Dalam Qurrah al-Uyun al-Muwahhidin dikatakan, “Syafaat terbagi menjadi dua.”
Syafaat Pertama: Syafaat yang dinafikan
didalam al-Qur’an. Yaitu syafaat untuk orang kafir dan musyrik.
Allah Ta’ala berfirman artinya, “ Sebelum
datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli, tidak ada pertemanan
dan tidak ada lagi syafaat.” (Al-Baqarah: 254)
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka
syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.” (Al-Muddtstsir:
48)
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari
kiamat, yang pada hari itu seseorang tidak dapat membela orang lain sedikitpun
dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan dari padanya dan tidaklah
mereka akan ditolong.” (Al-Baqarah: 48)
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang
tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) menfaatan,
dan mereka berkata, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak
diketahuiNya baik dilangit dan tidak (pula)dibumi?’.” (Yunus:
18)
Dan ayat-ayat yang semakna dengannya, Allah
‘Azza wa jalla mengabarkan bahwa siapa yang mengangkat orang-orang itu sebagai
pemberi syafaat disisi Allah, tidak mengetahui bahwa mereka memberi syfaat
kepadanya, dan apa yang tidak dia ketahui berarti tidak ada wujudnya. Maka
Allah menafikan keberadaan syafaat tersebut dan menyatakan bahwa ia adalah syirik,
yaitu dengan firmanNya artinya, “Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa
yang mereka persekutukan (itu).” (Yunus: 18)
Dan Allah berfirman, “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan seekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Az-Zumar: 3)
Dan Allah berfirman, “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan seekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Az-Zumar: 3)
Allah ta’ala membatalkan syafaat orang yang
mengangkat pemberi syafaat dengan anggapan bahwa dia mendekatkannya kepada
Allah, dari rahmat dan ampunannya, karena dia menjadikan sekutu bagi Allah,
kepadanya dia berharap, bergantung, bertawakal, dan mencintainya seperti
mencintai Allah ta’ala bahkan lebih dari itu.
Syafaat
kedua: Syafaat
yang ditetapkan oleh al-Qur’an, ia khusus untuk ahli tauhid. Allah ta’ala
membatasinya dengan dua syarat.
- Syarat pertama, adanya izin dari Allah kepada pemberi syafaat untuk memberi syafaat. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman, “Tiada yang dapat memberi syafaat disisi Allah tanpa izinNya.” (Al-Baqarah: 255) Dan izinNya tidak keluar kecuali Dia merahmati hambaNya yang bertauhid namun melakukan dosa, jika Allah menyayanginya maka Dia mengizinkan pemberi syafaat untuk memberi syafaat.
- Syarat kedua, ridhaNya kepada penerima syafaat. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Al-Anbiya’: 28). Izin untuk memberi syafaat ini terwujud setelah Allah meridhai sebagaimana didalam ayat ini. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak meridhai selain ahli tauhid. Selesai.
Firman Allah ‘Azza wa jalla, “Katakanlah, ‘Hanya kepunyaan Allah syafaat
itu semuanya’.” (Az-Zumar: 43)
Yakni, Allah adalah pemiliknya, orang yang
diharapkan memberi syafaat tidak memiliinya, maka semestinya syafaat diminta
kepada yang memilikinya bukan kepada selainnya, sebab hal itu merupakan ibadah
dan penghambaan yang hanya layak diberikan kepada Allah semata.
Ayat ini menunjukkan bahwa syafaat adalah hak
milik Allah ‘Azza wa jalla, karena ia tidak terwujud kecuali untuk ahli tauhid
dengan izinNya. Maka renungkanlah ayat-ayat agung dalam maslaah mengangkat para
pemberi syafaat.
Al-Baidhawi berkata: “Bisa jadi ini merupakan
bantahan apa yang diharapkan mereka yang akan menjawabnya, yaitu bahwa para
pemberi syafaat merupakan orang-orang shalih yang dekat kepada Allah ta’ala.”
