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ}
“Apakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu melupakan dirimu sendiri, sedang kamu membaca Al kitab taurat), apakah kamu tidak memikirkannya.” (Al Baqarah: 44).

Oleh sebab itu, kita berselindung dari kedua sikap jelek ini, tidak kurang dari 17 kali dalam sehari semalam yaitu; beramal tanpa ilmu atau berilmu tapi tidak beramal.

{اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ}
“Ya Allah tujukilah kami Jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalan orang-orang yang engkau marahi dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat”. (Al Fatihah, ayat: 6-7).

Ayat ini ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang-orang yang dimarahi adalah orang-orang Yahudi, karena Mereka mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Sedangkan jalan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrany, karena Mereka beramal tapi tidak dengan ilmu.

Keutamaan melakukan amalan-amalan Sunah


Kemudian diantara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan dari Allah adalah aktif melakukan amalan-amalan Sunah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini.

“Bila seseorang telah dicintai Allah maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Allah telah mencintai seseorang, Allah memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai sipulan, maka Allah menyuruh jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibrilpun memberitahu para malaikat bahwa Allah mencintai sipulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Allah menjadikannya orang yang diterima di bumi.” (HR. Bukhari no: 3037, dan Muslim no: 2637).

Kemudian diantara keutamaan  amalan Sunah adalah untuk menyempurnakan amalan wajib yang punya nilai kurang dalam pelaksanaanya. Kemudian melakukan amalan Sunah perlu pula mengurut seperti dalam amalan wajib artinya kita mulai yang lebih utama dari amalan-amalan Sunah. Kalau dalam shalat umpamanya setelah Sunah rawatib shalat witir dan tahajud. Kemudian perlu pula diperhatikan kondisi dan situasi amalan tersebut, seperti saat mendengar azan yang afdhol adalah menjawab azan, bukan membaca Alquran sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. Begitu pula bagi seorang yang memiliki harta yang utama baginya adalah berinfak dan membantu fakr-miskin. Bagi seorang penguasa adalah belaku adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula halnya dalam berdakwah masing-masing melaksanakan profesi yang digelutinya sesuai dengan aturan Islam serta menyebarkan Islam melalui profesinya tersebut. Maka disini kita perlu menuntut ilmu supaya kita mengetahui tingkatan amalan yang akan kita lakukan.

Golongan Ketiga: Tentang sifat Allah  Al-Kalam (berbicara) dan Al-mahabbah (cinta).

Hal tersebut diambil dari potongan hadits, “Senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan Sunah hingga Aku mencintainya.”
  • Kaidah umum dalam beriman kepada nama dan sifat-sifat Allah.
Dalam mengimani sifat dan nama-nama Allah yang terdapat dalam Alquran dan Sunah perlu diperhatikan beberapa Kaidah penting, yang disimpulkan dari nas-nas Al Qur’ah dan hadits.
  1. Wajibnya beriman dengan seluruh sifat dan nama-nam Allah yang terdapat dalam Alquran dan Sunah yang shohih.
  2. Tidak menyerupakan sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat-sifat makhluk.
  3. Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut.

Penjelasan kaidah-kaidah tersebut sebagai berikut:
Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Alquran dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Alquran atau berita yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala,

{إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُواْ بَيْنَ اللّهِ وَرُسُلِهِ وَيقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُواْ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً}
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan Rasul-Rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Allah dan Rasul-Rasul-Nya, dan mereka berkata, kami beriman dengan sebagian dan kami kafir dengan sebagian (yang lain) dan mereka bermaksud mengambil jalan tengah diantara yang demikian.” (QS. An Nisaa: 150).

Dan firman Allah lagi,
{أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاء مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ}
“Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat Mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Allah tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan.” (Al Baqarah: 85).

Kaidah pertama ini juga menunjukkan kepada kita bahwa medan pembicaraan tentang sifat-sifat Allah adalah sebatas adanya nas dari Alquran atau dari Sunah yang sahih.

Kaidah ini menunjukkan pula batilnya sikap orang yang mentakwil ayat atau hadits-hadits yang menerangkan tentang sifat-sifat Allah.

