Muqoddimah
Demonstrasi adalah kata yang tidak asing lagi
pada zaman ini, hampir setiap saat media mengekspos berita tentang demo, baik
dalam negeri atau luar negeri. Seakan-akan tak ada hari tanpa demonstrasi.
Bila BBM naik, demonstrasi…
Bila seorang tokoh kalah dalam pemilihan,
demonstrasi…
Bila gaji tak kunjung naik, demonstrasi…
Bila keputusan pemerintah dianggap kurang
tepat, demonstrasi…
Demikian seterusnya…
Berita sedang aktual adalah demonstrasi
besar-besaran di negeri Sungai Nil, Mesir, yang dilakukan oleh rakyat Mesir
yang menuntut lengsernya Presiden Muhammad Husni Mubarok dari kursi
kepresidenan. Tak cukup sekadar demonstrasi, tragedi ini merupakan tragedi
berdarah yang menelan banyak korban. Hal itu mengingatkan penulis pada sejarah
lengsernya presiden kedua Indonesia.
Aneh memang, banyak kalangan menilai bahwa
demonstrasi adalah obat alternatif yang jitu dan solusi tepat untuk mengatasi
seabrek problem yang menyelimuti umat manusia. Masalahnya, benarkah demonstrasi
adalah solusi? Ataukah demonstrasi adalah polusi yang membawa kerusakan dan
petaka?!! Bagaimanakah hukum demonstrasi dalam pandangan Islam? Bagaimana juga
dengan sejarahnya? Di sinilah kami mengajak pembaca sekalian untuk mengkaji
masalah ini dengan lapang dada dan niat mencari kebenaran.
Definisi Demonstrasi
Dalam sebuah kamus bahasa Indonesia,
demonstrasi diartikan sebagai pengungkapan kemauan secara beramai-ramai baik
setuju atau tidak setuju akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa
spanduk/panji-panji, poster, dan sebagainya yang berisikan tulisan yang
menggambarkan tujuan demonstrasi tersebut.[1]
Jadi, demonstrasi adalah suatu metode untuk
mengungkapkan aspirasi para demonstran terhadap negara atau atasan dengan
menuntut terwujudnya tuntutan mereka dari aksi tersebut.
Sejarah Demonstrasi
Bila kita telusuri sejarah, akan kita dapati
bahwa demonstrasi bukan berasal dari Islam. Demonstrasi tidak dikenal pada
zaman Nabi n\ dan para sahabat f\, tetapi dilakukan oleh orang Khowarij yang
ingin menggulingkan Utsman dan Ali bin Abi Tholib d\.
Kemudian seiring dengan bergolaknya revolusi
Prancis, demonstrasi dihidupkan oleh orang-orang kafir Prancis bersama dengan
induknya yang bernama demokrasi. Oleh karena itu, negara Prancis secara resmi
memasukkan demokrasi dalam undang-undang mereka dengan label Hak Asasi Manusia
(HAM) pada tahun 1791. Disebutkan dalam pasal tiga, “Rakyat adalah sumber
kekuasaan, setiap badan dan individu berhak mengatur hukum, hukum dan hak
diambil dari mereka.” Ini adalah penegasan bahwa kekuasaan adalah milik rakyat
yang tidak dapat dipenggal-penggal lagi serta tanpa kompromi dan tidak akan
dapat diubah-ubah.
