Bab Keterangan bahwa: Sikap Berlebih-lebihan (Ghuluw) Terhadap Kuburan
Orang Shalih Akan Menjadikannya Sebagai Berhala yang di Sembah Selain Allah.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda, “Ya Allah janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang
disembah. Allah sangat murka atas suatu kaum yang menjadikan kubur nabi-nabi
mereka sebagai tempat-tempat peribadatan.” (HR. Malik no. 414 dan Ahmad no.
7311)
Dalam riwayat Ibnu Jarir dengan sanadnya dari
Sufyan dari Manshur dari Mujahid tentang firman Allah ta’ala, “Maka apakah
patut wahai kamu orang-orang musyrik menganggap Lata dan Uzza?” Dia berkata,
“Dia mengaduk sawiq (adonan gandum), ketika dia mati mereka mendatangi
kuburannya.” Hal yang sama dikatakan oleh Abul-Jauza’ dari Ibnu Abbas,
“Dia mengaduk sawiq bagi jamaah haji.” (HR. Bukhari. No.4859)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata, “Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita penziarah kubur dan
orang-orang yang membangun tempat-tempat peribadatan dan menyalakan lampu
diatasnya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Kandungan Bab:
- 1. Penafsiran tentang berhala
- 2. Penafsiran tentang ibadah.
- 3. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tidak berta’awwudz selain dari sesuatu yang beliau kawatirkan terjadi.
- 4. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengaitkan hal ini dengan menjadikan kuburan para Nabi sebagai tempat-tempat peribadatan.
- 5. Menyinggung kerasnya murka Allah Subhanahu wa ta’ala.
- 6. Yaitu yang terpenting darinya, sifat mengenal penyembahan terhadap Lata, yang merupakan berhala besar.
- 7. Menganli bahwa ia adalah kubur seorang laki-laki yang shalih.
- 8. Bahwa ia adalah nama penghuni kubur, dan menyinggung tentang makna penamaan itu.
- 9. Laknat terhadap wanita-wanita yang gemar berziarah kubur.
- 10. Laknat terhadap orang yang menyalakan lentera padanya.
(Ya Allah, janganlah Engkau jadikan
kuburku sebagai berhala yang disembah)
Allah ta’ala menjawab doa Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
Rabb alam semesta menjawab doanya
Dan Dia mengelilinginya dengan tiga tembok
Sehingga berkat doanya, penjurunya berada
Demikian kemuliaan, perlindungan dan
keterjagaan.
Hadits ini menunjukkan bahwa seandainya kubur
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam disembah maka ia menjadi berhala. Namun Allah
melindunginya dengan sesuatu yang menghalangi manusia darinya sehingga mereka
tidak bisa sampai kepadanya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa berhala adalah
apa yang disembah oleh penyembah, bisa berupa kuburan dan bangunan diatasnya.
Fitnah karena kubur ini sedemikian besar akibat dari pengagungan dan enyembahan
kepadanya. Sebagaimana Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagaimana dengan
kalian, jika dikelilingi oleh fitnah dimana orang dewasa menjadi tua didalamnya
dan anak kecil tumbuh diatasnya. Fitnah itu bergulir ditengah manusia dengan menjadikannya sebagai sunnah. Jika ia
dirubah, maka ada yang berkata, ‘Sunnah telah dirubah’.”
Karena takut fitnah maka Umar melarang kaum
Muslimin menelusuri jejak (peninggalan) Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Ibnu Wadhdhah berkata, aku mendengar Isa bin
Yunus berkata, “Umar bin al-Khththab radhiyallahu’anhu memerintahkan agar
memotong pohon dimana Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dibaiat dibawahnya.”
Umar memotongnya karena orang-orang pergi kesana dan shalat dibawahnya, maka
Umar takut fitnah menimpa mereka.
Yakni pada saat perjanjian Hudaibiyah. Ia
adalah pohon yang disebutkan Allah ta’ala dalam surat al-Fath: 18, “Sungguh
Allah telah meridhai perempuan-perempuan Mukni manakala mereka membaiatmu
dibawah pohon.”
Al-Ma’rur bin Suwaid berkata, “Aku shalat
subuh bersama Umar bin al-Khaththab disebuah jalan di Makkah, kemudian dia
melihat orang-orang pergi berpencar, dia bertanya, ‘Kemana mereka pergi?’ ada
yang menjawab, ‘Ya Amirul Mukminin, kesebuah masjid yang pernah dipakai Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam untuk shalat, mereka pergi kesana.’ Umar berkata,
‘Orang-orang sebelum kalian binasa karena perkara seperti ini, mereka
menelusuri jejak nabi-nabi mereka dan menjadikannya sebagai gereja dan
tempat-tempat peribadatan. Barangsiapa mendapatkan shalat dimasjid-masjid ini
maka hendaknya dia shalat. Jika tidak, maka hendaknya dia berlalu dan tidak
perlu sengaja mendatanginya’.”
