Saudaraku  seiman, saya ingin menceritakan kisah ini kepada anda sekalian, yang  didalamnya terkandung nasehat dan pelajaran. Maka janganlah ragu, dan  jangan segan-segan untuk mengirimkannya kepada orang-orang yang anda  cintai, dan mendo’akan orang yg telah menulis, membaca dan mengutipnya.
Ya  sebuah kisah yang menceritakan detik-detik terakhir wafatnya Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Wafatnya Nabi kita tercinta Muhammad  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Sebuah kisah yang sangat mengagumkan dan  menggetarkan dada orang-orang yg beriman. Maka simaklah detik-detik yg  mengharukan berikut ini.
Sebelum  beliau wafat, beliau melakukan haji terakhir yang disebut sebagai haji  wada’ (haji perpisahan). Saat beliau melakukan ibadah tersebut turunlah  firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang artinya:”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk  kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan nitmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam  itu jadi agama bagimu.” (QS.al-Maidah:3)
Maka  menangislah Abu Bakar as shiddiq radhiyallahu'anhu. Bersabdalah Rasulullah Shalallahu  ‘Alaihi Wassalam kepadanya: “Apa yg membuatmu menangis dalam ayat  tersebut?” Abu Bakar menjawab: ” Ini adalah berita kematian Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.”
Kembalilah  Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari haji wada’ dan kurang dari  tujuh hari wafat beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, turunlah ayat  al-Qur’an paling akhir yang artinya: “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang  terjadi pada) hari yg pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada  Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap  apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya  (dirugikan).” (QS.al-Baqarah:281).
Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mulai menampakkan sakit beliau. Beliau  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata:”Aku ingin mengunjungi syuhada  ‘Uhud”, maka beliaupun berangkat pagi menuju syuhada ‘Uhud di awal-awal  bulan Shafar tahun 11 H. Lalu berdiri diatas makam para syuhada dan  berkata:” Assalamu’alaikum wahai syhada ‘Uhud, kalian adalah orang-orang  yang mendahului kami dan kami insya Allah akan menyusul kalian, dan  sesungguhnya aku, insya Allah akan menyusul kalian.”
Kemudian  Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pulang sambil menangis. Maka  para sahabat bertanya kepada Rasululah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam: “Apa  yang membuat anda menangis wahai Rasulullah ?” Beliau bersabda: ”Aku  merindukan saudara-saudaraku seiman.” Mereka berkata: ”Bukahkah kami  adalah saudaramu seiman wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: ”Bukan,  kalian adalah sahabat-sahabatku, adapun saudara-saudaraku seiman adalah  suatu kaum yang datang setelahku, mereka beriman kepadaku sedang mereka  belum pernah melihatku.”
Saya berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala mudah-nudahan kita semua termasuk mereka yang dirindukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. -Amin-
Pada  hari senin 29 Shafar beliau menghadiri jenazah di Baqi’. Ketika pulang  beliau merasakan pusing di kepala dan panas badannya meninggi. Maka  beliaupun mulai sakit dan terus bertambah sakit. Selama sakitnya itu  beliau tetap memimpin shalat selama 11 hari dari 13 atau 14 hari masa  sakit beliau. Sejak kamis malam, 4 hari sebelum wafat beliau, pada waktu  shalat Isya’, beliau meminta agar Abu Bakar radhiyallahu'anhu menggantikannya dalam  memimpin shalat.
Tiga  hari sebelum beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam wafat, sakit beliau  mulai mengeras. Beliau saat itu berada dirumah Sayyidah Maimunah radhiyallahu'anha.  Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:” Kumpulkanlah  istri-istriku.” Maka berkumpullah istri-istri beliau Shalallahu ‘Alaihi  Wassalam, beliau bersabda kepada mereka:” Apakah kalian mengizinkan aku  untuk tinggal di rumah ‘Aisyah?” Maka mereka menjawab:” Kami mengizinkan  anda wahai Rasulullah.”
Kemudian  beliau berkeinginan untuk berdiri, akan tetapi beliau tidak mampu.  Datanglah ‘Ali ibn Abi Thalib, dan al-Fadl ibn al-‘Abbas radhiyallahu'anhu. Maka  merekapun membopong Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, lalu mereka  memindahkan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari kamar Maimunah radhiyallahu'anha  menuju kamar ‘Aisyah radhiyallahu'anha.
Adapun  para sahabat, baru pertama kali ini mereka melihat Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dibopong di atas dua tangan. maka  berkumpullah para sahabat dan mereka berkata:” Apa yang terjadi pada  Rasulullah, apa yang terjadi pada Rasulullah?”