Kemudian tatkala Prancis menjajah dunia, di
antaranya adalah negara-negara Arab seperti Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko,
dan negara-negara muslim lainnya, maka secara bersamaan masuklah sistem
demokrasi tersebut ke negeri-negeri jajahan.[2]
Hukum Demonstrasi dan Argumentasinya
Demonstrasi merupakan masalah kontemporer yang
belum dikenal pada zaman Nabi n\, namun hal itu bukan berarti ia tidak memiliki
hukum dalam kacamata syari’at, sebab agama Islam merupakan agama yang sempurna
dan mampu menjawab segala permasalahan dengan dalil-dalil umum dan
kaidah-kaidah fiqih yang telah dijelaskan para ulama. Alangkah bagusnya ucapan
al-Imam asy-Syafi’i v\ tatkala mengatakan, “Tidak ada suatu masalah baru apa
pun yang menimpa seorang berpengetahuan agama kecuali dalam al-Qur’an telah ada
jawaban dan petunjuknya.” [3]
Tidak diragukan lagi bagi seorang yang mau
menimbang suatu hukum berdasarkan cahaya al-Qur’an dan Sunnah serta
kaidah-kaidah fiqhiyyah bahwa demonstrasi hukumnya tidak boleh, berdasarkan
beberapa argumen sebagai berikut:
1. Demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama
Oleh para pembelanya, demonstrasi dianggap
sebagai salah satu sarana dakwah dan bagian dari ajaran Islam. Padahal,
demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama dan tidak dikenal oleh Islam,
serta tidak pernah dicontohkan dan dipraktikkan oleh Nabi n\ yang mulia. Tidak
pernah Rosululloh n\ beserta para sahabatnya berdemonstrasi dengan memasang
spanduk, meneriakkan yel-yel dan sebagainya ke rumah Abu Jahal atau lainnya,
padahal faktor pendorong untuk melakukannya sudah ada pada zaman beliau. Beliau
dan para sahabatnya telah dizalimi dengan sangat mengenaskan. Mereka disiksa,
dibunuh, diboikot, dan sebagainya. Namun demikian, beliau tidak menggunakan
metode ini, maka hal itu menunjukkan bahwa metode ini tidak membawa kebaikan sedikit
pun.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v\ memberikan
sebuah kaidah penting tentang maslahat dan mafsadat, beliau berkata:
فَكُلُّ أَمْرٍ
يَكُوْنُ الْمُقْتَضِيْ لِفِعْلِهِ
عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِn مَوْجُوْدًا لَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ
يَفْعَلْ, يُعْلَمُ أَنَّهُ
لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ
“Setiap perkara yang faktor dilakukannya ada
pada zaman Nabi n\, yang tampaknya membawa maslahat tetapi tidak dikerjakan
Nabi n\, maka jelas bahwa hal itu bukanlah maslahat.” [4]
Beliau kemudian memberikan contoh, seperti
adzan pada hari raya. Adzan itu sendiri pada asalnya adalah maslahat. Dan
faktor dilakukannya juga ada, yaitu mengumpulkan jama’ah sholat, tetapi Nabi n\
tidak melakukannya pada hari raya. Berarti adzan pada hari raya bukanlah
maslahat. Kita meyakini hal itu sesat sebelum kita mendapatkan larangan khusus
akan hal tersebut atau sebelum kita mendapatkan bahwa hal tersebut membawa
mafsadat.
Demikian juga, apabila kita terapkan kaidah
ini dalam masalah demonstrasi. Tidak diragukan bahwa faktor pendorong
demonstrasi dan sejenisnya adalah suatu kezaliman, atau suatu hak atau hukum
yang tidak ditegakkan. Semua itu sudah ada pada zaman Nabi n\ dan para salaf,
namun mereka tidak menerapkan (melakukan)nya, maka hal ini menunjukkan bahwa
demonstrasi tidak disyari’atkan dan bahwa meninggalkannya merupakan metode
salaf.[5]
2. Demonstrasi termasuk tasyabbuh kepada orang-orang
kafir
Tidak diperselisihkan oleh siapa pun bahwa
demonstrasi adalah produk orang-orang kafir dan munafik yang sejak dahulu kala ingin
membuat kerusakan di muka bumi.