Dalam Maghazi Ibnu Ishaq terdapat tambahan
dari Yunus bin Bukair dari Abu Khaldah Khalid bin Dinar, Abu al-Aliyah
menyampaikan kepada kami, dia berkata, “Ketia kami menakhlukkan kota Tustar (kota
ditimur jauh, asia tengah), kami menemukan sesosok mayit laki-laki berbaring
diatas ranjang di baitul mal milik al-Hurmuzan, disisi kepala mayit tersebut
terdapat mushaf, lalu kami mengambil mushaf dan mengirimkannya kepada Umar.
Umar memanggil Ka’ab untuk menerjemahkannya kedalam bahasa arab, dan aku adalah
orang arab pertama yang membacanya. Aku membacanya seperti aku membaca
al-Qur’an. Lalu aku bertanya kepada Abu al-Aliyah, ‘Apa isinya?’ dia menjawab,
‘Tentang perjalanan hidup kalian dan apa yang akan terjadi nanti.’ Saya
berkata, ‘lalu apa yang kalian lakukan terhadap mayit tersebut?’ dia menjawab,
‘Kami menggali tiga belas kubur secara terpisah disiang hari. Ketika malam
tiba, kami menguburkannya dan menimbun seluruh kuburan untuk mengelabui orang-orang
sehingga tidak membongkarnya,’ Saya bertanya, ‘Apa yang mereka harapkan
darinya?’ Dia menjawab, ‘Jika hujan tidak turun kepada mereka, maka mereka
membawa ranjangnya keluar sehingga hujanpun turun kepada mereka.’ Saya
bertanya, ‘Menurut kalian siapa mayit tersebut?’ Dia menjawab, ‘Seorang
laki-laki bernama Danial.’ Saya berkata, ‘Sejak kapan kalian mendapatinya sudah
mati?’ Dia menjawab, ‘Tiga ratus tahun yang lalu.’ Saya berkata, ‘Adakah
sesuatu darinya yang berubah?’ Dia menjawab, ‘Tidak ada, hana beberapa helai
rambut dari belakang kepalanya. Sesungguhnya bumi tidak memakan jasad nabi’.”
Ath-Thabari menyembutkan IV/220 dalam
peristiwa tahun 17H. Dia berkata, diakatakan kepada Abu Sabrah, “Ini adalah
jasad Danial dikota ini.” Dia berkata, “Darimana kita mengetahuinya?” Maka dia
memperlhatkannya dihadapan mereka. Kemudian menebutkan berita Danial dan
penawanannya oleh Nebuchadnezzar dari Baitul Maqdis dan kematiannya di as-Sus,
disana jasadnya dijadikan perantara meminta hujan. Manakala kaum muslimin menaklukan
kota tersebut, mereka membawanya dan memperlihatkannya didepan mereka, sampai ketika
Abu Sabrah meninggalkan mereka ke pasukan Sabur, Abu Musa tinggal di as-Sus dan
dia mengirim surat kepada Umar, didalamnya....sampai akhir kisah
Kisah ini disebutkan oleh Abu Ubaidah didalam
kitab al-Amwal hal.343 no.876 dari Qatadah yang berkata, “ketika kota
as-Sus ditaklukan dibawah kepemimpinan
Abu Musa al-Asy’ari, kamu Muslimin menemukan menemukan jasad Dania di Abran,
disampingnya terdapat harta yang diletakkan sedemikian rupa dan sebuah kiab
yang tertuliskan, ‘Siapa yang ingin datang lalu dia berhutang sampai tempo
tertentu, jika tempo telah jatuh maka dia harus membayar, jika tidak maka dia
akan terkena penyakit sopak.’ Dia berkata, Maka Abu Musa merangkulnya dan
menciumnya, dia berkata, ‘Demi Tuhan Ka’bah ini Danial.’ Selanjutnya Abu Musa
menulis kepada Umar, Umar membalas, isinya, ‘Kafanilah dia, beri dia wewangian
kemudian kuburkanlah sebagaimana layaknya nabi-nabi. Perhatikanlah hartanya dan
masukkanlah ia kedalam baitul mal milik kaum Muslimin.’ Dia berkata, lalu Abu
Musa mengafaninya dengan kain putih, meyolatkannya dan menguburkannya.”