Mulailah  manusia berkumpul di dalam masjid. Masjidpun mulai penuh dengan para  sahabat radhiyallahu'anhuma. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dibawa menuju rumah ‘Aisyah  radhiyallahu'anha. Mulailah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mencucurkan  keringat, berkeringat dan berkeringat. Berkatalah ‘Aisyah radhiyallahu'anha:”Sungguh  belum pernah aku melihat ada seorang manusia yg berkeringat deras  seperti ini.” Maka dia mengambil tangan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi  Wassalam dan dengannya dia mengusap keringat beliau. (Maka mengapakah  dia mengusap keringat dengan tangan beliau dan tidak mengusapnya dengan  tangannya sendiri?) ‘Aisyah radhiyallahu'anha berkata:” Sesungguhnya tangan Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam lebih lembut dan lebih mulia daripada  tanganku, oleh karena itulah aku mengusap keringat beliau dengan tangan  beliau dan tidak dengan tanganku.” (ini adalah sebuah penghormatan  terhadap Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam)
‘Aisyah  radhiyallahu'anha berkata:”Aku mendengar beliau berkata:”Laa Ilaha illallah,  sesungguhnya kematian itu memiliki sekarat, Laa Ilaha illallah,  sesungguhnya kematian itu memiliki sekarat.”
Mulailah  suara-suara didalam masjid meninggi. Bersabdalah Nabi Shalallahu  ‘Alaihi Wassalam:”Apa ini?” Berkatalah ‘Aisyah radhiyallahu'anha: “Sesungguhnya manusia  mengkhawatirkan anda wahai Rasulullah.” Beliaupun bersabda: ”Bawalah  aku kepada mereka.” Maka beliau berkehendak untuk bangun, akan tetapi  tidak mampu. maka para sahabat menyirankan tujuh qirbah (timba) air  kepada beliau hingga beliau bangkit, dan membawa beliau naik ke atas  mimbar.
Jadilah  khutbah tersebut adalah khutbah terakhir beliau Shalallahu ‘Alaihi  Wassalam, menjadi kalimat terakhir Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi  Wassalam dan doa terakhir Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Beliau  bersabda:” Wahai manusia, kalian mengkhawatirkan aku?” Mereka  menjawab:” Ya, wahai Rasulullah.” Bersabdalah Rasulullah Shalallahu  ‘Alaihi Wassalam: ”Sesungguhnya tempat perjanjian kalian dengan aku  bukanlah di dunia, tempat perjanjian kalian denganku adalah di haudh  (telaga). Demi Allah, sungguh seakan-akan aku sekarang sedang melihat  kepadanya di depanku ini. Wahai manusia, demi Allah, tidaklah kefakiran  yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi yang aku khawatirkan  adalah dibukanya dunia atas kalian, sehingga kalian akan berlomba-lomba  mendapatkannya, sebagaimana orang-orang sebelum kalian telah  berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Maka dunia itu akan membinasakan  kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”
Kemudian  beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: ”Allah Allah, shalat, Allah  Allah, shalat.” (maksudnya; Aku bersumpah demi Allah terhadap kalian  agar kalian menjaga shalat) beliau terus mengulang-ulangnya, lantas  bersabda: ” Wahai manusia, bertakwalah kalian terhadap kaum wanita, aku  wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap kaum wanita.”
Kemudian  beliau bersabda:” Wahai manusia, sesungguhnya ada seorang hamba, yang  Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberikan pilihan kepadanya antara dunia dan antara apa  yang ada di sisi-Nya, maka dia memilih apa yang ada di sisi-Nya.”
Tidak  ada yang memahami siapakah yang dimaksud dengan seorang hamba oleh  Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tadi, padahal yang dimaksud oleh  Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam adalah diri beliau sendiri. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberikan pilihan kepada beliau dan tidak ada seorangpun  yang paham selain Abu Bakar radhiyallahu'anhu. dan kebiasaan para sahabat saat  beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedang berbicara adalah mereka diam,  seakan-akan ada seekor burung yang bertengger di atas kepala mereka.  maka saat Abu Bakar radhiyallahu'anhu mendengar perkataan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi  Wassalam, dia tidak mampu menguasai dirinya, dengan serta merta dia  menangis dengan sesengukan, dan ditengah masjid dia memotong pembicaraan  Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dia berkata:”Kami tebus anda  dengan bapak-bapak kami wahai Rasulullah, kami tebus anda dengan ibu-ibu  kami wahai Rasulullah, kami tebus anda dengan harta-harta kami wahai  Rasulullah.” dia mengulang-ulangnya, sementara para sahabat melihat  kepadanya dengan pandangan heran, bagaimana dia berani memotong khutbah  Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam?” 
Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda :”Wahai manusia, tidak ada  seorangpun diantara kalian yg memiliki keutamaan di sisi kami melainkan  kami telah membalasnya, kecuali Abu Bakar, aku tidak mampu membalasnya,  maka aku tinggalkan balasannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Setiap pintu masjid  ditutup kecuali pintu Abu Bakar radhiyallahu'anhu tidak akan di tutup selamanya.”
Kemudian  mulailah beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berdo’a untuk mereka dan  berkata pada akhir do’a beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sebelum  wafat:” Mudah-mudahan Allah menetapkan kalian, mudah-mudahan Allah  menjaga kalian, mudah-mudahan Allah menolong kalian, mudah-mudahan Allah  meneguhkan kalian, mudah-mudahan Allah menguatkan kalian, mudah-mudahan  Allah menjaga kalian.”