Firman Allah ta’ala, “Dan berapa banyak malaikat dilangit,
syafaat mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi
orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).” (An-Najm:
26)
Jika hal ini berlaku untuk para malaikat yang
mempunyai kedudukan yang dekat kepada Allah, maka bagaimana kalian wahai
orang-orang jahil berharap syafat dari sekutu-sekutu tersebut disisi Allah?
Padahal Allah tidak memerintahkan menyembahnya dan tidak pula mengizinkannya,
justru Dia telah melarangnya melalui lisan para RasulNya, dan larangan ini juga
Dia turunkan didalam kitab-kitabNya.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala, “Katakanlah, ‘Serulah mereka yang kamu
anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat
zarrahpun dilangit dan dibumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sham pun dalam
(penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada diantara mereka yang
menjadi pembantu bagiNya. Dan tiadalah berguna syafaat disisi Allah melainkan
bagi orang yang telah diizinkanNya memperoleh syafaat itu.” (Saba’: 22-23)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan
ayat diatas:
“Allah ta’ala telah memangkas sebab-sebab yang
dijadikan pegangan oleh orang-orang musyrikin seluruhnya. Orang musyrik
menyembah sesembahannya karena manfaat yang dia peroleh, padahal manfaat tidak
terwujud kecuali dari siapa yang memiliki satu dari empat perkara ini: dia
memiliki apa yang diinginkan oleh penyembahnya darinya, jika dia tidak
memiliki, maka dia adalah sekutu bagi pemilik, jika dia bukan sekutu maka dia
adalah pembantu atau penolongnya, jika bukan pembantu, bukan pula penolong,
maka dia adalah pemberi syafaat disisinya. Allah ta’ala menafikkan empat fase
ini dengan penafian yang berurutan, berpindah dari yang lebih tinggi kepada
yang lebih rendah. Dia menafikan kepemilikan, perserikatan, pertolongan dan
syafaat yang dicari oleh orang musyrik dan Dia menteapkan sebuah syafaat dimana
orang musyrik tidak memiliki bagian apapun darinya, yaitu syafaat dngan
izinNya. Cukuplah ayat ini sebagai cahaya, bukti dan pemurnian tauhid serta
pemberantasan terhadap akar-akar syirik dan sumber-sumbernya bagi orang
yangmemahaminya. Al-Qur’an sarat dengan kandungan yang semisal dan semakna
dengannya, hanya saja manusia banyak tidak menyadari masuknya kenyataan yang
sebenarnya dibawah partik (yang mereka lakukan) dan cangkupan terhadapnya.
Mereka mengira bahwa ia hanya ada pada satu bentuk dan satu kaum yang telah
berlalu sebelumnya tanpa meninggalkan penerus. Inilah yang menghalangi hati
untuk memahami al-Qur’an. Demi Allah, sekalipun mereka telah berlalu (punah),
namun setelah mereka, hadir pewaris yang sama atau bahkan lebih buruk atau
lebih rendah dari mereka. Dan al-Qur’an meliputi orang-orang tersebut,
sebagaimana ia mencakup mereka dahulu.”
Kemudian beliau berkata, “Diantara syirik
adalah meminta hajat hajat-hajat kepada orang-orang mati dan beristighatsah
kepada mereka. Ini adalah asal usul syirik manusia. Amal perbuatan orang mati
telah terputus, dia tidak memiliki manfaat dan mudarat untuk dirinya, apalagi
untuk orang yang beristighatsah kepadanya dan memintanya agar memberikan
syafaat disisi Allah. Ini termasuk kejahilannya tentang pemberi syafaat dan
kepada siapa syafaat itu disodorkan.
Pemberi syafaat tidak kuasa memberi syafaat untuknya disisi Allah
kecuali dengan izinNya dan Allah sendiri tidak menjadikan istighatsah dan
permintaannya sebagai sebab diperolehnya izin, akan tetapi sebab yang shahih
adalah tauhid yang sempurna. Lalu orang-orang musyrik ini hadir membawa suatu
sebab yang justru menutup turunnya izin, ia seperti orang yang meminta tolong
untuk memenuhi hajatnya dengan sesuatu yang justru mrnghalanginya untuk
terwujud.