Al-Baladzari berkata hal.371, “Abu Musa
melihat kearah kiblat mereka sebuah rumah yang berkelambu, dia bertanya tentangnya,
maka seorang menjawab, ‘Disana terdapat jasad Danial seorang Nabi. Mereka
ditimpa kekeringan, maka mereka meminta kepada orang-orang Babilonia agar
mnyerahkan jasadnya kepada mereka untuk dijadikan sebagai sarana meminta hujan,
maka mereka melakukannya.’ Nebuchadnezzar menawan Danial dan membawa nya
kebabilonia dan disana dia mati. Maka Abu Musa menulis surat kepada Umar
tentang hal ini, Umar menjawab agar mengaafaninya dan menguburkannya. Mka Abu
Musa membendung seuag sungai, ketika airnya surut dia memnguburkannya dan
membuka bendungan sehingga air sungai kembali mengalir.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Didalam
kisah ini orang–orang Muhajirin dan Anshar menghilangkan jejak kuburnya agar
orang-orang tidak terfitnah karenanya, tidak menampakannya untuk berdoa
disisinya dan berharap berkah darinya. Seandainya orang-orang yang hadir
belakangan menemukannya niscaya mereka akan mengangkat pedang untuk
mendapatkannya, untuk selanjutnya menyembahnya selain Allah.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Ini merupakan pengingkaran dari mereka terhadap hal itu. Barangsiapa
yang mendatangi suatu tempat dengan maksud menginginkan kebaikan dengan
kedatangannya padahal peletak syariat tidak menganjurkan untuk mendatanginya,
maka perbuatannya itu termasuk kemungkaran, sebagian darinya lebih berat
daripada sebagian yang lain, baik dia mendatanginya untuk shalat disisinya,
berdoa disisinya, membaca disisinya, berdzikir kepada Allah disisinya atau
beribadah disisinya, dimana dia mengkhususkan tempat tersebut dengan suatu ibadah yang pengkhususannya
ditempat tersebut tidak pernah disyariatkan. Baik pengkhususan itu dari sisi
bentuk maupun dari sisi ibadah itu sendiri. Hanya saja hal itu mungkin
dibolehkan jika terjadi secara kebetulan bukan sengaja berdoa padanya, seperti orang yang
mengunjunginya, memberi salam kepadanya, dan mohon keselamatan bagi Allah
untuknya dan untuk mayit-mayit lainnya, sebagaimana sunnah menetapkan hal
ersebut. Adapun sengaja memilih tempat itu untuk berdoa disana lebih mustajab
daripada tempat lain, maka hal ini termasuk yang dilarang.” (selesai dengan
ringkas).
(Allah sangat murka atas suatu kaum yang
menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat-tempat peribadatan)
Hadits ini berisi diharamkannya membangun diatas
kuburan dan shalat diatasnya, diaman ia termasuk doa besar. Dalam kitab al-Qira
ath-Thabari dari sahabat-sahabat Malik dari Malik bahwa ia tidak menyukai
seseorang berkata, “Aku mengunjungi kuburan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.”
Dan dia beralasan dengan hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Ya
Allah, janganlah Engkau menjadikan kuburku sebagai berhala yang disembah.” (Al-Hadits)
Dia tidak meyukai lafazh ini dinisbatkan
kepada kuburan, agar tidak terjadi tasyabuh dengan perbuatan-perbuatan orng-orang
yahuni dan nasrani dan demi menutup sarana yang menyeret kesana.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Malik
bertemu dengan para tabi’in, dia adalah orang yang paling mengetahui hal ini.
Hal itu menunjukkan lafazh-lafazh seperti, ‘Berziarah kekubur Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam tidak dienal dikalangan mereka...” hingga
perkataan beliau rahimahula, “Mereka telah menyebutkan sebab mengapa Malik
tidak menykai ungkapan, ‘Saya menziarahi kubur Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam’ karena makna dari ungkapan ini dikalangan kebanyakan orang, telah
berubah menjadi ziarah yang bid’ah, yaitu mendatangi kubur mayit untuk meminta
dan berdoa kepadanya, berharap kepadanya dalam terwujudnya keinginan dan
hal-hal lain sepertinya yang dilakukan oleh banyak orang. Jadi maksud mereka
dengan kata ziarah adalah seperti ini. Hal ini tidak disyariatkan menurut kesepakatan para imam. Malik tidak menyukai
seseorang berkata dengan kalimat global yang mengarah kepada makna yang rusak,
berbeda dengan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, hal
ini termasuk perkara yang diperintahkan. Adapun kata ziarah untuk kuburan pada
umumnya maka tidak dipahami darinya makna seperti makna ini. Perhatikan sabda
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, “Berziarahlah kekubur karena ia
mengingatkan kalian terhadap hari akhirat.”