Bila seseorang mentakwil sifat-sifat tersebut berarti ia lebih tahu dari Allah dan Rasul dalam menyamapaikan suatu berita, sehingga ia merubah maksud dari perkataan Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah kebiasan kaum Yahudi yang suka merubah dan memutar balik perkataan Allah dan Rasul-Nya. Yang kemudian diwarisi oleh kaum rasionalisme (Ahlulkalam).

Begitu pula orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk, berarti ia menyerupakan Allah yang Maha Sempurna dengan makhluk yang serba kurang. Orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk adalah kafir. Karena tiada satupun makhluk yang meyerupai Allah.

Sebagaimana firman Allah,
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ }
“Tiada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”. (QS. Asy Syura: 11).

Dan firman Allah,
{فَلاَ تَضْرِبُواْ لِلّهِ الأَمْثَال}
“Maka jangalah kamu menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah”. (QS. An Nahl: 74).

Begitu pula orang yang mempertanyakan bagaimana hakikat sifat Allah tersebut. Karena Allah itu ghaib bagaimana akan bisa mengetahui hakikat sifatnya. Tiada yang mengetahui tentang hakikat sifat Allah kecuali Allah itu sendiri. Sebagai contoh sederhana bahwa akal manusia tidak bisa mengetahui hakikat sesuatu yang amat dekat denganya yaitu nyawa (ruh) manusia itu sendiri, tidak ada seorangpun yang mengetahui hakikat sifatnya, tapi semua orang meyakini bahwa ruh itu ada. tetapi mereka tidak mampu mengetahui hakikatnya.

Jadi dalam sifat Allah kita dituntut untuk beriman atas keberadaan sifat tersebut, bukan dituntut untuk mengetahui hakikat sifat tersebut. Karena setiap sifat hakikatnya sesuai dengan zatnya masing-masing sekalipun namanya sama seperti kaki meja tidak sama dengan kaki gajah, kaki gajah tidak sama dengan kaki manusia, sekalipun namanya sama-sama kaki. Begitu pula sayab burung tidak serupa dengan sayap pesawat, begitu pula sayab burung dan sayap pesawat tidak sama dengan sayap nyamuk. Begitulah seterusnya bahwa hakikat setiap sifat sesuai dengan zatnya masing-masing. Sifat sesama makhluk saja tidak sama sekalipun namanya sama. Apalagi sifat Allah yang Maha Sempurna, tentu pasti tidak akan sama dengan sifat yang penuh kekurangan dan kelemahan.

Allah mendengar tapi pendengarnya tidak seperti pendengaran makhluk, pendengarannya sesuai dengat zat-Nya Maha Sempurna. Maka pendengar Allah Maha Sempurna dari segala pendengaran. Allah dapat mendengar bisikan hati seseorang, tapi seorang makhluk tidak bisa mendengar suara dibalik dinding. Begitulah kesempurnaan sifat Allah. Allah berbicara tapi tidak seperti makhluk berbicara. Ada orang yang memahami kalau begitu Allah punya lidah, punya tenggorokan, kemudian karena ini adalah sifat makhluk, ia mentakwil sifat tersebut.

Pertama ia menyurupakan Allah dengan makhluk, untuk selamat dari itu ia lari kepada takwil. Yang kedua-duanya adalah jalan sesat. Kalau ia mengerti dari semula bahwa Allah Tidak menyerupai makhluk dalam segala sifat-Nya, tentu ia tidak perlu lagi melakukan takwil. Banyak makhluk yang berbicara tanpa mesti memiliki lidah dan tenggorokan, seperti batu yang memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sewaktu beliau di Makkah. Begitu pula nanti diakhirat tangan dan kaki manusia akan berbicara menjadi saksi atas perbuatan Mereka tanpa ada mulut dan lidah. Oleh sebab itu yang amat perlu dipahami adalah hakikat setiap sifat sesuai menurut zatnya masing-masing sekalipun namanya satu.

Golongan Keempat: Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim.

Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan Sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai  tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.”

