Definisi bid’ah
Pembaca yang budiman, para ulama ketika
mendefinisikan sesuatu, mereka selalu membawakan definisi dari sisi bahasa dan
istilah. Karena makna syar’i bila bertentangan dengan makna lughawi (bahasa),
maka lebih didahulukan makna syar’I sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab
ushul fiqih.
Contohnya adalah sholat, secara bahasa artinya
do’a, dan secara istilah syari’at artinya perbuatan dan perkataan yang khusus
yang dimulai dengan takbirotul ihram dan di akhiri dengan salam.
Bila ada orang yang berpendapat bahwa orang
yang berdo’a sudah mencukupinya sehingga tidak perlu sholat lagi, dengan alasan
bahwa sholat secara bahasa artinya do’a. tentu pendapat ini sangat batil, karena
yang dimaksud dengan sholat yang diperintahkan oleh Allah dan Rosul-Nya adalah
sholat dengan tata cara yang telah kita ketahui bersama.
Demikian pula bid’ah, makna bid’ah secara
bahasa tidak boleh dibawa kepada makna bid’ah secara istilah syari’at, namun ia
berhubungan sebagaimana akan kita jelaskan.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Bid’ah ada
dua macam: bid’ah syari’at seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
:
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Sesungguhnya setiap yang ada-adakan adalah
bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Dan bid’ah lughowiyah (bahasa) seperti
perkataan umar bin Khaththab ketika mengumpulkan manusia untuk sholat tarawih
:”Inilah sebaik-baiknya bid’ah”.[1]
Dan yang harus difahami adalah bahwa Allah dan
Rosul-Nya selalu menyampaikan syari’at ini dengan makna syari’at, seperti bila
Allah dan Rosul-Nya menyebutkan sholat, maka maknanya adalah perbuatan dan
perkataan yang dimulai dengan takbirotul ihram dan diakhiri dengan salam.
demikian pula kata bid’ah, bila diucapkan oleh pemilik syari’at maka harus
dibawa kepada makna syari’at, bukan makna bahasa.
Bid’ah secara bahasa
Secara etimologi, bid’ah artinya setiap perkara
baru yang diadakan atau diciptakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
بَدِيْعُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ.
“Allah pencipta langit dan bumi (tanpa
contoh)”. (QS Al Baqarah : 117).[2]
Makna secara bahasa ini mencakup perkara dunia
dan akhirat, sehingga dapat kita katakan bahwa mobil, kereta, pesawat,
handphone, ilmu mushtolah hadits dan lain-lain adalah bid’ah secara bahasa,
karena tidak ada contoh sebelumnya. Namun sesuatu yang menurut bahasa bid’ah,
belum tentu secara istilah dianggap bid’ah.
Bid’ah secara istilah
Memang tidak ada dalam Al Qur’an dan assunnah
nash yang menyebutkan definisi bid’ah secara istilah syari’at, akan tetapi para
ulama memberikan definisi setelah mengumpulkan nash-nash syari’at.
Para ulama berbeda-beda ungkapan dalam
mendefinisikan bid’ah. Imam Asy Syafi’I rahimahullah dalam riwayat Ar Rabie’
berkata : ” Bid’ah adalah sesuatu yang menyelisihi al qur’an, atau sunnah, atau
atsar para shahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “.[3]
Asy Syathibi rahimahullah berkata, ”Bid’ah
adalah sebuah tata cara dalam agama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’at
yang maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah
Ta’ala”.[4]
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ”Yang dimaksud
dengan bid’ah adalah setiap yang diadakan dari apa-apa yang tidak ada asalnya
dalam syariat yang menunjukkan kepadanya, adapun bila ada asal (dalil) syari’at
yang menunjukkan kepadanya maka bukanlah bid’ah secara syari’at walaupun
dianggap bid’ah secara bahasa”.[5]
As suyuthi rahimahullah berkata,”Bid’ah adalah
ungkapan tentang perbuatan yang bertabrakan dengan syari’at dengan cara
menyelisihinya atau melakukannya dengan cara menambah atau
mengurangi”.[6]
Dari definisi para ulama di atas dapat kita
simpulkan dalam beberapa poin :
1. Ruang lingkup bid’ah secara istilah hanya
terbatas dalam masalah agama (ibadah), ini di tunjukkan oleh definisi As
Syathibi. Bid’ah inilah yang maksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa
setiap bid’ah adalah sesat.