Ini adalah keadaan orang-orang musyrik. Mereka
menggabungkan syirik kepada yang disembah, merubah agamaNya, memusuhi ahli
tauhid, menisbatkan ahli tauhid kepada pelecehan orang-orang mati, padahal
mereka sendiri telah melecehkan Sang Pencipta dengan syirik yang mereka
lalukan, melecehkan ahli tauhid dengan celaan, hinaan dan permusuhan mereka.
Mereka juga melecehkan orang-orang yang merek jadikan sekutu bagi Allah dengan
pelecehan yang berat, karenamereka mengira bahwa orang-orang itu rela terhadap
apa yang mereka kerjakan, bahwa orang-orang itu memerintahkan mereka dengan
yang demikian, bahwa orang-orang itu loyal kepada mereka atas dasar itu.
Padahal orang-orang itu adalah musuh para Rasul distiap zaman dan setiap tempat.
Betapa banyak orang yang menjawab seruan mereka, tidak ada yang selamat dari
jerat syirik akbar ini kecuali orang yang memurnikan tauhidnya hanya untuk
Allah, memusuhi orang-orang musyrik karena Allah, mendekatkan diri kepada Allah
dengan membenci mereka, menjadikan Allah semata sebagai walinya, Tuhannya,
sesembahannya, dia memurnikan cintanya karena Allah, takut karena Allah,
harapannya hanya pada Allah, ketundukannya karena Allah, tawakalnya kepada
Allah, permohonan bantuan hanya kepada Allah, permohonan perlindungan hanya
kepada Allah, beristighatsah hanya kepada Allah, tujuannya adalah Allah semata,
mengikuti perintahNya, mencari ridhaNya, jika dia meminta maka dia meminta
hanya kepada Allah, jika dia memohon bantuan maka dia memohonya kepada Allah, jika
dia beramal maka dia beramal karena Allah. Dia berbuat karena Allah, dengan
(Nama) Allah dan bersama (pertolongan) Allah.” [Demikan ucapan beliau
rahimahullah.]
Syafa’at Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu pernah berkata
kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, “Siapa yang paling berbahagia
mendapatkan syafa’atmu?” Beliau menjawab, ‘Orang yang mengucapkan La illaha
illallah dengan ikhlas dari dalam hatinya.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain disebutkan, “Syafa’atku
adalah untuk orang yang mengucapkan La illaha illallah dengan ikhlas; yang mana
hatinya membenarkan lisannya dan lisannya membenarkan hatinya.”
Syahidnya terdapat dalam Shahih Muslim dari
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda, “Setiap Nabi mempunyai do’a mustajab, dan setiap Nabi telah
menggunakan doanya, dan sesungguhnya aku telah menyimpan doaku sebagai syafa’at
bagi umatku dihari kimatan, ia didapatkan dengan kehendak Allah oleh siapa yang
mati dalam keadaan tidak menyekutukan sesuatu dengan Allah.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang
hadits Abu Hurairah diatas, “Perhatikan hadits ini, bagaimana Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam menjadikan sebab terbesar yang dengannya syafaat
diperoleh, yaitu memurnikan tauhid, menyelisihi apa yang diyakini oleh
orang-orang musyrikin bahwa syafaat bisa diraih dengan menganggkat para pemberi
syafaat, menyembah mereka, dan berwala’ kepada mereka. Maka Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam membalik apa yang ada didalam klaim dusta mereka.
Beliau mengabarkan bahwa sebab meraih syafaat adalah memurnikan tauhid. Dalam
konsisi tersebut Allah ‘Azza wa jalla memberi izin kepada pemberi syafaat untuk
memberi syafaat.
Diantara kebodohan orang-orang msyrik bahwa
keyakinannya bahwa siapa yang mengangkat seseorang sebagai penolong atau
pemberi syafaat, maka dia akan bisa memberinya syafaat kepadanya atau manfaat
kepadanya disisi Allah Ta’ala, sebagaimana orang-orang yang dekat kepada para
raja dan para pemimpin bisa memberi manfaat kepada orang-orang yang loyal
kepada mereka. Mereka tidak mengetahui bahwa tidak seorangpun yang memberi
syafaat disisi Allah kecuali jika Allah memberi izin untuk memberi syafaat, dan
Allah tidak memberi izin syafaat kecuali bagi orang yang Dia ridhai perkataan
dan perbuatannya.