Dan  kalimat terkahir yang beliau sampaikan sebelum beliau turun dari atas  mimbar sambil menghadapkan wajah beliau kepada ummat dari atas mimbar  adalah:” Wahai manusia sampaikanlah salamku kepada orang yang mengikutiku  diantara ummatku hingga hari kiamat.” Setelah itu beliaupun dibawa  kembali ke rumah beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.
Masuklah  Abdurrahman ibn Abu Bakar, dan ditangannya ada sebatang siwak. Beliau  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam terus melihat kearah siwak tersebut, tetapi  tidak mampu berkata aku menginginkan siwak. ‘Aisyah radhiyallahu'anha berkata: ”Aku  paham dari pandangan kedua mata beliau, bahwa beliau menginginkan siwak  tersebut. Maka aku ambil siwak itu darinya (yakni Abdurrahman ibn Abu  Bakar), kemudian aku letakkan dimulutku, agar aku melunakkannya untuk  Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, kemudian aku berikan siwak tersebut  kepada beliau. Maka sesuatu yang paling akhir masuk ke dalam perut Nabi  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam adalah air ludahku.” ‘Aisyah radhiyallahu'anha berkata:  ”Termasuk sebuah keutamaan dari Rabb-ku atasku adalah Dia telah  mengumpulkan antara air ludahku dangan air ludah Nabi Shalallahu ‘Alaihi  Wassalam sebelum beliau wafat.”
Kemudian  masuklah putri beliau Fathimah radhiyallahu'anha pada waktu dhuha di hari Senin 12  Rabi’ul awal 11 H, lalu dia menangis saat masuk kamar Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Dia menangis karena biasanya setiap kali  dia masuk menemui Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau  berdiri dan menciumnya di antara kedua matanya, akan tetapi sekarang  beliau tidak mampu berdiri untuknya. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi  Wassalam bersabda kepadanya:” Mendekatlah kemari wahai Fathimah.”  Beliaupun membisikkan sesuatu di telinganya, maka dia pun menangis.  Kemudian beliau bersabda lagi untuk kedua kalinya:” Mendekatlah kemari  wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu sekali lagi, maka diapun  tertawa.
Maka  setelah kematian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, mereka  bertanya kepada Fathimah radhiyallahu'anha : “Apa yg telah dibisikkan oleh Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepadamu sehingga engkau menangis, dan apa  pula yang beliau bisikkan hingga engkau tertawa?” Fathimah radhiyallahu'anha berkata:”  Pertama kalinya beliau berkata kepadaku:” Wahai Fathimah, aku akan  meninggal malam ini.” Maka akupun menangis. Maka saat beliau mendapati  tangisanku beliau kembali berkata kepadaku:” Engkau wahai Fathimah,  adalah keluargaku yang pertama kali akan bertemu denganku.” Maka akupun  tertawa.
Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil Hasan dan Husain, beliau mencium  keduanya dan berwasiat kebaikan kepada keduanya. Lalu Nabi Shalallahu  ‘Alaihi Wassalam memanggil semua istrinya, menasehati dan mengingatkan  mereka. Beliau berwasiat kepada seluruh manusia yang hadir agar menjaga  shalat. Beliau mengulang-ulang wasiat itu.
Lalu  rasa sakitpun terasa semakin berat, maka beliau bersabda :” Keluarkanlah  siapa saja dari rumahku.” Beliau bersabda:” Mendekatlah kepadaku wahai  ‘Aisyah!” Beliaupun tidur di dada istri beliau ‘Aisyah radhiyallahu'anha . ‘Aisyah radhiyallahu'anha  berkata:” Beliau mengangkat tangan beliau seraya bersabda:” Bahkan  Ar-Rafiqul A’la bahkan Ar-Rafiqul A’la.” Maka diketahuilah bahwa  disela-sela ucapan beliau, beliau disuruh memilih diantara kehidupan  dunai atau Ar-Rafiqul A’la.
Masuklah  malaikat Jibril 'Alaihis Salam menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam seraya  berkata:” Malaikat maut ada di pintu, meminta izin untuk menemuimu, dan  dia tidak pernah meminta izin kepada seorangpun sebelummu.” Maka beliau  berkata kepadanya:” Izinkan untuknya wahai Jibril.” Masuklah malaikat  Maut seraya berkata:” Assalamu’alaika wahai Rasulullah. Allah telah  mengutusku untuk memberikan pilihan kepadamu antara tetap tinggal di  dunia atau bertemu dengan Allah di Akhirat.” Maka Nabi Shalallahu  ‘Alaihi Wassalam bersabda: ” Bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la (Teman yang  tertinggi), bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la, bersama-sama dengan  orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu : para nabi, para  shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka  itulah rafiq (teman) yang sebaik-baiknya.”