Maka keluar dari batasan “agama” adalah masalah
yang bersifat duniawi. Mengapa demikian ? karena dalil-dalil syari’at
menunjukkan bahwa pada asalnya segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah
duniawi adalah halal dan suci, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala QS Al
Baqarah ayat 29 :
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيْعًا
“Dialah (Allah) yang menciptakan untukmu semua
yang ada di bumi ini”.
Redaksi ayat ini dalam rangka imtinan
(mengungkit kenikmatan) dan imtinan pastilah dengan sesuatu yang mubah dan
halal.
Dalam Hadits Muslim dari ‘Aisyah, Tsabit dan
Anas, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati suatu kaum yang
sedang mengawinkan (bunga kurma), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda.” Kalau kamu tidak lakukan itu, ia tetap akan bagus”. Maka pohon kurma
itu mengeluarkan buah yang jelek. Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
melewati mereka lagi dan bersabda,”Ada apa dengan pohon kurma kalian ? Mereka
berkata,” Engkau mengatakan begini dan begitu “. Beliau bersabda :
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمْرِ دُنْيَاكُمْ.
“Kamu lebih mengetahui urusan dunia kalian
“.[7]
Maka urusan menghalalkan yang halal dan
mengharamkan yang haram, demikian juga pensyari’atan ibadah, serta penjelasan
jumlah, tata cara dan waktunya, dan peletakan kaidah-kaidah umum dalam mu’amalat
hanya berasal dari Allah dan Rosul-Nya, bukan urusan ulil amri dari kalangan
ulama ataupun umara’. Kita dan mereka setara dalam masalah ini, maka segala
perselisihan dalam urusan ini tidak boleh dikembalikan kepada mereka, namun
harus dikembalikan kepada Allah dan Rosul-Nya.
Adapun untuk urusan dunia mereka lebih faham
dari kita, para ahli pertanian lebih mengetahui apa yang dapat memperbaiki dan
meningkatkan kwalitasnya, apabila mereka mengeluarkan sebuah perintah yang
berhubungan dengan pertanian, maka kewajiban umat adalah mentatati mereka.
Demikian juga ahli perniagaan dan ekonomi ditaati dalam urusan yang berhubungan
dengannya.
Kembali kepada ulil amri dalam kemashlahatan
umum sama dengan kembali kepada para dokter dalam mengetahui obat yang berbahaya
agar tidak dikonsumsi dan obat yang bermanfaat agar dapat digunakan.
Namun ini bukan berarti dokter yang
menghalalkan kepada kita yang bermanfaat dan mengharamkan yang berbahaya, akan
tetapi ia hanya sebagai pembimbing saja. Yang menghalalkan dan mengharamkan
hanyalah Allah saja, sebagaimana firman-Nya :
وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ.
“(Allah) Yang menghalalkan untuk mereka segala
yang baik dan mengharamkan atas mereka segala yang buruk”. (QS Al A’raaf :
157).[8]
Ini adalah madzhab jumhur ushuliyyin (ahli
ushul fiqih) dan Muhaqqiqin, bahwa pada asalnya segala sesuatu yang berhubungan
dengan urusan dunia ini adalah halal, maka kita boleh memproduksi apa saja yang
bermanfaat dalam kehidupan dunia ini, walaupun di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak ada, seperti berbagai jenis perabotan, sarana transportasi,
pengeras suara, dan berbagai kemajuan tekhnologi lainnya. Walaupun ini semua
dikatakan bid’ah, namun hanya sebatas bid’ah secara bahasa saja dan bukan bid’ah
secara istilah syari’at.
Sedangkan ibnu Abi Hurairah dari Syafi’iyyah
dan mu’tazilah baghdad serta Rafidlah berpendapat bahwa pada asalnya sesuatu
yang berhubungan dengan dunia ini adalah haram, alasan mereka yang paling kuat
adalah bahwa bumi milik Allah, sedangkan pada asalnya milik orang lain adalah
terlarang kecuali dengan idzin pemiliknya.
Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah,
karena Allah telah memberikan idzin kepada manusia untuk mempergunakan apa yang
ada di bumi ini selama tidak haram atau tidak menimbulkan mudlarat yang besar,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat dan hadits di atas.
Ketika ibnus Subki Asy Syafi’i menemukan
sebagian syafi’iyah berpendapat bahwa pada asalnya segala sesuatu itu haram,
beliau berkata dalam (Al Ibhaj 1/138) :” Al Qadli Abu Bakar menyebutkan dalam
attalkhish bahwa mereka itu tidak mempunyai kekokohan dalam ilmu kalam, dan
barang kali mereka membaca kitab-kitab mu’tazilah dan menganggap baik kaidah
tersebut, sehingga mereka berpendapat dengan pendapat tersebut, dan lalai bahwa
kaidah tersebut adalah keluar dari pokok firqah Qodariyah”.[9]
Kaidah dalam masalah ibadah
Bila kita telah mengetahui bahwa masalah
duniawi pada asalnya adalah halal, maka yang harus kita ketahui juga adalah
bahwa masalah ibadah pada asalnya adalah haram kecuali bila ada dalil yang
memerintahkan.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata dalam I’lamul
muwaqqi’in :” Telah diketahui bahwa tidak ada yang haram kecuali yang diharamkan
oleh Allah dan rosul-Nya, dan tidak ada dosa kecuali yang dianggap dosa oleh
Allah dan rosul-Nya. Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali yang diwajibkan
oleh Allah dan rosul-Nya, dan tidak ada agama kecuali yang Allah syari’atkan.
Maka pada asalnya dalam ibadah adalah terlarang sampai tegak dalil yang
memerintahkannya. Sedangkan dalam ‘aqad dan mu’amalat pada asalnya adalah sah
sampai tegak dalil yang membatalkannya.
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa
sesungguhnya Allah tidak diibadahi kecuali sesuai dengan apa yang Dia
syari’atkan melalui lisan para rosul-Nya, karena ibadah itu hak Allah atas
hamba-hambaNya, dan hak-Nya adalah yang Allah ridlai dan syari’atkan
“.[10]
Maka oleh karena ibadah itu adalah hak Allah
semata, maka tidak mungkin tata caranya diserahkan kepada selera manusia, karena
yang menurut manusia baik belum tentu disisi Allah baik. Maka sangat aneh ketika
seseorang yang melakukan bid’ah diingkari, ia berkata,” Mana dalilnya kalau
perbuatan itu terlarang (bid’ah)? padahal justru karena tidak ada dalilnya
perbuatan itu jadi terlarang, sebab pada asalnya ibadah itu terlarang sampai ada
dalil yang memerintahkannya.
2. bid’ah adalah sesuatu yang tidak ditunjukkan
oleh dalil dalam syari’at, adapun yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syari’at
maka bukanlah bid’ah secara istilah syari’at walaupun dari sisi bahasa ia
dikatakan bid’ah.
Ini ditunjukkan oleh definisi ibnu Rajab. Maka
yang bersumber dari Al Qur’an dan sunnah bukanlah bid’ah secara istilah syari’at
walaupun dianggap bid’ah secara bahasa, contohnya adalah mengumpulkan al qur’an,
shalat tarawih berjama’ah dengan satu imam, mengadakan adzan jum’at kedua,
mengharokati dan memberi titik kepada Al Qur’an, dan menyusun ilmu-ilmu syari’at
seperti ilmu Nahwu, shorof, mustholah hadits, ushul fiqih dan
lain-lain.
Dan inilah makna perkataan Umar bin Khaththab
ketika mengumpulkan manusia untuk shalat tarawih berjama’ah dengan satu imam : ”Inilah sebaik-baik bid’ah“.
Maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa bukan
menurut istilah syari’at, karena bagaimana mungkin perkataan Umar tersebut
dibawa kepada bid’ah menurut istilah syari’at, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam sendiri yang mencontohkannya, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Abu
Dawud dalam sunannya no 1373 ia berkata haddatsana Al Qo’nabi dari Malik bin
Anas dari ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Zubair dari Aisyah istri Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
sholat (tarawih) di masjid, maka orang-orang mengikuti sholatnya, kemudian di
hari kedua beliau sholat lagi, maka manusia menjadi banyak yang hadir, kemudian
di malam yang ketiga manusia telah berkumpul, akan tetapi Rosulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tidak keluar. Di pagi harinya beliau bersabda :
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِيْ مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ.