Syaikh Sholih bin Fauzan b\ berkata,
“Menumbuhkan kebencian kepada pemimpin dalam hati rakyat merupakan usaha para
perusak yang ingin membuat kekacauan di muka bumi. Orang-orang munafik sejak
dahulu telah berusaha melakukan hal ini ketika mereka ingin memisahkan kaum
muslimin dari Rosululloh n\ untuk membuat kekacauan pada masyarakat seraya
mengatakan:
لَا تُنفِقُوا۟
عَلَىٰ مَنْ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ
حَتَّىٰ يَنفَضُّوا۟ ۗ
“Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada
orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rosululloh supaya mereka bubar
(meninggalkan Rosululloh).” (QS. al-Munafiqun [63]: 7)
Maka setiap usaha untuk membuat permusuhan
antara pemimpin dengan rakyat adalah usaha kaum munafik dan perusak di muka
bumi yang bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian membuat kerusakan”,
mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang memperbaiki.” [6]
Pikirkanlah, bukankah syari’at Islam telah
melarang kita sebagai umat Islam untuk meniru orang-orang kafir?! Nabi n\
bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk
golongan mereka.” [7]
Lantas, kenapakah kita meninggalkan petunjuk
Nabi n\ dan malah mengambil produk manusia kafir?! Apakah petunjuk mereka lebih
benar dan utama?! Celaka, tidakkah mereka berpikir dahulu dari mana asal mula
demonstrasi ini sebelum melakukannya?! Adakah Islam mengajarkannya ataukah
ajaran orang-orang kafir yang telah mereka praktikkan dan perjuangkan?!! Hanya
kepada Alloh kita mengadukan semua ini.
3. Kerusakan yang ditimbulkan demonstrasi lebih banyak
Al-Hafizh Ibnul Qoyyim v\ berkata, “Apabila
seorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah
haram, maka hendaklah dia melihat kepada mafsadat (kerusakan) dan hasil yang
ditimbulkan olehnya. Apabila ternyata sesuatu tersebut mengandung kerusakan
yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syari’at Islam memerintahkan
atau memperbolehkannya, bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti.
Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Alloh dan Rosul-Nya
baik dari jarak dekat maupun dari jarak jauh, seorang yang cerdik tidak akan
ragu akan keharamannya.” [8]
Dengan bercermin kepada kaidah yang berharga
ini marilah kita bersama-sama melihat hukum demonstrasi secara adil. Apakah
yang kita dapati bersama? Kita akan mendapati dampak negatif dan
kerusakan-kerusakan akibat demonstrasi, di antaranya: hilangnya keamanan
negara, hilangnya wibawa pemimpin, kerusakan bangunan dan jalan, penjarahan,
kemacetan lalu lintas, keluarnya kaum wanita di jalan-jalan, aksi mogok makan[9] yang sangat mengkhawatirkan, bahkan tak jarang nyawa manusia
melayang.[10] Kemudian, tanyakan pada dirimu, bukankah demonstrasi sudah
seringkali digelar? Lantas apa hasilnya? Pikirkanlah!!
4. Menyelisihi sunnah Nabi n\ dalam menasihati pemimpin
Pemimpin suatu negara adalah manusia biasa
seperti kita. Mereka juga terkadang salah, maka kewajiban bagi setiap muslim
adalah saling memberikan nasihat dan mengingatkan. Ini adalah suatu kewajiban
agama dan amalan ibadah yang sangat utama.
Namun, tentu saja cara menasihati pemimpin
tidak sama dengan menasihati orang biasa, sebagaimana tidak sama cara seorang
anak menasihati orang tua dengan cara orang tua menasihati anak. Sebab itu,
Islam memberikan rambu-rambu tentang etika menasihati pemimpin agar tidak malah
menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Rosululloh n\ bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ
يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ
يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أََدَّى الَّذِيْ كَانَ
عَلَيْهِ لَهُ
“Barang siapa hendak menasihati penguasa,
janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi, hendaklah ia
mengambil tangannya (sang penguasa tersebut), kemudian menyepi. Apabila
penguasa itu mau menerima, maka itulah yang dimaksud. Apabila tidak menerima,
sungguh dia telah menunaikan kewajibannya.” [11]
Inilah cara yang syar’i dan selamat, yaitu
menasihati pemimpin secara sembunyi-sembunyi empat mata, atau melalui surat,
atau melalui orang dekat pemimpin, dan sebagainya, bukan dengan membeberkan
kesalahan pemimpin di mimbar-mimbar bebas, di tempat umum, koran, majalah,
dan—termasuk juga—demonstrasi. Maka kami nasihatkan, janganlah engkau tertipu
dengan banyaknya orang yang menempuh cara-cara keliru seperti itu walaupun niat
pelakunya baik, karena cara yang demikian jelas menyelisihi sunnah.