- Sebagaimana Dia berfirman dalam kaitan pertama, “Tiada yang dapat memberi syafaat disisi Allah tanpa izinNya”
- Dan dalam kaitan kedua, “Dan Dan tidaklah mereka dapat memberi syafaat kecuali bagi orang yang telah Allah ridhai.”
- Tinggal kaitan ketiga, yaitu bahwa Allah tidak rela kepada perkataan dan perbuatan kecuali dengan bertauhid kepadaNya dan ittiba’ (mengikuti) RasulNya. Ini adalah tiga point yang memotong pohon syirik dari hati siapa yang mengerti dan memahaminya.” Demikian Ibnul Qayyim.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa
syafaat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terdiri dari enam macam:
- Pertama: Syafaat ‘Uzhma (syafaat agung)[1], yaitu syafaat yang beliau berikan kepada ummat manusia di Mauqif (saat kritis), ketika manusia seluruhnya dikumpulkan Allah dipadang mahsyar. Matahari didekatkan kepada mereka (dengan jarak satu mil), sehinga mereka berada dalam keadaan susah dan sedih yang luar biasa. Pada saat seperti itu, mereka mendatangi Nabi Adam, Kemudian Nuh, Ibrahim, Musa, lalu ‘Isa bin Maryam untuk meminta syafaat, namun mereka semua menolak. Dan terakhir kalinya mereka datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk meminta syafaat darinya, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam –dengan izin Allah ‘Azza wa jalla- memberikan syafaat kepada ummat manusia, agar mereka diberi keputusan.[2]
- Kedua: Syafaat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk penduduk surga agar bisa memasukinya. Abu hurairah radhiyallahu’anhu menyebutkannya dalam hadits yang panjang yang Muttafaq’alaihi.
- Ketiga: Syafaat Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bagi para pendosa dari umatnya yang berhak masuk neraka karena dosa-dosa mereka, maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam memberi syafaat kepada mereka sehingga mereka tidak masuk neraka.
- Keempat: Syafat Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam kepada para pendosa dari kalangan ahli tauhid yang telah masuk neraka karena dosa-dosa mereka. Hadits-hadits yang menetapkan syafaat ini mencapai derajat mutawatir. Para Sahabat dan Ahlu Sunnah seluruhnya telah menyepakatinya, mereka membid’ahkan pihak yang mengingkarinya, meneriakinya dari segala penjuru dan mencapnya sebagai kesesatan.
- Kelima: Syafaat Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam kepada suatu kaum dari penduduk surga agar pahala mereka ditambah dan derajat mereka ditinggikan. Syafaat ini tidak diperselisihkan. Semuanya khusus untuk ahli ikhlas yang tidak mengangkat penolong dan pemberi syafaat selain Allah, sebagaimana firman Allah ta’ala artinya, “Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpun kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang mereka tidak memiliki seorang pelindung dan pemberi syafaat pun selain Allah.” (Al-An’am: 51)
- Keenam: Syafaat Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam kepada sebagian keluarganya yang kafir agar azabnya diringankan. Ini khusus untuk Abu Thalib paman Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam.[3]
Semoga kita termasuk dalam golongan yang
mendapatkan syafaat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam serta dihindarkan, dipelihara,
dijauhkan dari Neraka. Amin.. Semoga ada
manfaatnya.
Penyusun Faisal Choir
Referensi:
- Fathul Majid oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan. Pustaka Sahifa.
- Syarah Aqidah Wasithiyah oleh Syaikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin. Pustaka Sahifa
- Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir jawas hafidzahullah. Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
_________
[1]. Penyesuaian dari penyusun yang disarikan
dari Syarah Aqidah Wasithiyah oleh Syaikh Muhammad bin shaleh al-Utsaimin, dan
Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah oleh al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
jawas hafidzahullah.
[2]. HR. Bukhari no. 4712 dan Muslim no. 194
dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu
[3] HR. Bukhari kitab at-tafsir dan Muslim
no.24.
0 komentar:
Posting Komentar