“Aku telah melihat apa yang kalian lakukan,
tidak ada yang menghalangiku keluar kepada kalian kecuali karena aku takut
diwajibkan atas kalian “. Dan itu terjadi pada bulan Ramadlan.
Sanad hadits ini tidak diragukan lagi
keshahihannya, karena semua perawinya masyhur akan ketsiqohannya.
Al Hafidz ibnu Rajab berkata,” Adapun yang ada
pada perkataan ulama salaf terdahulu yang menganggap baik sebagian bid’ah, maka
ia adalah bid’ah menurut bahasa bukan bid’ah menurut istilah syari’at,
diantaranya adalah perkataan Umar bin Khaththab : ” inilah sebaik-baiknya
bid’ah”. Maksud beliau adalah bahwa belum dilakukan dengan cara seperti itu
sebelum waktu tersebut. Akan tetapi ia mempunyai asal dalam syari’at yang
menjadi rujukan, diantaranya adalah anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk qiyam ramadlan, dan adalah manusia di zamannya melakukan shalat
(qiyamulail) di masjid menjadi beberapa jama’ah yang terpencar dan ada juga yang
melakukannya sendirian, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat
bersama para shahabatnya di bulan Ramadlan lebih dari satu malam, kemudian
beliau berhenti dengan alasan takut diwajibkan kepada mereka, dan alasan ini
telah hilang setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam wafat”.[11]
Ini pula yang diinginkan oleh imam Asy Syafi’I,
beliau membagi bid’ah menjadi dua macam : bid’ah mahmudah (yang terpuji), dan
bid’ah madzmumah (yang tercela). Beliau mendefinisikan bid’ah yang terpuji
sebagai bid’ah yang sesuai dengan sunnah atau tidak bertentangan dengan Al
Qur’an, Sunnah, Atsar maupun ijma’.[12]
Sesuatu yang sesuai dengan sunnah tidak boleh
disebut bid’ah menurut istilah syari’at, walaupun dianggap bid’ah menurut
bahasa. Sedangkan yang bertentangan dengan sunnah maka itulah hakikat bid’ah
yang sesat, sebuah contoh adalah bahwa imam Asy Syafi’I menganggap tahlilan
sebagai sesuatu yang diharamkan, beliau berkata :
وأكره المأتم وهي الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذالك يجدد الحزن
“Dan aku mengharamkan ma’tam yaitu berkumpul
(di rumah keluarga mayit), meskipun disitu tidak ada tangisan, karena hal itu
malah akan menimbulkan kesedihan baru”.[13]
Bahkan madzhab Asy Syafi’iyah sendiri
mengharamkan tahlilan dan menganggapnya sebagai bid’ah yang mungkar, sebagaimana
disebutkan dalam kitab I’anatu thalibin 2/165. Yang anehnya sebagian orang
berdalil dengan perkataan imam Syafi’I untuk menetapkan adanya bid’ah hasanah
diantaranya adalah tahlilan, padahal imam Syafi’I dan para pengikutnya
menganggapnya sebagai bid’ah yang mungkar.
- Baca artikel pembahasannya disini: Ritual Tahlilan Dalam Timbangan Islam
3. setiap perkara yang menyelisihi Al Qur’an,
atau sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau atsar para shahabatnya adalah
bid’ah yang sesat.
Ini ditunjukkan oleh definisi imam Asy Syafi’I
dalam riwayat Rabie’ di atas. lalu apakah yang dimaksud menyelisihi dalam
perkataan beliau tersebut ? diantara maknanya adalah melakukan suatu ibadah atau
tata cara ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallalahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabatnya. Oleh karena itu imam Asy Syafi’I mengharamkan
ma’tam (tahlilan) sebagaimana telah kita sebutkan diatas. Dan ini yang
ditunjukkan oleh perkataan para ulama setelahnya.
