حدثنا عبد الرزاق ثنا سفيان عن خالد الحذاء عن أبي قلابة عن محمد بن أبي عائشة عن رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قال قال النبي صلى الله عليه وسلم : لعلكم تقرءون والإمام يقرأ مرتين أو ثلاثا قالوا يا رسول الله انا لنفعل قال فلا تفعلوا الا ان يقرأ أحدكم بفاتحة الكتاب
Sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/12/jangan-lakukan-itu-kecuali-al-faatihah.html
Wajibkah membaca Al-Fatihah dalam sholat jahriyah?
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Sebelumnya saya buka, dengan mengingatkan bahwa para ulama berselisih pendapat salafan wa khalafan, hingga para sahabat telah berselisih dalam hal ini.Oleh karenanya mengenai membaca dibelakang imam, sungguh bijak ucapan seorang ulama “in qoro’ta falaka salaf, wa in sakatta falaka salaf” (jika engkau membaca maka anda punya pendahulu,demikian juga bila anda diam). Tentunya hal ini jika permasalahan ini tidak jelas mendudukkan dalil dan ucapan yang ada bagi kita .Adapun jika sudah jelas, maka sebagaimana ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i : Telah ijma’ kaum muslimin bahwasannya jika seseorang telah jelas baginya sunnah Rasulillah shalallah ‘alaihi wasalam tidak ada baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut hanya karena ucapan seseorang diantara manusia.
Fabillah nasta’in
Ulama berbeda pendapat kedalam tiga pemahaman dalam masalah ini (lihat file yang dikirim Abu Ishaq yang berjudul : “Hukmu Qiroatil Fatihah Li Makmum (Mukhtashor kalam Ibn Taimiyah fi hukmil qiroah khalfal imam)“.Saya berikan tambahan seperlunya.
1. Wajib diam mendengarkan bacaan Imam jika bacaannya dikeraskan. Apabila tidak terdengar bacaan Imam, misalkan karena jauh maka wajib membaca. Pendapat inilah yang dirajihkan dalam artikel tersebut, yang berarti inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Berbaris dalam barisan ini diantaranya Abu Darda radhiallahu ‘anhu, Imam Malik bin Anas,dan lainnnya.
2. Wajib membaca al-fatihah secara mutlak baik dalam shalat jahriyah atau sirriyah, juga baik mendengar suara imam maupun tidak. Berbaris dalam pendapat ini diantaranya: Umar bin Khattab, Ubadah bin Shamit, Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhum jami’an, Imam Syafi’i dalam qoul jadidnya, Ishaq bin Rahawaih, Imam Al-Bukhari, Imam Asy-Syaukani,dan lain-lain. Pendapat inilah yang sedang dibantah dalam artikel “Hukmu Qiroatil Fatihah Li Makmum (Mukhtashor kalam Ibn Taimiyah fi hukmil qiroah khalfal imam)”.
3. Tidak wajib membaca, baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Mas’ud, Imam Abu Hanifah dan lainnya.
Pendapat pertama, seolah dipilih sebagai jalan tengah dari dua kutub berlawanan dari pendapat kedua dan ketiga yang saling berseberangan.
Jawaban Atas Artikel kiriman Saudara Abu Ishaq yang berjudul “Hukmu Qiroatil Fatihah Li Makmum (Mukhtashor kalam Ibn Taimiyah fi hukmil qiroah khalfal imam)”.
Karena berupa artikel, maka saya jawab yang sebagian besarnya saya ambil dari artikel ringan juga yang berjudul Al-Adillah ‘Ala Rukniyah Qiro’ah Al-Fatihah Lil- ma’mum wa roddu ‘alal Mukhalif tulisan dari Abu Abdirrahman Muhammad bin Imran. Point-point berikut hanya jawaban dari pokok argumen artikel tersebut, disamping sekaligus ada tambahan untuk argument yang tidak disebutkan dalam artikel tesebut.
Berdalil dengan surat Al-A’rof 204 :Wa idza quri-al qur’an fastami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamun”(Dan apabila dibacakan al-Qur’an,maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat).
Sisi pertama, ketahuilah bahwa hadist-hadist yang sharih bahwa al-fatihah itu wajib adalah umum.
1. Dalam riwayat muslim,tirmidzi,An-Nasai,Abu Daud, Ibnu Majah,Imam Ahmad dan Imam Malik disebutkan, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam berkata (dalam lafadz riwayat Imam Ahmad):
(( أَيُّمَا صَلَاةٍ لَا يُقْرَأُ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ ثُمَّ هِيَ خِدَاجٌ ثُمَّ هِيَ خِدَاجٌ))
(Shalat apa saja yang tidak dibaca didalamnya surat Al-Fatihah maka shalatnya rusak kemudian rusak dan rusak.)
(Khidaz disebutkan oleh Imam Albani dalam bukunya,artinya “An-Nuqshon wal fasad”)
Perhatikan yang saya garis bawahi (ayyuma sholatin). Huruf (Ayyu) menurut ulama ushul disebutkan sebagai minal huruf allati tadullu ‘alal umum (huruf yang menujukkan makna umum). Ditambah lagi bahwa kata “sholatin” yang berbentuk nakiroh yang bermakna umum juga. Nabi tidak membedakan shalat imam atau shalat makmum, juga tidak membedakah shalat jahriyah ataupun sirriyah. Kaidah ushul mengatakan :
أن الأصل في العام أن يبقى على عمومه حتى يدل الدليل على التخصيص
(Asal dalam bentuk umum adalah tetap pada keumumannya sampai datang dalil yang menunjukkan kekhususannya)
Seandainya memang disana ada pengecualian, maka tentunya Nabi akan mengatakan :“Kecuali bagi makmum” atau “Kecuali bagi yang shalat dibelakang imam” atau yang semakna dengan ini
2.Hadist Ubadah bin Shamit, hadist muttafaqun ‘alaih:
(( لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ))
(Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah)
Kembali perhatikan yang saya garis bawahi (laa shalata). Kata shalat bentuknya nakiroh. Adalah kaidah mengatakan :
أن النكرة في سياق النفي تدل على العموم
(Bahwa Nakirah dalam bentuk nafyu (peniadaan) menunjukkan makna umum)
Nabi menjelaskan bahwa shalat tidaklah sah apabila tidak membaca Al-Fatihah, sama saja apakah sebagai makmum atau ketika shalat sendiri atau ketika menjadi imam. Yang menunjukkan akan wajibnya membaca Al-Fatihah ini adalah kalimat “Laa shalata” sebagai peniadaan (nafyu).