5. Jembatan menuju pemberontakan
Al-Imam al-Bukhori (7053) dan Muslim (1849) telah
meriwayatkan bahwa Rosululloh n\ bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ
أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ،
فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِليَّةً
“Barang siapa membenci sesuatu pada
pemimpinnya[12] maka hendaknya dia bersabar, karena seorang yang keluar dari
pemimpin satu jengkal saja maka dia mati sepertinya matinya orang di masa jahiliah.” [13]
Kalau keluar satu jengkal saja tidak boleh,
lantas dalam aksi demonstrasi berapa jengkal?! Bukankah biasanya aksi
demonstrasi dijadikan alat untuk memberontak dan menggulingkan kursi
kepemimpinan?! Ibnu Abi Jamroh v\ berkata, “Maksudnya keluar dari pemimpin yaitu berusaha untuk
melepaskan ikatan bai’at yang dimiliki oleh sang pemimpin dengan cara apa pun.
Nabi n\ menggambarkan dengan satu jengkal, karena usaha tersebut bisa menjurus kepada
tertumpahnya darah tanpa alasan yang benar.” [14]
Perlu kami tegaskan di sini bahwa yang disebut
menghujat dan memberontak pemimpin tidak harus dengan
pedang, tetapi juga mencakup segala sarana menuju kepadanya seperti: mencela
pemimpin, menyebarkan kejelekan pemimpin, dan—termasuk pula—melakukan aksi
demonstrasi. Sebab, manusia tidak akan memberontak pemimpin dengan pedang tanpa
ada yang menyalakan api kebencian di hati mereka walaupun dengan dalih
menegakkan pilar amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini ditegaskan secara bagus oleh
Abdulloh bin ’Ukaim bahwa menyebarkan kejelekan pemimpin adalah kunci untuk
menumpahkan darahnya. Beliau mengatakan, “Saya tidak akan membantu untuk menumpahkan
darah seorang kholifah selama-lamanya setelah Utsman a\.” Ditanyakan kepadanya,
“Wahai Abu Ma’bad! Apakah engkau membantunya?” Beliau menjawab, “Saya menilai bahwa menyebutkan kejelekannya adalah kunci untuk
menumpahkan darahnya.” [15]
Al-Hafizh Ibnu Hajar v\ berkata, “Faktor utama
terbunuhnya Utsman a\ adalah celaan kepada para gubernurnya, yang secara otomatis
kepada beliau juga yang mengangkat mereka sebagai gubernur.” [16]
Perhatikanlah hal ini baik-baik wahai
saudaraku. Janganlah kita tertipu dengan godaan setan dan pujian manusia bahwa
kita adalah seorang pemberani dan lantang bicara kebenaran, berani mengkritik
pemerintah, dan sebagainya, karena semua itu adalah tipu daya Iblis semata!!
Dari sinilah kita mengetahui kebenaran fatwa
para ulama kita Ahlus Sunnah wal Jama’ah semisal Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh
Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syaikh
Sholih al-Fauzan yang menegaskan bahwa aksi demonstrasi adalah tidak boleh dan
terlarang dalam tinjauan agama.[17] Adapun syubhat-syubhat yang dihembuskan oleh sebagian kalangan
yang melegalkan demonstrasi maka semua itu adalah argumen yang sangat rapuh
dalam timbangan syari’at.[18]
Demonstrasi Damai
Sebagian kalangan mencoba untuk memperindah
demonstrasi dengan label “demonstrasi damai”, “demonstrasi aman”, dan
sebagainya untuk melegalkan aksi demonstrasi, yaitu dengan melakukan aksi
demonstrasi secara tertib, rapi, menjaga emosi, dan sebagainya.