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan An
Najm : 39, merajihkan tidak sampainya pahala bacaan Al Qur’an kepada mayat,
beliau beralasan,” Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah
menyunnahkannya kepada umatnya, tidak pula menganjurkannya, dan tidak pula
membimbing untuk melakukannya baik dengan nash maupun dengan isyarat, dan
perbuatan itu juga tidak pernah dinukil dari para shahabat seorang pun, kalaulah
itu baik tentu mereka telah mendahului kita kepada perbuatan tersebut. Dan
masalah qurubat (ibadah) hanya terbatas dengan apa yang ada dalam nash dan tidak
boleh dipergunakan pada qiyas tidak juga ra’yu. Adapun do’a dan shodaqoh maka ia
sampai kepada mayat dengan kesepakatan ulama karena adanya nash dari Asy Syari’
(Allah)”.[14]
Beliau beralasan karena hal tersebut tidak
pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya.
Imam An Nawawi Rahimahullah ketika menganggap
shalat raghaib dan nishfu Sya’ban sebagai bid’ah yang mungkar beliau berkata,”
Alhamdulillah, dua sholat tadi tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam tidak juga seorangpun dari shahabat tidak pula imam yang empat,
tidak pernah juga dilaksanakan oleh ulama yang dijadikan panutan, dan tidak sah
satupun hadits mengenai hal itu, ia baru diadakan pada generasi-generasi
terakhir, dan mengerjakan dua sholat tersebut termasuk bid’ah yang
mungkar…”.[15]
Syaikh Abdul Qadir Jailani rahimahullah ketika
menetapkan keyakinan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arasy, beliau berkata,”
Bersemayam dzat-Nya di atas ‘Arasy bukan dengan makna duduk menyentuh
sebagaimana yang dikatakan oleh mujassimah dan karomiyah, bukan juga dengan
makna berkuasa sebagaimana yang dikatakan oleh mu’tazilah, karena syari’at ridak
menyebutkan demikian, tidak pula ada nukilan dari para shahabat, tabi’in dan
salafusshalih dari kalangan ashhabul hadits seorang pun juga “.[16]
Perkataan-perkataan para ulama di atas memberi
pemahaman kepada kita, bahwa setiap ibadah atau keyakinan yang tidak pernah
dilakukan atau tidak pernah diyakini oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan
para shahabatnya adalah bid’ah yang mungkar, dan ini berlaku kepada banyak
amalan di zaman ini seperti perayaan maulid Nabi, perayaan isra mi’raj, perayaan
tahun baru dan lain-lain karena semua itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan
para shahabatnya, walaupun diperbolehkan dengan dalih adanya fatwa sebagian
ulama, karena ulama dapat diterima perkataannya bila tidak menyelisihi Al
Qur’an, sunnah dan atsar para shahabat.
4. bahwa bid’ah (menurut makna syari’at)
semuanya sesat, maka tidak ada bid’ah hasanah, karena bid’ah bertentangan dengan
syari’at sehingga semuanya tercela.
Kaidah ini ditunjukkan oleh sunnah dan ijma’
para shahabat. Jabir radliyallahu ‘anhu berkata,” Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam biasa berkata di dalam khutbahnya : memuji Allah dan menyanjung-Nya
sesuai dengan keagungan-Nya, kemudian beliau bersabda :
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
“Siapa saja yang Allah tunjuki maka tidak ada
yang dapat menyesatkannya, dan siapa saja yang Dia sesatkan maka tidak ada yang
dapat memberinya hidayah. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah
kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Dan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan, dan
setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan
setiap kesesatan di dalam api Neraka”. (HR An Nasai, ibnu Khuzaimah dan
lainnya).[17]
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, dan kata “kullu” adalah
termasuk lafadz-lafadz yang umum sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab ilmu
ushul fiqih dan bahasa arab. Dan ini dikuatkan oleh pemahaman para shahabat
sebagaimana yang dikeluarkan oleh Al laalikai dalam kitab syarah I’tiqad
ahlissunnah wal jama’ah dengan sanadnya kepada Abdullah bin Umar radliyallahu
‘anhuma ia berkata,” Setiap bid’ah itu sesat walaupun dipandang baik oleh
manusia”.[18]
Di dalam kisah yang terkenal dari ibnu Mas’ud
radliyallahu ‘anhu ketika beliau melewati masjid yang ada padanya suatu kaum
yang sedang duduk berhalaqoh-halaqoh, mereka membaca takbir, tahlil dan tasbih
dengan tata cara yang tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabatnya. Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dan berkata
:
عُدُّوْا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَاِمٌن أَنْ لاَ يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ, وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ! هَؤُلاءِ صَحَابَةَ نَبِيِّكُمْ مُتَوَافِرُوْنَ وَ هَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ. وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُوا بَابَ ضَلاَلَةٍ. قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ.
“Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian, aku
jamin tidak akan sia-sia kebaikan kalian sedikitpun. Celaka kalian wahai umat
Muhammad, betapa cepatnya kebinasaan kalian ! Mereka para shahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam masih banyak, dan ini bajunya belum lusuh, dan
bejananya pun belum pecah. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, apakah
kalian berada di atas hidayah lebih tertunjuki dari agama Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, ataukah kalian membuka pintu kesesatan
?
Mereka berkata, ”Wahai Abu Abdirrahman, kami
hanya menginginkan kebaikan”. Beliau menjawab, ”Berapa banyak orang yang
menginginkan kebaikan namun ia tidak mendapatkannya”.
Kisah ini diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam
sunannya[19] : Akhbarona Al Hakam bin Al Mubarok akhbarona ‘Umar bin Yahya aku
mendengar ayahku menceritakan dari ayahnya :” Kami duduk-duduk di depan rumah
Abdullah bin Mas’ud sebelum sholat shubuh, apabila beliau telah keluar, kamipun
berjalan bersamanya menuju masjid, lalu Abu Musa Al Asy’ari mendatangi kami dan
berkata, ”Apakah Abu Abdirrahman telah keluar ? setelah kami berkata tidak, ia
pun duduk bersama kami hingga beliau keluar, ketika beliau telah keluar, kami
semua bangkit kepadanya. Abu Musa Al Asy’ari berkata,” Wahai Abu Abdirrahman,
tadi aku melihat di masjid suatu perbuatan yang aneh, dan aku memandangnya
sebagai sebuah kebaikan alhamdulillah”. Ia berkata,” Apa itu ? ia menjawab,”
Jika masih hidup, engkau akan melihatnya. Aku melihat di masjid suatu kaum
berhalaqoh-halaqoh duduk menunggu shalat, setiap halaqoh dipimpin satu orang dan
ditangan mereka terdapat batu kerikil, apabila pemimpinnya berkata,”
bertakbirlah seratus kali ! mereka pun bertakbir seratus kali. Tahlil 100 kali,
merekapun bertahlil seratus kali, bertatsbihlah 100 kali, merekapun
melakukannya. Ibnu Mas’ud berkata,” Apa yang engkau katakan kepada mereka ? ia
menjawab,” Aku tidak mengatakan apa pun kepada mereka karena menunggu pendapatmu
atau menunggu perintahmu…dst.
Qultu : sanad hadits ini jayyid, Al Hakam bin
Al mubarok di tsiqohkan oleh ibnu Mandah dan ibnu hibban namun ibnu ‘Adi
mengisyaratkan bahwa ia termasuk perawi yang mencuri hadits sehingga Al Hafidz
ibu Hajar mengatakan tentangnya : shoduq rubbama wahim, sementara Adz Dzahabi
dalam Al kasyif berkata,” Tsiqah”.
Sedangkan ‘Umar bin Yahya yang benar adalah
Amru bin yahya yaitu bin Amru bin salamah, ibnu Ma’in dalam riwayat Ahmad bin
Abi Yahya berkata,” Laisa bisyai’ “. Namun Ahmad bin Abi yahya ini adalah Al
Anmathi ia kadzdzab sebagaimana yang dikatakan oleh Adz Dzahabi dalam Al Mizan,
dan dalam riwayat Al Laits bin ‘Abdah ibnu Ma’in berkata,” La yurdla (tidak
diridlai) “. (Al Kamil ibnu ‘Adi) Namun perawi dari Al Laits adalah Ahmad bin
Ali yaitu Al Madaaini, ibnu yunus berkata,” laisa bidzaaka”. (Mizanul I’tidal
1/122). Sementara dalam riwayat Ishaq bin Manshur, ibnu Ma’in berkata,” Tsiqah
“. (Al Jarhu watta’dil ibnu Abi Hatim 6/269). Dan ini adalah riwayat yang paling
kuat. Adapun perkataan ibnu Kharrasy mengenai ‘Amru :” Laisa bimardliyy (tidak
diridlai)”. Adalah jarh yang mubham tidak mufassar sehingga dapat kita simpulkan
bahwa ‘Amru bin yahya adalah perawi yang tsiqah, karena ibnu Ma’in seorang ulama
yang dikategorikan mutasyaddid dalam tautsiq, maka apabila beliau mentsiqohkan
seorang perawi maka gigitlah kuat-kuat, kecuali bila bertentangan degan jumhur.