‘Aisyah  radhiyallahu'anha menuturkan bahwa sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam  wafat, ketika beliau bersandar pada dadanya, dan dia mendengarkan beliau  secara seksama, beliau berdo’a:
“Ya  Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan susulkan aku pada ar-rafiq  al-a’la. Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la, Ya Allah (aku minta)  ar-rafiq al-a’la.” Berdirilah malaikat Maut disisi kepala Nabi  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam -sebagaimana dia berdiri di sisi kepala  salah seorang diantara kita- dan berkata:” Wahai roh yang bagus, roh  Muhammad ibn Abdillah, keluarlah menuju keridhaan Allah, dan menuju Rabb  yang ridha dan tidak murka.”
Sayyidah  ‘Aisyah radhiyallahu'anha berkata: ”Maka jatuhlah tangan Nabi Shalallahu ‘Alaihi  Wassalam, dan kepala beliau menjadi berat di atas dadaku, dan sungguh  aku telah tahu bahwa beliau telah wafat.” 'Aisyah radhiyallahu'anha berkata: ”Aku tidak tahu  apa yang harus aku lakukan, tidak ada yang kuperbuat selain keluar dari  kamarku menuju masjid, yang disana ada para sahabat, dan kukatakan: ”Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat.”  Maka mengalirlah tangisan di dalam masjid. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu  terduduk karena beratnya kabar tersebut, ‘Ustman bin Affan radhiyallahu'anhu seperti  anak kecil menggerakkan tangannya ke kanan dan kekiri. Adapun Umar bin  al-Khaththab radhiyallahu'anhu berkata:” Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa  Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan kupotong  kepalanya dengan pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya  sebagaimana Musa 'alais salam pergi untuk menemui Rabb-Nya.” Adapun orang yang  paling tegar adalah Abu Bakar radhiyallahu'anhu, dia masuk kepada Rasulullah Shalallahu  ‘Alaihi Wassalam, memeluk beliau dan berkata: ”Wahai sahabatku, wahai  kekasihku, wahai bapakku.” Kemudian dia mencium Nabi Shalallahu ‘Alaihi  Wassalam dan berkata : ”Anda mulia dalam hidup dan dalam keadaan mati.”
Keluarlah  Abu Bakar radhiyallahu'anhu menemui manusia dan berkata: ”Barangsiapa menyembah  Muhammad, maka Muhammad sekarang telah wafat, dan barangsiapa yang  menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah kekal, hidup, dan tidak akan  mati.” Maka akupun keluar dan menangis, aku mencari tempat untuk  menyendiri dan aku menangis sendiri.”
Inna  lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah orang yg  paling mulia, orang yang paling kita cintai pada waktu dhuha ketika  memanas di hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63 tahun lebih  4 hari. semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi kiat  tercinta Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.
Ya  Allah, berikanlah rizqi kepada kami, syafaat kekasih kami Shalallahu  ‘Alaihi Wassalam dan satu teguk air yang menyegarkan dari haudh (telaga)  beliau dengan tangan beliau yang mulia.
__________________________________________ 
(Dikutip dari majalah Qiblati edisi 07 tahun II)
http://abuzubair.wordpress.com/2007/07/21/kematian-terindah-dalam-sejarah-manusia/
 Riwayat-Riwayat Shahih tentang Wafatnya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam
Prolog : Artikel berikut merupakan paparan kisah seputar hari-hari wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang diambil dari riwayat-riwayat yang valid. Seleksi validitas riwayat dinukil dari telaahan Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umari hafidhahullah dalam bukunya : As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah : Muhaawalatun li-Tathbiiqi Qawaaidil-Muhadditsiin fii Naqdi Riwaayaati As-Siirah An-Nabawiyyah. Di akhir pembahasan kami lengkapi dengan penjelasan Mamduh Farhan Al-Buhairi mengenai syubuhaat Syi’ah yang mengklaim bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak wafat di pangkuan ’Aisyah, tapi di pangkuan ’Ali bin Abi Thalib.
Sekitar tiga bulan sepulang menunaikan haji wada’, beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menderita sakit yang cukup serius.[1] Beliau pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Ummul-Mukminin Maimunah radliyallaahu ’anhaa[2].  Beliau sakit selama 10 hari,[3] dan akhirnya wafat pada hari Senin  tanggal 12 Rabi’ul-Awwal[4] pada usia 63 tahun.[5]  Dan telah shahih  (satu riwayat yang menyatakan) bahwa sakit beliau  tersebut telah  dirasakan semenjak tahun ketujuh pasca penaklukan  Khaibar, yaitu  setelah beliau mencicipi sepotong daging panggang yang  telah dibubuhi  racun yang disuguhkan oleh istri Sallaam bin Masykam  Al-Yahudiyyah.  Walaupun beliau sudah memuntahkannya dan tidak sampai  menelannya, namun  pengaruh racun tersebut masih tersisa.[6] Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam meminta  ijin kepada istri-istrinya agar diperbolehkan untuk dirawat di rumah  ’Aisyah Ummul-Mukminiin.[7] Ia (’Aisyah) mengusap-usapkankan tangan  beliau pada badan beliau sambil membacakan surat Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas).