Aduhai, siapakah yang bisa menjamin para
demonstran dari emosi mereka saat aksi tersebut?! Bukankah kita harus
membendung segala sarana menuju kerusakan?! Alangkah miripnya keadaan mereka
dengan ucapan penyair:
أَلْقَاهُ فِي
الْيَمِّ مَكْتُوْفاً وَقَالَ لَهُ
# إِيَّاكَ إِيَّاكَ أَنْ تَبْتَلََّ بِالْمَاءِ
Dia melemparnya ke laut dalam keadaan terikat
Lalu berkata: “Awas, hati-hati jangan sampai
basah kena air.
Kemudian, apakah kemungkaran demonstrasi hanya
terbatas pada kerusakan saja?! Bukankah di sana ada kemungkaran lainnya,
seperti tasyabbuh dengan orang kafir, bid’ah, menyelisihi metode Nabi dalam
nasihat, menjurus kepada pemberontakan dan lain sebagainya.
Syaikh Abu Ishaq b\ pernah ditanya, “Kalau
faktor terlarangnya demonstrasi adalah kerusakan yang ditimbulkan darinya,
lantas bolehkah mengadakan aksi demonstrasi damai untuk menyampaikan aspirasi
rakyat tanpa membuat kerusakan?”
Beliau menjawab, “Yang saya yakini,
demonstrasi tetap tidak boleh sekalipun dilakukan secara damai. Demonstrasi
berasal dari barat. Demonstrasi di negeri mereka bisa mengubah keputusan
politik. Adapun demonstrasi di negeri Islam tidak mengubah sedikit pun.
Kemudian anggapan bahwa demonstrasi (bisa berjalan dengan) damai, itu tidak
terjamin. Buktinya, demonstrasi yang diatur oleh negara kita (Mesir) tetap
terjadi pengrusakan dan aksi bentrok antara para demonstran dan polisi padahal
negara sendiri yang mengatur demonstrasi.” [19]
Syaikh Ibnu Utsaimin v\ pernah ditanya, “Bila
ada seorang pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Alloh membolehkan kepada
rakyatnya untuk mengadakan aksi demonstrasi damai dengan undang-undang yang
dibuat oleh pemimpin, lalu para demonstran menjalankannya, sehingga apabila
diingkari mereka menjawab, ‘Kami tidak menentang pemimpin, kami melakukan
sesuai dengan undang-undang pemimpin’, apakah hal ini dibolehkan secara syar’i
padahal jelas menyelisihi dalil?”
Beliau menjawab, “Ikutilah jalan para salaf.
Kalau memang ini dilakukan oleh salaf maka itu baik dan bila tidak dilakukan
oleh mereka maka itu jelek. Tidak diragukan lagi bahwa demonstrasi adalah
jelek, karena menyebabkan kekacauan, bentrokan, dan kezaliman baik (terhadap)
kehormatan, harta, dan badan. Sebab, manusia pada saat aksi tersebut kadang
seperti orang mabuk yang tidak mengerti apa yang dia katakan dan perbuat. Maka
demonstrasi semuanya adalah jelek, baik pemerintah memberikan izin atau tidak.
Izin sebagian pemerintah hanyalah sekadar penampilan luar saja, karena
seandainya engkau mengetahui isi hatinya tentu dia akan sangat membencinya,
tetapi dia secara politik mengatakan, ‘Saya harus demokratis dan memberikan kebebasan
untuk rakyat.’ Semua ini bukanlah manhaj salaf.” [20]
Penutup
Demikianlah untaian kata yang dapat kami goreskan
dalam lembaran ilmiah ini, sebagai bentuk nasihat dan penjelasan kepada kaum
muslimin seluruhnya. Tidak ada sama sekali kepentingan pribadi atau politik
dalam tulisan ini, tetapi yang ada adalah kebenaran yang tulus — yang kami
yakini harus dijelaskan kepada umat.
Dan di akhir tulisan ini, kami mengimbau
kepada seluruh kaum muslimin untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang suci
berdasarkan al-Qur’an dan hadits sesuai dengan pemahaman salaf sholih. Marilah
kita semua bertaubat kepada Alloh dan memperbaiki diri kita agar segala krisis,
fitnah, dan problem segera diangkat oleh Alloh. Hanya Islamlah solusi untuk
mengatasi semua itu, bukan dengan metode-metode barat.