Wallahu a’lam.
Kisah ini adalah praktek dari hadits Nabi
shallalahu ‘alaihi wasallam bahwa semua bid’ah adalah sesat. Dalam kisah
tersebut mereka berhujjah dengan niat dan tujuan yang baik, sehingga mereka
memandang baik perbuatan tersebut, lebih-lebih yang mereka ucapkan adalah
dzikir-dzikir yang asalnya disyari’atkan.
Namun Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu
tidak memandang dari asal hukum dzikir, beliau memandang dari sisi tata caranya
yang tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
para shahabatnya. Beliau berkata,” Berapa banyak orang yang menginginkan
kebaikan namun ia tidak mendapatkannya”. Artinya sebatas niat yang baik tidaklah
cukup bila tata caranya tidak sesuai dengan praktek Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabatnya.
Inilah yang difahami oleh para shahabat
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu bahwa semua bid’ah adalah sesat,
Dan pendapat mereka tidak diselisihi oleh shahabat lainnya sehingga menjadi
hujjah, imam Asy Syafi’I berkata,” dan jika salah seorang dari mereka (para
shahabat) berpendapat dan tidak diselisihi oleh shahabat lain, kamipun tetap
mengambil pendapatnya “.[20] adapun perkataan Umar bin Khaththab :” Inilah
sebaik-baiknya bid’ah”. Maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa bukan menurut
istilah syari’at sebagaimana telah kita bahas.
Bila ada yang bertanya, benarkah kata kullu
selalu berarti semua ? jawabnya adalah benar, karena semua ahli ushul fiqih
menyatakan bahwa kullu adalah termasuk lafadz-lafadz umum. Dalam kitab Nuzhatul
khatir syarah kitab roudlatunnaadzir disebutkan :” Lafadz-lafadz umum ada lima
macam yaitu… macam keempat : Kullu dan jamii’.[21] Dan lafadz yang umum tidak
boleh dikhususkan kecuali dengan dalil, dan tidak ada dalil yang memalingkan
hadits kullu bid’ah dlolalah (setiap bid’ah adalah sesat).
Oleh Ustadz Abu Yahya Badrussalam
________
[1] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anil ‘Adziem
1/223. Cet. Maktabah taufiqiyah, Tahqiq Hani Al Haaj.
[2] Mana dalilnya, hal 13. Dan makna ini adalah
benar sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka,
namun sayang penulis kitab mana dalilnya tidak memahami tujuan makna bid’ah
secara bahasa dan istilah.
[3] I’lamul muwaqqi’in 2/151, tahqiq Masyhur
Hasan Salman.
[4] Al I’tishom 1/50, tahqiq Salim bin ‘Ied Al
Hilali.
[5] Jami’ul ‘ulum wal hikam 2/127 tahqiq
Syu’aib Al Arnauth.
[6] Al Amru bil ittiba’ wan nahyu ‘anil ibtida’
hal 88.
[7] Muslim 4/1836 no 2363. Tarqim Muhammad Fuad
Abdul Baqi.
[8] Muhammad Ahmad Al’Adawi, Ushul fil bida’
wassunan hal 94.
[9] At Tahqiqat wattanqihat assalafiyat ‘ala
matnil waraqat, karya Syaikh Masyhur Salman hal 588-589.
[10] Lihat ilmu ushul bida’ karya Syaikh Ali
Hasan hal. 70.
[11] Ibnu Rajab, Jami’ul ulum wal hikam 2/128.
Tahqiq Syu’aib Al Arnauth.
[12] Lihat buku mana dalilnya hal
14-15.
[13] Al Umm 1/248.