Asal dari peniadaan adalah peniadaan wujud (nafyun lil wujud), apabila tidak mungkin dengan makna ini, maka nafyu tersebut dibawa kepada peniadaan keabsahan (nafyun lilshihhah). Dan apabila tetap tidak mungkin dengan makna kedua ini, maka dibawa maknanya kepada peniadaan kesempurnaan (nafyun lilkamal). Inilah urutan dari an-nafyu.
Contoh :
-Laa kholiqo illallah (tidak ada pencipta selain Allah ), maka peniadaan disini peniadaan wujud.
-Laa sholata bighoiri wudhu’ (tidak ada sholat dengan tanpa wudhu), maka peniadaan disini peniadaan keabsahan (sah). Karena bisa saja sholat dilakukan tanpa wudhu sebelumnya.
-Laa sholata bihadhroti tho’amin (tidak ada sholat dengan hadirnya makanan), maka peniadaan disini adalah peniadaan kesempurnaan. Karena sholat tetap sah walaupun dihadapannya tersedia makanan.
Setelah memahami perbedaan diatas, bagaimana penilaian kita dengan hadist Nabi “Laa sholata liman lam yaqro’ bifatihatil kitab”? Jawab : Mungkinkah orang shalat tanpa membaca Al-Fatihah? Mungkin saja!.Oleh karenanya penafian disini bukanlah penafian wujud. Maka penafian disini bisa dipastikan penafian urutan kedua, yakni penafian keabsahan (sah). Maka kita katakan bahwa tidak sah shalat tanpa membaca Al-fatihah.
Kaidah mengatakan :
الأصل في النصوص العامة أن تبقى على عمومها ، فلا تخصَّصُ إلا بدليل شرعيٍّ ، إما نصٌّ ، أو إجماعٌ ، أو قياس صحيح
(Asal dalam nash yang umum adalah tetap pada keumumannya, tidaklah dikhususkan kecuali dengan dalil syar’iy baik itu nash atau ijma’ atau qiyah yang shahih)
Pertanyaan , adakah disebutkan disana sesuatu yang mengkhususkan?
Sisi kedua, jawaban atas pendalilan dengan ayat “Wa idza quri-al qur’an fastami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamun“
Berkata Imam Ahmad, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dalam sholat. Maka ayat ini menunjukkan bahwa selayaknya bagi makmum untuk diam dan sibuk untuk mendengarkan bacaan alquran dari imam.
Pertama,
Bahwa ayat yang kita bahas ini adalah umum (‘aam), adapun hadist-hadist tentang kewajiban membaca AL-Fatihah yang sudah saya sampaikan sebelumnya adalah kekhususan. Kaidah mengatakan :
إذا تعارض النص الصريح في المسألة مع غيره مما هو أعم فإنه يقدم الصحيح الصريح
(Apabila bertentangan nash yang shorih (gamblang) dalam suatu masalah dengan nash yang lainnya yang lebih umum, maka dikedepankan nash yang shahih dan gamblang tadi)
Ingat hadist Bukhari tentang kejadian shalat subuh Rasulullah. Rasulullah merasa terganggu oleh bacaan salah seorang makmum. Setelah shalat beliau bertanya : “Benarkah kalian tadi turut membaca bersama imam?” Kami menjawab: ”Ya, tetapi dengan cepat,wahai Rasulullah” Beliau bersabda:“Kalian tidak boleh melakukannya kecuali [membaca] Al-Fatihah, karena tidak sah sholat seseorang jika tidak membacanya dalam sholat”
Mana yang lebih umum antara ayat Al-A’rof dengan hadist diatas ini?
Al-Jawab : Ayat Al-A’rof lebih umum, walaupun keduanya bisa dikatakan umum (dalam artian bahwa hadist ini bisa dikhususkan untuk shalat sirriyah). Tetapi hadist ini sebagaimana yang beberapa kali saya dengar diungkapkan Al-Imam Ibnu Utsaimin adalah nash yang shorih tentang kewajiban Al-Fatihah. Dengan kaidah ini maka selayaknya yang didahulukan adalah hadist ini bukan ayat Al-A’rof.
Kedua,
Hadist Ubadah :,Laa shalata li man lam yaqro’ bifatihatil kitab seolah bertentangan dengan ayat Wa idza quri-al qur’an fastami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamun
Ungkapan Laa shalata menunjukkan syarat sah shalat, sehingga kewajiban membacanya adalah lebih kuat dari ayat Al-A’rof ini. Karena ayat Al-A’rof menunjukkan kewajiban mendengar,dan kewajiban mendengar tidaklah bertentangan dengan kewajiban sebagai rukun. Dasar pijakannya adalah sebagai berikut:
Kaidah mengatakan :
إذا تعارضت الأركان والواجبات قدمت الأركان على الواجبات
(Apabila bertentangan antara rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban maka dikedepankan rukun atas kewajiban)
Membaca Al-Fatihah adalah kewajiban sebagai rukun dari sholat. Adapun wajib diam mendengar Al-Quran adalah kewajiban namun bukan rukun. Maka seharusnya didahulukan kewajiban sebagai rukun
Mungkin ada yang akan mengatakan, bahwa Al-Fatihah itu sebagai rukun adalah sebatas ijtihad ulama. Jadi kedudukannya sama, antara dua kewajiban yang bertentangan. Satu kewajiban membaca dan yang lain kewajiban mendengar. Sehingga tidak bisa diterapkan kaidah diatas ini.