Kata-kata “senantiasa” menunjukkan bahwa amalan tersebut berkesenambungan yang lebih dikenal dalam istilah syar’i “Istiqamah” dalam melakukan amalan-amalan tersebut. Oleh sebab itu, dalam hadits lain disebutkan: “Sebaik-baik amal adalah yang selalu dilakukan sekalipun sedikit”. Tapi sebagian orang sering melakukan amalan pada suatu saat saja, kemudian lalu ditinggalkan.

Maksud hadits ini adalah bila seseorang istiqomah dalam melakukan amalan-amalan Sunah, ia mendapat pringkat mahabbah dari Allah, orang yang memperoleh pringkat ini Allah menuntun orang tersebut untuk menjauhi kemaksiatan, bukan berarti ia maksum dari kesalahan. Dan memberikan taufiq dan ‘inayah kepadanya untuk melakukan kebaikan dan keta’atan. Sehingga mata seseorang tersebut terjaga dari melakukan maksiat,  dari melihat kepada sesuatu yang diharamkan Allah, seperti melihat foto-foto porno dan film-film porno, dsb. tetapi dipergunakannya kepada hal yang bermamfaat baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, seperti membaca Alquran atau membaca buku-buku agama dan buku ilmu lainnya sepeti ilmu kesehatan, tenik, pertanian dst.

Kemudian Allah juga menjaga telinganya dari mendengar kata-kata yang kotor atau cumbu rayu dan nyanyi-nyanyian. Tetapi dipergunakanya untuk kemaslahatan duniawi atau kemaslahatan ukhrawi, seperti mendengarkan nasehat agama atau pelajaran di kampus dan disekolah.  Begitu pula tangannya akan dijaga Allah dari melakukan sesuatu yang haram baik dari melakukan pencurian, pembunuhan, penganiayaaan, KKN dan sebagainya. Tetapi tangannya akan dituntun Allah untuk melakukan hal-hal yang positif baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Maka dapat kita simpulkan disini bahwa amal sholeh dapat menuntun seseorang kepada segala hal yang baik sebaliknya menjaga seorang muslim dari ketejerumusan kepada kemaksiatan.

Sebaliknya orang yang lengket hatinya kepada maksiat Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatan tersebut.  Sebagaimana firman Allah,
{فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ}
“Maka tatkala Mereka berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan betul hati Mereka”. (Ash shaaf: 5).

Hal ini juga diterangkan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan sabda beliau,
“Sesungguhnya kejujuran menunjukan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukan kepada surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa berlaku jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang paling jujur. Dan sesungguhnya kebohongan menunjukan kepada kemaksiatan, dan sesungguhnya kemaksiat itu menunjukan kepada neraka, sesungguhnya seseorang senantiasa berbohong sampai dicatat di sisi Allah sebagai seoranga yang paling bohong.” (HR. Bukhary no: 5743, dan Muslim no: 2607).

Dalam hadits lain: “Sesungguhnya balasan (suatu amalan) sesuai dengan amalan itu sendiri.”
Maka jika amalannya baik, maka balasanya pun baik dan sebaliknya bila amalan tersebut jelek maka balasannyapun jelek. Oleh sebab itu sebagian ulama mengatakan sebaik-baik balasan sebuah amal shaleh adalah amal shaleh yang mengiringinya, suatu hal yang menunjukkan bahwa sebuah amalan diterima disisi Allah adalah keta’atan yang diiringi oleh ketaatan.

Kekeliruan orang sufi dalam memahami makna hadits ini 

 
Sebagian orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok ekstrim dari orang-orang sufi, Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan paham ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Alquran dan Sunah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, pelihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sfat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya terjepit atau tangannya terjepit, maka yang terpit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau penedengaran dan penglihatannya kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau benar apa yang Mereka pradiksi tentu tidak ada disana lagi istilah hamba dan khlaik. berarti makluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini adalah kekafiran yang amat nyata.
 
Tentu akan dipahami dari kelanjutan hadits tersebut yang berdoa adalah hamba, dan yang mengabulkan permintaanya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan makhluk, atau menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan Khalik. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:
 
Seperti yang terdapat di penghujung hadits bahwa Allah berkata, “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya.”
 