[14] Ibnu Katsir, Tafsir AlQur’anil ‘Adziem
7/356-357 cet. Maktabah Taufiqiyah ta’liq Hani Al Haaj.
[15] Lihat kitab Al Bida’ al hauliyah
265-266.
[16] Al Gunyah 1/56.
[17] An Nasai 3/209 no 1577 cet. Ke III Darul
ma’rifah Beirut, dan ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 3/143 no 1785 cet. II Al
Maktabul islami. Dari jalan Abdullah bin Mubarak dari Sufyan Ats Tsauri dari
Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bin Abdillah. Qultu : sanad hadits
ini shahih, Ja’far bin Muhammad yaitu Ash shodiq di tsiqohkan oleh ibnu Ma’in
dan Abu Hatim serta imam Asy Syafi’I rahimahumullah. Lihat Al Kasyif 1/295
tahqiq Muhammad ‘Awwamah.
[18] 1/104 no 126, dan ibnu Baththah no 205
dari jalan Syababah haddatsana Hisyam bin Al Ghaaz dari Nafi’ dari ibnu ‘Umar.
Qultu : sanad hadits ini shahih, Syababah yaitu bin Sawwaar Al Madaaini, ia
tsiqah sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam
attaqrib.
[19] 1/68-69 cet. daar ihya ussunnah
annabawiyyah
[20] I’lamul muwaqqi’in karya ibnu Qayyim 2/150
tahqiq Masyhur Hasan Salman.
[21] 2/108 cet. Pertama darul hadits
beirut.
Baca juga artikel berkaitan yang sudah ada di Blog ini
Apa itu Bid'ah
- Pemahaman Bid’ah Untuk Orang Awam
- Mengenal Bid'ah
- 10 Faedah Tentang Bid'ah
- Keanehan-Keanehan Pelaku Bid'ah
- Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasanah?
- ‘Umar dan Imam Syafi’i Berbicara Tentang Bid’ah Hasanah
- Imam Syafi'i Mendukung Bid'ah Hasanah?
- Berjabat Tangan Setelah Shalat
- Bid’ah dan Bahayanya
- Jadilah Perintis Sunnah Hasanah Bukan Bid’ah Hasanah!
- Ini Dalilnya (1): Manakah Bid’ah dan Manakah Sunnah?
- Ini Dalilnya (2): Jadikan Manhaj Salaf Sebagai Rujukan
- Ini Dalilnya (3): Tidak Semua yang Baru Berarti Bid’ah [?]
- Bid'ah Hasanah? Itulah Bid'ah yang Sesat
Ritual
- Ritual Tahlilan Dalam Timbangan Islam
- Tradisi Masyarakat Islam Yang Bersumber Dari Ajaran Agama Hindu
- Derajat Hadits Fadhilah Surat Yasin
- Catatan-Catatan Penting Seputar Yasinan
- Hukum Mengirim Pahala kepada Mayit
- Shalawat-Shalawat Bid’ah Buatan Kaum Sufi
- Shalawatan Setelah Adzan
- Untuknya Kukirim al-Fatihah..
- Majelis Dzikir TIDAKLAH SAMA dengan Dzikir Jama’i
- Hadits Dhoif dan Bid’ah dalam Kitab al-Ma’tsurat Karya Hasan al-Banna
- Tujuan Ziarah Kubur Dalam Kaca Mata Sufi
- Dzikir Asmaul Husna
- Haruskah Berbai'at? Bai'at Antara yang Sunnah dan yang Bid’ah
- Menyoal 20 Sifat Wajib Bagi Allah
- Perayaan Isra' Mi'raj Dalam Tinjauan
- Hukum Perayaan Haul
- Bid'ah Hari Raya Ketupat (Hari Raya Al Abrar)
- 11 Puasa Bid'ah Ala Kejawen
- Bid'ah-Bid'ah di Kuburan
- Sejarah Kelam Maulid Nabi
- Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam Menurut Syari’at Islam
- Tahlilan, Yasinan dan Maulid Nabi
- Kemunkaran Dalam Kitab Berzanji Dan Perayaan Maulid Nabi
- Salah Satu Ritual Ibadah yang Dibenci Imam Syafi’i
0 komentar:
Posting Komentar