[8]
Ketika beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dalam keadaan kritis, beliau berkata kepada para shahabat :
هلموا أكتب لكم كتابًَا لا تضلوا بعده
”Kemarilah, aku ingin menulis untuk kalian yang dengan itu kalian tidak akan tersesat setelahnya”.
Terjadi   perselisihan di antara mereka. Sebagian berkeinginan memberikan   alat-alat tulis (sebagaimana permintaan beliau), sebagian yang lain   tidak setuju karena khawatir hal itu justru akan memberatkan beliau.   Belakangan menjadi jelas bahwa perintah untuk menghadirkan alat tulis   itu bukan merupakan hal yang wajib, namun merupakan sebuah pilihan.   Ketika mendengar ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu mengatakan  : (حسبنا كتاب الله)  ”Kami telah cukup dengan Kitabullah”; maka beliau  tidak mengulangi  permintaannya tersebut. Seandainya hal itu merupakan  satu kewajiban,  tentu beliau akan menyampaikannya dalam bentuk pesan.  Sebagaimana pada  saat itu beliau berpesan secara langsung kepada mereka  agar mengeluarkan  orang-orang musyrik dari Jazirah ’Arab dan agar  memuliakan rombongan  delegasi yang datang ke Madinah.[9]  Sebuah  riwayat shahih menyebutkan bahwa beliau meminta alat tulis  tersebut  pada hari Kamis, 4 hari sebelum beliau wafat. «Seandainya  permintaan  tersebut wajib, niscaya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak akan meninggalkannya karena adanya perselisihan para shahabat pada waktu waktu itu. Beliau tidak mungkin meninggalkan tabligh (atas   risalah) meskipun ada yang menyelisihi. Para shahabat sudah biasa   mengkonfirmasi kepada beliau dalam beberapa perkara yang ada perintah   secara pasti».
Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil Fathimah radliyallaahu ’anhaa  yang kemudian membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah menangis.   Beliau memanggil kembali dan membisikinya yang dengan itu kemudian   Fathimah tersenyum. Setelah wafat, Fathimah menjelaskan bahwa ia   menangis karena dibisiki bahwa beliau akan wafat, dan ia tersenyum   karena dibisiki bahwa ia merupakan anggota keluarganya yang pertama yang   akan menyusul beliau.[10] Dan salah satu tanda nubuwwah tersebut akhirnya terbukti.
Sakit   yang beliau derita semakin bertambah berat sehingga beliau tidak   sanggup keluar untuk shalat bersama para shahabat. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
مروا أبا بكر فليصل بالناس
”Suruhlah Abu Bakr agar shalat mengimami manusia”.
’Aisyah berusaha agar beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menunjuk   orang lain saja karena khawatir orang-orang akan berprasangka yang   bukan-bukan kepada ayahnya (Abu Bakr). ’Aisyah berkata :
إن أبا بكر رجل رقيق ضعيف الصوت كثير البكاء إذا قرأ القرآن
”Sesungguhnya Abu Bakr itu seorang laki-laki yang fisiknya lemah, suaranya pelan, mudah menangis ketika membaca Al-Qur’an”.[11]
Namun  beliau tetap bersikeras dengan perintahnya tersebut. Akhirnya Abu Bakr  maju menjadi imam shalat bagi para shahabat.[12] Pada satu hari, Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam keluar dengan dipapah oleh Ibnu ’Abbas dan ’Ali radliyallaahu ’anhuma untuk shalat bersama para shahabat, dan kemudian beliau berkhutbah. Beliau memuji-muji serta menjelaskan keutamaan Abu Bakr radliyallaahu ’anhu dalam  khutbahnya tersebut dimana ia (Abu Bakr) disuruh memilih oleh Allah  antara dunia dan akhirat, namun ia memilih akhirat.[13]
Khutbah terakhir yang beliau sampaikan tersebut adalah 5 hari sebelum wafat beliau. Beliau berkata di dalamnya :
إن عبدًا عرضت عليه الدنيا وزينتها فاختار الآخرة
”Sesungguhnya ada seorang hamba yang ditawari dunia dan perhiasannya, namun justru ia memilih akhirat”.
Abu   Bakr paham bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ia pun menangis.  Melihat  hal tersebut, orang-orang merasa heran karena mereka tidak  paham apa  yang dirasakan oleh Abu Bakr.[14]
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam membuka   tabir kamar ’Aisyah pada waktu shalat Shubuh, hari dimana beliau  wafat,  dan kemudian beliau memandang kepada para shahabat yang sedang  berada  pada shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum dan tertawa  kecil  seakan-akan sedang berpamitan kepada mereka. Para shahabat merasa  sangat  gembira dengan keluar beliau tersebut. Abu Bakr pun mundur  karena  mengira bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ingin   shalat bersama mereka. Namun beliau memberikan isyarat kepada mereka   dengan tangannya agar menyelesaikan shalat mereka. Beliau kemudian   kembali masuk kamar sambil menutup tabir.