Jadi jelas ada disana dua pelaku yaitu hamba yang meminta dan Allah yang memperkenangkan permintaannya. Begitu pula ada hamba yang memohon perlindungan dan Allah yang memberi perlindungan kapadanya. Oleh sebab itu telah berkata sebagian ulama: Bila seseorang bedalil untuk kebatilannya dengan Alquran atau hadits shohih, maka sesungguhnya dalam dalil itu sendiri sudah ada jawaban untuk menunjukkan kebatilannya. 

Manhaj ulama dalam memahami nash-nash yang mutasyabih (meragukan) 


Perlu pula kita ingatkan disini, bila salah seorang di antara kita menemukan suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah “Raddul Almutasyaabih ila Albayyinaat, wa Almujmal ila Almufashshal”  (mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang global kepada yang rinci).”

Golongan Kelima: Balasan yang diberikan Allah untuk orang yang selalu taat pada Allah.

Hal tersebut diambil dari potongan: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya.”

Dari potongan yang terakhir dari hadits ini bahwa para wali itu hanya berdoa dan memohon perlindungan hanya kepada Allah. Bukan kepada para wali, begitu pula wali yang mendapat kedudukan yang terhormat disisi Allah bukanlah tempat untuk meminta kebaikan atau untuk sebagai tempat memohon perlindungan dari mara bahaya. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam yang tertipu oleh kewalian seseorang, sehingga telah menyeret Mereka berbuat syirik kepada Allah. Sekalipun wali namun ia tetap tidak bisa mendatangkan kebaikan maupun menolak keburukan dari dirinya sendiri kecuali atas pemberian Allah kepadanya. Juga wali bukan sebagai tempat perantara kepada Allah dalam berdoa, karena bila menjadikan Mereka sebagai tempat perantara berarti telah menyekutukan Mereka dengan Allah. Sebagaimana kebiasaan umat Nabi Nuh 'Alaihissalam yang telah menjadikan orang-orang sholeh Mereka sebagai tempat perantara dalam berdoa kepada Allah.

Akhir hadits ini juga menerangkan keutamaan wali Allah, bahwa Allah selalu mencurahkan rahmat dan kebaikan kepada orang tersebut serta  selalu menjaganya dari berbagai bahaya dan bencana. Lalu mungkin akan timbul suatu pertanyaan dalam benak kita kenapa kita melihat kadangkala para wali Allah itu juga ditimpa kejelekkan dan penyakit seperti Nabi Ayub yang ditimpa penyakit begitu pula Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kalah dan cidera dalam perperangan Uhud? Dan banyak lagi contoh-contoh serupa baik ditingkat para Nabi dan Rasul maupun ditinggkat para shahabat dan Tabi’in?. Jawabannya adalah sebagaimana berikut:
  1. Diantara hikmahnya adalah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa tidak memiliki sedikitpun sifat-sifat ketuhanan. Sehingga tidak terjadi pengkultusan terhadap mereka.
  2. Diantara hikmahnya juga adalah untuk mengangkat derajat mereka di sisi Allah, sebagai balasan atas kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai cobaan tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Bahwa seseorang itu akan diberi cobaan sesuai dengan tingkat keimanannya.” (HR. At Tirmizy no: 2398). Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang tersebut semakin besar pula cobaan yang akan dihadapinya.
  3. Diantara hikmahnya lagi adalah untuk menunjukkan bahwa segala yang terjadi di muka bumi ini adalah atas kehendak Allah, dan tidak ada sedikitpun campur tangan seorangpun dari makhluk, sekalipun ia Nabi atau wali.

Kekeliruan sebagian orang dalam masalah berdoa.


Ada beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi dikalangan sebagian sekte sufi yang mana Mereka menolak untuk melakukan berdoa dengan alasan bahwa segalanya telah ditakdirkan Allah, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni surga ya… sudah pasrah saja sama takdir.
Kekeliruan paham seperti ini banyak sekali diantaranya:

Pertama: Berdoa merupakan perintah dari Allah, kalau manusia cukup pasrah kepada takdir tentu Allah tidak akan menyuruh kita kepada sesuatu hal yang sia-sia.

Kedua: Bukankah orang yang paling mengerti dengan masalah takdir adalah para Nabi dan Rasul termasuk Rasul yang paling agung Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa Mereka masih berdoa, kalau doa adalah perbuatan sia-sia tentu Mereka tidak akan melakukannya apa lagi menganjurkannya.