Ketahuilan bahwa ada dua jenis wajib : Wajib muttashil (Berkaitan langsung) dan wajib munfashil (terpisah). Hadist Al-Fatihah jelas berkaitan erat (muttashil) dengan shalat. Sedangkan ayat Al-A’rof kewajibannya terpisah (munfashil)
Kaidah mengatakan:
إذا تعارض الواجب المتصل بعبادة المكلف مع الواجب المنفصل ؛ فإنه يُقدم المتصل الذي أمر به إلزاماً على من فصل عنه
Apabila bertentangan antara wajib muttashil (berkaitan dengan ibadah tertentu) dengan kewajiban yang munfashil (terpisah tidak berkaitan langsung) maka didahulukan yang muttashil tadi dari yang munfashil.
Ketiga,
Adalah mungkin membaca Al-Fatihah dalam keadaan Imam berhenti sebentar sebelum membaca surat. Walaupun tidak ada dalil yang kuat Imam mesti berhenti sebentar, akan tetapi jika kebetulan kita bermakmum pada imam yang seperti ini, maka kita lebih lagi wajib membacanya
Dalam kitab Al-Inshaf fi ma’rifati Ar-rajih Minal Khilaf disebutkan demikian : ”Dianjurkan membaca Al-Fatihah disaat imam berhenti membaca. Inilah pendapat yang dipilih dalam manhaj dan juga merupakan pendapat jumhur ulama. Bahkan ada yang mengatakan wajib membaca Al-Fatihah tatkala imam berhenti membaca”
Berdalil dengan hadist: ”Imam dijadikan sebagai anutan makmum. Jika ia bertakbir,bertakbirlah kalian dan jika ia membaca,diamlah kalian” (lihat shifat sholat Nabi oleh Imam Albani rahimahullah
“Dan apabila imam membaca,maka diamlah”. Na’am (iya) kami sepakat diam, KECUALI surat Al-Fatihah. Disamping itu sanad hadist ini walaupun berterima akan tetapi lebih lemah dari tingkatan hadist-hadist yang menetapkan dengan jelas wajibnya membaca Al-Fatihah.
Ulama Ushul mengatakan agar didahulukan Al-Ashohhu ‘ala As-Shohih (Yang lebih shahih atas yang shahih), didahulukan Al-aqwa ‘ala maa huwa qowiy (yang lebih kuat atas yang kuat), didahulukan Al-qowiy ‘ala Adh-dho’if (yang kuat atas yang lebih lemah), didahulukan Ash-Shahih ‘ala al-hasan (yang shahih atas yang hasan).
Berdalil dengan hadist:”Barangsiapa shalat dibelakang imam maka bacaan imam adalah bacaannya (man kaana lahu imam fa qiro-atuhu lahu qiro-ah)
Sebagian ulama mengatakan bahwa hadist ini tidak shahih.Sekalipun shahih, maka membaca Al-Fatihah adalah kekhususan yang diperintahkan membacanya.
Berdalil dengan adanya naskh
Al-Jawab :
Al-Imam Albani rahimahullah dalam kitab nya yang sangat “hebat”, yakni “Al-Ashlu Sifat Sholat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam minat takbir ilat taslim ka-annaka taroha” menulis sub bab pada hal 327-364 (Maktabah Al-Ma’arif cetakan tahun 2006) “Naskhul qiro-ah waro-al imam fil jahriyah” (Dihapuskannya hukum membaca dibelakang imam dalam sholat yang dikeraskan bacaannya)
Beliau mengatakan, pada awalnya makmum dibolehkan membaca surat Al-Fatihah dibelakang imam dalam sholat jahr, sebagaimana pernah terjadi pada waktu sholat shubuh. Rasulullah merasa terganggu oleh bacaan salah seorang makmum. Setelah shalat beliau bertanya : “Benarkah kalian tadi turut membaca bersama imam?” Kami menjawab:”Ya, tetapi dengan cepat, wahai Rasulullah” Beliau bersabda: ”Kalian tidak boleh melakukannya kecuali [membaca] Al-Fatihah, karena tidak sah sholat seseorang jika tidak membacanya dalam sholat”
Di naskh oleh apa? Al-Imam Albani membawakan dalil kedua sebagai penghapus hukum hadist pertama diatas :
“Adakah seseorang diantara kalian tadi membaca Al-Quran bersamaan dengan aku membaca?” Seseorang menjawab: ”Ya, saya wahai Rasulullah.” Rasulullah mengatakan : ”Aku katakan kepadamu mengapa aku diganggu (sehingga bacaanku terganggu)?”Abu Hurairah berkata : Kemudian para sahabat berhenti membaca al-Quran bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membacanya dengan suara keras dan bacaan itu mereka dengar [dan mereka membaca sendiri tanpa suara bila imam tidak mengeraskan bacaannya]“
Hadist ini bermasalah akan keshahihannya dan juga pada ucapan Abu Hurairah. Sebagian ulama mengatakan bahwa lafadz tersebut bukan dari Abu Hurairah, akan tetapi dari Az-Zuhri. Diantaranya yang berpendapat demikian adalah Al-Imam Al-Bukhari. Seandainya benar itu lafadz Az-Zuhri maka hukum hadist ini mursal munqothi’ karena Az-Zuhri seorang tabi’in sehingga tidak boleh berhujjah dengan dalil ini (ini pandangan Imam Albani sendiri pada hal.339). Dan juga, Abu Hurairoh dengan lafadz tegas dalam riwayat Muslim, menyatakan bahwa dalam sholat jahar pun makmum tetap membaca Al-Fatihah.