Fathimah masuk menemui beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata : ”Alangkah berat penderitaan ayah”. Maka beliau menjawab :
ليس على أبيك كرب بعد اليوم
”Setelah hari ini, tidak akan ada lagi penderitaan”.[15]
Usamah   bin Zaid masuk, dan beliau memanggilnya dengan isyarat. Beliau sudah   tidak sanggup lagi berbicara dikarenakan sakitnya yang semakin  berat.[16]
Pada  saat-saat menjelang ajal, beliau  bersandar di dada ’Aisyah. ’Aisyah  mengambil siwak pemberian dari  saudaranya yang bernama ’Abdurrahman. Ia  lalu menggigit siwak tersebut  dengan giginya dan kemudian memberikannya  kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Beliaupun lantas bersiwak dengannya.[17]
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana yang berisi air dan membasuh mukanya. Beliau pun bersabda :
لا إله إلا الله إن للموت سكرات
”Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Sesungguhnya pada setiap kematian itu ada saat-saat sekarat”.[18]
Dan ’Aisyah samar-samar masih sempat mendengar sabda beliau :
مع الذين أنعم الله عليهم
”Bersama orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah”.[19]
Lalu beliau pun berdoa :
اللهم في الرفيق الأعلى
”Ya Allah, pertemukan aku dengan Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah)”.
’Aisyah mengetahui bahwasannya beliau pada saat itu disuruh memilih, dan beliau pun memilih Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah).[20]
Akhirnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pun  wafat pada waktu Dluhaa  - dan ada yang mengatakan pada waktu  tergelincirnya matahari - sedangkan kepala beliau di pangkuan ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa. Abu Bakr radliyallaahu ’anhu segera masuk, dimana ketika wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ia   tidak berada di tempat. Ia membuka penutup wajah beliau, dan kemudian   ia menutupnya kembali dan menciumnya. Ia pun keluar menemui  orang-orang.  Pada waktu itu, orang-orang berada dalam keadaan percaya  dan tidak  percaya atas khabar wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. ’Umar radliyallaahu ’anhu termasuk   orang yang tidak percaya atas berita wafatnya beliau tersebut.  Orang-orang pun kemudian berkumpul menemui Abu Bakr. Ia (Abu Bakr) pun   kemudian berkata :
أما  بعد، من كان منكم يعبد محمدًا فإن  محمدًا قد مات، ومن كان منكم يعبد الله  فإن الله حي لا يموت. قال الله :  (وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ  خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ  أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ  عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ  يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ  اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي  اللَّهُ الشَّاكِرِينَ)
”Amma ba’du,  barangsiapa di  antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya  Muhammad saat  ini telah mati. Dan barangsiapa di antara kalian yang  menyembah Allah,  maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak akan  pernah mati.  Allah telah berfirman : ”Muhammad  itu tidak lain hanyalah seorang  rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya  beberapa orang rasul. Apakah  jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik  ke belakang (murtad)? Barang  siapa yang berbalik ke belakang, maka ia  tidak dapat mendatangkan  mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah  akan memberi balasan kepada  orang-orang yang bersyukur” (QS. Aali ’Imraan : 144)”.
(Mendengar itu), maka para shahabat pun merasa tenang. Sementara itu, ’Umar radliyallaahu ’anhu duduk di tanah tidak sanggup berdiri. Seakan-akan mereka belum pernah mendengar ayat tersebut melainkan pada saat itu saja.[21]
Fathimah radliyallaahu ’anhaa berkata :
يا أبتاه أجاب ربًا دعاه.
يا أبتاه من جنة الفردوس مأواه.
يا أبتاه إلى جبريل ننعاه.
”Wahai ayah, Rabb telah memenuhi doamu
Wahai ayah, surga Firdaus tempat kembalimu
Wahai ayah, kepada Jibril kami mengkhabarkan atas kewafatanmu”.[22]
Semoga Allah melimpahkan shalawat, salam, barakah, dan nikmat kepada Nabi-Nya, keluarganya, dan para shahabatnya.
Dan akhir seruan/doa kami adalah alhamdulillaahi rabbil-’aalamiin.
[selesai – diambil dari kitab As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah oleh Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umariy, 2/553-556; Maktabah Al-’Ulum wal-Hikam, Cet. 6/1415, Madinah Munawarah].
________________________________
Saya tambahi keterangan Mamduh Farhan Al-Buhairiy[23] tentang  bantahan terhadap syubhat Syi’ah yang mengingkari riwayat wafatnya  Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam di dada ’Aisyah, dimana mereka mendasarkan pengingkaran mereka dengan riwayat-riwayat yang tidak valid.
1. Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanad sampai ’Ali radliyallaahu ’anhu, ia berkata :
 ((أُدْعُوا لِي أَخِي))، فَأَتَيتُهُ، فَقَالَ : ((أَدْنُ مِنِّي))، فَدَنَوْتُ  مِنْهُ، فَاسْتَنَدَ إِلَيَّ فَلَمْ يَزَلْ مُسْتَنِدًا إِلَيَّ، وَإِنَّهُ لَيُكَلِّمُنِيْ حَتَّى إِنَّ رِيْقَهُ لَيُصِيْبُنِيْ
”Panggilkan untukku saudaraku !”. Maka akupun mendatangi beliau, lalu beliau bersabda : ”Mendekatlah kepadaku !”. Maka akupun mendekat kepada beliau, kemudian beliau bersandar kepadaku dan tidak henti-hentinya beliau bersandar kepadaku, dan beliau berbicara kepadaku hingga air ludah beliau mengenaiku”.