Ketiga: Berdoa disamping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, “Doa adalah ibadah.”
Dalam riwayat lain, “Doa adalah otaknya ibadah.” (HR. At-Tirmizy no: 2969, 3247, 3371).

Keempat: Doa adalah termasuk dari jumlah takdir. Karena takdir Allah ada dua: Takdir kauniyah dan takdir syar’iah .

Perbedaan antara keduanya adalah:
Takdir kauniyah adalah ketentuan Allah yang mesti terjadi pada setiap makhluk tetapi tidak mesti hal yang ditetapkan tersebut sesuatu yang dicintai Allah. Adapun takdir syar’iyah adalah sebaliknya, ia adalah segala perintah Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, tidak mesti terjadi, dan ia merupakan sesuatu yang dicintai Allah. Oleh sebab itu yang harus kita lakukan adalah melawan takdir kauniyah dengan takdir syar’iah sebagaimana yang terangakan oleh para ulama. Sebagaimana ungkapan Amirul mukminin Umar bin Khatab: “Kita lari dari takdir Allah kepada Takdir Allah yang lain”.

Kemudian beliau memberi contoh bila seandainya kamu mengembala kambing lalu menemukan padang rumput yang kering, apakah kamu tidak akan mencari padang rumput yang subur?

Kelima: Doa adalah sebagai sebab yang diperintahkan Allah untuk dilakukan, sebagaimana makan sebagai sebab untuk kenyang, Barangsiapa yang meninggalkan sebab berarti ia telah membuang fungsi akal, begitu pula orang bergantung kepada sebab semata adalah syirik.

Kemudian diantara kesalahan lain dalam berdoa adalah eksrim dalam berdoa, yaitu melampaui batas dalam berdoa. seperti berdoa agar Allah menjadikan gunung kelud jadi gunung emas, atau berdoa agar Allah memberinya keturunan tanpa menikah dan yang seumpamanya.

Maka diantara sikap wali Allah adalah tidak meninggalkan berdoa dan tidak pula eksrim dalam berdoa serta ikhlas dalam berdoa hanya ditujukan kepada Allah semata.

Ringkasan kandungan hadits wali


Hadits diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
  1. Tentang al walak wal barak  (loyalitas dan berlepas diri).
  2. Bagaimana mendekatkan diri kepada Allah.
  3. Tentang sifat Allah: Al Kalam (berbicara) dan Al mahabbah (cinta).
  4. Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim.
  5. Balasan yang diberikan Allah untuk orang yang selalu taat pada Allah.
  6. Hadits diatas juga memberikan support secara tidak langsung kepada kita untuk menjadi wali Allah atau menjadi penolong wali Allah yang hak.
  7. Kemudian hadits ini juga menunjukkan suatu kelaziman yang berbalik yaitu memusuhi musuh-musuh Allah karena tidak akan mungkin seseorang menjadi wali Allah atau menjadi penolong wali Allah sementara ia juga berloyalitas kepada musuh Allah atau kepada musuh para wali Allah. Ini sudah suatu kelaziman yang secara otomatis pasti. Kalau tidak berarti ia belum menjadikan Allah sebagai wali karena ia mencintai apa yang dibenci Allah. Seperti di masa akhir-akhir ini ada tokoh-tokoh yang membela orang-orang kuffar sebaliknya mencela orang-orang Islam.

Wallahu A’lam bisshawaab
Shalawat dan salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk Mereka sampai hari kiamat.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berpastisipasi dalam menyebarkannya.
Penulis: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Sumber: www.dzikra.com

Faisal Choir Blog :

Blog ini merupakan kumpulan Artikel dan Ebook Islami dari berbagai sumber. Silahkan jika ingin menyalin atau menyebarkan isi dari Blog ini dengan mencantumkan sumbernya, semoga bermanfaat. “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR. Muslim). Twitter | Facebook | Google Plus

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Siapa Wali Allah? Menggapai Jenjang Perwalian Description: Siapa Wali Allah? Menggapai Jenjang Perwalian, karomah wali Rating: 5 Reviewed By: samudera ilmu
Scroll to Top