Taruhlan ini hadist yang berterima dan lafadz “intahan naas…”(manusia kemudian berhenti dari membaca dibelakang imam) adalah ucapan Abu Hurairah, maka alhamdulillah saya temukan Al-Imam Ibnu Utsaimin menjawab pendapat naskh ini, bahwa hal tersebut tidak tepat karena diantara syarat naskh (penghapusan hukum) adalah tidak mungkinnya dilakukan jama’. Padahal sangat mungkin dilakukan jama diantara keseluruhan dalil, yakni bahwa al-fatihah adalah kekhususan dari lafazd-lafadz dalil yang umum. Silahkan mendengarkan kajian beliau ketika membahas Nailul Author Bab Sholat, terutama pada nomor kaset 3 side B dan No.2 side B. Juga jangan tinggalkan nomor kaset 1A,1B,2A,4A. Silahkan bisa diunduh kajian beliau
Saya bawakan dari Al-Ushul min ‘ilmil ushul karya Imam Ibnu Utsaimin tentang syarat naskh ini sebagai berikut:
1. Tidak mungkinnya menjama’ antara dua dalil, jika memungkinkan jama’ maka tidak ada naskh
2. Mengetahui bahwa nasikh (dalil yang menghapus hukum) datangnya paling akhir (dari dalil yang mansukh), baik dengan nash atau khabar dari sahabat atau tarikh
3. Keberadaan nasikh (dalil yang menghapus hukum) disyaratkan oleh jumhur harus lebih kuat dari dalil yang dimansukh atau minimal satu level. Maka dalil yang mutawatir tidak boleh dihapus hukumnya oleh dalil yang ahad. Tetapi yang rajih adalah tidak disyaratkan point ketiga ini.
Ketiga atau minimalnya kedua syarat diatas tidak dipenuhi, dalam berpendapat “Naskh”. Allahu a’lam. Dan juga Imam Albani pun jujur dalam footnote bahwa beliau tidak punya dalil (nash) mana yang datang duluan dan terakhir dari dua dalil diatas yang dikatakan beliau yang satu nasikh dan yang lainnya mansukh. Yang beliau pakai adalah logika bahwa tidak mungkin larangan (an-nahyu) datang lebih awal. InsyaAllah kaidah Imam Ibnu Utsaimin menurut saya lebih tepat yakni tidak bisa diterapkan hukum naskh ini
Sehingga, karena tidak ada dalil untuk mengetahui mana yang datangnya lebih awal atau belakangan dari dua dalil yang nampaknya bisa terjadi nasikh mansukh ini. Kaidah mengatakan :
النسخ لا يثبت بالاحتمال
An-Naskh tidak tsubut jika adanya kemungkinan
Ada yang mengatakan begini : ”Siapa yang mendakwa bahwa Hadist Abu Hurairah “fa intahannaas ‘anil qiroah fima yajharu fihi An-Nabiyyu shalallahu ‘alaihi wasalam” (Maka berhentilah para sahabat dari membaca pada sholat yang mana Rasulullah mengeraskan bacaannya) adalah menghapuskan dalil tentang membacanya sahabat dalam sholat shubuh maka Al-Hazimi dalam kitab Al-I’tibar (Hal 72-75) mendakwa kebalikannya yakni menjadikan dalil-dalil kewajiban membaca Al-Fatihah menghapuskan dalil-dalil larangan membaca dibelakang imam”
Lantas, apakah benar tidak mungkin menjama’? Abu Hurairah memandang tidak demikian ketika ditanya bagaimana tentang makmum yang membaca dibelakang imam sedangkan ada dalil yang mengharuskan diam, Abu Hurairah menjawab :“Iqro biha yaa farisi fi nafsika”
Berdalil dengan cara berpikir “Apa faidah Imam membaca kalau begitu, jika makmum sibuk membaca Al-Fatihah? atau “Apa gunanya Imam membaca keras?”
Kami katakan in adalah qiyas atau logika yang berhadapan dengan nash, sedangkan
القياس في مقابلة النصِّ مُطَّرَح
Qiyas yang menyelisihi nash harus diabaikan (dibuang)
Berdalil dengan shahihnya tambahan kalimat “fasho’idan” dalam hadist “La sholata liman lam yaqro [fiha] bifatihatil kitab [fasho'idan] (lihat Sifat Sholat Nabi oleh Imam Albani),
“Fasho’idan” itu kurang lebih artinya “selebihnya atau tambahan” (tergantung kalimatnya). Sehingga artinya : ”Tidak ada sholat bagi yang tidak membaca didalamnya Al-Fatihah dan tambahan selebihnya (maksudnya surat)” Dalam artikel “mukhtashor kalam ibn taimiyah” ini dikatakan bahwa hal ini menunjukkan hadist ini berlaku bagi Imam bukan makmum karena tidak ada yang mengatakan bahwa meninggalkan mendengar secara keseluruhan baik al-fatihah dan surat itu baik serta tidak ada samasekali perintah bagi makmum membaca selain al-fatihah dibelakang imam.
Iya, kami sepakat tambahan ini shahih. Dan baiklah taruhlah kami terima pendapat bahwa hadits ini beserta tambahannya khusus bagi Imam. Oleh karenanya anda harus dikatakan “Bagi Imam itu wajib membaca Al-Fatihah dan Surat“
Akan tetapi bukankah tambahan surat setelah al-fatihah itu sunnah bukan wajib. Bahkan ketahuilan adalah ijma’ bahwa membaca surat itu tidak wajib. Kalau anda mengatakan bilang wajib, cobalah beri keterangannya!”
Baiklah kita bawakan saja ucapan ulama. Berkata Al-Mundziri : Kemudian ucapan “fasho’idan” dzahirnya menunjukkan wajib membaca tambahan (surat) setelah Al-Fatihah dengan makna akan batal sholat tanpa membaca surat. (Padahal) telah sepakat atau umumnya mereka (ulama) atas tidak wajibnya membaca surat ini. Dan sepertinya mereka membawanya kepada makna “dan tambahan surat” adalah ahsan. Allahu a’lam”
Ada juga yang memaknai maksud “tambahan setelah Al-Fatihah” disini adalah rukun-rukan selain al-fatihah seperti ruku, sujud dan lainnya.
Allahu A’lam
Juga mohon koreksinya.