Daftar Referensi
1.
Al-Muzhoharot wa
al-I’tishomat wa al-Idhrobat Ru’yah Syar’iyyah. Dr.
Muhammad bin Abdurrohman al-Khumais. Darul Fadhilah, KSA, cet. pertama, 1427 H.
2.
Hukmu al-Idhrob ’an
Tho’am fi al-Fiqh al-Islami. Dr. Abdulloh bin Mubarok
bin Abdillah Alu Saif. Jami’ah Imam Ibnu Su’ud, KSA, cet. pertama, 1427 H.
3.
Demonstrasi Solusi
Atau Polusi? Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi.
Pustaka Darul Ilmi, Bogor, cet. pertama, 1430 H.
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Footnote:
[1] Kamus Istilah Populer hlm. 62
[2] Lihat Tanwir Zhulumat Bi Kasyfi Mafasid
al-Intikhobat kar. Muhammad al-Imam dan al-Muzhoharot wa al-I’tishomat wa al-Idhrobat Ru’yah Syar’iyyah kar. Dr. Muhammad bin Abdurrohman al-Khumais hlm. 19–20.
[4] Iqtidho’ Shiroth al-Mustaqim: 2/594
[5] Haqiqoh al-Khowarij fi Syar’i wa ’Abri Tarikh kar. Faishol al-Jasim hlm. 147–148
[6] Al-Ajwibah Mufidah ’An As’ilah Manahij Jadidah hlm. 132–133
[7] HR. Abu Dawud : 4002, Ahmad dalam Musnad-nya: 2/50, dihasankan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Hajar, dan
dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil no. 1269.
[8] Madarij as-Salikin: 1/496
[9] Lihat buku khusus tentang aksi mogok makan yang berjudul Hukm al-Idhrob ’An Tho’am fi al-Fiqh al-Islami kar. Dr. Abdulloh bin Mubarok bin Abdillah Alu Saif.
[10] Lihat perinciannya dalam buku kami, Demonstrasi
Solusi Atau Polusi? hlm. 67–74.
[11] HR. Ibnu Abi Ashim: 2/507, Ahmad: 3/403, al-Hakim: 3/290, hadits
ini dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilal
al-Jannah hlm. 507.
[12] Ash-Shona’ni v\ berkata, “Maksudnya adalah pemimpin setiap negara
(bukan kholifah sedunia), karena sejak pertengahan masa Daulah Abbasiyyah
manusia sudah tidak lagi berkumpul dalam satu pemimpin, tetapi setiap negara
memiliki pemimpin masing-masing. Seandainya hadits ini dibawa kepada kholifah
umat Islam seluruh dunia, maka sedikit sekali faedahnya.” (Subul as-Salam:
4/72)
[13] Karena orang-orang jahiliah tidak memiliki pemimpin, tetapi
masing-masing kelompok membantai lainnya. (Lihat Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyyah: 28/487 dan Subul as-Salam kar. ash-Shon’ani: 4/72)
[14] Fathul Bari kar. Ibnu Hajar: 13/7
[15] Dikeluarkan Ibnu Sa’ad: 6/115, al-Fasawi dalam al-Ma’rifah wa Tarikh: 1/213.
[17] Lihat perincian fatwa mereka dalam al-Muzhoharot
wa al-I’tishomat wa al-Idhrobat hlm. 85–106, al-Fatawa Syar’iyyah fi al-Qodhoya ’Ashriyyah hlm. 181–188 kumpulan Muhammad bin Fahd al-Hushoin, Majalah al-Asholah Edisi 30/Th. 5 (Syawwal 1421)
hlm. 59–60, buku kami Demonstrasi Solusi Atau Polusi? hlm. 53–64.
[18] Lihat al-Muzhoharot wa al-I’tishomat wa
al-Idhrobat Ru’yah Syar’iyyah hlm. 54–76, Demonstrasi Solusi Atau Polusi? hlm.
91–111.
[19] Fatawa Syaikh Abi Ishaq al-Huwaini: 1/38
(Maktabah Syamilah)
0 komentar:
Posting Komentar