Ini adalah hadits haalik (rusak) sangat dla’if, dikarenakan Ibnu Sa’d meriwayatkannya dari Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy. Dia adalah pendusta.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : ”Dia adalah pendusta, dia membolak-balik hadits”. Ibnu Ma’in rahimahullah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang tsiqah, haditsnya tidak ditulis”. Al-Bukhari dan Abu Hatim berkata : ”Matruk (haditsnya ditinggalkan)”. Abu Hatim dan An-Nasa’i juga berkata : ”Haditsnya diletakkan” [Al-Miizaan, 3/662].
2. Juga hadits ’Ali radliyallaahu ’anhu yang lain :
عَلِّمَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْفَ بَابٍ كُلُّ بَابٍ يَفْتَحُ أَلْفَ بَابٍ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mengajari aku seribu bab, setiap bab membuka seribu bab”.
Ini adalah hadits maudlu’  (palsu), sebab ’Imran bin Haitsam adalah pendusta. Seandainya saja kita   menyerah tidak mendebat keshahihan hadits ini, maka tidak ada di   dalamnya hal yang menunjukkan bahwa pengajaran ini pada saat-saat   kematian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam, bahkan tidak masuk akal semua itu bisa dilakukan pada saat-saat seperti itu.
3. Hadits Jaabir bin ’Abdillah radliyallaahu ’anhu, bahwasannya Ka’b Al-Ahbar bertanya kepada ’Umar radliyallaahu ’anhu seraya berkata :
مَا آخِرُ مَا تَكَلَّمَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ عُمَرُ : سَلْ عَلِيًا.....
”Apa yang terakhir kali dibicarakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam ?”. Maka ’Umar menjawab : ”Tanyalah kepada ’Ali....”.
Hadits ini adalah dla’if (lemah) yang tidak boleh ditoleh, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidi. Dia dalah matrukul-hadiits (haditsnya ditinggalkan) sebagaimana telah lalu perinciannya [Al-Miizaan, 3/662].
Juga di dalamnya terdapat Haram bin ’Utsman Al-Anshariy, dia juga matruk. Al-Imam Malik dan Yahya berkata : ”Dia tidak tsiqah”.   Al-Imam Ahmad berkata : ”Manusia meninggalkan haditsnya”. Al-Imam   Asy-Syafi’iy dan Yahya bin Ma’in berkata : ”Riwayat dari Haram hukumnya   haram”. Ibnu Hibban berkata : ”Dia keterlaluan dalam memihak Syi’ah,   membolak-balik sanad, dan membuat yang mursal menjadi marfu’ [Al-Miizaan, 1/468].
4. Hadits :
قِيْلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ : أَرَأَيْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوْفِيَ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ أَحَدٍ؟ قَالَ : نَعَمْ، تُوْفِيَ وَإِنَّهُ لَمُسْتَنِدٌ إِلَى صَدْرِ عَلِيّ
Dikatakan kepada Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma : ”Apakah engkau melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat dan kepala beliau di pangkuan seseorang ?”. Maka ia menjawab : ”Ya, beliau wafat dan beliau bersandar di dada ’Ali....”.
Hadits ini adalah dla’if (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy, dia adalah matrukul-hadits  sebagaimana penjelasan sebelumya. Di dalam sanadnya juga terdapat orang   yang bernama Sulaiman bin Dawud bin Al-Hushain, dari Abu Ghatfal, dia majhul tidak diketahui keadaannya.
5. Hadits ’Ali bin Al-Husain :
قُبِضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ عَلِيٍّ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau di pangkuan ’Ali”.
Hadits ini dla’if, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy. Dia matrukul-hadiits. Di samping itu, sanadnya terputus.
6. Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanadnya kepada Asy’Sya’biy, ia berkata :
تُوْفِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَأْسُهُ فِي حُجْرِ عَلِيٍّ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali”.
Dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy yang dia ini matruk.   Selain itu, dalam sanadnya terdapat Abul-Huwairits yang namanya adalah   ’Abdurrahman bin Mu’awiyyah. Ibnu Ma’in dan yang lainnya berkata :   ”Tidak bisa dijadikan hujjah”. Al-Imam Malik dan An-Nasa’i berkata :  ”Dia tidak tsiqah” [Al-Miizaan, 2/591].
7. Hadits Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
كَانَ عَلِيٌّ لَأَقْرَبُ النَّاسِ عَهدًا بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.....