Abu Umair As-Sundawy
Sumber: http://salafyitb.wordpress.com/2007/03/06/wajibkah-membaca-al-fatihah-dalam-sholat-jahriyah/
Komentar
Ahmad Berkata:Maret 6, 2007 @ 7:07 am
Admin : Pertanyaan di milis ini kami masukkan ,sebagai tambahan
Ana baca penjelasan antum ,namun masih ada yang mengganjal di hati…
Jika ujungnya adalah antum berpendapat bahwa tidak sah shalat bagi mereka yang tidak membaca fatihah, hatta makmum yang berimam, maka apakah
Ini berarti jika seseorang masbuk dan mendapati imam sudah membaca surat dan sudah selesai, dan ia (imam) hampir ruku, dan kita mengikutinya, itu TIDAK dihitung satu rakaat?
jika jawabnya dihitung satu rakaat, maka kami tanyakan kembali “bukankah ia tidak membaca fatihah?”,
jika jawabnya tidak dihitung satu rakaat atau bahkan tidak sah rakaatnya tsb (?), berpindahlah pertanyaan kami kepada “tunjukkan dalilnya bahwa makmum yang masbuk dan tidak sempat membaca fatihah -walau ia masuk ke shaf sambil ruku- TIDAK dihitung satu rakaat…B) ” bahkan yang kami dapati sejauh ini adalah makmum mendapat satu rakat bersama imam jika ia mendapati ruku dengan sempurna, walau masuk shalat sambil ruku (tentunya sudah pasti tidak baca fatihah), sebagaimana yang diamalkan Abu Bakrah, Ibnu Mas’ud (itu saja yang ana tahu sejauh ini)..
atau masalahnya sudah berbeda lagi, ya?
Syukran
Ahmad
Abu Umair As-Sundawy berkata
Maret 6, 2007 @ 7:11 am
Hasanan Ya Akhy,Berdiri (qiyam) dalam sholat hukumnya apa Pak? Jika tidak wajib, mana dalilnya? Jika wajib dan tidak sah tanpa berdiri,maka orang yang langsung ruku dia tidak sempat berdiri toh..piye? jawab dulu ini.
Saya masih dalam satu barisan dengan antum ,bahwa yang mendapati imam ruku’ telah mendapatkan roka’at.Singkat saja jawabannya, sebagaiamana yang dikatakan Al-Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam fatawa arkanul islam.Ujar beliau,bahwa pada saat seperti itu, maka kewajiban membaca Al-Fatihah menjadi terangkat karena dia tidak mendapatkan tempat untuk membacanya.Sebagaimana orang yang buntung tangannya maka keawajibannya terangkat untuk membasuh tangannya ketika wudhu, tidak perlu membasuh lengan atas yang masih tersisa.
Hal ini dikuatkan juga oleh Al-Imam Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa Ibn Baz 11/234-244 ,beliau berkata :
قراءة الاستفتاح سنة وقراءة الفاتحة فرض على المأموم على الصحيح من أقوال أهل العلم ، فإذا خشيت أن تفوت الفاتحة فابدأ بها ومتى ركع الإمام قبل أن تكملها فاركع معه ويسقط عنك باقيها لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إنما جعل الإمام ليؤتم به ، فلا تختلفوا عليه ، فإذا كبر فكبروا ، وإذا ركع فاركعوا ) متفق عليه
Membaca doa istiftah adalah sunnah dan membaca Al-fatihah adalah wajib bagi yang sholat dibelakang Imam,berdasar pendapat ulama yang lebih benar.Apabila anda khawatir ketinggalan membaca Al-Fatihah maka mulailah dengan membacanya (tidak perlu membaca doa iftitah). Dan jika Imam ruku sebelum anda selesai membaca al-fatihah maka rukulah bersama Imam dan yang tersisa dari kewajiban membaca Al-Fatihah itu telah terangkat berdasar sabda Nabi :”Imam itu dangkat untuk diikuti,jangan berbeda.Apabila Imam takbir,maka bertakbir.Jika imam ruku, maka ruku’lah …(muttafaqun ‘alaihi)
Allahu a’lam
Abu Umair As-Sundawy
Makmum Membaca Al-Fatihah di Belakang Imam
Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Membaca al Fatihah atau tidak bagi makmum di belakang imam, adalah masalah yang sering jadi perselisihan dan perdebatan, bahkan sampai-sampai sebagian ulama membuat tulisan tersendiri tentang hal ini. Perselisihan ini berasal dari pemahaman dalil. Ada dalil yang menegaskan harus membacanya dan ada dalil yang memerintahkan untuk membacanya. Di lain sisi, ada juga ayat atau berbagai hadits yang memerintahkan diam ketika imam membacanya. Dari sinilah terjadinya khilaf.
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”.[1]
Dari Abu Hurairah, haditsnya marfu’sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهْىَ خِدَاجٌ
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat dan tidak membaca Al Fatihah di dalamnya, maka shalatnya itu kurang.” Perkataan ini diulang sampai tiga kali.[2]
Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’rof: 204)
Abu Hurairah berkata,
صَلَّى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِأَصْحَابِهِ صَلاَةً نَظُنُّ أَنَّهَا الصُّبْحُ فَقَالَ « هَلْ قَرَأَ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ». قَالَ رَجُلٌ أَنَا. قَالَ « إِنِّى أَقُولُ مَا لِى أُنَازَعُ الْقُرْآنَ ».
“Aku mendengar Abu Hurairah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah shalat subuh. Beliau bersabda: "Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surat (di belakangku)?" Seorang laki-laki menjawab, "Saya. " Beliau lalu bersabda: "Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an?"[3]
Dalil lainnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة
“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, bacaan imam menjadi bacaan untuknya.”[4] Hadits ini dikritisi oleh para ulama.
Hadits lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الإِمَامُ - أَوْ إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ - لِيُؤْتَمَّ بِهِ ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا ، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah. Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika imam mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamd’. Jika imam sujud, sujudlah.”[5]
Dalam riwayat Muslim pada hadits Abu Musa terdapat tambahan,
وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا
“Jika imam membaca (Al Fatihah), maka diamlah.”
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata,“Jika dua hadits bertentangan secara zhohir, jika memungkinkan untuk dijama’ antara keduanya, maka jangan beralih pada metode lainnya. Wajib ketika itu beramal dengan mengkompromikan keduanya terlebih dahulu.”
Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah, ketika menjelaskan metode menggabungkan dalil-dalil, berkata,“Kami katakan, pendapat yang kuat menurut kami adalah melakukan jama’ (kompromi) terhadap dalil-dalil yang ada karena menjama’ dalil itu wajib jika memungkinkan untuk dilakukan.”