Disamping nabi shallallahu’alaihi wa sallam
sendiri berziarah kekubur ibunya. Ini mencakup kuburan orang-orang kafir. Maka
hal itu tidak dipahami ziarah kepada mayit untuk berdoa kepadanya, meminta sesuatu
darinya, beristighatsah dengannya dan hal-hal lainnya yang dilakukan oleh ahli
syirik dan ahli bid’ah. Lain perkara jika penghuni kubur yang diziarahi itu
adalah orang-orang shalih, karena yang sering adalah bahwa yang dimaksud dengan
ziarah disini adalah ziarah bid’ah lagi syirik. Oleh karena itu Malik membenci
itu dalam erkara ini walaupun ditempat lain yang tidak mengandung kerusakan ini
dia tidak membencinya.”
“Maka apakah patut wahai kamu orang-orang musyrik menganggap Lata dan Uzza?” Dia berkata, “Dia mengaduk sawiq (adonan gandum), ketika dia mati mereka mendatangi kuburannya.” Hal yang sama dikatakan oleh Abul-Jauza’ dari Ibnu Abbas, “Dia mengaduk sawiq bagi jamaah haji.” (HR. Bukhari. No.4859)
Dalam riwayat lain disebutkan, “Lalu dia
memberi makan orang-orang yang lewat. Ketika dia mati, mereka menyembahnya,
mereka berkata, ‘Dia adalah al-Lata’ .” (Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur)
Al-Bukhari berkata, “Muslim, yakni bin Ibrahim
menyampaikan kepada kami, Abu al-Asyhab menyampaikan kepada kami, abul-Jauz’
menyampaikan kepada kami dari Ibnu Abbas berkata, “Dia pembuat adonan sawiq
bagi jamaah haji.”
Ibnu Khuzaimah berkata, “Demikian pula dengan
Uzza, ia adalah sebuah ohon, diatasnya tererdapat bangunan dan kain penutup di
Nakhlah, yang terletak diantara Makkah dan Thaif. Orang-orang Quraisy
mengagungkannya, sebagaimana apa yang dikatakan oleh Abu Sufyan pada perang
Uhud, “Kami mempunyai Uzza sementara kalian tidak.”
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita penziarah kubur dan orang-orang yang membangun tempat-tempat peribadatan dan menyalakan lampu diatasnya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani rahimahullah
dalam kitabnya Tathhirul I’tiqad berkata,
“Altar-altar persembahan dan bangunan-bangunan
ini yang telah menjadi sarana syirik dan ilhad terbesar dan perantara terbesar kepada penghancuran Islam dan runtuhnya
bangunannya, mayoritas –bahkan semua- yang meramaikannya adalah para raja, para
sultan, para pemimpin dan para penguasa. Bisa jadi penghuni kubur disitu adalah
kerabatnya atau orang yang diduga baik seperti seorang yang mulia, seorang
alim, seorang sufi, seorang fakir atau seorang syaikh besar. Orang-orang yang
mengenalnya berziarah kepadanya layaknya berziarah kepada orang-orang mati
tanpa tujuan bertawasul dengannya atau meneriakkan namanya, bahkan mereka
mendoakan dan memohonkan ampunan untuknya hingga kemudian orang-orang
mengenalnya itu wafat, lalu datanglah orang sesudah mereka mendapati kuburan
telah dimegahkan bangunannya, lilin-lilin dinyalakan disekelilingnya, permadani yang mewah
dihamparkan ditanahnya, tirai-tirai dibuka dan bunga-bunga ditabur diatasnya.
Maka timbul keyakinan pada diri orang tersebut bahwa hal itu karena ia dapat
mendatangkan manfaat atau mudarat. Selanjutnya, para juru kunci datang
kepadanya dengan mengarang kebohongan bahwa mayit telah melakukan ini dan itu,
demikian juga telah menimpakan mudarat kepada fulan dan memberikan manfaat
kepada fulan, sampai akhirnya mereka bisa menanamkan setiap kebatilan kedalam
tabiatnya. Dan perkara yang benar dalam hal ini adalah yang diriwayatkan dalam
hadits-hadits shahih bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melaknat
orang-orang yang menyalakan lentera diatas kubur, menulis dan membangun
diatasnya. Hadits-hadits tentang hal ini sangat dikenal luas. Hal tersebut pada
dasarnya dilarang, disamping ia merupakan sarana kepada kerusakan yang besar.”
Abu Muhammad al-Maqdisi berkata, “Jika
menyalakan lentera diatasnya dibolehkan niscaya orang yang melakukannya tidak
dilaknat, karena hal itu termasuk menghambur-hamburkan harta tanpa faidah dan
berlebih-lebihan dalam memuliakan kubur seperti memuliakan berhala.”
Ibnul Qayyim berkata, “Mendirikan
tempat-tempat peribadatan diatas kuburan dan menyalakan lentera diatasnya
termasuk dosa besar.” Dan Ibnu Hajar al-Haitsami telah menganggapnya demikian.
[Dikutip dari Fathul Majid bab Ghuluw Kepada
Kuburan. Pustaka Sahifa]
0 komentar:
Posting Komentar