“’Ali adalah benar-benar manusia yang paling dekat masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
Hadits ini shahih, namun sama sekali tidak menafikkan hadits ‘Aisyah bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat   di dadanya, bahkan hadits ‘Aisyah lebih shahih dari hadits Ummu   Salamah. Para ulama ahli hadits telah menggabungkan dan mengkompromikan   antara hadits Ummu Salamah dengan hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul-Baariy (12/255) : “Mungkin bisa dikompromikan bahwa ‘Ali adalah orang yang paling akhir masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.   Dia tidak meninggalkan beliau hingga kepala beliau condong. Saat itu   dia menyangka bahwa beliau telah wafat. Maka dia adalah orang yang   paling akhir bertemu dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau siuman, dan dia sudah pergi. Setelah itu ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa menyandarkan beliau di dadanya, kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat”.
8. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dari ‘Ali radliyallaahu ’anhum, ia berkata :
“Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab”.
Hadits ini adalah dla’if,   di dalam sanadnya terdapat Kaamil bin Thalhah. Para ulama ahli hadits   berselisih tentangnya. Al-Imam Ahmad dan Ad-Daruquthni menyatakan tsiqah, namun Yahya bin Ma’in berkata : “Tidak bernilai apa-apa” [Al-Miizaan, 3/400].
Di  dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdullah bin Lahi’ah. Ibnu  Ma’in berkata  : “Dia lemah, tidak bisa dijadikan hujjah”. Yahya bin  sa’id sama  sekali tidak menganggapnya sama sekali. Abu Zur’ah berkata :  ”Dia bukan  termasuk orang yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya”.  An-Nasa’i  berkata : ”Dia lemah”. Al-Jauzajani berkata : ”Tidak ada  cahaya pada  haditsnya, tidak layak berhujjah dengannya”. Al-Bukhari  berkata dalam  kitab Adl-Dlu’afaa’ saat menyebut Ibnu Lahi’ah dengan mengomentari hadits yang diriwayatkannya : ”Ini adalah munkar”.
Di   dalam sanadnya juga terdapat Huyay bin ’Abdillah Al-Maghafiriy. Ibnu   ’Adiy berkata : ”Ibnu Lahi’ah memiliki sekian belas hadits yang umumnya   munkar. Diantaranya hadits : ”Beliau mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab” [Al-Miizaan, 1/623].
Adapun   orang yang tanpa ilmu menginginkan untuk menjadikan hadits-hadits  lemah  lebih kuat sanadnya, maka itu adalah murni disebabkan hawa nafsu.   Tentang hadits-hadits tersebut, Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : ”Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa menceritakan bahwa beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat   di antara dada dan lehernya; membantah apa yang diriwayatkan Al-Haakim   dan Ibnu Sa’d dari berbagai jalur yang menceritakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali radliyallaahu ’anhu. Seluruh jalan hadits tersebut tidak luput dari orang Syi’ah. Maka tidak layak dilirik sama sekali” [Fathul-Baariy, 8/139].
Abul-Jauzaa’ – 4 Shaffar 1430, di Ciomas Permai.
___________________
[1]    Ibnu Katsir berkata bahwa wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah 81 hari setelah pelaksanaan hari haji akbar [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 5/101].
[2]    Ibnu Hajar berkata bahwa itu merupakan pendapat yang mu’tamad. Ada beberapa riwayat lain yang bertolak-belakang yang menyatakan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Zainab binti Jahsy atau Raihaanah [Fathul-Baariy, 8/129].
[3]     Sulaiman  At-Taimiy memastikan pendapat ini. Riwayat ini dikeluarkan  oleh  Al-Baihaqi dengan sanad shahih. Dan menurut pendapat kebanyakan  ulama,  bahwasannya beliau jatuh sakit selama 13 hari [Fathul-Baariy, 8/129].
[4]    Al-Haafidh berpegang pada pendapat/perkataan Abu Mikhnaf bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat pada tanggal 2 Rabi’ul-Awwal. Tambahan angka 1 di depan angka 2 sehingga menjadi 12 merupakan kesalahan [Fathul-Baariy, 8/130].
[5]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/150).
[6]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/131).
[7]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/141) dan Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy 21/226) dengan sanad shahih.
[8]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/131).
[9]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/132).
[10]  Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 1/208). Lihat makna-makna yang lain dalam A’laamul-Hadiits oleh Al-Khaththaabiy.
[11]  Siirah Ibni Hisyaam, 4/330 dengan sanad shahih; dan Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/233.
[12]  Lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/232-233.
[13]  Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy 8/141). Lihat Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy 21/231I; dan Al-Bidayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/229-230.
[14]  Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy, 21/222 berikut catatan pinggir/hasyiyah no. 3); dan Tirkatun-Nabiy (ق.أ.ب) dengan sanad dimana rijalnya adalah tsiqah, namun mursal.
[15]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/149).
[16]   Sirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[17]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/139).
[18]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/144). 
[19]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/136).
[20]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/136); dan Siirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[21]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/145).
[22]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/149).
[23]   Qiblati, edisi 10, Thn. II – Juli 2007 M/Jumadats-Tsaniyyah 1428 M, hal. 28-30.
 
 

 








0 komentar:
Posting Komentar