Menggabungkan atau mengkompromikan atau menjama’ dalil lebih didahulukan daripada melakukan tarjih (memilih dalil yang lebih kuat) karena menjama’ berarti menggunakan semua dalil yang ada (di saat itu mungkin) sedangkan tarjih mesti menghilangkan salah satu dalil yang dianggap lemah. Demikian pelajaran yang sudah dikenal dalam ilmu uhsul. Sehingga lebih tepat melakukan jama’ (kompromi) dalil selama itu masih memungkinkan.
Dua pendapat pertama adalah yang menyatakan tidak membaca surat sama sekali di belakang imam dan yang lainnya menyatakan membaca surat dalam segala keadaan.
Pendapat ketiga yang dianut oleh kebanyakan salaf yang menyatakan bahwa jika makmum mendengar bacaan imam, maka hendaklah ia diam dan tidak membaca surat. Karena mendengar bacaan imam itu lebih baik dari membacanya. Jika makmum tidak mendengar bacaan imam, barulah ia membaca surat tersebut. Karena dalam kondisi kedua ini, ia membaca lebih baik daripada diam. Satu kondisi, mendengar bacaan imam itu lebih afdhol dari membaca surat. Kondisi lain, membaca surat lebih afdhol daripada hanya diam.
Demikianlah pendapat mayoritas ulama seperti Malik, Ahmad bin Hambal, para ulama Malikiyah dan Hambali, juga sekelompok ulama Syafi’iyah dan ulama Hanafiyah berpendapat demikian. Ini juga yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i yang terdahulu dan pendapat Muhammad bin Al Hasan.
Jika kita memilih pendapat ketiga, lalu bagaimana hukum makmum membaca Al Fatihah di saat imam membacanya samar-samar, apakah wajib atau sunnah bagi makmum?
Ada dua pendapat dalam madzhab Hambali. Yang lebih masyhur adalah yang menyatakan sunnah. Inilah yang jadi pendapat Imam Asy Syafi’i dalam pendapatnya terdahulu.
Pertanyaan lainnya, apakah sekedar mendengar bacaan Al Fatihah imam ketika imam menjahrkan bacaannya wajib, ataukah sunnah? Lalu bagaimana jika tetap membaca surat di belakang imam ketika kondisi itu, apakah itu haram, atau hanya sekedar makruh?
Dalam masalah ini ada dua pendapat di madzhab Hambali dan lainnya.
Pertama, membaca surat ketika itu diharamkan. Jika tetap membacanya, shalatnya batal. Inilah salah satu dari dua pendapat yang dikatakan oleh Abu ‘Abdillah bin Hamid dalam madzhab Imam Ahmad.
Kedua, shalat tidak batal dalam kondisi itu. Inilah pendapat mayoritas. Pendapat ini masyhur di kalangan madzhab Imam Ahmad.
Ibnu Taimiyah rahimahullah selanjutnya mengatakan,
Yang dimaksud di sini adalah tidak mungkin kita beramal dengan mengumpulkan seluruh pendapat. Akan tetapi, puji syukur pada Allah, pendapat yang shahih adalah pendapat yang berpegang pada dalil syar’i sehingga nampaklah kebenaran.
Intinya membaca Al Fatihah di belakang imam, kami katakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita mendengar bacaan tersebut. Jika tidak mendengarnya karena jauh posisinya jauh dari imam, maka hendaklah membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapat yang ada. Inilah pendapat Imam Ahmad dan selainnya.
Namun jika tidak mendengar karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengar namun tidak paham apa yang diucapkan, maka di sini ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan atau membacanya. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak tercapai maksud mendengar, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol daripada diam.[6]
Pembelaan
Dalil yang menunjukkan bahwa bacaan imam juga menjadi bacaan bagi makmum dapat dilihat pada hadits Abu Bakroh di mana dia tidak disuruh mengulangi shalatnya.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Al Hasan, dari Abu Bakroh bahwasanya ia mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ruku’. Lalu Abu Bakroh ruku’ sebelum sampai ke shof. Lalu ia menceritakan kejadian yang ia lakukan tadi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
“Semoga Allah menambah semangat untukmu, namun jangan diulangi.”[7]
Lalu bagaimana dengan hadits,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”.[8]
Ada dua jawaban yang bisa diberikan:
- Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah tidak sempurna shalatnya. Yang menunjukkan maksud seperti ini adalah dalam hadits Abu Hurairah disebutkan “غير تمام”, tidak sempurna.
- Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah dalam shalatnya, namun ini berlaku bagi imam, orang yang shalat sendiri dan makmum ketika shalat siriyah (yang tidak dikeraskan bacaannya). Adapun makmum dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaannya), maka bacaan imam adalah bacaan bagi makmum. Jika ia mengaminkan bacaan Al Fatihah yang dibaca oleh imam, maka ia seperti membaca surat tersebut. Maka tidak benar jika dikatakan bahwa orang yang cuma menyimak bacaan imam tidak membaca surat Al Fatihah, bahkan itu dianggap membaca meskipun ia mendapati imam sudah ruku’, lalu ia ruku’ bersama imam.
Kemudian jawab beliau hafizhohullah,“Masalah ini terdapat perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang hati-hati, makmum tetap membaca Al Fatihah pada shalat yang imam tidak menjahrkan bacaannya, begitu pula pada shalat jahriyah ketika imam diam setelah baca Al Fatihah.”[9]
Menurut penulis, pendapat yang menempuh jalan kompromi seperti yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah itu pun sudah cukup ahsan (baik). Namun penjelasan Syaikh Sholeh Al Fauzan di atas sengaja penulis tambahkan supaya kita lebih memilih pendapat yang lebih hati-hati agar tidak terjatuh dalam perselisihan ulama yang ada. Wallahu Ta’ala a’lam.[10]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
www.rumaysho.com
Muhammad Abduh Tuasikal
Riyadh-KSA, for two days, since 29th Muharram 1432 H (04/01/2011)
[1] HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394
[2] HR. Muslim no. 395.
[3] HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah, juga yang lainnya. Hadits ini shahih.
[4] HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 850. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[5] HR. Bukhari no. 733 dan Muslim no. 411.
[6] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426, 23/265-268
[7] HR. Bukhari no. 783.
[8] HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394
[9] Al Mulakhosh Al Fiqhi, Syaikh Sholeh Al Fauzan, terbitan Ar Riasah Al ‘Ammah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, cetakan kedua, 1430 H, 1/128.
[10] Sebagian besar bahasan ini adalah faedah dari penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim dalam Syarh Ahadits ‘Umdatul Ahkam, hadits no. 101 tentang membaca Al Fatihah, di sini: http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/omdah/094.htm
Membaca Al-Fatihah Setelah Shalat Fardhu
Tanya: Assalamu'alaikum warahmatullah Ustadz, ana sangat penasaran mengapa banyak orang setelah selesai shalat, salah satu bacaannya adalah surat Al-Fatihah, demikian pula ketika awal berdoa atau diakhirnya membaca alfatihah, ana mempunyai dugaan kuat bahwa itu tidak ada tuntunannya sama sekali, cuma masih dugaan, apakah memang ada haditsnya (meskipun lemah atau palsu), atau sama sekali tidak ada dasarnya? mohon penjelasannya ustadz. Barakallahu fiik. (abu yusuf)
Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh. Wa fiika barakallahu.
Al-Fatihah adalah surat yang paling utama di dalam Al-Quran namun tidak boleh kita mengkhususkan membaca surat ini pada waktu tertentu atau maksud tertentu kecuali yang ada dalilnya.
Dan saya tidak mengetahui dalil yang menunjukkan bahwa surat ini disunnahkan dibaca setelah shalat fardhu. Sampai hadist yang lemah atau palsupun saya belum mendapatkan.
Berkata Syeikh Shalih bin Fauzan:
أمَّا قراءتها أدبار الصَّلوات؛ فلا أعلم له دليلاً من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وإنما الذي ورد هو قراءة آية الكرسي ، و { قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ } ، و { قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ } ، و { قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ }؛ وردت الأحاديث بقراءة هذه السُّور بعد الصَّلوات الخمس، وأمَّا الفاتحة؛ فلا أعلم دليلاً على مشروعيَّة قراءتها بعد الصَّلاة .
"Adapun membacanya (yaitu Al-Fatihah) setelah shalat fardhu maka saya tidak mengetahui dalilnya dari sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang ada dalilnya adalah ayat kursy, qul huwallahu ahad, dan qul a'udzu birabbil falaq, dan qul a'udzu birabbinnas. Telah datang hadist-hadist yang menunjukkan disyari'atkannya membaca surat-surat ini setelah shalat lima waktu, adapun Al-Fatihah maka saya tidak mengetahui dalil yang menunjukkan disyariatkannya untuk dibaca setelah shalat" (Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan no: 133)
Demikian pula membaca Al-Fatihah sebelum dan setelah berdoa saya tidak mengetahui dalilnya.
Yang disunnahkan sebelum berdoa adalah memuji Allah dan membaca shalawat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إذا صلى أحدكم فليبدأ بتحميد الله والثناء عليه ثم ليصل على النبي صلى الله عليه و سلم ثم ليدع بعد بما يشاء
"Apabila salah seorang dari kalian berdoa maka hendaklah memulai dengan memuji Allah dan memujaNya, kemudian hendaknya membaca shalawat atas nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian berdoa setelah itu dengan apa yang dia inginkan" (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzy, Dari Fadhalah bin Ubaid dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Berkata Al-Lajnah Ad-Daimah:
لم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه كان يقرأ الفاتحة بعد الدعاء فيما نعلم، فقراءتها بعد الدعاء بدعة.
"Tidak datang dari nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau membaca Al-Fatihah setelah berdoa sebatas pengetahuan kami, oleh karena itu membacanya setelah berdoa adalah bid'ah" (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 2/528).
Wallahu a'lam.
_______________
Sumber: http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2009/07/membaca-al-fatihah-setelah-shalat.html
Apa-Apa Al-Fatihah Dahulu
قال العلامة الإمام الفقيه محمد بن صالح العثيمين – رحمه الله تعالى – في ( شرح بلوغ المرام ) :Ketika menjelaskan kitab Bulughul Maram, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan
واما ما يفعله بعض العوام من انه كلما أرادوا شيئا قالوا : الفاتحة ؛ وهذا والحمد لله لا يوجد عندنا ؛ لكن يوجد عند إخواننا الذين يفدون إلي البلاد ؛ كل شيء الفاتحة ؛ عند عقد النكاح الفاتحة ، وعند الصلح ، وعند أي شيء ، وهذا بدعة ؛ ولا يجوز ؛
“Adalah kebiasaan sebagian orang awam setiap kali hendak melakukan sesuatu mengatakan ‘alfatihah’. Alhamdulillah perilaku semacam ini tidak dilakukan oleh orang Saudi namun sebagian saudara kita kaum muslimin yang berada di Saudi itu apa apa al fatihah. Ketika akad nikah alfatihah, ketika berunding untuk damai alfatihah. Pokoknya apa apa serba alfatihah. Sikap semacam ini adalah bid’ah yang tidak boleh dilakukan.
لانه لو كانت خيرا لكان أول من يفعلها الرسول صلى الله عليه وسلم وأصحابه لكنها بدعة ، وليست مشروعة .
Alasannya jika perbuatan semacam ini adalah kebaikan tentu saja yang pertama kali melakukannya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Karena mereka tidak pernah melakukannya maka amalan seperti ini adalah bid’ah dan tidak dituntunkan”.
Sumber:
http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=113402#post113402
Artikel www.ustadzaris.com
Surat al Fatihah untuk Dzikir Pagi Petang
Berikut ini transkrip fatwa Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah tentang hukum menjadikan bacaan surat al Fatihah sebagai bagian dari wirid pagi dan petang. Fatwa ini terdapat dalam kaset ‘Durus wa Fatawa al Haram al Makki’ no kaset 11, side A tepatnya pada menit 4:36-7:29. Rekamannya ada pada kami.
السائل: فضيلة الشيخ هل قراءة الفاتحة في أذكار الصباح و المساء بدعة؟
Tanya, “Apakah membaca surat al Fatihah sebagai bacaan dzikir pagi dan petang itu bid’ah?”
الجواب: لا أعلم أن الفاتحة من أذكار الصباح و المساء. و علي هذا فلا يقرأها أحد في أذكار الصباح و المساء إلا إذا وجد دليلا من السنة أنها تقرأ في أذكار الصباح و المساء فليقرأ وإلا فلا يقرأ
Jawaban Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Sebatas pengetahuan kami, surat al Fatihah bukanlah termasuk bagian dari dzikir pagi dan petang. Berdasarkan hal tersebut maka tidak boleh ada seorang pun yang menjadikannya sebagai bagian dari dzikir dan petang kecuali jika dia memiliki dalil dari hadits yang menunjukkan bahwa surat al Fatihah itu termasuk dzikir pagi dan petang. Pada saat itu, silahkan jika dia hendak membacanya sebagai dzikir pagi dan petang. Jika tidak, maka orang tersebut tidak boleh membacanya sebagai bagian dari dzikir pagi dan petang.
كن الفاتحة تقرأ للمريض و يشفي بإذن الله كما ثبت ذلك في قصة السرية الذين بعثهم النبي-صلي الله عليه و علي آله و سلم-فنزلوا علي قوم ضيوفا ولكن القوم لم يضيفوا و لم يكرموا فتناحوا ناحية يعني السرية فسلط الله علي رئيس القوم الذين لم يضيفوهم عقربا فلدغته فتعلم الرجل فأتوا إلي السرية الصحابة قالوا: هل فيكم أحد يقرأ؟ قالوا: نعم, فينا من يقرأ لكن لا نقرأ عليكم إلا بكذا و كذا من الغنم
Namun al Fatihah itu bisa dibacakan untuk orang yang sakit dan akan menjadi sebab kesembuhan dengan izin Allah. Dalilnya adalah kisah sekelompok shahabat yang diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka hendak singgah sebagai tamu di suatu perkampungan. Namun ternyata, orang-orang di kampung tersebut tidak mau menjamu dan memuliakan mereka. Akhirnya rombongan para shahabat ini beristirahat di pinggir perkampungan. Taklama setelah itu, kepala kampung tersebut disengat kalajengking. Akhirnya orang-orang di kampung tersebut mendatangi rombongan para shahabat lalu bertanya, “Adakah di antara kalian orang yang pandai meruqyah?”. Para shahabat berkata, “Ada, namun kami tidak mau meruqyah kecuali dengan upah sekian ekor kambing”.
لماذا؟ لأنهم ما أكرموهم و كانوا يجمعوا أن لايضيفوا ولا يطعموا .فذهب أحد من القوم من السرية و جعل يقرأ علي اللديغ سورة الفاتحة فقط فقام الرجل كأنما نشط من عقال يعني كأنه بعير فك عقاله فقام, سليما ليس فيه شيء
Mengapa para shahabat membuat persyaratan semisal itu? Jawabannya jelas karena penduduk kampung tersebut tidak mau memuliakan mereka. Mereka sepakat untuk tidak menjamu para shahabat. Akhirnya salah seorang shahabat meruqyah orang tersebut. Shahabat ini hanya membaca surat al Fatihah pada orang yang tersengat tadi. Begitu selesai dibacakan, orang tersebut lantas bangkit berdiri dengan penuh semangat seakan-akan seekor onta yang dilepas dari ikatan. Artinya orang tersebut sembuh seakan-akan tidak pernah sakit sama sekali.
م إن الصحابة-رضي الله عنهم-أشكل عليهم, هل هذه الغنم التي أخذوها حلال أو لا حتى أتوا النبي- صلي الله عليه و علي آله و سلم-فأخبروه فقال-عليه الصلاة و السلام-للقارئ: “و ما يدريك أنها رقية” يعني أن الفاتحة يقرأ بها على المرضي و يشفي بإذن الله و قال: “خذوا-يعني الغنم-واضربوا لي معكم بالسهم”. اللهم صل و سلم عليه. نعم التعليم
Setelah menerima sejumlah kambing sebagaimana yang telah disepakati, para shahabat bimbang. Apakah kambing yang mereka dapatkan tersebut halal ataukah tidak. Akhirnya mereka datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata kepada yang tadi meruqyah, “Dari mana engkau tahu bahwa surat al Fatihah itu bisa untuk meruqyah?” Dengan kata lain, bisa dibacakan kepada orang yang sakit dan bisa menjadi sebab kesembuhan dengan izin Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya, “Ambillah kambing tersebut dan jangan lupa tolong aku diberi jatah dari sejumlah kambing tersebut”. Inilah cara yang demikian baik dalam mengajar yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ماذا قال: “واضربوا لي معكم بالسهم” و هو ليس بحاجة لها؟ فيما يظهر, تطييبا لنفوسهم حتى لا يبقي عندهم شك.
Mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Dan jangan lupa tolong aku diberi jatah dari sejumlah kambing tersebut” padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membutuhkan kambing tersebut? Kemungkinan besar, Nabi melakukan hal tersebut dalam rangka menyenangkan hati mereka dan agar mereka tidak memiliki keraguan bahwa kambing tersebut halal”.
Catatan:
Menjadikan surat al Fatihah sebagai salah satu bacaan dzikir pagi dan petang bisa kita jumpai dalam buku al Ma’tsurat karya Hasan al Bana. Demikian pula, bisa dijumpai dalam al Manzil, buku kumpulan wirid pagi dan petang yang biasa diamalkan oleh saudara-saudara para karkun (baca:aktivis Jamaah Tabligh).
Moga penjelasan di atas bisa menjadi koreksi untuk kita bersama agar amal yang kita lakukan semakin baik dan sesuai dengan sunnah seiring dengan bertambahnya ilmu yang kita miliki.
Sumber: http://ustadzaris.com/surat-al-fatihah-untuk-dzikir-pagi-petang
0 komentar:
Posting Komentar